Insan film Indonesia sudah membuktikan sanggup membuat film yang bersaing langsung dengan film-film blockbusters Hollywood. Salah satu peraih jumlah penonton tertinggi sepanjang masa di Indonesia adalah film Indonesia (Laskar Pelangi). Film-film semacam ini, juga film saya Garuda di Dadaku yang beredar bulan Juni 2009, sanggup bersaing melawan film-film Harry Potter, Transformers, dan Batman dari luar negeri, dan memperoleh pendapatan tinggi.
Meski orang bisa saja berspekulasi tentang alasan-alasan suksesnya, saya menambahkan alasan sukses film-film di atas berdasarkan munculnya sejumlah bakat istimewa, meluasnya pasar—jumlah layar, televisi, dan multimedia—yang membuat pembiayaan produksi film menjadi lebih mungkin. Dan kebudayaan khas Indonesia, sejarah dan latar sosialnya, tidak mungkin pembuat film asing mampu menandingi seperti yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri.
Sukses perfilman Indonesia ini hampir tanpa dukungan pemerintah. Tidak seperti perfilman negara-negara lain yang juga sukses perfilmannya seperti Korea Selatan, jejak sejarah dukungan pemerintah untuk perfilman Indonesia sangat minim. Sekarang ini, tidak ada dana film dari pemerintah Indonesia untuk mempromosikan film-film seni, tidak ada bantuan untuk sutradara yang akan mengawali pembuatan film pertamanya, tidak ada keringanan pajak bagi mereka yang berinvestasi di bidang film, tidak ada kebijakan yang terkonsep baik untuk memajukan industri film. Bahkan pemerintah tidak mendanai sekolah film di universitas-universitas negeri. Bandingkan dengan sekitar 100 sekolah film di Korea Selatan yang didukung oleh pemerintah, hingga muncullah banyak bakat kreatif yang terlatih baik.
Tahun lalu pemerintah menerbitkan undang-undang film baru yang lebih banyak hambatannya untuk produksi dan distribusi film; lebih banyak mengatur dan membuat semakin sukar membuat film berkualitas. Kini, pemerintah berniat ‘menilai kembali’ implementasi pajak impor film.
Banyak pajak untuk produksi film Indonesia
Kami membayar PPN (Pajak Pertambahan Nilai) saat menyewa peralatan film. Kami membayar pajak dan jaminan sosial untuk kru film kami. Kami membayar mahal bahan baku film karena adanya pajak impor. Kami membayar pajak tontonan, pajak royalti untuk pejualan ke televisi dan DVD. Tambah lagi, penghasilan bersih kami masih dipotong pajak penghasilan perusahaan seperti badan-badan usaha lain. Akhirnya secara pribadi sebagai produser kami masih harus membayar PPh atas penghasilan kami.
Tidak ada insentif pajak, tidak ada kredit pajak, dan tidak ada subsidi. Hal ini menjadi penting, karena terlepas dari sikap romantik dan idealistik pembuat film berbiaya rendah, pada kenyataannya produksi film adalah sebuah bisnis yang memerlukan investasi serius. Dan investor hanya akan datang bila mereka bisa mendapatkan laba selayaknya. Semakin banyak pajak, semakin turun labanya. Pada titik inilah kenapa polemik tentang pajak impor yang diterapkan pemerintah akan menciptakan masalah dalam waktu dekat ini.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. 3/PJ/2011 memperingatkan akan memberlakukan lebih banyak pajak lagi pada film impor. Langkah ini yang membuat Hollywood mengancam menghentikan suplai film impor ke Indonesia. Beberapa pihak mengatakan bahwa impor film harus dikenakan pajak yang lebih tinggi. Hal ini akan membuat beban seimbang antara film Indonesia dan film impor.
