Sampai dengan pertengahan tahun ini, terdapat kabar baik dan buruk terkait industri film Indonesia. Jika kita bandingkan dengan data jumlah film setengah tahun yang beredar pada rentang waktu 2011 s/d 2014, jumlah film yang beredar hingga tengah tahun 2014 merupakan yang terbanyak sejak empat tahun terakhir. Pada pertengahan tahun 2011, film yang beredar hingga bulan Juni hanya 43 film. Jumlah tersebut bertambah dua film pada pertengahan tahun 2012: 45 film. Pada tahun 2013, Jumlah film setengah tahun melonjak tujuh film dengan total 52 film. Hingga Juni 2014, jumlah film yang telah beredar berjumlah 53 film atau bertambah satu film dibandingkan tahun sebelumnya. Apabila kita melihat perkembangan industri film di Indonesia berdasarkan kuantitas film yang diproduksi, ini merupakan kabar baik.
Bertambahnya jumlah film juga diiringi dengan pertambahan perolehan penonton yang cukup signifikan dibandingkan perolehan penonton setengah tahun 2013. Sampai dengan Juni 2014, perolehan penonton film Indonesia mencapai 7.356.830 penonton. Angka ini bertambah sekitar dua juta penonton dibandingkan perolehan penonton setengah tahun 2013: 5.466.030 penonton. Akan tetapi, jumlah penonton sekitar 7,5 juta ini masih lebih sedikit dibandingkan jumlah penonton setengah tahun 2012 dengan total 7.725.690 penonton. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, jumlah penonton setengah tahun ini juga masih berselisih jauh dengan jumlah penonton setengah tahun 2011: 8.093.028 penonton.
Dari data-data di atas, dapat dihitung rata-rata perolehan penonton dengan cara membagi jumlah penonton dengan jumlah film yang beredar. Pada tengah tahun 2014, rata-rata jumlah penontonnya 142.204 orang. Rata-rata ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 105.115 orang. Meskipun begitu, setengah tahun tahun 2011 dan 2012 masih jauh lebih banyak dengan rata-rata 188.209 penonton pada 2011 dan 171.682 penonton pada 2012.
Meski tren menurunnya jumlah penonton terus terjadi dalam empat tahun terakhir, kenaikan jumlah penonton dan rata-rata jumlah penonton setengah tahun ini dibandingkan setengah tahun sebelumnya boleh lah menjadi kabar baik juga bagi para pembuat film Indonesia. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa perhitungan jumlah dan rata-rata perolehan penonton setengah tahun di atas masih merupakan hitungan kasar. Karena realitanya, sering terjadi ketimpangan perolehan jumlah penonton antarfilm Indonesia. Ada sedikit film yang memperoleh 500 ribu ke atas dan ada banyak film Indonesia yang memperoleh jumlah penonton 10 – 100 ribu penonton. Istilah statistiknya, standar deviasinya cukup tinggi.
Persebaran Film dan Jumlah Penonton
Setengah tahun ini juga diwarnai dengan menurunnya jumlah film drama yang diproduksi dibandingkan setengah tahun lalu. Jika pada pertengahan tahun 2013 tercatat 26 film drama yang beredar, maka pada pertengahan tahun 2014, jumlah film drama menurun menjadi 19 film saja. Meskipun begitu, film drama masih mendominasi perfilman Indonesia hingga tengah tahun terakhir. Film horor justru bertambah banyak. Jika pada setengah tahun 2013 terdapat delapan film horor, maka pada setengah tahun 2014 jumlah film horor meningkat menjadi 12 film. Di luar kedua genre tersebut, relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Meskipun film drama mendominasi layar film Indonesia selama setengah tahun terakhir, film komedi justru mendapatkan perolehan penonton tertinggi. Dari 7.356.830 penonton sampai dengan Juni 2014, film dengan genre komedi memperoleh 2.437.982 penonton atau setara dengan 33,13 persen dari keseluruhan perolehan penonton nasional sepanjang Januari – Juni 2014. Pergeseran jumlah penonton terbanyak dari drama menjadi komedi jangan buru-buru dimaknai bahwa selera penonton telah berubah. Karena, perlu menjadi catatan khusus, Comic 8 dan Marmut Merah Jambu menjadi penyumbang penonton terbanyak untuk film komedi selama setengah tahun terakhir. Comic 8 memperoleh sekitar 1,5 juta penonton sedangkan Marmut Merah Jambu memperoleh sekitar 600 ribu penonton. Selain kedua film tersebut, lima film bergenre komedi sisanya hanya berhasil mendatangkan sekitar 10.000 s/d 50.000 penonton.
