Ada pergeseran yang cukup dahsyat dalam perbioskopan Indonesia dalam paruh akhir dekade 80an yang baru lalu ini. Pergeseran itu tidak berjalan dengan serta merta, namun demikian ia berlangsung dengan sangat pesat bila dibanding dengan sejarah bioskop di sini yang 90 tahun. Artinya kalau selama 85 tahun pengelolaan bioskop lebih merupakan usaha rumahan, maka dalam lima tahun terakhir usaha ini melibatkan modal besar.
Pergeseran itu dengan mudah terlihat dari bertaburannya bioskop-bioskop dengan logo 21 di mana-mana. Belum pernah rasanya dalam sejarah bioskop di Indonesia sebuah grup bioskop memiliki 283 layar dari jumlah keseluruhan sebanyak 2.850 yang ada di bawah 2.345 gedung. Apalagi jumlah itu tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sebelum ini, sebuah grup mengurus tidak sampai 20 bioskop di sebuah kota. Kalaupun hal terakhir ini terjadi, maka pengurus grup paling banter hanya memiliki satu-dua bioskop, sementara yang lain tetap milik si pemilik asli dan menitipkan pengaturan jadwal pemutaran film pada pengurus grup, sambil memberikan semacam fee untuk pengaturan tadi.
Dalam kasus seperti ini, pengurus grup/pengatur jadwal pemutaran film tadi bekerjasama erat dengan pengedar film yang fungsinya hanya membeli film untuk wilayah edar tertentu dan menjual atau menyewakannya kembali kepada pihak bioskop atau pengurus grup tadi. Itu kalau kita melihat secara teoretis pembagian tugasnya.
Dalam kenyataannya pengurus grup dan pengedar sering berada dalam tangan satu orang. Cuma memang biasanya skalanya tetap kecil, karena dalam satu wilayah edar biasanya terdapat lebih dari dua pengedar/pengurus grup. Kalau pun ada yang cukup besar dalam hal jumlah, di seluruh Indonesia mungkin hanya terdapat di Jawa Tengah yang sudah cukup lama mendominasi peredaran film dan perbioskopannya, karena perusahaan itu merangkap sebagai pengedar dan pengatur jadwal putar tadi.
Baru dalam lima tahun terakhir ini rasanya ada usaha serius untuk mengusahakan perbioskopan dalam skala yang cukup raksasa. Hal ini dimungkinkan karena pengusaha tadi secara praktis menguasai pasokan film impor (satu-satunya pasokan yang bisa diandalkan dalam jumlah dan keajegannya), dan kemudian menebar jaring peredarannya. Dan hal ini dimungkinkan juga karena penumpukan keuntungan dari penguasaan tadi, bisa dijadikan modal untuk pendirian jaringan bioskop dalam skala raksasa. Belum lagi kalau hendak dihitung lindungan kekuatan ekonomi di luarnya, karena usaha tadi masuk dalam sebuah kelompok yang kini terkenal dengan sebutan konglomerat.
Memang semua pergeseran itu tidak terlepas dari apa yang terjadi dalam perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Atau lebih konkretnya terbentuknya pengelompokan usaha dalam sebuah jaringan besar, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Dan kalau pengelompokan tadi dilakukan dengan agresifitas tinggi, maka tidak usah mengherankan kalau sifat tadi juga tertular pada usaha perbioskopan. Juga tidak mengherankan kalau cuma ada satu yang berusaha membuat jaringan bioskop secara besar-besaran ini, karena memang hanya satu yang menguasai pasokan filmnya, sementara pasokan film nasional belum juga bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Uraian singkat di atas ini menunjukkan satu sisi dari kaitan ekonomis usaha perbioskopan. Uraian tadi juga menunjukkan posisi lemah bioskop dalam rangkaian industri perfilman secara menyeluruh. Kalaupun sekarang ada sebuah grup yang nampak berkibar, itu pun masih jadi bagian dari kekuasaan di wilayah lain, yaitu peredaran, atau pasokan film. Dia belum jadi salah satu penentu, dan mungkin akan begitu terus nasibnya.