Pajak-pajak film impor
Pertama, marilah kita lihat apa saja pajak film impor. Semua importir harus membayar bea masuk berdasarkan berapa banyak copy film yang didistribusikan di Indonesia. Hitungan kasarnya 23,75% dari nilai setiap copy yang nilainya sekitar 1.000 USD (Rp 9 juta). Artinya 230 USD per copy (Rp 2.070.000). Jadi kalau mereka memasukkan 100 copy seperti film Transformers, mereka harus membayar 23.750 USD (sekitar Rp 213 juta). Harap dicatat, ini adalah nilai pita film itu, bukan nilai intrinsik film. Dengan kata lain, Transformers kena bea masuk sama dengan film independen yang murah.
Pajak kedua yang harus dibayar adalah pajak tontonan, yang juga berlaku untuk film Indonesia. Jumlah pajak ini tergantung dari banyaknya tiket terjual. Jika sebuah film Indonesia meraih dua juta penonton, produser harus membayar sekitar Rp 3,8 milyar. Bila dua juta penonton menonton film Hollywood, mereka harus membayar sekitar Rp 5 milyar. Hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya harga tiket film Indonesia. Dan karena Hollywood semakin banyak mengedarkan film 3D dengan harga tiket yang lebih tinggi lagi, pemerintah akan menerima pajak tontonan lebih tinggi juga.
Lalu, ada pajak lain yang harus dibayar oleh produser film asing: withholding tax yang besarnya 15% dari hasil penjualan. Distributor lah (importir film di sini) yang memotong withholding tax dan membayarkan pajak itu atas nama produser asing. Dalam polemik akhir pekan lalu, tidak ada yang mengingatkan tentang withholding tax ini. Bila pendapatan bersih film impor itu 1 juta USD, maka pemerintah akan menerima lebih dari 150.000 USD (Rp 1.350.000.000) dari pajak jenis ini. Hal ini juga sama persis dengan produser film Indonesia yang harus membayar pajak penghasilan filmnya.
Dua cara impor
Sekarang ini ada dua cara film impor masuk Indonesia. Yang pertama: importir Indonesia membeli hak edar film asing untuk Indonesia. Film-film asing independen yang bukan bagian dari MPA (Motion Picture Association), (tapi termasuk Eropa, Cina, Korea, dan India), biasanya dibeli di pasar film oleh importir Indonesia. Transaksi ini jelas nilainya, karena harga kontraknya tercantum dalam perjanjian antara pemilik/distributor asing dengan importir. Importir memiliki hak untuk mendistribusikan film itu di sini. Bila perjanjian itu berupa kontrak putus, maka importir tidak harus berbagi pendapatan lagi dengan pemilik film. Bila jenis kontraknya adalah minimum guarantee, maka importir harus melaporkan hasil penjualannya untuk penentuan bagi hasil selanjutnya.
Cara kedua adalah model bagi hasil seperti yang berlaku pada film-film Indonesia. Film-film produksi anggota MPA, masuk berdasarkan kontrak konsinyasi dengan importir Indonesia. Pada dasarnya ini adalah kontrak bagi hasil antara importir Indonesia dengan produser asing, setelah dipotong pajak tontonan.
Penilaian kembali pajak impor yang yang dipermasalahkan dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. 3/PJ/2011 adalah usulan diberlakukannya ‘pajak impor’ sebesar 20 persen berdasar ‘nilai’ film impor. Ini bukan sekadar nilai film sebagai pita seperti selama ini berlaku, tapi nilai hak cipta intelektual alias nilai jual yang akan terjadi. Masalahnya adalah bagaimana menentukan ‘nilai sebenarnya’ dari sebuah film sebelum diedarkan. Hampir mustahil. Dan hal ini hanya akan berujung pada penentuan sepihak oleh pejabat pajak, yang diketahui tidak memiliki pengetahuan memadai tentang film.
Bila proyeksi penjualan tiket adalah 1 juta USD, maka produser asing harus membayar dulu 200.000 USD saat filmnya masuk Indonesia. Bila kemudian hari ternyata film itu tidak mencapai penghasilan 1 juta USD, maka kantor pajak harus mengembalikan kelebihan bayarnya. Sudah umum diketahui, betapa sukarnya mengurus pengembalian kelebihan bayar tadi di kantor pajak. Sejumlah besar pengembalian Ppn adalah masalah besar selama bertahun-tahun. Harap dicatat juga, bahwa usulan pajak impor terakhir ini di luar pajak withholding tax sebesar 15%, yang tetap harus dibayar.
