Di atas kertas, 2011 adalah tahun yang buruk bagi sinema Indonesia. Jumlah penonton menurun. Apabila tahun sebelumnya film Indonesia ditonton sekitar 16 juta orang, tahun ini sekitar 14 juta orang saja. Fakta yang mengkhawatirkan, apalagi kalau mengingat film Indonesia pernah meraup 30 juta penonton lebih di tahun 2009 dan 2008. Padahal, jumlah film yang beredar tidak berbeda jauh tiap tahunnya: 88 film pada tahun 2008, 80 film pada tahun 2009, 82 film pada tahun 2010, dan 84 pada tahun 2011. Berarti, tahun ini, rata-rata penonton per film adalah 176 ribu. Bandingkan dengan rata-rata tahun lalu: 195 ribu orang per film. Pertanyaannya: mengapa jumlah penonton menurun terus, dan bagaimana bisa tahun ini hanya lima persen penduduk yang menonton film nasional?
Usaha untuk menjawab pertanyaan di atas berujung pada sejumlah catatan, renungan, dan harapan. Acuannya adalah data penonton yang dikumpulkan tim FI selama ini, serta analisa atas perkembangan-perkembangan yang terjadi di perfilman nasional sepanjang 2011.
Distribusi Film
Catatan pertama berkisah tentang kelesuan perbioskopan nasional tahun ini. Pemantiknya adalah kasus pajak impor film, yang bermula sejak bulan Januari, namun baru terasa dampaknya dari awal Maret hingga akhir Juli. Sepanjang periode tersebut, Motion Pictures Association of America (MPA) memboikot Indonesia. Film-film blockbuster, macam Harry Potter and the Deathly Hallows Part Two dan Transformers 3: The Dark of the Moon, tidak bisa masuk ke jaringan distribusi nasional.
Di samping protes serta kekecewaan yang tertumpah ruah di dunia maya, masyarakat merespons kasus tersebut dengan eksodus sementara ke negeri-negeri tetangga, terutama Singapura dan Malaysia. Dari sini, tergariskan dua hal. Pertama: film Hollywood masih menjadi faktor yang menarik massa ke bioskop. Kedua: hajat hidup film Indonesia suka tidak suka bergantung pada film impor, terutama film keluaran MPA, karena film-film impor independen secara selintasan kelihatan tidak lebih baik dari film nasional dalam menjala penonton. Harus dikatakan secara selintasan, karena tidak tersedianya data penonton untuk film impor independen ini.
Untuk film-film MPA, mulai akhir Oktober lalu situs Mojo mulai menyediakan data pendapatan kotornya, sebagaimana umumnya diberitakan oleh situs, koran, maupun majalah bisnis perfilman. Kesulitannya untuk Indonesia dengan ketaktersediaan data-data demikian, sementara FI hanya bisa memperoleh data jumlah penonton, adalah saat harus melakukan perbandingan. Karena itu, dengan sedikit nekat data-data pendapatan kotor khusus Indonesia dari Mojo dicoba "dikonversikan" ke jumlah tiket/penonton dengan mengambil "rata-rata" harga tiket.
Seperti diketahui, harga tiket bioskop di Indonesia (21 dan Blitz) berkisar antara Rp 20.000–Rp 100.000. Diketahui juga, bahwa Kelompok 21 sekarang ini "membagi" bioskopnya dalam tiga tingkatan: 21, XXI, dan Premier. Perbedaan "kelas" itu menunjukkan perbedaan harga tiket sebagai berikut:
21: Rp 20–Rp 25.000
XXI: Rp 25.000/30.000-Rp 35.000/50.000
Premier: Rp 50.000-Rp 100.000
Perbandingannya: jumlah XXI dan Premier terdiri dari 248 layar alias hampir sepertiga dari seluruh jumlah layar (592). Dengan memperhitungkan juga kebijakan "nonton hemat" dari Senin sampai Kamis, maka "dengan nekat" diambil rata-rata harga tiket untuk film impor adalah Rp 30.000. Data-data penonton yang dipakai dalam tulisan ini adalah hasil "pengkonversian" pendapatan kotor dibagi rata-rata harga tiket yang Rp 30.000 itu.
