Apa kabar perfilman Indonesia tahun ini? Sepintas tampaknya baik-baik saja. Selama semester pertama 2012 tercatat 46 film Indonesia beredar di bioskop dan masih bisa meraup 7.952.203 penonton. Artinya, cuma turun 40.878 dibanding 7.993.081 penonton dari 43 film di tahun lalu.
Tapi benarkah baik-baik saja? Dari catatan yang ada kita tahu pada 1990 jumlah penonton film Indonesia pernah mencapai 312 juta, atau kira-kira sekitar 156 juta per enam bulan. Dalam perbandingan yang lebih adil, selama 2008, di mana infrastruktur distribusi relatif sama dengan saat ini, film Indonesia bisa meraup 32 juta penonton. Padahal, pada 1990 total jumlah penduduk Indonesia hanya 179 juta dan di 2008 baru 225 juta.
Pasti ada yang salah jika tahun ini—diasumsikan jumlah sampai akhir tahun dua kali lipat dari semester pertama dan setiap orang rata-rata menonton dua film dalam setahun—hanya dua setengah persen penduduk Indonesia menonton film Indonesia di bioskop. Dengan asumsi yang sama: pada 2008 terdapat tujuh persen penduduk dan selama 1990 mencapai 87 persen.
Barangkali penjelasan yang lebih masuk akal, kala itu—ketika di seluruh Indonesia masih terdapat 2.600 bioskop dengan 2.853 layar—rata-rata penonton datang ke bioskop empat-lima kali dalam setahun. Bukan hanya lebih banyak jumlahnya, tapi masing-masing juga lebih kerap menonton film Indonesia. Dengan kata lain, di tahun menjelang keambrukan perfilman Indonesia itu, film nasional ditonton oleh sekitar 34-43 persen penduduk.
Pertanyaannya kemudian, benarkah makin lama masyarakat Indonesia makin tidak menyukai film Indonesia? Atau sebetulnya tren penurunan itu terjadi karena terhalang oleh aksesibilitas, kesempatan, daya beli, dan lain-lain? Dalam perbandingan yang memang tidak setara, menurut perkiraan AGB Nielsen penetrasi televisi, yang sesuai PP Nomor 5 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta berisi setidaknya 90 persen konten lokal, di 10 kota besar Indonesia sudah mencapai 95 persen di mana 10,1 persen di antaranya juga melanggani televisi kabel.
Persoalan Klasik
Penyebab anjloknya jumlah penonton pada 1990 dibanding 2012 sudah jelas, yaitu karena sebagian besar bioskop “tradisional” dengan satu layar yang tersebar di berbagai pelosok nusantara gulung tikar, dan sebaliknya bertumbuhan sinepleks mewah dengan beberapa layar. Hampir semua sinepleks milik jaringan 21/XXI, yang ditopang jaringan importir milik sendiri, serta berada di mal-mal seputar Jabodetabek dan kota-kota besar. Jadi praktis sebagian besar penduduk Indonesia telah kehilangan akses menonton film di bioskop.
Saat ini ada 152 sinepleks dengan 672 layar, yang berarti bertambah banyak dibanding setahun lalu (139 sinepleks dengan 619 layar). Meskipun begitu, masa tayang film Indonesia justru menjadi semakin singkat, dari rata-rata delapan minggu tahun lalu menjadi rata-rata enam minggu. Hal itu disebabkan film impor yang beredar semakin banyak, bukan hanya jumlah judulnya tetapi juga banyaknya layar menayangkan.
Film-film besar Hollywood—kini diimpor PT Omega Film yang masih berkaitan dengan importir lama milik jaringan 21/XXI yang dilarang beroperasi oleh menteri Keuangan tahun lalu (PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika)—bisa diputar serentak di lebih dari 150 atau bahkan hampir 200 layar. Yang kemudian dikorbankan alias terpaksa dikurangi jumlah layarnya karena outlet yang tersedia sangat terbatas umumnya film Indonesia.
