Kumpulkan pendapat-pendapat mengenai film, maka hasilnya akan berkisar di antara dua kutub. Kutub kesenian di satu sisi dan kutub dagang di sisi lain. John Tjasmadi, produser dan ketua GPBSI (pengusaha bioskop) terus terang berkata: “Saya ini kan orang dagang.”
Para bintang film menamakan diri artis atau seniman, seperti terungkap dalam nama perkumpulan mereka. Sedangkan Wim Umboh, sutradara yang cukup beken, mengambil sisi tengah: “Saya akan membuat film yang laris bermutu.”
Bila melihat sejarah film, maka perkembangannya pun berjalan di antara dua kutub di atas. Dari penemuannya yang mencengangkan, perfilman kemudian berkembang hingga menjadi industri, dan sementara itu muncul pula film-film yang bisa dianggap sebagai suatu kesenian dalam arti ekspresi pribadi. Film-film eksperimental yang sudah dirintis sejak 1930-an, film-film Orson Welles, Ingmar Bergman, maupun Antonioni, bisa dijadikan contoh bahwa film memang merupakan salah satu kesenian.
Dalam tahun-tahun belakangan ini ketika film Indonesia mulai bangkit kembali, bandul pun bergoyang antara dua kutub di atas. Pada 1969 dibentuk Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) yang dalam tugasnya tampak berniat meningkatkan mutu di samping yang lain-lain. Kegagalan DPFN yang hanya menghasilkan empat film ‘bermutu’ tapi tak laku mungkin karena anggota-anggotanya terlibat langsung dalam pembuatan film hingga kontrol menjadi longgar.
Kegagalan ini menimbulkan kegiatan yang bertentangan arah. Yang dipentingkan kemudian adalah bagaimana menumbuhkan industri film yang kokoh. Mau tak mau tawar-menawar dalam perdagangan pun berlaku. Dengan kata yang lebih keren, kebijaksanaan ini diberi predikat: audience approach.
Produksi meningkat dengan cepat. Turut meningkat pula bersama itu caci-maki orang-orang yang ‘ngerti’ film, pers, dan penonton-penonton yang sempat meluangkan waktu menulis surat pembaca di koran-koran.
Didorong Kembali
Bandul pun didorong kembali ke arah sebaliknya. Mutu mulai diperhatikan kembali. Dana SK 71 baru diberikan setelah edited rushcopy-nya dinilai baik oleh Direktorat Film, Yayasan Film Indonesia, PPFI, dan Giprodfin. Pendidikan—masalah yang paling hakiki di negeri ini—diusahakan melalui Kino Workshop. Tidak dilupakan usaha penilaian seperti inisiatif PWI Jaya memilih aktor-aktris terbaik, dan kini festival film nasional.
Dalam kerangka ini jelas bahwa festival film ini dimaksudkan untuk memberi tekanan kembali pada segi kualitas film. Dalam kata-kata Turino Djunaidi, Ketua Yayasan Festival Film Indonesia, “Festival menilai mutu film dalam segala bidangnya.”
Penekananan pada mutu ini tampak pula dalam cara memilih anggota-anggota juri dan keputusan yang memberi para juri kebebasan penuh untuk menilai dan menentukan kriteria penilaian. Panitia pun sangat menjaga keotonoman juri dengan merahasiakan tempat maupun kriteria penilaian. Dalam hal ini DA Peransi, salah seorang anggota juri yang juga pernah menjabat juri dalam festival film di Mannheim, Laren, dan Oberhausen, sangat menghargai sikap dan tindakan Yayasan Festival Film Indonesia maupun panitia pelaksanaannya.
Penting pula untuk dicatat, juri tersebut tidak terlibat langsung dalam produksi film Indonesia. Meskipun demikian, mereka juga bukan orang-orang asing dalam dunia perfilman. Kecuali pada satu-dua orang, beberapa pihak mengungkapkan bahwa juri ini cukup representatif. Nico Pelamonia, sutradara, menambahkan: “Festival ini punya scope nasional, bukan hanya lokal saja. Dari segi ini pilihan juri belum merupakan pilihan yang maksimal.” Terhadap keluhan-keluhan ataupun kekurangan-kekurangan lainnya, Turino Djunaidi menangkis dengan kata-kata bahwa ini adalah hasil maksimal kerja satu bulan.