Hasil pengkonversian itu menunjukkan bahwa penonton film MPA tahun ini tidak terlalu cemerlang. Rata-rata berpuncak di kisaran 700 sampai 900 ribu penonton. Ambil contoh Fast Five. Dalam dua belas minggu peredaran di bioskop, film tersebut sukses meraup lebih dari 930 ribu penonton (Rp 27.906.432.017). Tidak jauh di bawahnya ada Final Destination 5 dengan 851 ribu lebih penonton (atau Rp 25.542.458.705 untuk 13 minggu pemutaran), Johnny English Reborn 741 ribu lebih penonton (Rp 22.250.361.807 untuk tujuh minggu pemutaran), dan Real Steel 651 ribu lebih penonton (Rp 19.554.382.588 untuk delapan minggu pemutaran). Perhatikan juga lama masa tayang film-film itu yang berkisar dua sampai tiga bulan atau lebih.
Bandingkan dengan lima besar film Indonesia tahun ini. Di puncak ada Surat Kecil untuk Tuhandengan 748 ribu penonton. Tidak jauh di bawahnya ada Arwah Goyang Karawangdengan 727 ribu penonton, Poconggg Juga Pocong: 575 ribu penonton (masih beredar), Get Married 3: 563 ribu penonton, dan Tanda Tanya: 552 ribu penonton. Masih di bawah jumlah penonton film impor, namun tidak dengan selisih yang besar.
Hal tersebut bisa terjadi karena pola pembangunan bioskop sekarang, yang umumnya berprinsip "satu mall satu bioskop", memposisikan penonton film Indonesia di kantong yang sama dengan penonton film impor: kelas menengah-ke-atas. Apabila film impor masih menjadi magnet agar penonton ke bioskop, maka prosedur yang mendahului ketersediaan film-film tersebut haruslah diurus dengan benar, baik oleh para importir film maupun pemerintah. Padahal, kasus pajak yang diributkan di awal tahun, sampai sekarang belum jelas penyelesaiannya.
Ketersediaan film impor di bioskop barulah satu hal. Hal lain yang patut disorot adalah bagaimana pelaku bioskop memperlakukan film Indonesia terkait dengan keberadaan film impor. Pada titik inilah, apa yang baik bagi film impor belum tentu baik juga untuk film Indonesia. Ingat, keduanya memperebutkan penonton dari kantong yang sama. Terhadap keduanya, pihak 21 tidak membuka akses data penonton ke khalayak luas. Kritik harus dilayangkan pada dua pihak: sebagian ke 21, sebagian lainnya ke pemerintah.
Belum terlihat adanya usaha penertiban hukum (law enforcement)dari pemerintah terkait dengan ketersediaan data penonton atau data pendapatan kotor di ranah publik. Padahal, tertulis jelas dalam pasal 33 Undang-Undang Perfilman tahun 2009 bahwa pelaku usaha pertunjukan film "wajib memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan." Ayat kedua secara eksplisit menjelaskan hak masyarakat atas data penonton: "Menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang dipertunjukkan di bioskop."
Kesulitan mengakses data penonton menghadirkan sejumlah konsekuensi. Jumlah total penonton bioskop setiap tahunnya adalah perkiraan. Itupun dilakukan secara independen dari sumber data alternatif. Pemetaan yang mendetail terhadap siapa saja dan bagaimana pola konsumsi penonton bioskop di Indonesia juga jadi sulit untuk dilakukan. Sejumlah pertanyaan pun muncul. Bagaimana publik bisa mengetahui bioskop untung atau rugi kalau naik-turun jumlah penonton bioskop tidak dibuka luas? Bagaimana kemudian pemerintah bisa meyakinkan calon investor kalau bioskop adalah bisnis yang potensial? Bagaimana para penggiat film membuat terobosan untuk perfilman nasional kalau gambaran tentang penonton masih kabur?
