Artikel/Kajian Box Office vs Film Festival

Kajian Meiske Taurisia 29-04-2013

Mengawali tahun 2013, sejumlah film Indonesia terseleksi pada festival-festival film internasional yang terselenggara sepanjang tahun di berbagai penjuru dunia, antara lain Sundance Film Festival (awal Januari), Rotterdam International Film Festival (akhir Januari), Berlinale (Februari), Hong Kong International Film Festival (Maret), dll.

Beberapa film yang dimaksud adalah What They Don’t Talk About When They Talk About Love (Don't Talk Love) karya sutradara Mouly Surya (Cinesurya, 2013), Cita-Citaku Setinggi Tanah (Eugene Panji,Humanplus Production, 2012), Something in the Way(Teddy Soeriaatmadja, Karuna Pictures, 2013), Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya(Yosep Anggi Noen,Limaenam Films, 2012), On Mother’s Head (Putu Kusuma Widjaja, Sang Karsa Production, 2013), Rumah dan Musim Hujan (Ifa Isfansyah, Fourcolours Films, 2012), Soegija (Garin Nugroho,Puskat Pictures, 2012), dan Atambua 39°C (Riri Riza, Miles Films, 2012). 

Film Don’t Talk Love terseleksi di ajang kompetisi Sundance di Januari silam. Film yang sama juga meraih NETPAC Award pada International Film Festival  Rotterdam yang tahun ini menseleksi sejumlah film Indonesia lainnya di berbagai segmen. Pada segmen Bright Future, bisa ditemui karya sineas muda Indonesia selain Mouly Surya. Dua sineas lainnya adalah Yosep Anggi Noen dan Putu Kusuma Widjaja. Sementara di segmen Spectrum, penonton Rotterdam bisa melihat karya Ifa Isfansyah, Garin Nugroho dan Riri Riza.

Festival lain juga tak kalah gencar mendukung sineas Indonesia. Berlinale menyeleksi karya Eugene Panji sebagai bagian dari program Generation tahun ini. Tak kalah aktif, Hong Kong International Film Festival yang tahun ini memasuki usia 37 tahun, menyandingkan Mouly Surya dan Teddy Soeriaatmadja di ajang kompetisi.

Terseleksinya film-film sineas Indonesia di berbagai festival mancanegara bukanlah hal baru. Sejak produksi film kembali marak di awal 2000-an, bisa dikatakan partisipasi film Indonesia tak pernah putus di khasanah festival film internasional. Sebuah pencapaian, sekaligus kian mengukuhkan istilah film festival yang berarti ‘film untuk festival’. Istilah ini terus berkembang dan hinggap kepada pembuat film yang film-filmnya masuk ke festival, disebut sebagai ‘filmmaker festival’.

Peran Film: Budaya dan Ekonomi

Dalam pembuatan film, dikenal dua aksis utama yang secara umum disepakati sebagai patokan dalam menilai peran film. Aksis pertama adalah penilaian atas film sebagai salah satu ekspresi budaya manusia yang lahir dari hasil olah konteks isu, estetika maupun potret zaman yang memiliki makna atau nilai personal bagi sang pembuat film. Saat nilai personal dari pembuatnya diapresiasi oleh beberapa orang, kemudian berkembang menjadi jumlah yang cukup banyak hingga jumlah yang masif, maka film sebagai representasi nilai personal mengalami transformasi menjadi nilai massal. Maka muncul dua kutub representasi yang (seolah-olah) berseberangan yaitu nilai personal dan nilai massal.

Aksis kedua adalah memahami film berdasarkan metode penyebarannya atau distribusi, artinya film sebagai sebuah produk bernilai ekonomi. Penyebaran film melalui jaringan bioskop komersial memiliki ciri khas infrastruktur yang memadai dari sisi aksesibilitas, kegiatan promosi, dan kesinambungan memutar film. Walaupun penyebaran bioskop di Indonesia belum merata, infrastruktur yang memadai memungkinkan terbentuknya penonton tetap dengan jangkauan yang relatif besar, hingga mencapai angka Box Office.

Di sisi lain, film yang didistribusikan dengan metode perorangan oleh pembuatnya dan diputar di jaringan terbatas, disebut distribusi mandiri. Film-film ini mengandalkan jaringan komunitas film yang tersebar dan cenderung belum memiliki infrastruktur yang mantap. Oleh karena itu, jangkauannya terbatas sehingga jumlah penonton relatif kecil dan belum berkesinambungan.