Berkurangnya masa tayang dan semakin sedikitnya layar yang menayangkan film Indonesia dalam satu periode berarti mengurangi kesempatan masyarakat menonton. Sayangnya, beberapa produser yang mengeluh film-filmnya kehilangan banyak layar akibat serbuan film-film impor baru tidak bersedia dikutip keterangannya karena alasan yang masuk akal. “Saya masih mau terus bikin film, karena bisanya cuma itu. Selama keadaan belum berubah kita semua masih membutuhkan bioskop yang ada. Mau diputar di mana lagi?”
Setahun terakhir harga tiket masuk bioskop juga diam-diam merambat naik, dari Rp 15.000-Rp 50.000 menjadi Rp 25.000-Rp 75.000. Di samping memang berada di mal bertarif sewa mahal dan bioskopnya kian mewah, pemilik bioskop yang praktis tidak mempunyai pesaing itu lebih bisa sekehendaknya menentukan harga pasar. Mau diakui atau tidak, kenaikan tersebut berakibat langsung pada menurunnya jumlah penonton pada sebagian besar film. Apalagi lebih separuh 46 film Indonesia yang beredar enam bulan pertama tahun ini jelas-jelas menyasar penonton menengah ke bawah dan remaja, dua kelompok dengan daya beli relatif terbatas.
Setidaknya dari tiga paparan di atas itu saja kita mulai bisa melihat problem yang dihadapi film Indonesia tidak sesederhana perkara “penonton tidak menyukai lagi film Indonesia". Ada masalah suprastruktur dan infrastruktur yang menghambat. Itu berarti kita mesti kembali menyoroti persoalan klasik mengenai karut-marut tata edar atau tata niaga yang merupakan domain negara. Jadi bisa dibilang pemerintah justru yang paling bertanggung jawab atas kemunduran industri perfilman Indonesia dari hari ke hari.
Kelesuan pasar film tentu saja bisa terjadi setiap saat dan di mana pun juga. Namun dalam keadaan normal para produser dan pekerja film lebih mudah mencari dan menemukan cara-cara kreatif untuk menyiasatinya.
Sekarang saja, ketika situasi makro masih atau malah semakin buruk, mereka masih bisa terus memproduksi film. Jumlahnya relatif stabil: 89 judul pada 2008 dengan 32 juta penonton, 80 judul (2009, 30 juta penonton), 83 judul (2010, 16 juta penonton), 77 judul (2011, 14 juta penonton), dan sampai akhir Agustus tahun ini diketahui sudah diproduksi 66 judul. Padahal, penurunan jumlah penonton menyebabkan rata-rata pendapatan setiap film berkurang alias membuat produser merugi.
Salah satu siasat yang kini praktis dilakukan semua pembuat film adalah menekan biaya produksi seefisien mungkin. Tapi dalam jangka panjang bisa berbahaya karena juga mendegradasi kualitas estetika dan nilai produksi. Selain itu genre yang semula laris tapi kemudian mulai ditinggalkan penonton semakin sedikit dibuat. Komedi, misalnya, yang pada 2008 berjumlah 26 judul, tahun lalu tinggal 10 judul. Film-film horor (termasuk horor-komedi) yang tahun lalu lebih dari 30 judul, selama setengah tahun pertama tahun ini baru ada 13 judul.
Siasat lain adalah mengeksplorasi film-film drama, yang setiap tahun senantiasa mendominasi (siapa bilang film Indonesia horor melulu?), dengan tema-tema dan penjelajahan “baru”: religi, nasionalisme, olahraga, thriller, keragaman budaya Indonesia, dan lain-lain. Sebagian besar eksplorasi yang bertujuan membangkitkan minat pasar itu bahkan harus dilakukan justru dengan memperbesar risiko kerugian, karena biaya produksi yang jauh lebih besar dibanding drama biasa.
Yang ingin digarisbawahi, sebelum mencari kambing hitam penyebab terus memburuknya industri perfilman nasional, pertama-tama pemerintah harus menciptakan dulu iklim usaha dan produksi yang kondusif.