Dengan tidak dibukanya data penonton, penggiat sinema Indonesia kehilangan informasi vital terkait hajat hidupnya. Keterlibatan publik dalam mengamati (dan mengawasi) kegiatan pelaku bisnis bioskop pun jadi terbatas. Apabila masa edar suatu film ditentukan dari hold over figure (jumlah minimum penonton), berarti harus ada keterbukaan pada publik perihal data penonton. Bioskop tidak pernah mempublikasikan informasi tersebut. Bioskop juga tidak pernah mengumumkan maupun menjelaskan berapa hold over figure yang berlaku secara tertulis, hingga bisa jadi pegangan siapapun. Alhasil, bioskop punya kebebasan yang tak terkontrol dalam menjalankan operasi bisnisnya.
Satu contoh kasus terjadi bulan Juli silam. Di awal bulan, tepatnya 7 Juli, Surat Kecil Untuk Tuhan (SKUT) rilis di 59 layar. Dua hari kemudian, SKUT naikke 73 layar dan bertahan dengan rata-rata 65 layar sampai tanggal 3 Agustus. Jumlah penonton sampai pada tanggal tersebut: 687 ribu orang. Berarti, setiap layar bisa meraup sekitar 400 penonton, atau sekitar 100 penonton setiap pemutaran (satu layar dipakai untuk empat kali pemutaran). Prestasi yang menggembirakan sebenarnya, mengingat pada tanggal 28 Juli Harry Potter masuk bioskop. SKUT terbukti masih mampu meraup penonton. Sayangnya, minggu berikutnya Transformers 3: Dark of the Moon masuk bioskop. Jumlah layar SKUT langsung turun dari 64 ke 30.
Dengan tidak adanya kejelasan perihal hold over figure, dugaan yang bisa diajukan adalah pihak 21 menggusur SKUT demi memberi ruang untuk Transformers. Apalagi seminggu sebelumnya, ada Harry Potter yang di hari pertamanya beredar di 353 layar sekaligus. Jumlah seluruh layar di Indonesia: 676. Berarti, Harry Potter mengisi 52% jumlah layar, sementara SKUT sekitar 10%. Dari persentase layar SKUT yang tidak seberapa itu, pihak 21 mengambil setengahnya untuk memberi ruang bagi Transformers, yang di hari pertamanya mengisi 130 layar. Tanpa adanya ketentuan tertulis dan keterbukaan data, mudah saja orang curiga: 21 berpihak pada siapa?
Keragaman Konten
Karut-marut permainan layar bioskop jelas merugikan sinema Indonesia. Kesempatan penonton untuk mengapresiasi perkembangan film nasional jadi terpangkas. Tahun ini, dari 84 film nasional yang beredar di bioskop, setiap film rata-rata beredar di bioskop selama dua minggu dan menggaet 176 ribu penonton. Bukan jumlah yang ideal, mengingat jumlah penduduk negeri ini 200 juta lebih. Pertimbangkan juga persebaran bioskop di Indonesia yang belum merata. Lebih dari separuh layar bioskop terpusat di wilayah Jabodetabek. Sisanya tersebar di tiga puluh kota lainnya.
Timpangnya peredaran bioskop dan pendeknya masa edar menjadikan ada perbedaan pemahaman perihal sinema nasional tahun ini, antara apa yang sudah dihasilkan para pembuat film dengan apa yang diterima penonton. Konsensus yang beredar di masyarakat (dan media) pada umumnya: sinema Indonesia masih didominasi oleh film-film horor dan komedi cabul. Kenyataannya tidak begitu, setidaknya dalam segi konten. Ada keragaman tersendiri dalam film-film Indonesia tahun ini. Mari lihat angkanya. Dari 84 film yang beredar tahun ini, ada 35 drama, 13 komedi, 12 horor-komedi, 10 horor, 8 laga, 3 thriller, 2 musikal, dan 1 dokumenter. Bandingkan dengan tahun 2010: 28 drama, 20 komedi, 19 horor, 3 horor-komedi, 3 musikal, 2 thriller, dan 1 fantasi. Bandingkan juga dengan tahun 2009: 26 komedi, 22 drama, 22 horor, 4 horor-komedi, 3 laga, 1 fantasi, 1 animasi, dan 1 musikal.