Bioskop dari sejak awal sejarahnya di Indonesia, selalu hanya jadi kepanjangan dari impor film dan pengedarannya, bahkan sering terjadi importir dan pemilik bioskop berada di satu tangan. Rasanya belum pernah bioskop itu mandiri, meski sudah punya organisasi sendiri secara nasional. Begitu juga yang terjadi sekarang ini dengan pengembangan besar-besaran grup 21.
Padahal bioskop juga bisa berperan sebagai pemberi warna. Lokasinya yang khas membuat bioskop tertentu menuntut jenis film tertentu pula. Contoh yang jelas, mungkin bioskop di daerah pecinan seperti Glodok, yang membutuhkan film-film khusus Mandarin. Atau bioskop-bioskop keliling yang membutuhkan film-film yang mengeksploatasi nafsu-nafsu dasar penonton, karena terbukti film-film jenis begitu lah yang diminati.
Hanya saja dalam tarik-menarik pemberian warna tadi, lokasi dan sifat khas sebuah bioskop hanya satu dari sekian banyak unsur yang harus diperhitungkan dalam industri film. Hukum lain yang berlaku untuk sebuah industri adalah sifatnya yang massal. Artinya sebuah komoditi --baik itu bernama film ataupun sabun-- bisa langgeng kalau dia berhasil memenuhi kebutuhan dan selera sebanyak mungkin orang. Atau paling tidak mencapai tingkat jumlah tertentu, hingga komoditi tadi akan bisa diproduksi terus, karena sudah melampaui ambang batas rugi-laba.
Ini berarti kalau pun ada warna tertentu yang ingin dipenuhi, warna itu pun tetap harus dalam wilayah warna seumum mungkin, bukan warna yang spesifik. Untuk ekstremnya kita bisa mengambil contoh: film Mandarin yang banyak jotosannya bisa laku di bioskop pecinan maupun bioskop keliling di desa-desa. Jadi andai pun bisa memilih film yang ingin diputarnya, karena dianggap akan mendatangkan keuntungan maksimal, belum tentu film yang dimaksud itu ada, atau pun kalau ada, mungkin hanya mirip-mirip saja seperti yang diinginkan.
Dan dalam kondisi industri perfilman secara menyeluruh sekarang ini, maka bioskop hanya bisa menyerah karena ia tidak bisa memilih film yang dianggapnya paling sesuai. Di sini mungkin perbedaan yang paling pokok antara bioskop sebagai toko eceran dengan katakanlah supermarket yang juga bersifat eceran. Kalau supermarket bisa memilih bahan yang akan ditawarkannya pada konsumen, maka bioskop hampir tidak punya pilihan.
Dan hal ini terjadi juga pada grup besar dengan nama 21 tadi, karena dia lebih sebagai perpanjangan pengedar film, dan bukan sebuah grup yang bebas. Namun dibanding mereka yang tidak masuk dalam grup ini, grup 21 toh lebih memiliki keuntungan dalam penjatahan pemutaran film. Dan alasan yang ada cukup sah untuk membuat grup 21 tadi mendapat hak lebih dibanding yang tidak masuk grup tadi.
Keluhan-keluhan dari mereka yang tidak masuk dalam grup ini umumnya memang berkisar atas "penjatahan" pemutaran film itu. Kata "penjatahan" mungkin tidak terlalu tepat di sini, tapi dalam pasar film di Indonesia sekarang ini, tidak ada pasar sesungguhnya yang terjadi. Pasar sesungguhnya terjadi hanya kalau ada kedudukan yang seimbang antara pembeli dan penjual. Keseimbangan inilah yang diragukan adanya. Keseimbangan yang secara formal di atas kertas ada, tapi dalam kenyataannya bisa dipertanyakan.
Kata-kata pemimpin grup 21, Sudwikatmono, seperti berikut ini tentunya menunjukkan ketidakseimbangan itu, "Tidak benar kalau bioskop yang menolak kami, tidak dipasok film. Itu juga fitnah. Hanya mungkin tidak bisa dengan first run...Terus terang Jakarta Theatre itu tidak mau meng-upgrade gedungnya, kami tak bisa apa-apa. Silahkan saja. Tapi kami tak bisa berbisnis dengan orang tidak mau diajak maju. Silahkan, kita jalan di tempat masing-masing." (Kompas, 16-1-1990)
Padahal kita tahu bahwa Jakarta Theatre pernah jadi gedung paling bergengsi di Jakarta, dan dengan peralatan yang paling baik pula. Tentu saja bioskop ini tidak akan bisa mempertahankan gengsi dan mutunya kalau ia tidak mendapatkan film yang sesuai dengan tingkat khalayak yang jadi pangsa pasarnya.