Persoalan Baru
Belum juga jelas visi dan sikap pemerintah dalam menyelesaikan persoalan klasik tersebut di atas, persoalan baru yang tidak kalah pelik sudah muncul di depan mata. Revolusi digital, yang semula baru berlangsung di tingkat produksi, kini sudah memasuki wilayah konsumsi. Sejak 2008 sebetulnya film-film yang dibuat dengan format digital sudah bisa ditayangkan langsung di bioskop dengan pemutar video. Tapi kualitasnya gambar dan suaranya masih jauh di bawah pita seluloid.
Sejak tahun lalu bioskop-bioskop di Indonesia mulai menggunakan teknologi pemutaran digital paling mutakhir yang segera menjadi standar global, yaitu DCP (digital cinema package). Intinya, film dikemas dalam dokumen data format JPEG 2000 (video) dan PCM (audio) dengan resolusi minimal 2048 x 1080 (2K) lalu diputar menggunakan proyektor digital 2K atau 4K (belum menjadi standar di Indonesia).
Semula diperkirakan penerapan format DCP akan membutuhkan transisi setidaknya sampai 2015 sebelum menjadi standar bioskop-bioskop di Indonesia. Perhitungannya, harga proyektor digital masih sangat mahal. Menurut Allan Lunardi, konsultan teknis Mitra Lab, akhir tahun lalu harga satu unit USD 150.000 atau tiga-empat kali lebih mahal dari poyektor analog pemutar pita seluloid. Untuk melakukan konversi digital pada 600 layar diperlukan investasi USD 90.000.000 atau Rp 810 miliar (pada kurs Rp 9.000). Belum lagi kerugian investasi proyektor analog lama yang terpaksa pensiun dini.
Tidak ada yang mengira relovusi digital jilid kedua itu datang terlampau cepat. Beredar kabar tahun ini juga seluruh layar dalam jaringan 21/XXI sudah dikonversi ke digital. Sulit dikonfirmasi karena tidak pernah ada keterbukaan dalam industri perfilman Indonesia, sehingga tiada seorang pun tahu kebenarannya. Tapi pasti juga bukan isapan jempol karena antara lain berdasarkan informasi itulah Mitra Lab, satu dari dua studio jasa teknik yang melayani pencetakan kopi film seluloid di Indonesia, memutuskan menghentikan usaha sejak 1 Juli lalu. Padahal, menurut seorang komisarisnya, perusahaan itu baru membeli sejumlah mesin dan paralatan audio baru.
Dari sumber yang sama diinformasikan bahwa konversi itu dilakukan atas “permintaan” MPA (Motion Pictures Association) yang beranggota enam studio besar Hollywood. Konon mereka hanya akan memasukkan film-film berformat DCP ke Indonesia. Padahal, menurut catatan Allan Lunardi, sampai akhir 2010 di Amerika Serikat sendiri baru 25 persen dari sekitar 40.000 layar (dari enam ribuan bioskop) yang sudah memasang proyektor digital. Akselerasi konversi kemudian terhambat oleh krisis keuangan yang masih berlangsung hingga kini karena dibiayai dengan pinjaman bank.
Rasanya mustahil seluruh bioskop di sana sudah digital penuh tahun ini. Apalagi MPA memasarkan film-filmnya di banyak negara lain yang juga bakal kesulitan dan memerlukan waktu agak lama buat melakukan konversi digital. Di negara-negara Eropa yang lebih makmur saja konversi dilakukan bertahap dengan subsidi pemerintah. Sampai pertengahan 2011 baru Norwegia yang sudah selesai mendigitalkan seluruh 420 layar bioskopnya. Artinya, para anggota MPA dan produser lain di AS masih tetap harus mengedarkan film-filmnya dalam dua format, seluloid dan DCP, setidaknya sampai 2015 sesuai perhitungan awal pelaku usaha jasa teknik di Indonesia.