Betapa pun pendapat orang mengenai susunan juri ini, agaknya memang harus diakui bahwa paling tidak mereka mewakili kelompok budayawan dengan embel-embel intelektual. Kualitas ini bisa menumbuhkan harapan bahwa selera mereka cukup selektif.
Dengan begitu, tampaklah perbedaan festival tahun ini dengan festival-festival yang pernah diadakan pada 1955, 1960, ataupun dengan Pekan Apresiasi Film pada 1967. Dalam festival yang lalu jurinya terdiri dari orang-orang film sendiri. Sponsornya pihak produser sendiri hingga pernah terjadi keributan ketika produksi Persari Tarmina dan Anakku Sayang tampil sebagai pemenang festival. Saat itu sponsor utama festival adalah Djamaludin Malik, pimpinan Persari.
Sudah Waktunya?
Sudah waktunyakah sekarang ini menyelenggarakan penilaian mutu terhadap film-film Indonesia dalam bentuk festival? Kapan lagi? Pertanyaan ini adalah jawaban Sumardjono, ketua panitia pelaksana festival, yang melihat pesoalannya secara praktis saja. “Sekarang ini terlihat gejala yang membahayakan dalam cara-cara promosi ala kecap nomor satu. Menyisipkan gambar-gambar piala dalam iklan itu sudah kelewatan,” katanya. “Dengan demikian publik akan tertipu. Dan celakanya produser sendiri bisa terbius oleh permainan iklannya sendiri hingga mereka lupa akan peningkatan mutu filmnya. Jangan dilupakan film juga memiliki unsur kultural dan tanggungjawab terhadap masyarakat.” Dalam pengertian inilah Sumardjono meletakkan arti festival, yaitu bahwa festival tidak menekankan segi komersial, melainkan yang lebih bersifat kultural.
Penilaian terhadap mutu ini tampaknya tidak mengurangi gairah para produser untuk mengikutsertakan film-filmnya dalam festival. Sebanyak 31 film cerita dan 8 film dokumenter turut berlomba. Bila dihitung, jumlah produser yang terlibat tidak kurang daripada 27. Angka ini sudah separuh lebih dari 40-an produser yang dianggap aktif oleh Turino Djunaidi, Ketua PPFI. Sedangkan jumlah produser yang sudah diakui oleh Departemen Penerangan hanya berjumlah 21.
Angka-angka ini patut pula ditambah dengan sekian puluh sutradara, sekian ratus bintang film, sekian editor, dan seterusnya. Dari deretan angka-angka yang boleh dibilang “cukup” ini, berapakah yang bisa dikatakan bersungguh-sungguh memikirkan masalah mutu? Jumlah yang jadi jawaban mungkin masih di bawah bilangan jari tangan.
Bila demikian, mudah saja timbul kekhawatiran bahwa hadiah festival akan bergilir pada orang yang itu-itu juga. Tidak, kata Sumardjono maupun Turino, yang menambahkan bahwa potensi-potensi baru cukup banyak, dan kelahiran seorang sineas lebih cepat prosesnya dibanding pelukis maupun sastrawan. “Paling tidak festival merupakan ajang persaingan yang fair,” demikian Turino yang mengingatkan pula bahwa peningkatan mutu film seiring dengan membaiknya situasi ekonomi sosial dan budaya.
Peningkatan Mutu
Turino benar, tapi dengan satu catatan: mutu tidak selalu sejalan dengan segi komersial film. Sumardjono pun mengakui hal ini dan mengharap para produser juga menyadarinya.
Sadar agaknya sudah. Tapi apakah para produser mau mencukongi sutradara yang hendak melampiaskan ambisinya membuat film yang daya komersialnya diragukan, yang mau meningkatkan nilai budaya dan mutu artistik, yang mau menggali ciri-ciri ke-Indonesia-an suatu film seperti yang tercantum dalam maksud dan tujuan festival film, maupun organisasi-organisasi perfilman seperti PPFI (pengusaha film), KFT (karyawan), PARFI (artis), GASI (subtitling) maupun Dewan Film Nasional?