Ketidakseimbangan itu juga tercermin dari kata-kata pimpinan Perfin Sumatra Utara, Aditia Ginting, "Itu semua karena persaingan bisnis yang tidak sehat sejak awal tahun 80an sebagai dampak kekuatan tidak berimbang antara penguasaan peredaran film dan penguasaan bioskop." (Kompas, 29-3-1990)
Ada kata kunci yang bisa ditarik dari uraian di atas ini, yaitu ketidakseimbangan yang menyebabkan kondisinya jadi tidak sehat secara keseluruhan untuk industri perfilman. Kalau kita setuju bahwa dominasi satu perusahaan terhadap keseluruhan industri itu tidak sehat, tentu jawaban sebaliknya diharapkan untuk membuat hal itu menjadi sehat. Dan kalau masalah keseimbangan ini kita terapkan dalam perbioskopan, maka pertanyaan sama juga bisa diajukan: apakah sehat kedudukan bioskop seperti sekarang ini, yaitu dia hanya berfungsi sebagai tempat putar film saja, tanpa bisa menentukan pilihan apa pun?
Jawaban dari pertanyaan ini tidak sederhana. Ia bisa dijawab ya, karena keadaan seperti ini sama sekali tidak bertentangan dengan segala peraturan yang ada. Apalagi kalau dikatakan bahwa film tidaklah sama dengan jenis komoditi lain dalam perdagangan umum. Ia memiliki lebih banyak unsur "rohani" dibanding komoditi lain, dan karenanya lebih membutuhkan banyak kontrol.
Dengan alasan sama, ternyata orang juga bisa sampai pada kesimpulan yang justru sebaliknya. Karena dia lebih membutuhkan banyak kontrol, maka pengendaliannya harus dilakukan oleh sebanyak mungkin orang supaya lebih terasa adanya rasa keadilan dan tidak ada pemaksaan dari sekelompok kecil orang yang kebetulan diberi wewenang menjadi penentu karena dominasinya, baik secara politis maupun --karenanya juga-- secara ekonomis.
Atas dasar pikiran seperti terakhir inilah, kenapa lahir undang-undang anti-trust di Amerika Serikat, yang juga berakibat pada industri film di sana: tidak diperbolehkannya penguasaan produksi, peredaran dan perbioskopan dalam satu tangan. Undang-undang itu pada dasarnya melarang penguasaan satu mata rantai barang dagangan dari hulu hingga ke hilir. Itu berarti seorang produsen tidak boleh memiliki toko sendiri.
Dalam hal film, yang terjadi adalah campur tangan politik terhadap kekuatan ekonomi industri film Hollywood yang meraksasa, hingga dikhawatirkan tidak bisa dikendalikan lagi oleh siapa pun.
Hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Sebuah perusahaan diberi hak menjadi pengimpor dan koordinator impor, karena pemerintah menginginkan adanya kekuatan tunggal dalam menghadapi permainan harga film oleh pemasok film di luar negeri. Kebijakan ini diambil karena pengalaman ruwet sebelumnya akibat permainan harga tadi. Mungkin kebijakan pemerintah ini betul pada saat itu, tapi ada yang terlalaikan di sini, yaitu bahwa pengendalian harga yang tadinya berada di pihak pemasok, sekarang beralih pada pihak importir atau lebih tepatnya koordinator importir.
Siapakah lalu yang mengendalikan importir tadi, hingga dia tidak sewenang-wenang menetapkan harga jualnya kembali kepada pengedar-pengedar di dalam negeri, apalagi kalau dengan kekuatan politiknya itu --izin yang dipegangnya pada dasarnya bersifat politis, karena dia ada berdasarkan sebuah keputusan politik dari pemerintah, sebuah lembaga politik-- ia tumbuh menjadi kekuatan ekonomi film yang sangat menentukan dengan membangun jaringan peredaran/pengatur jadwal pemutaran sendiri dan akhirnya perbioskopan.