Apabila masuk ke dalam masing-masing genre, ada keragaman dalam tema yang diangkat para pembuat film. Khusus untuk film komedi, tema-tema "dewasa" tidak terlalu dominan tahun ini. Tahun lalu, hampir separuh dari film komedi Indonesia bertema semacam itu. Lihat saja judul-judul filmnya yang "gamblang" dan "menantang": Ngebut Kawin, Lihat Boleh Pegang Jangan, Sssstt... Jadikan Aku Simpanan, dan Susah Jaga Keperawanan di Jakarta. Tahun ini, hanya dua: Mati Muda di Pelukan Janda dan Perempuan-Perempuan Liar. Sisanya, ada beberapa komedi unik, macam Kentutdan Get Married 3, yang menarasikan (sembari memparodikan) budaya dan politik sehari-hari masyarakat kita.
Film drama juga punya perkembangan yang menarik untuk diikuti. Ada semacam tren di kalangan pembuat film untuk bergerak keluar dari Jakarta, dan mengangkat cerita dari daerah-daerah yang selama ini hampir tak terekspos. Singkatnya, eksplorasi lokalitas. Satu yang cukup menonjol adalah The Mirror Never Lies, karya Kamila Andini, yang berkisah tentang seorang anak perempuan dan ibunya di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Inisiatif serupa lainnya (dengan pendekatan dan taraf kesuksesannya sendiri-sendiri) adalah Batas(Kalimantan Barat), Serdadu Kumbang(Nusa Tenggara Barat), Badai Di Ujung Negeri(sebuah pulau di Laut Cina Selatan),Lost in Papua(pedalaman Papua), dan Pengejar Angin(Sumatera Selatan).
Eksplorasi lokalitas bisa menjadi potensi untuk dikembangkan lebih lagi di masa depan. Sederhana saja: Indonesia tidak terdiri dari Jakarta dan kota-kota besar semata. Mari lihat kembali The Mirror Never Lies.Film tersebut membawa penontonnya ke pada perspektif Indonesia sebagai bangsa maritim, sebuah perspektif yang jarang sekali ditemukan dalam film Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, dengan pemahaman film sebagai media massa, tren eksplorasi lokalitas ini bisa menjadi kesempatan bagi penonton Indonesia untuk mengenal negerinya lebih lagi. Negeri ini kaya akan cerita. Jangan sampai penonton kita terasing dari cerita-cerita bangsa sendiri.
Kalau memang tren eksplorasi lokalitas ini ingin bertahan, dalam arti pembuat film mengangkat cerita-cerita lokal kepada khalayak luas, berarti harus ada pemetaan yang jelas perihal daya serap penonton tahun ini. Barulah kemudian bisa diperkirakan film jenis apa yang banyak menyerap penonton dan mana yang tidak. Menurut kalkulasi, seperti tahun sebelumnya, drama menjadi penyumbang penonton terbesar tahun ini: sekitar 45% dari total 14 juta penonton. Kalau dihitung rata-rata penonton per genre, horor-komedi dan horor yang paling cemerlang prestasinya. Tahun ini, setiap film horor-komedi menyedot 251 ribu penonton, sementara horor rata-rata menarik 241 ribu penonton per film. Sebagai bandingan, drama punya rata-rata 177 ribu penonton per film, sementara komedi 168 ribu per film.
Dengan jumlah film yang lebih banyak, film drama dan komedi memiliki rata-rata penonton yang lebih rendah dibanding film horor dan horor-komedi. Tahun ini ada 38 film drama dan 13 film komedi yang dirilis di bioskop-bioskop Indonesia. Bandingkan dengan 12 film horor-komedi dan 10 film horor. Kesimpulan yang bisa diambil dari sini: film horor dan horor-komedi adalah dua jenis film yang paling mudah dipasarkan di Indonesia. Berarti juga referensi penonton mayoritas penonton Indonesia masihlah sangat terbatas, alias belum terlalu siap menerima keragaman konten yang sejatinya sedang berkembang di perfilman nasional.