Film memang tidak bisa dilepaskan dari usaha industri. Sarana-sarana industri film kini sudah menampakkan bentuknya. Dengan dana-dana yang dipungut dari impor film, produksi film nasional mencapai jumlah cukupan, studio pun kebagian jatah untuk memermak diri, laboratorium modern dalam tahap pelaksanaan kabarnya, pendidikan sudah dilaksanakan melalui Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta dan Kino Workshop, gedung bioskop sudah tersedia pula dalam jumlah yang cukup. Penilaian kini tengah diusahakan melalui festival maupun inisiatif PWI Jaya. Bang Ali Sadikin sudah merencanakan berdirinya sebuah Pusat Film. Dan yang terpenting dalam rangkaian industri film ini: penonton pun kini sudah bisa diharapkan. Dengan sarana-sarana yang amat lumayan seperti ini—bila dibandingkan dengan cabang-cabang kesenian lainnya—maka bisalah diharapkan bahwa film bisa berkembang dengan tidak usah selalu mengemis biaya dari pemerintah.
Maka kloplah keadaan ini dengan pendapat Turino di atas bahwa peningkatan mutu sejalan dengan membaiknya situasi ekonomi, sosial dan budaya. Ini tentu saja bila film hanya dilihat dari segi dagangnya atau showbusiness-nya. Tapi film tidak hanya itu. Ketetapan MPRS jelas-jelas menyebutkan bahwa film juga alat penerangan dan pendidikan. Ini mungkin bisa disimpulkan dalam kata yang lebih aksi: bahwa film juga punya aspek kultural yang tidak selalu sejalan dengan komersialitas. Siapakah yang harus memperhatikan aspek ini?
Apa Lagi?
Sudah jelas bahwa beban ini tidak bisa diletakkan di atas pundak kalangan swasta mengingat kondisi mereka sendiri yang belum sehat sepenuhnya. Departemen Peneranganlah satu-satunya tumpuan harapan. Gagasan ini sendiri bukannya belum pernah dilaksanakan. Beberapa tahun lalu pernah ada Dewan Produksi Film Nasional yang kemudian dibubarkan. Kemudian dibentuk Dewan Film Nasional yang sayangnya hanya berfungsi sebagai badan penasihat menteri. Pengaruhnya tidak terasa dalam pembinaan langsung yang membutuhkan kerja penuh dan bukan part time.
Lalu apa lagi yang mesti diadakan? Mungkin baik juga dicoba mengubah bentuk dewan film yang sekarang menjadi lembaga otonom dengan anggota-anggota yang tidak terlibat langsung dalam produksi film; suatu badan yang mengemban tugas-tugas dewan film sekarang ini dengan tindakan-tindakan langsung pula; badan yang mengawasi langsung produksi-produksi film, yang menggunakan Dana SK 71; yang memikirkan pendidikan artis maupun karyawan; yang bisa memberikan insentif kepada produser maupun sutradara yang hendak menggarap film-film bernilai tinggi.
Ini memang bukan gagasan baru. Dewan Film yang pertama pernah pula mengeluarkan memorandum mengenai lembaga ini dengan julukan Lembaga Sinematografi. Akibatnya, yang masalah sekarang bukannya lembaga itu sendiri, tapi siapa-siapakah yang baik dan mampu menduduki keanggotaan lembaga tersebut.
Bila aspek kultural dan non-komersial ini sudah dianggap penting hingga perlu dipikirkan tindakan-tindakannya secara serius, barulah kita bisa berharap bahwa nilai budaya dan mutu artistik film Indonesia akan meningkat, bahwa kita bisa bersaing dalam festival-festival internasional, bisa menggali ciri-ciri ke-Indonesia-an dalam penyajian film seperti yang terangkum dalam tujuan festival.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 26 Maret 1973.