Kekuatan begini bukan tidak memperlihatkan sisi manfaatnya seperti ditunjukkan dengan data jumlah penonton film yang terus meningkat sejalan dengan meningkatnya juga jumlah bioskop dan layarnya. Juga dibanggakan, bagaimana dengan pertambahan jumlah layar bioskop ini punya dampak juga pada peningkatan jumlah daya tampung pemutaran film nasional, yang akibat selanjutnya peningkatan jumlah produksi. Tentu saja, hal terakhir ini bisa diberi catatan, karena bisa saja peningkatan itu terjadi, karena impor film --khususnya dari Amerika Serikat-- mengalami hambatan hingga yang masuk bukanlah film-film yang berasal dari major companies yang biasanya menghasilkan film-film baik.
Catatan itu bisa juga ditambah lagi dengan keluhan sementara pengatur jadwal pemutaran film di beberapa daerah, karena kesulitan mereka dalam menghadapi backlog, istilah di kalangan perbioskopan yang artinya menumpuknya stok film yang menanti giliran diputar. Dan dalam perdagangan film sekarang, hal itu berarti kerugian dalam jumlah yang tidak sedikit, karena pihak pengedar/pengatur jadwal tadi tidak dalam posisi seimbang dengan pihak pemasok film, hingga bisa melakukan tawar-menawar secara wajar. Belum lagi masalah tidak adanya kemungkinan bisa memilih film yang akan diedarkan dan diputar, karena jual-beli dipaksakan dalam bentuk paket.
Dalam kondisi seperti ini, pengedar/pengatur jadwal harus betul-betul memperhitungkan bukan hanya adanya backlog (baik juga diteliti secara saksama, berapa jumlah film nasional yang terdapat dalam daftar backlog tadi), tapi juga kemungkinan paling buruk, tidak terputarnya sama sekali film yang sudah dibelinya, karena memang tidak mungkin lagi mengatur jadwalnya. Ini berarti dia sudah harus memperhitungkan untung-ruginya dari film yang diputar dan film yang tak terputar agar bisa tetap hidup, meski secara ekonomis cara berusaha seperti ini sama sekali tidak efisien.
Efisien, ini kata kunci lain yang sukar diperoleh dalam dunia perdagangan film sekarang ini. Hal ini terucap juga dari salah seorang yang bertanggungjawab dalam soal peredaran film di Jawa Tengah. Di wilayah ini dulu ada dua pengedar/pengatur jadwal yang tidak sama besarnya. Kini yang kecil itu semakin tak berarti, apalagi sang pengedar/pengatur jadwal seolah sudah meninggalkan gelanggang dan asyik dengan bisnis lain, hingga praktis dalam beberapa tahun terakhir ini, hanya ada satu pengedar/pengatur jadwal.
Apa yang dikeluhkannya? "Kami seperti menghadapi buah simalakama, terlebih dalam soal film nasional. Kalau kami nggak beli, bisa dicap tidak nasionalis, tapi kalau dibeli, terus terang saja film itu jelas tidak akan mendatangkan uang, malah merugi. Ini tidak akan terjadi, andai pengedar lain masih aktif, hingga terbentuk yang namanya pasar."
Inilah akibat yang sekarang terjadi dari keputusan politik yang menginginkan adanya kekuatan tunggal. Dan sekarang kekuatan tunggal itu sudah jadi raksasa tunggal pula, begitu menguasai jaringan peredaran dan kemudian meluaskan lagi pada perbioskopan. Dan konon sang raksasa ini sudah bersiap pula untuk membangun laboratorium film, hingga bisa saja suatu saat impor film hanya dalam bentuk negatifnya, dan penggandaan copy filmnya dilakukan di dalam negeri. Belum lagi sang raksasa juga sudah masuk dalam produksi film, hingga bisa timbul pertanyaan siapakah yang sanggup menandingi kekuatan demikian ini.