Bioskop, Jam Tayang, dan Harga Tiket
Dalam kurun waktu enam bulan terakhir, bioskop di Indonesia bertambah 13 bioskop dan 63 layar. Rinciannya : lima bioskop di Bekasi, dua bioskop di Surakarta dan Tangerang, dan masing-masing bertambah satu bioskop di Bogor, Gorontalo, Medan, Batam dan Ujung Pandang. Sedangkan, Jakarta mengalami pengurangan dua bioskop dari yang sebelumnya berjumlah 60 bioskop menjadi 58 bioskop. Hal ini terjadi karena tutupnya bioskop Premiere Senayan City dan Semanggi milik Grup 21. Gorontalo XXI menjadi catatan khusus karena ini adalah bioskop pertama yang ada di Gorontalo yang resmi dibuka pada bulan Mei 2014. Secara keseluruhan, Jumlah bioskop dan layar di Indonesia sampai dengan Juni 2014 adalah 208 bioskop dengan 900 layar.
Kabar baiknya, Jumlah bioskop di Indonesia nampaknya masih akan terus bertambah. Selain Grup 21, Blitzmegaplex juga berencana menambah bioskop. Dikutip dari indonesiafilm.net, Grup Blitzmegaplex telah menyiapkan dana Rp 196 milyar untuk membangun tujuh bioskop baru dengan total 49 layar. Pembangunan bioskop baru ini dimulai dengan menambah tiga bioskop yang rencananya akan hadir di Bandung dan Yogyakarta pada tahun ini.
Cinemaxx yang dimiliki Lippo Group juga terus bersiap-siap untuk hadir sebagai pemain baru dalam pasar pertunjukan film di Indonesia. Dikutip dari filmjournal.com, Cinemaxx sedang mempersiapkan 100 layar dengan teknologi Dolby Atmos dalam kurun waktu tiga tahun mendatang. Dari 100 layar Cinemaxx tersebut, 30 diantaranya akan hadir terlebih dahulu dan direncanakan meluncur pada akhir Mei 2015. Jaringan bioskop baru ini bahkan sudah menargetkan memiliki 1000 layar Cinemaxx dalam beberapa tahun mendatang sebagaimana yang tercantum dalam website resmi mereka cinemaxxtheater.com. Tentu saja, kehadiran pemain baru ini akan memberikan warna baru dalam industri perfilman tanah air.
Bertambahnya jumlah bioskop ternyata juga diiringi dengan kenaikan harga tiket bioskop di Indonesia dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Pada Akhir Desember 2013, rata-rata harga tiket Grup 21 berkisar pada Rp 42.130,-. Kemudian, pada akhir Juni 2014, rata-rata harga tiket naik sebesar Rp 1.925 atau 4,37 persen menjadi Rp 44.055,-. Grup Blitzmegaplex juga mengalami kenaikan. Pada bulan Desember 2013, rata-rata harga tiket Grup Blitzmegaplex berkisar pada Rp 29.762,-. Kemudian pada Juni 2014 rata-rata harga tiket naik sebesar Rp 881,- atau setara dengan 2,88 persen menjadi Rp 30.643,-. Kenaikan harga tiket ini secara tidak langsung merupakan kabar buruk bagi para pembuat film. Karena hal ini akan menutup kesempatan calon penonton untuk mendapatkan hiburan tontonan film, terutama pada kelas menengah ke bawah. Itu berarti, pembuat film secara tidak langsung kehilangan potensi penonton film mereka.
Apabila diamati, kenaikan harga tiket ini sebenarnya terjadi secara bertahap. Ambil contoh kasus pada Grup 21 sebagai pemilik dominan bioskop nasional. Pada bulan Februari 2014, rata-rata harga tiket pada grup 21 berkisar pada Rp 42.186,-. Kemudian pada bulan Mei 2014, rata-rata harga tiket naik Rp 1.418,- atau mengalami kenaikan 3,25 persen sehingga berada pada kisaran Rp 43.604,-. Pada bulan Mei 2014 hingga Juni 2014, terjadi kenaikan rata-rata harga tiket pada Grup 21 sebesar Rp 451,- atau naik 1,02 persen menjadi 44.055,-. Setelah ditelusuri, kenaikan rata-rata harga tiket yang tak mencapai biaya parkir ini ternyata disebabkan oleh kenaikan harga tiket di 25 Bioskop. Berdasarkan data yang dihimpun filmindonesia.or.id, kenaikan harga tiket berkisar Rp 5.000,- s/d Rp 10.000,-. Kenaikan harga tiket ini beragam, ada yang mengalami kenaikan pada hari pertunjukan Senin-Kamis, Jumat maupun akhir pekan/Libur. Selain kenaikan, dalam satu bulan terakhir Grup 21 juga mengalami penurunan harga tiket, khususnya tiket Premiere. Penurunan ini terjadi di Premiere Ciwalk (Bandung) dan Premiere The Park (Surakarta). Selain Grup 21, Blitzmegaplex juga mengalami penyesuaian harga tiket.