Cara lain
Ada cara-cara lain kalau ingin meningkatkan pajak film impor, jika maksudnya adalah menciptakan keseimbangan beban untuk film Indonesia.
Jelas withholding tax bisa dinaikkan. Ukurannya lebih jelas: pendapatan dari hasil jualan tiket. Menurut saya, nampaknya MPA keberatan pada usulan pajak yang didasarkan pada asumsi kemungkinan hasil peredaran film, bukan pada realitas hasil peredaran. Bila pemerintah khawatir tentang pengemplangan pajak, kenapa tidak memaksakan transparansi dan pengumuman hasil penjualan tiket. Hal ini jelas lebih produktif untuk semua pihak.
Lalu, kenapa produser film Indonesia khawatir akan implementasi pajak film impor ini?
Alasannya adalah karena pasar film ditentukan oleh jumlah layar yang tersedia. Semakin banyak layar, semakin banyak penonton yang bisa datang ke bioskop, dan semakin mungkin pembuat film Indonesia mengundang investor. Memang, bila Hollywood menghentikan suplai film mereka, mula-mula akan muncul layar kosong yang harus diisi. Akibatnya, film-film berkualitas seadanya yang akan mengisi sekadar supaya terisi. Kemungkinan, bioskop akan kekurangan penonton dan pemilik bioskop akan berhenti membuka bioskop baru. Artinya, semakin membatasi pasar. Suka atau tidak, 55-60% pasar sekarang ini ditentukan oleh film impor. Bila mereka tidak ada, pasar akan menciut.
Banyak cara lain di luar utak-utik ketidakseimbangan beban pajak ini, bila pemerintah ingin membantu perfilman Indonesia.
Mendukung sekolah film yang baik adalah awalan yang baik. Memberikan insentif pajak untuk investor yang membangun lebih banyak bioskop, cara lain lagi. Pemberantasan pembajakan, dan memaksakan perlindungan hak cipta intelektual, yang sudah ada undang-undangnya, akan meningkatkan pendapatan film nasional juga. Mendukung festival-festival film internasional yang selama ini sudah berjalan baik dan mempromosikan film-film independen Indonesia dan asing seperti JIFFEST, Kid Fest, JAFF, INAFF, Goelali adalah salah satu cara pemerintah banyak negara untuk meningkatkan industri film. Mendirikan badan dana film, atau lebih baik lagi, memberikan insentif pajak kepada investor swasta yang mendirikan ‘dana investasi film’. Hal-hal ini akan membuat banyak bakat Indonesia berkesempatan membuat film.
Ini bukanlah proyek sosial: negara-negara seperti Korea dan Jepang, yang banyak berinvestasi dalam industri film mereka, telah menunjukkan bahwa film, atau lebih luas lagi industri budaya, dapat menjadi sumber tenaga kerja, penghasilan dan ekspor. Dan negara-negara itu telah memberikan dukungan ekstensif untuk film, dana yang dengan mudah diperoleh kembali dari pajak penghasilan yang lebih tinggi dan penghasilan dari ekspor. Insan film Indonesia mampu bersaing. Bila pemerintah mau membantu dan bukannya menghambat, mereka akan lebih mampu lagi bersaing. Dengan atau tanpa Hollywood.
Artikel ini sebelumnya telah dipublikasikan dalam Bahasa Inggris dengan judul How To Really Help Indonesian Films di situs FI tanggal 23 Pebruari 2011.
Baca juga:
- Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (2011)
- Pajak Film Hollywood Membantu Film Nasional? (2011)
- Deddy Mizwar-Rudy Sanyoto: Meluruskan Masalah Film Impor (2011)
- Noorca Massardi: Film Nasional Mati Jika Bioskop Mati (2011)
- Dominasi Film Impor Dan Dilema Film Nasional (1991)
- Sepuluh Tuntutan Fiktif MPEAA Dan Nasionalisme (1991)