Perkembangan ini adalah hal yang sangat logis bila dilihat dari segi kepentingan bisnis sang raksasa, karena pengembangan itu berarti pula pengamanan bisnisnya. Namun dari segi komunikasi massa (film adalah satu bentuk komunikasi massa), hal demikian ini sama saja dengan sebutan tidak demokratis, apalagi kalau kita mengingat adagium-adagium komunikasi yang massal bahwa yang mengendalikan industri komunikasi massa adalah industri besar. Dan salah satu sifat dari industri besar komunikasi massa adalah bahwa mereka menginginkan suatu status quo dari sistem sosial maupun ekonomi yang berlangsung. Bisalah dibayangkan lebih jauh lagi bila industri besar itu hanya tunggal adanya.
Dari segi industri dan perdagangan film, nampak bahwa uraian di atas seolah menggugat kebijakan yang sekarang berlaku. Padahal yang penting adalah apakah kebijakan itu merugikan penonton atau tidak. Dan penonton tidak perduli kebijakan macam apa yang menghasilkan tontonan yang dilihatnya. Apalagi ada pendapat yang dianut oleh pengelola kekuatan tunggal sekarang ini, bahwa bioskop adalah tempat yang paling demokratis, karena di sana penonton bisa membeli karcis atau tidak.
Di sini sebenarnya kendali akhir dan ujian terhadap seluruh kebijakan itu bermuara. Namun dengan sikap sedikit kritis saja, kita juga bisa menggugat hal ini, karena terhadap kendali akhir ini biasanya dilakukan rekayasa tertentu yang bisa membuat kendali itu tidak berjalan secara semestinya.
Salah satu usaha rekayasa dari pihak bioskop adalah menawarkan kenyamanan menonton, di samping film yang dianggapnya layak tonton. Kenyamanan ini menjadi hal yang sangat penting, apalagi melihat keberhasilan kenaikan omset penjualan dari pusat-pusat perbelanjaan yang juga menawarkan kenyamanan itu. Kenyamanan yang juga berarti gengsi, karena realitasnya barang yang disajikan toh sama dengan toko-toko lain. Hal yang sama terjadi pada usaha perbioskopan. Bioskop yang salah satu fungsinya menjadi ajang pertemuan dikokohkan sesuai dengan kelas daya beli masyarakat pengunjungnya.
Sesuai dengan hukum besi perdagangan, yaitu permintaan dan penawaran, maka rekayasa itu sah saja. Begitu juga niatan untuk membuat gedung bioskop yang bisa lebih memuaskan sensasi penonton karena perlengkapannya memungkinkan penonton merasakan secara fisik apa yang tersaji di layar. Sensasi memang salah satu tiang dari sejarah pertumbuhan film. Bahkan sensasi itulah yang ditawarkan saat penayangan film pertama oleh Lumiere.
Namun kita juga tahu bahwa dalam sejarah perkembangannya film tidak hanya bertumpu pada sensasi, tapi juga pada estetika yang umum berlaku pada kesenian lain, hingga sekarang ini film mampu duduk sama tinggi dan dihargai setara dengan cabang-cabang kesenian lain. Penghargaan itu datang bukan hanya sekedar dari kalangan sempit kesenian (akademisi, orang film sendiri, pengamat seni, maupun intelektual), tapi juga dari penonton biasa yang jumlahnya cukup besar, hingga film sebagai sebuah ekspresi kesenian mampu terus dibuat dan berkembang.
Perkembangan seperti terurai di atas ini tentu tidak lepas dari usaha rekayasa tertentu pula, baik yang dilakukan produser, pemain, karyawan film, kalangan akademisi, pengamat film maupun pengedar dan pihak bioskop sendiri. Dan rekayasa demikian itu tentu tidak mudah dan cepat membuahkan hasil, hingga dibutuhkan suatu keberanian, visi luas dan sikap kebudayaan yang melampaui sekedar pencarian keuntungan uang semata.
Di sinilah perbedaan antara dagang sabun dan film. Ini tidak berarti dagang sabun lebih rendah dari dagang film, namun karena sesuai dengan kodratnya, unsur "rohani" dalam film memang lebih banyak dari sabun. Jadi dari kodratnya pula pedagang film dituntut memiliki sikap budaya yang lain dari pedagang sabun. Sikap budaya ini sebaiknya memang dimiliki oleh mereka yang bergerak dalam industri film. Namun demikian, sikap budaya itu akan lebih baik lagi bila tercermin dalam struktur atau sistem industri itu.