Maka, “pemaksaan” penggunaan proyektor digital di seluruh layar milik jaringan 21/XXI dengan alasan agar bisa terus menayangkan film-film impor terutama dari AS (padahal mereka juga tetap memiliki materi seluloid) ditengarai sebagai strategi bisnis untuk memperkokoh posisi sebagai penguasa pasar. Bioskop-bioskop kecil yang masih memakai proyektor analog praktis tidak bisa lagi menayangkan film-film impor baru. Harga proyektor digital yang sangat mahal pun bakal menyulitkan para pengusaha lain untuk membuka bioskop baru.
Konversi digital itu juga memunculkan studio pembuat materi DCP yang disebut-sebut dimiliki anggota keluarga pemilik jaringan 21/XXI. Namun, sebagaimana pemberitaan mengenai keterkaitan kepemilikan PT Omega Film dengan dua importir yang digantikan dan jaringan 21/XXI tahun lalu, sulit buat membuktikannya. Bahkan Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang sebelumnya pernah memeriksa dugaan kolusi tersebut gagal karena hanya berpegangan pada dokumen legal-formal.
Begitulah. Belum lagi semua perkembangan yang berlangsung sangat cepat itu bisa dipahami dengan baik, korban sudah mulai jatuh. Mitra Lab menjadi korban pertama. Nasib Interstudio, studio jasa teknik dan pencetakan kopi seluloid yang masih mencoba bertahan, masih belum jelas.
Para pembuat film semula menyambut dengan suka cita kehadiran bioskop digital karena cukup signifikan memangkas biaya. Produksi dengan kamera digital bisa langsung diproses, tanpa perlu di-blow up ke format seluloid 35mm. Penggunaan DCP pun lebih murah dibanding ongkos cetak kopi seluloid. Pembuatan master DCP terenkripsi hanya Rp 5 juta, sewa tempat penyimpanan Rp 500 ribu, dan harga key delivery message (KDM) yang berfungsi sebagai sandi untuk memutar di satu layar/proyektor Rp 200 ribu. Apalagi satu materi DCP bisa digunakan untuk beberapa layar sekaligus
Tetapi kemudian kemudahan dan kemurahan itu malah menjadi bumerang. Film-film impor semakin merajalela karena dengan biaya murah itu juga importir dan bioskop bisa sekehendaknya menayangkan di sebanyak-banyaknya layar. Tidak ada aturan yang bisa membatasi keserakahan semacam itu. Dan seperti telah disebutkan di atas, film-film Indonesia-lah yang kemudian dikorbankan.
Benar yang dikatakan Syamsul Lussa, Direktur Pengambangan Industri Perfilman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam wawancara dengan tabloid Kabar Film, Juli lalu, “Perubahan drastis sedang melanda dunia perfilman saat ini… Ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi di semua negara… Yang pasti kami tidak dapat berbuat lebih jauh, kecuali tetap melihat keberadaan lab yang ada sat ini maupun yang sudah tutup sebagai bagian dari proses sejarah perfilman di Indonesia.”
Akan tetapi tampaknya pemerintah luput mencermati bahwa perubahan itu tidak sepenuhnya alamiah sebagaimana diuraikan di atas. Lebih gawat lagi, pemerintah lupa bahwa dirinya adalah pemegang otoritas, bukan sekadar penonton. “Beginilah kalau pemerintah tidak mempunyai visi yang jelas. Seharusnya pemerintah membuat aturan yang memihak industri perfilman nasional untuk melewati transisi ini dengan baik,” kata Abduh Aziz, produser dan penggiat sejumlah kegiatan perfilman.
Esensinya, perubahan memang tidak bisa dielakkan, namun segala dampak buruknya harus dikendalikan untuk melindungi dan tidak merugikan semua pelaku industri perfilman nasional, apalagi jika hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Di Mana Pemerintah?
Pasca restrukturisai Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, kegiatan perfilman nasional kini ditangani dua kementeriaan. Pertama, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melalui Ditjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya serta Direktorat Pengembangan Industri Perfilman. Kedua, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Ditjen Kebudayaan dan Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman. Sepintas, meskipun belum jelas benar bagaimana pembagian tanggung jawabnya, tampaknya akan lebih besar perhatian pemerintah sekaligus anggaran yang disediakan untuk film Indonesia.