Maka ada dua metode ekstrem dalam distribusi film yaitu distribusi mandiri dan distribusi jaringan bioskop. Film personal memiliki kecenderungan untuk disebarkan melalui metode distribusi mandiri. Sedangkan film-film massal didistribusikan melalui jaringan bioskop.

Ketertarikan Penonton terhadap Film

Secara umum ketertarikan penonton bisa dilihat melalui jumlah penontonnya. Mari kita lihat lebih lanjut jumlah penonton berdasarkan kedua jenis distribusi film.

Kategori distribusi jaringan bioskop, maka jumlah Box office film Indonesia (film panjang) kurun waktu 2008-2012 adalah:

  • 2008: Laskar Pelangi, jumlah penonton 4.606.785
  • 2009: Ketika Cinta Bertasbih, jumlah penonton 3.100.906
  • 2010: Sang Pencerah, jumlah penonton 1.206.000
  • 2011: Surat Kecil Untuk Tuhan, jumlah penonton 748.842
  • 2012: Habibie & Ainun, jumlah penonton 4.370.376

Jumlah Box Office dimungkinkan tidak hanya oleh karakter film Box Office yang (biasanya) mengolah nilai masal sehingga relatif mudah dipahami lapisan publik yang luas, tapi juga dimungkinkan oleh metode distribusi yang memadai infrastrukturnya. Karena itu penonton film Box Office dikategorikan sebagai penonton massal (mass audience).

Dapat kita disimpulkan bahwa film-film Box Office adalah film yang memiliki nilai ketertarikan massal, didistribusikan melalui jaringan bioskop, dan ditonton oleh penonton massal.

Kategori distribusi mandiri (film panjang) kurun waktu 2008-2012 adalah:

2008: Babi Buta Yang Ingin Terbang karya Edwin, jumlah penonton nasional diperkirakan 550 orang tersebar di 10 kota, tidak berbayar, berpartisipasi dalam 45 festival film internasional, dua festival film nasional, dengan lima penghargaan.

2010: Prison and Paradise karya Daniel Rudi, jumlah penonton nasional diperkirakan 2000 orang tersebar di 17 kota, tidak berbayar, berpartisipasi dalam 12 festival film internasional, dua festival film nasional, dengan dua penghargaan.

2012: Postcards from the Zoo karya Edwin, jumlah penonton nasional diperkirakan 1000 orang tersebar di 10 kota, berbayar, berpartisipasi dalam 21 festival film internasional dengan tiga penghargaan.

Penonton di kategori ini berjumlah terbatas, karena mengusung nilai personal pembuatnya, namun membuka ruang interpretasi berlapis kepada penontonnya. Karakter ini adalah ciri-ciri film personal. Meski berjumlah sedikit, mereka menjadi penopang penting bagi keberlangsungan penonton kritis, dilihat dari jumlah nya yang kritis (critical audience).

Dari sinilah berkembangnya istilah Film Festival sebagai film yang dipertunjukkan di festival film internasional, memiliki ciri nilai personal, ditonton oleh penonton kritis dan (biasanya) didistribusikan secara mandiri.

Festival Film

Festival film adalah fenomena yang pada awalnya timbul sebagai wadah bagi pemenuhan kebutuhan dialog antara pembuat film personal dengan penonton kritis. Dalam perkembangannya, festival film menjadi sebuah usaha untuk menyebarkan film personal ke publik. Karena jumlahnya yang kritis, baik jumlah film, jumlah pembuatnya  maupun jumlah penontonnya, maka diciptakan program kompetisi sebagai puncak perayaannya.

Ajang festival film kini berfungsi sebagai forum di kalangan pembuat film mancanegara, sekaligus ajang untuk menemukan berbagai inovasi dalam konteks film (contoh: pendekatan/gaya bercerita, cara penggunaan medium, dll), dan mempertemukan para pembuat film personal dengan penonton potensialnya. Selain itu, distributor akan mencari film dan menyebarkannya ke zona edar yang lebih meluas sekaligus menjalankan fungsi publikasi.

Khasanah festival film internasional, sebetulnya juga beroperasi sebagai ‘pasar’ yang berupaya merebut perhatian publik pecinta film. Yang perlu dipahami, festival-festival yang telah mapan itupun sesungguhnya saling bersaing untuk menjadi ‘yang pertama’, dalam arti ‘pertama kali mengorbitkan’ sutradara baru di ajang perfilman dunia.