Pertanyaannya lalu bagaimana struktur atau sistem itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab secara praktis, karena ia sangat berkaitan dengan sejarah, tradisi, kepentingan-kepentingan yang terkait, dan yang utama adalah politik secara umum maupun politik kebudayaan yang dianut. Dua hal terakhir inilah yang rasanya samar-samar di Indonesia. Hal ini nampak dari pengaturan dunia perfilman.
Secara formal, diketahui bahwa ada tiga asosiasi importir yang berhak mengimpor dan mengedarkan film. Dalam kenyataan, semua orang yang berkecimpung dalam dunia film, tahu bahwa ketiga asosiasi tadi bergabung, lebih-lebih dalam pengedarannya, hingga importir film merupakan sebuah kekuatan raksasa yang sulit ditandingi, karena dia menjadi pusat dari hampir seluruh pergerakan usaha dalam bidang film. Secara formal, bioskop dan pengedar film seharusnya jadi kekuatan yang masing-masing mandiri, hingga diharapkan terjadi keseimbangan kekuatan. Dalam kenyataannya, tidak perlu lagi disebutkan, karena sudah berulang-ulang tertulis dalam uraian di atas.
Keadaan seperti ini bisalah disingkatkan sbb: secara formal kita menginginkan demokrasi dalam usaha, seperti yang tercantum dalam segala ketentuan politik baik yang bernama undang-undang dasar maupun keputusan MPR, namun dalam kenyataannya sukar dipercaya bahwa demokrasi itu sungguh-sungguh ada, atau paling tidak rekayasa untuk menumbuhkan demokrasi itu juga diragukan.
Demokrasi itu bukan hanya terhadap pembeli karcis masuk bioskop, tapi harus dimulai dari awal pengadaan film. Bioskop seperti diketahui dalam keadaan yang sangat tidak menentukan dalam seluruh proses industri film sekarang ini. Dia tidak lebih hanya bertindak sebagai penjaga toko yang menunggu pembeli. Karena itu kalau hendak menumbuhkan demokrasi dalam dunia film, maka masalah awalnya bukan pada pembenahan perbioskopan, tapi sudah sejak dari pengadaan film.
Kalau demikian, apakah kita harus kembali lagi pada periode sebelum adanya asosiasi-asosiasi importir film, di mana anarki hampir terjadi, di mana masing-masing importir bisa melakukan saling jegal dalam melakukan tawar-menawar dengan distributor di luar negeri, dan distributor dengan seenak perutnya menentukan harga jual filmnya. Tentu keadaan seperti ini tidak diinginkan. Tapi keadaan "monopolistis" seperti sekarang juga mengandung unsur kerugian yang tidak sedikit, seperti tidak maunya major companies di Amerika Serikat "didikte" oleh pembeli tunggal di sini.
Kalau kedua ekstrem itu sama-sama mengandung kerugian, tentunya yang mendekati ideal yang berada di tengah-tengahnya. Tapi bagaimana membuat yang di tengah itu? Dengan surat keputusan lagi, yang berarti campur tangan politik pemerintah? Atau membiarkan pada keadaan pasar saja?
Melihat kondisi yang sekarang ada, rasanya pilihan campur tangan pemerintah yang harus dijalankan, karena kalau dibiarkan pada kekuatan pasar, maka dikhawatirkan "anarki" seperti dulu bisa terjadi. Atau, bisa juga yang terjadi kembalinya lagi dominasi kekuatan raksasa seperti sekarang ini, karena potensi ekonomis dari orang-orang film yang ada sekarang, sudah lama sekali tidak berkembang.