Ironisnya, sepanjang semester pertama 2012 yang terjadi justru kebalikannya. Praktis tidak ada kebijakan dan bantuan apapun dari pemerintah. Dari sejumlah cerita dan pemberitaan kita bisa mengetahui pemerintah membiayai partisipasi Indonesia di sejumlah festival, pasar film, dan kegiatan lain di luar negeri: Cannes, Berlin, Puchon, AS, dan lain-lain. Tapi sampai sekarang tidak pernah jelas apa urgensinya dan terutama hasilnya buat industri perfilman Indonesia.
Pastinya, dalam enam bulan ini, tidak satu pun kebijakan dikeluarkan atau kegiatan diselenggarakan yang berkaitan langsung dengan “pengembangan industri perfilman” atau “pembinaan perfilman” di dalam negeri. Para pelaku industri perfilman kini terpaksa berjuang sendiri memperlambat kematiannya di dalam industri dan pasar yang sudah terdistorsi sedemikian rupa hingga dikuasai kelompok tertentu. Padahal dua menteri serta serombongan besar birokrat di bawahnya memiliki pekerjaan rumah besar yang selama ini diabaikan oleh menteri sebelumnya, yakni menegakkan UU Nomor 33/2009 yang disahkan DPR tiga tahun lampau. Sampai sekarang tidak ada satu pun pasal dalam UU perfilman baru tersebut yang dilaksanakan.
Hanya dengan ketegasan (dan dalam konteks hari ini mungkin juga keberanian) untuk menegakkan aturan main itu sebagian besar persoalan, baik yang disebut di atas maupun yang tidak, bisa diselesaikan guna menumbuhkan industri yang benar-benar sehat.
Pasal 10, misalnya, menyebutkan semua pelaku perfilman (kecuali importir) wajib mengutamaan film Indonesia dan menggunakan sumber daya dalam negeri secara optimal. Sementara pasal 32 mewajibkan bioskop memutar sekurang-kurangya 60% film Indonesia dari seluruh jam tayangnya. Lalu di Pasal 85 ditegaskan bahwa aturan tersebut harus sudah dilaksanakan paling lama dua tahun sejak UU disahkan.
Ini jelas merupakan ekspresi tegas pemihakan pemerintah, yang sayangnya tidak sedikit pun terlihat dalam kenyataan di lapangan. Perlu contoh lain?
Penegakan Pasal 11 akan menghancurkan praktik integrasi usaha vertikal di mana pemilik bioskop, importir/distributor, dan usaha perfilman lain harus terpisah kepemilikan dan pengelolaannya. Pasal 12 dan 13 bisa menghentikan monopoli karena film-film dari satu importir/distibutor tidak boleh diputar di lebih dari 50 persen layar dalam satu (jaringan) bioskop dan dilarang membuat perjanjian khusus yang berakibat terjadinya monopoli atau persaingan tidak sehat. Pelanggaran atas ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal 81 diancam hukuman pidana atau denda Rp 100 miliar.
Pasal 27 dan 28 memberi peluang besar bagi munculnya importir/distributor yang lebih banyak dengan hak perlakuan yang adil oleh bioskop, berpedoman pada tata edar yang dibuat oleh menteri. Sementara Pasal 33 mewajibkan keterbukaan bioskop untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah penonton setiap film, yang penting buat menciptakan persaingan sehat.
Berkaitan dengan pengarsipan, dalam Pasal 38 dan 39 disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kegiatan pengarsipan melalui pusat pengarsipan film Indonesia (PPFI). Maka sungguh aneh jika pemerintah tidak sedikit pun tergugah apalagi tergerak menyelamatkan Sinematek Indonesia yang kondisinya sudah sangat menyedihkan ketika mengetahui restorasi film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail sepenuhnya dibiayai oleh National Museum of Singapore (NMS) dan Wolrd Cinema Foundation (WCF). Konon pemerintah hanya memberikan sumbangan Rp 25 juta untuk membiayai malam peluncuran hasil restorasi tersebut.