Dari arena festival filmlah publik penonton dunia mengenal nama-nama sineas seperti Zhang Yimou, Pedro Almodovar, Park Chan Wok, Wong Kar Wai, atau Quentin Tarantino. Berbeda dengan strategi komunikasi dan marketing film-film Box Office yang diperuntukkan untuk jaringan bioskop komersial yang lebih menitik-beratkan pada aktor/aktris selaku ‘penjual’ untuk menarik minat penonton, fokus ‘penjual’ di ajang festival film tertuju pada para pembuat terutama sosok sutradara.

Sejalan dengan maraknya kemunculan festival film, maka kini festival film memiliki kategori seperti: Major, Mini-Major, City Festivals, Mom & Pop. Misalnya, kategori festival film kategori Major adalah Cannes, Venice, Berlinale, Toronto, Sundance, Rotterdam.

Tujuan dari kategorisasi festival film adalah menemukan dan menjaga nilai personal dari pembuat film, dan hasil karya film nya. Di ajang kompetisi pada festival film internasional, dimungkinkan adanya pertarungan antara pembuat film junior dan  senior. Di sinilah letak tantangan terbesar. Sejak tahap awal seleksi, film akan bersaing dengan film-film dari mancanegara, hingga saat berpartisipasi dalam program kompetisi. Kepiawaian pembuat film diadu, dalam mengolah gagasan dan inovasi dalam konteks film.

Kesimpulan

Kembali ke judul artikel ini, Box Office vs Film Festival. Adalah tidak relevan untuk membandingkan film dan penonton dari kedua kategori ini. Film Box Office dan Film Festival sebenarnya memiliki hubungan saling melengkapi (complementary). Film Box Office menjawab kebutuhan penonton akan tontonan massal, sedangkan Film Festival menjawab kebutuhan penonton akan tontonan personal.

Gabungan penonton massal dan penonton kritis disebut sebagai publik: penonton film. Merekalah target market para pembuat film. Sangat memungkinkan untuk seorang pembuat film untuk berusaha menjawab kedua capaian tersebut bersamaan, walaupun belum tentu memberikan hasil yang maksimal di salah satunya. Akan tetapi yang perlu dicatat adalah esensi bahwa belum tentu film yang berhasil di festival akan mencapai jumlah Box Office. Sama seperti belum tentu film Box Office akan berhasil di ajang festival film internasional.

Film personal merupakan hasil eksplorasi, eksperimentasi dari pengalaman personal pembuatnya, yang diolah sedemikain rupa sehingga menjadi sebuah ekspresi budaya. Inovasi yang dicapai dalam film personal, melalui proses simplifikasi tertentu, menjadi sumber inspirasi film bernilai massal. Proses reinterpretasi yang terus berlanjut, dan pergeseran nilai-nilai inilah yang menimbulkan keragaman film. Mudahnya, film personal selain berfungsi sebagai produk budaya, juga berfungsi sebagai semacam ‘litbang’ untuk film massal.

Merujuk pada tabel Peran dan Posisi Film, maka tidak ada pengkotak-kotakan karya film, melainkan determinasi menonton (apresiasi) dan area berkarya dalam membuat film. Film personal selayaknya menginspirasi variasi produk film masal. Film massal seyogyanya tidak berhenti melakukan terobosan hingga mencapai nilai Box Office. Memahami makna Box Office dan Film Festival adalah mencermati dinamika ketertarikan film dan konsekuensi infrastrukturnya.

Untuk itu, perlu dibangun suatu sistem pendukung penyetaraan pencapaian dari kedua aksis tersebut, Box Office maupun Film Festival. Dinamika yang sehat antara dua aksis ini akan membantu terbentuknya keragaman film dan pembuatnya, serta menumbuhkembangkan keragaman ketertarikan penonton yang memahami kebutuhannya. Publik memiliki pilihan keragaman tematik, dalam memilih film sesuai pemenuhan kebutuhan budayanya. Peran aktif Negara, pekerja film, penonton, maupun pemangku kepentingan lainnya, menjadi penting dalam memikirkan sistem pendukung ini agar keberlangsungan keragaman produksi film memenuhi aspek pemenuhan kebutuhan budaya yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan publik.