Jadi? Ya ditunjuk saja asosiasi importir seperti sekarang ini, tapi tidak dengan pembagian wilayah impor. Sekarang ini ada asosiasi yang hanya boleh mengimpor film Mandarin, film Eropa-Amerika dan Asia nonMandarin. Asosiasi tadi sebaiknya dibebaskan mengimpor film dari mana pun. Artinya, setiap asosiasi dibebaskan mengimpor film dari Hongkong, Eropa maupun Amerika. Pertimbangannya hanyalah apakah film itu sesuai dengan pasar yang dibidiknya. Dengan demikian ditumbuhkan persaingan yang sehat. Dengan demikian, diharapkan setiap asosiasi tadi bisa membuat jaringan peredaran sendiri.
Dan kalau peraturan ini diikuti pula dengan peraturan yang memisahkan pemilikan/pengusahaan importir/peredaran dengan perbioskopan, maka diharapkan, bioskop juga bisa merupakan usaha mandiri, yang bisa ikut memberi warna pada pembelian/pengadaan film. Interaksi dari semua unsur perfilman yang masing-masing mandiri yang diharapkan akan menumbuhkan industri yang sehat, termasuk yang jadi tujuan utamanya: menumbuhkan produksi film nasional.
Ada satu catatan yang harus ditambahkan di sini, yaitu masalah wajib putar, yang tadinya diharap bisa menumbuhkan produksi film nasional. Sekarang kewajiban itu ternyata justru jadi senjata yang memukul film nasional sendiri, karena bioskop merasa sudah memenuhi kewajibannya bila sudah memutar film nasional dua kali sebulan. Padahal bioskop tidak terikat peraturan apa pun untuk memutar film impor. Peraturan ini sebenarnya menyiratkan betapa kedudukan film nasional dalam menghadapi jaringan importir-peredaran-bioskop saat peraturan itu dikeluarkan. Jaringan yang bukannya semakin lemah sekarang, tapi justru semakin kokoh.
Jaringan horisontal dan vertikal itu yang seharusnya dipecah. Dan pemecahan itu dibarengi dengan pencabutan surat keputusan wajib putar, hingga film nasional pun diberi keleluasaan bersaing. Persaingan itu penting artinya, karena hanya dengan persaingan yang baik, industri bisa tumbuh dengan sehat.
Apalagi sekarang ini industri audiovisual sudah berubah petanya. Jakarta dan Surabaya sudah berkibar televisi swasta. Dan dari data kasar penonton film di bioskop sudah menunjukkan pengaruhnya. Konon penonton bioskop di dua kota besar itu berkurang antara 25 sampai 40 persen dari biasanya. Belum lagi akan tumbuhnya kekuatan lain yang bernama Kine Klub di beberapa kota Indonesia. Kekuatan yang sekarang tidak ada artinya, tapi kalau terorganisir secara baik, bisa saja menjadi kekuatan yang punya arti, karena pengkhususan dirinya pada film-film yang sekarang ini diemohi oleh bioskop-bioskop konvensional.
Susutnya penonton bioskop karena persaingan televisi adalah hal yang lumrah dan sudah terjadi di negara-negara yang pertelevisiannya cukup memberikan banyak alternatif tontonan. Namun industri film toh tidak runtuh, tapi semakin menemukan cirinya sendiri. Salah satu cirinya itu, adalah ruang tontonan yang bernama bioskop itu. Sebuah ruang yang bagaikan sebuah gua gelap, sebuah rahim, di mana dalam kegelapan itu orang bisa lari dari kesadaran diri yang sudah terlapis-lapis. Sebuah ruang yang merupakah salah satu dari sedikit tempat di mana orang bisa melepaskan diri sejenak dari tanggungjawab sosialnya, hubungan-hubungan antarpersonal, bahkan dari kepribadiannya sendiri. Tapi di ruang itu juga orang bisa secara pribadi sekali bisa mendapatkan cermin dirinya dan cermin masyarakatnya.
Hal-hal seperti inilah yang diharapkan terpenuhi dengan adanya pembenahan secara menyeluruh industri perfilman kita, baik yang bernama impor maupun produksi sendiri. Harapan itu rasanya bisa terpenuhi kalau --sekali lagi-- keseimbangan yang baik memang bisa ditumbuhkan.
Jakarta, 1 November 1990
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali dimuat dalam buku Layar Perak, Haris Jauhari, ed, PT Gramedia Pustaka Utama dan Dewan Film Nasional, 1992.