Pihak Grup 21 telah mengkonfirmasi penyesuaian harga tiket ini kepada redaksi filmindonesia.or.id. Cathrine Keng, Corporate Secretary Grup 21, menjelaskan bahwa penyesuaian harga tiket, baik kenaikan maupun penurunan, memang sering dilakukan. Hal ini karena biaya operasional setiap bioskop cukup besar. Tetapi karena jumlah bioskop Grup 21 cukup banyak maka dilakukan kebijakan subsidi silang melalui penyesuaian harga tiket bioskop. Pertimbangan dalam melakukan penyesuaian harga tiket ini adalah dengan melihat kondisi pasar di lokasi bioskop dan biaya operasional.
Tata edar
Terkait tentang tata edar film, Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya dan Direktorat Pengembangan Industri Perfilman sedang menyusun Peraturan Menteri tentang Tata Edar dan Pertunjukan Film. Dikutip dari indonesiafilm.net, Peraturan Menteri ini merupakan bentuk tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang No.33 tahun 2009 tentang perfilman. Pada tanggal 29 Juni 2014, Tim Kecil Direktorat Pengembangan Industri Perfilman bersama Biro Hukum Kementerian Parekraf telah menyelesaikan final rancangan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tentang Tata Edar dan Pertunjukan Film. Rancangan Peraturan Menteri Tersebut berisikan butir-butir yang mencakup Kewajiban dan Hak Pelaku Usaha, Pertunjukan Film, Pengedaran Film, dan Pengawasan. Di antara butir-butir tersebut, terdapat dua butir utama yang mengatur terkait peredaran film Indonesia yang patut digarisbawahi, yaitu:
- Untuk keperluan pertunjukan film di bioskop, perlakuan yang adil wajib diberikan oleh pelaku usaha pertunjukan film kepada semua pelaku usaha pengedaran film yang mengedarkan filmnya secara serentak atau bertahap sesuai dengan pola pertunjukan film yang dipilih, dengan mengutamakan film Indonesia
- Pelaku usaha pertunjukan film berhak menyeleksi judul film yang akan dipertunjukkan berdasarkan ketersediaan layar, waktu, dan kriteria yang jelas serta berlaku umum dengan tujuan untuk meningkatkan minat menonton masyarakat dan pengutamaan film Indonesia
Apabila dikritisi lebih lanjut, butir-butir dalam rancangan final Peraturan Menteri ini malah tidak menyinggung sama sekali terkait kuota minimal 60 persen jam pertunjukan. Padahal hal tersebut jelas tercantum dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2009 Perfilman Pasal 32 yang berbunyi:
“Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut.”
Rancangan final Peraturan Menteri tersebut hanya mencantumkan istilah “perlakuan yang adil” dan “mengutamakan film Indonesia” sebagai bentuk keberpihakan terhadap film Indonesia tanpa menyediakan indikator pengukurnya.
Praktek yang berlaku selama ini bisa dibandingkan dengan apa yang tersurat dalam undang-undang itu. Sepanjang Januari – Juni 2014, jatah jam pertunjukan film Indonesia di jaringan bioskop nasional masih belum mencapai kuota minimal 60 persen.
Jika kita melihat Grup 21, dari 662.400 jam pertunjukan yang dimilikinya selama enam bulan terakhir, 53 film Indonesia yang beredar pada rentang waktu yang sama mendapatkan jatah 202.703 jam pertunjukan. Itu berarti film Indonesia baru mengisi 31 persen dari total jam pertunjukan film yang dimiliki Grup 21. Grup Blitzmegaplex jauh lebih buruk. Dari 77.400 Jam pertunjukan yang dimilikinya selama enam bulan terakhir, Blitzmegaplex menyediakan jatah 11.921 jam pertunjukan untuk film Indonesia atau setara dengan 15 persen dari keseluruhan jam pertunjukan yang dimilikinya. Begitu pula yang terjadi dengan jaringan-jaringan bioskop kecil yang diberi kategori sebagai bioskop independen. Apabila dihimpun, dari 70.200 jam pertunjukan yang dimilikinya, Bioskop Independen memberikan 13.748 jam pertunjukan untuk film Indonesia atau setara dengan 20 persen dari keseluruhan jam pertunjukan yang ada.
Nampaknya, ketidakadilan jam pertunjukan film Indonesia ini masih menjadi kabar buruk bagi industri perfilman tanah air.
REFERENSI
Blitz rencanakan bangun tujuh bioskop (Harian Ekonomi Neraca, 11 April 2014)
Catatan editor 2023, Cinemaxx sudah berganti menjadi Cinepolis per Desember 2019. Cinemaxx berganti nama menjadi Cinepolis (Antara, 4 Desember 2019)