Penonton
Pada titik inilah, isu pendidikan penonton menjadi genting. Ketiadaan sarana ekshibisi alternatif menjadikan referensi mayoritas penonton Indonesia terbatas pada apa yang jaringan bioskop sajikan. Ketiadaan yang sama menjadikan dikotomi antara "film mainstream" dan "film festival" menjadi besar. Di sisi lain, belum semua kota di Indonesia memiliki festival filmnya sendiri. Selama ini, festival film menjadi harapan masyarakat untuk mencari tontonan alternatif. Rata-rata penontonnya juga tidak mengecewakan. Menurut sumber FI, Jakarta International Film Festival (JIFFest) dalam dua belas kali penyelenggarannya rata-rata menyedot 15 ribu penonton per festival. Sementara itu, Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) tahun ini meraih sekitar empat ribu penonton dalam seminggu penyelenggarannya.
Masalahnya: belum ada struktur legal-formal yang memungkinkan adanya aliran dana yang konstan dari pemerintah ke festival-festival film di Indonesia. Alhasil, penyelenggaraan festival film tidak saja belum tersebar di seluruh Indonesia, tapi juga tidak punya jaminan bisa bertahan untuk seterusnya. Sementara itu, bioskop alternatif di Indonesia masih terlampau sedikit jumlahnya. Keberadaannya juga masih sangat sporadis untuk menciptakan kantong penonton tersendiri.
Ketiadaan sarana ekshibisi alternatif ini sebenarnya bisa menjadi peluang tersendiri untuk pihak bioskop. Sebagai pemilik sarana pemutaran terluas di Indonesia, dengan fasilitas yang baik pula, bioskop bisa menyediakan beberapa layar dengan ruang paling kecil di kompleksnya (tidak saja di ibu kota, tapi juga di daerah-daerah) untuk pemutaran yang terprogram baik untuk apresiasi. Film yang diputar adalah film-film yang biasa ditemukan di berbagai festival film di Indonesia misalnya. Atau film-film impor yang selama ini "teronggok" di gudang, karena "terpaksa" dibeli dan dianggap tidak akan menghasilkan uang. Contohnya sudah ada: pemutaran Tree of Life di 21 (Agustus-September) atau Drive di Blitz (Desember). Namun, karena pemutaran film itu tidak "diprogram" dengan baik, dan tidak dalam kerangka program yang terencana, apalagi hanya untuk memenuhi jadwal pemutaran yang rutin, maka film-film itu jadi kurang "berbunyi". Padahal, kalau saja ada inisiatif bioskop untuk melakukan "apresiasi" ini, maka akan hadir kebutuhan tenaga programmer. Suatu kebutuhan yang rasanya bisa dipenuhi, mengingat ada banyak orang di Indonesia yang berpengalaman perihal pemutaran alternatif.
Rasanya keuntungan yang diraih jaringan bioskop selama ini sudah cukup besar (coba saja angka pendapatan kotor di atas dikurangi 20 persen, lalu dibagi dua, maka akan diperoleh angka pendapatan bioskop). Keuntungan itu tidak akan terpotong banyak walau beberapa layar "dikorbankan" untuk pemutaran terprogram.
Lagi pula, dengan memberikan pilihan dalam sajiannya, bioskop juga yang untung. Citra mereka sebagai kapitalis bioskop bisa berkembang menjadi kapitalis bioskop yang manusiawi dan mencerahkan. Bukan sekadar pengusaha bioskop, tapi juga pengusaha bioskop yang turut memajukan penonton Indonesia. Dengan begitu, bioskop bisa melebarkan kantong penontonnya selama ini, yang tentunya dalam jangka panjang bisa berkontribusi terhadap peningkatan penjualan tiket, tanpa takut lagi memutar film-film yang sungguh-sungguh bermutu, bukan lagi sekadar film-film yang sudah pasti komersial. Di hadapan penonton yang kian tercerahkan, pembuat film Indonesia akan tertantang untuk semakin mengembangkan konten serta penuturannya. Sama-sama untung, bukan?