Supaya mudah, apa sebetulnya kesalahan yang dilakukan pemerintah paruh pertama 2012 dan kita harapkan segara diperbaiki tahun ini juga oleh Menparekraf dan Mendikbud yang kini berkuasa, sebelum industri perfilman benar-benar ambruk seperti 1990-an?
Pertama tentu saja menerbitkan peraturan-peraturan pelaksanaan UU tersebut (Peraturan Pemerintah, SK Menteri, dan lain-lain). Dalam Ketentuan Penutup Pasal 88 jelas diatur kewajiban pemerintah untuk merampungkan dalam tempo satu tahun setelah UU disahkan. Berarti kedua menteri baru tersebut sudah ikut-ikutan menteri sebelumnya melanggar UU yang dibuatnya sendiri. Sungguh menyedihkan.
Di dalamnya termasuk menyegerakan pembentukan Badan Perfilman Indonesia (BPI) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 68, 69, dan 70 guna menangani berbagai aktivitas apresiasi, promosi, pendanaan pembuatan film-film bermutu tinggi, serta penelitian dan pengembangan perfilman Indonesia sebagai masukan kepada pemerintah. Sebenarnya sejak masih di bawah Menbudpar tahun lalu sudah sudah dilakukan rapat-rapat persiapan, tapi kemudian diulang di bawah koordinasi Menparekraf dan sekarang tidak terdengar lagi kelanjutannya.
Di samping itu pemerintah mesti membereskan berbagai hambatan lain yang mengganggu terwujudnya tata edar dan tata niaga yang adil (salah satunya tercantum di Pasal 28), termasuk persoalan-persoalan baru yang muncul seiring kehadiran teknologi pemutaran digital. Tujuannya, memberikan perlindungan paling maksimal kepada film-film Indonesia dan semua pelaku industri tanpa kecuali serta mengembangkan distribusi atau usaha pertunjukan film (bioskop) yang seluas-luasnya di seluruh pelosok Indonesia.
Salah satu konsukensinya, mengusulkan perubahan Peraturan Presiden Nomor 3/2010 tentang Daftar Investasi Negatif dengan mencabut bidang usaha distribusi film (ekspor, impor, dan pengedaran). Selain karena kegiatan impor dan bioskop sudah berlangsung di negeri ini sejak 1905 sehingga tidak membutuhkan proteksi lagi, larangan tersebut terbukti hanya menguntungkan segelintir pengusaha bahkan salah satunya terlalu mendominasi.
Akibat aturan yang melarang investasi asing itu, keinginan Lotte Cinema dari Korea Selatan membangun 100 bioskop tahun lalu ditolak Menparekraf. "Kami masih memberi kesempatan investor dalam negeri untuk menanamkan modal di sektor perfilman layar lebar Indonesia," ujar Ukus Kuswara, Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya Kemenparekraf. Sepintas terlihat seperti membela kepentingan nasional, padahal justru merugikan perfilman Indonesia yang sedang kekurangan tempat pemutaran.
Dalam bahasa yang lebih mudah lagi, pelaku industri saat ini sangat menantikan pemihakan yang tegas dari kedua menteri baru yang sudah menelantarkan film Indonesia. “Saya tidak paham, pemerintah memandang film ini sebagai apa? Kalau film Indonesia dianggap alat yang sangat penting buat menjaga dan memperkuat keragaman budaya kita, mereka tentu akan membela habis-habisan,” keluh seorang produser-sutradara yang filmnya senantiasa menjadi korban serbuan film-film impor baru.
Seandainya pun pemerintah begitu dungunya sehingga tidak memiliki perspektif seperti itu sehingga menganggap film semata komoditas dagang, tetap saja mereka telah terbukti gagal membangun iklim usaha yang adil dan menguntungkan bangsanya sendiri, apalagi bagi industri perfilman Indonesia secara menyeluruh. “Saya bahkan tidak tahu mesti mengeluh apa lagi dan kepada siapa untuk bisa membuat pemerintah mau memperbaiki keadaan ini,” tambahnya, “Kami ini mau menangis saja sudah tidak bisa lagi. Sudah lama habis air mata ini.”
Lampiran: UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman