Artikel/Kajian Dari "Naga" Deddy Mizwar Hingga "Monyet" Djenar

Kajian 13-05-2008

Oleh Arya Gunawan

Persoalan estetika film Indonesia tahun 2007 ini secara umum tak begitu banyak beranjak dari tahun-tahun sebelumnya di sepanjang era reformasi yang telah berlangsung hampir satu dasawarsa ini. Dari segi jumlah judul maupun jumlah penonton, telah terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, sedikit-banyak didorong oleh perkembangan di bidang teknologi yang  kian mudah dan murah diperoleh. Namun, sebagaimana yang lazim terjadi peningkatan dari segi jumlah tidaklah serta merta berbanding lurus dengan peningkatan dari segi mutu artistik.

Perjalanan film Nagabonar Jadi 2 (untuk seterusnya dalam tulisan ini disingkat sebagai Naga) bisa dijadikan cermin kondisi di atas. Film yang merajai hampir semua festival film yang diselenggarakan di Indonesia di sepanjang tahun 2007 ini, menunjukkan sekaligus dua hal penting. Hal yang pertama bisa dianggap “cukup memprihatinkan”, dan hal yang kedua dapat digolongkan sebagai sesuatu yang “menggembirakan”. Hal yang pertama tersebut adalah bahwa ternyata seakan-akan tidak cukup banyak alternatif yang dimiliki oleh para juri di berbagai ajang festival film itu sehingga mereka seperti paduan suara yang kompak menghujani Naga dengan berjenis penghargaan, termasuk penghargaan tertinggi sebagai film terbaik. Naga sulit terkalahkan oleh para pesaing lainnya di berbagai ajang festival tersebut.

Di FFI 2007 misalnya, dimana saya ikut menjadi salah seorang anggota dewan juri, dari putaran-putaran awal sudah kelihatan bahwa suara para juri “berat” ke Naga. Dalam diskusi yang tetap diwarnai perdebatan, baik pada tahapan penentuan unggulan, juga pada penentuan pemenang akhir, Naga tampak memimpin, sehingga pada saat menetapkannya sebagai film terbaik tidak terjadi perdebatan yang terlalu menguras tenaga. Film tersebut meraih nilai-lebih terutama dari segi tema.

Sebetulnya akan lebih mengasyikkan apabila ada perdebatan yang sengit dalam menentukan film terbaik, sebab itu merupakan salah satu pertanda bahwa pilihan yang ada di tangan para juri tidaklah tunggal. Ambil contoh di tahun 2006, selain Denias, Senandung di Atas Awan, ada juga Berbagi Suami dan Opera Jawa. Tahun 2005, di samping ada Gie, orang juga ramai memperbincangkan Janji Joni. Apa hendak dikata, tahun 2007 memang menjadi milik Naga, sehingga ia praktis seperti melenggang sendirian, walaupun ada sejumlah film yang juga menjadi bahan pembicaraan di kalangan para pencinta dan pengamat film, sebutlah misalnya Get Married, Mengejar Mas-Mas, Kala, The Photograph, dan 3 Hari untuk Selamanya.

Padahal jika ingin dibedah secara teliti, Naga sesungguhnya memiliki sederet kekurangan, mulai dari kompleksitas cerita dan karakter yang masih belum bisa disejajarkan dengan Naga bonar jilid satu garapan sutradara MT Risyaf berdasarkan skenario yang sangat kuat dari Asrul Sani lebih dari dua dasawarsa silam, sampai kepada penggarapan karakter dari para tokohnya yang tampak belum maksimal. Toh dengan sejumlah catatan mengenai kelemahannya, Naga versi Deddy berhasil meraih total jendral 27 penghargaan (berdasarkan data hingga pertengahan Januari 2008), berasal dari berbagai ajang di antaranya Forum Film Bandung, Festival Film Jakarta, Jakarta International Film Festival, dan Festival Film Indonesia.

Hal kedua, yakni sesuatu yang bisa dianggap “menggembirakan” adalah bahwa Naga bukan semata-mata berhasil mendapatkan pujian secara artistik-sinematik, melainkan juga meraup perolehan jumlah penonton dalam jumlah yang tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh langsung dari Deddy Mizwar selaku produser film ini, pada saat tulisan ini disiapkan di pertengahan Januari 2008, jumlah penoton filmnya mencapai angka sekitar 1.275.000, sebuah angka yang tergolong sangat sukses dan tinggi. (Catatan: film Naga mulai beredar untuk umum Maret 2007.  Get Married yang masuk ke pasar September 2007, hingga pertengahan Januari 2008 meraup sekitar 1,4 juta penonton. Terowongan Casablanca yang meramaikan bioskop-bioskop mulai Februari 2007, membukukan sekitar satu juta penonton. Jumlah penonton yang tinggi juga diraih oleh Quickie Express, yang sudah mencatat angka pada kisaran satu juta, sejak ditayangkan November 2007). Sukses komersial Naga mengingatkan kita kembali pada kesuksesan yang mirip yang diraih oleh Taksi. Film garapan sutradara Arifin C Noer (almarhum) ini meraih predikat sebagai film terbaik pada FFI 1990, namun sekaligus juga mencatat jumlah penonton tertinggi pada tahun itu. Kombinasi pencapaian artistik-sinematik dan sukses komersial semacam ini, walaupun jarang terjadi, perlu terus diupayakan guna meningkatkan gairah berproduksi.

***

Sebagaimana telah disinggung sekilas di bagian awal, perkembangan perfilman Indonesia dari segi estetika sepanjang tahun 2007 pada dasarnya masih memprihatinkan, karena praktis tiada lompatan ataupun terobosan, baik dari segi artistik-sinematik, cara ungkap/tutur/narasi, genre, maupun pemilihan tema. Untuk dua hal yang terakhir ini, kondisinya menurut hemat saya cenderung kian memprihatinkan mengingat bahwa perjalanan era reformasi sudah hampir mendekati satu dasawarsa namun perjalanan genre dan tema film-film Indonesia bagai tak dapat terbebas dari fase involutif alias “jalan di tempat”, itu. Film horor masih menjadi genre yang mendominasi (sekitar 40 persen dari total film yang beredar di tahun 2007), di samping drama romantis remaja dan orang muda.

Genre horor tetap mendominasi di tahun 2007, sebagaimana juga tahun sebelumnya, tentu karena para produser yang rajin dan pandai membaca pasar percaya bahwa animo penonton masih bisa terus dieksploitasi. Pilihan dagang semacam ini tentu sah-sah belaka, namun sayangnya dalam banyak kejadian film horor yang diproduksi betul-betul hanya dengan niat untuk mengeduk untung besar, tanpa kelihatan ada upaya untuk memberikan terobosan-terobosan baru baik dari segi visualisasi dan upaya eksplorasi rasa seram dan takut dari para penonton, sampai pada pilihan cerita yang sebagian besar mengandalkan pada urban legends, tidak mencoba merangkai cerita yang sama sekali baru.

Dengan pendekatan seperti itu, tentu saja sebagian besar film-film horor tadi tidak akan “berbunyi” di hadapan para penonton yang memiliki rujukan luas. Yang timbul justru rasa geli menyaksikan banyaknya adegan di film-film horor tersebut yang menjadi ajang pameran kebanalan para kreatornya. Bukan rasa seram, bulu kuduk berdiri dan tengkuk merinding, atau teriakan histeris yang muncul saat layar menyajikan adegan-adegan yang dianggap seram oleh kreatornya, melainkan tawa terbahak-bahak karena yang tersaji bukan efek seram melainkan efek lucu. Semestinya film horor memiliki peluang untuk penggalian ide-ide baru, dari sudut cerita, karakter, visualisasi, dan tentu saja dalam hal efek khusus. Memang ada sebagian dari film-film horor di tahun 2007 ini yang kelihatan berupaya untuk melakukan eksplorasi tersebut, namun belum mencapai hasil yang maksimal.

Tahun 2007 mungkin akan menjadi salah satu tahun paling ramai untuk genre film horor. Sebab di tahun berikutnya, dominasi genre horor ini besar kemungkinan akan dipatahkan oleh film dengan genre drama komedi, yang sudah mulai tampil menonjol di tahun 2007, baik dari segi kuantitas  maupun dari segi keseriusan dalam penggarapan (Get Married; Maaf, Saya Menghamili Istri Anda; Quickie Express; Otomatis Romantis, dan tentu saja Naga sendiri). Melihat kecenderungan meningkatnya produksi film-film drama komedi di tahun 2007 ini, ditambah pula dengan penghargaan yang diperoleh oleh film-film tersebut baik pengakuan artistik di festival-festival dan di mata para pengamat, maupun perolehan dari sisi komersialnya, besar kemungkinan khalayak penonton akan dibanjiri oleh genre ini di sepanjang tahun 2008. Hampir bisa dipastikan, para produser akan tergoda untuk mengeksplorasi habis-habis genre komedi ini. Menarik untuk melihat bagaimana kecenderungan genre tertentu ini bisa lahir, lalu mendominasi pilihan yang ada di hadapan khalayak penonton. Kita masih ingat bahwa pada periode sebelumnya bioskop-bioskop diserbu oleh film-film dari genre drama remaja, lalu horor, dan kini oleh genre komedi untuk jangka waktu yang masih belum dapat diramalkan.

Sejauh ini, baru ketiga genre di atas yang kelihatannya menguasai peta sinema Indonesia. Catatan ini hendak mengingatkan, bahwa keadaan seperti tentu tidak boleh dibiarkan terus berlangsung tanpa ada upaya untuk memperluas dan memperkaya pilihan yang bisa disuguhkan ke hadapan khalayak penonton. Dominasi genre horor, drama romantis dan komedi ini seakan membuat para penonton terlena bahwa banyak genre lain yang masih belum disentuh oleh sineas Indonesia, atau kalaupun sudah namun masih belum memadai jumlahnya. Kemana perginya genre-genre lainnya itu, misalnya genre anak-anak, kolosal, perang, thriller dan detektif, keluarga (seperti yang disajikan lebih dari 20 tahun silam oleh Teguh Karya lewat Ibunda, umpamanya, atau oleh Slamet Rahardjo lewat Seputih Hatinya Semerah Bibirnya), laga, petualangan, fiksi-ilmiah, fantasi, dan lain-lain?

***

Tema yang ditawarkan di tahun 2007 ini juga tak lebih kaya dari tahun-tahun sebelumnya, dan sama halnya dengan ihwal genre tadi, masih ada tema-tema yang seakan-akan belum terjamah. Para sineas seperti enggan menjelajah ke wilayah-wilayah yang lebih jauh, merambah uncharted territory (alias daerah yang belum tercantum dalam peta). Sebutlah misalnya tema-tema tentang korupsi, ataupun kemiskinan yang merupakan persoalan-persoalan paling serius dan aktual yang tengah terjadi di masyarakat Indonesia.

Di masa sebelum reformasi, para sineas sering mengeluh karena terbatasnya wilayah garapan mereka (termasuk larangan menyentuh tema-tema korupsi). Sekarang situasi sudah jauh lebih terbuka, kendati belum terlalu ideal karena masih muncul beberapa kasus dimana sineas harus berhadapan dengan kekuasaan resmi negara (misalnya lewat Lembaga Sensor Film), maupun yang tidak resmi seperti tekanan dari kelompok masyarakat. Di zaman Orde Baru, mesin screening pemerintah bahkan sudah bergerak sejak tahap pemeriksaan terhadap skenario. Tentulah mustahil bagi sineas pada masa itu untuk menggarap tema-tema yang kritis secara politis, misalnya saja mengangkat kasus aktivis buruh wanita, Marsinah, yang memperjuangkan hak-haknya namun dihabisi oleh tangan-tangan telengas yang merupakan perpanjangan kekuasaan Orde Baru. Era reformasi kemudian telah memungkinkan Slamet Rahardjo untuk mengangkat kisah Marsinah ini ke dalam film garapannya, tahun 2001 lalu. Sayangnya, tema-tema semacam ini tak banyak lagi bermunculan, termasuk juga di sepanjang tahun 2007.

Keprihatinan juga perlu diutarakan berkaitan dengan kemampuan sebagian para sineas Indonesia dalam hal seni bercerita. Karya sinema adalah sebuah upaya untuk meyakinkan penonton bahwa apa yang tampil di layar adalah sesuatu yang pernah terjadi, atau sesuatu yang dapat/mungkin terjadi. Dengan kata lain, sinema adalah sebuah upaya to make believe. Esensi penting inilah yang juga sering tak hadir pada sebagian besar film yang beredar di tahun 2007. Penonton yang cerdas akan menggaruk-garuk kepala kebingungan atau keheranan menyaksikan bagaimana karakter/perwatakan seorang tokoh muncul begitu saja, bagai sulapan, tanpa latar belakang dan alasan yang masuk akal; dan bagaimana sebuah peristiwa bisa terjadi sedemikian rupa seakan tanpa asal-muasal, mengandung begitu banyak kebetulan serta situasi yang serba instan dan tak menghargai proses.

Di tengah-tengah keadaan yang bagaikan involutif inilah kita layak menjadi sedikit lega dengan kehadiran Mereka Bilang Saya Monyet. Film karya perdana Djenar Maesa Ayu ini ibarat sebuah oase kecil di tengah gurun tandus yang kering, yang hadir justru ketika perjalanan sudah akan mendekati ujung. Rasa dahaga akan sebuah terobosan itu sedikit terobati lewat karya yang tak bisa dipandang sebelah mata ini, justru di saat ujung tahun 2007 sudah amat dekat. Secara teknis, tentu saja film ini memiliki sejumlah catatan, namun dari segi tema dan cara bertutur, ia menjadi menonjol di antara taburan film-film horor, drama dan komedi tadi. Temanya terbilang tak biasa (tentang nasib seorang perempuan muda dengan pribadi yang praktis “terbelah” akibat luka batin pada masa kanak). Penokohannya sangat personal, baik dari segi perlambang yang digunakan sutradaranya (misalnya saja penggunaan lintah sebagai perlambang untuk rasa jijik sang tokoh utama terhadap lelaki yang menjadi kekasih ibunya; ataupun penggunaan adegan muntah dari si tokoh utama untuk mengaitkan traumanya terhadap kekerasan yang harus diterimanya dari sang ibu), sampai kepada penggunaan tutur ungkapan yang terbilang sangat jarang dijumpai dalam film-film lainnya.

Lebih dari itu, penggarapannya pun menunjukkan bahwa sang sutradaranya  ingin berkata secara tegas bahwa itu benar-benar film karyanya sendiri, dibuat seperti tanpa mau berkompromi dengan pihak-pihak di luar dirinya. “Ini adalah film saya, dengan cerita yang sepenuhnya milik saya,” begitu kira-kira jika kita hendak merumuskan sikap sutradaranya. Dengan kata lain, film ini tampil dengan sangat jujur menyuarakan pesannya, bagaikan tak ada lagi yang hendak disimpan dan disembunyikan oleh sang sutradra. Semua sudah tertumpahkan. Tuntas.

Kehadiran Djenar yang menjanjikan ini telah menambah panjang daftar nama sineas kontemporer Indonesia. Sekaligus bertambah pula tumpuan harapan kita, tempat kita menyematkan dan menitipkan masa depan sinema Indonesia.

***

Jakarta, 25 Januari 2008

Sumber: Indonesian film catalogue, 2008 / editors, J.B. Kristanto, Lisabona Rahman ; editorial team, Fifi Afiah ... [et al.] Jakarta : Nalar in cooperation with Dewan Kesenian Jakarta, 2008