Artikel/Kajian Film Indonesia dan Akal Sehat

Kajian JB Kristanto 01-09-2004

Berkembangnya televisi swasta sejak tahun 1990-an bersamaan dengan surutnya produksi film Indonesia. Meski demikian, tidak ada keluhan yang berarti dari orang-orang film, karena mereka bisa mendapat lahan yang memberi penghasilan lebih besar dengan kualitas pekerjaan yang relatif lebih cepat dan lebih mudah. Bisa disimpulkan bahwa seluruh pekerja film—dari tukang lampu, produser, hingga mereka yang beraksi di depan kamera—bisa ditampung dalam produksi sinetron yangsa menjadi salah satu tayangan utama stasiun-stasiun televisi. Bahkan karena kebutuhan televisi begitu besar, muncullah orang-orang baru dengan beragam latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Sinetron hanya salah satu acara televisi yang menyerap tenaga perfilman Indonesia. Masih ada jenis siaran televisi lain yang juga ikut menyerap tenaga-tenaga berketrampilan dalam media pandang-dengar ini: iklan dan videoklip musik.

Hijrahnya orang-orang film ke televisi tidak hanya hijrah secara fisik, tapi juga secara "pikiran". Yang terakhir ini dengan mudah bisa dilihat dari "genre" film khas Indonesia yang ikut pindah ke televisi: rumahtangga, remaja dan mistik. Hal tersebut juga dengan mudah bisa disaksikan lewat lokasi tempat cerita berlangsung yang sebagian besar merupakan rumah-rumah paling mewah yang ada di Jakarta dan sekitarnya, dan tentu pakaian paling mutakhir yang juga mewah, berikut mobil dan aksesorinya seperti telpon seluler. Seperti film Indonesia yang berjaya di tahun 70-an hingga awal 90-an, orang sinetron sekarang ini juga gesit "menampung" apa yang sedang jadi simbol kekayaan dan kemutakhiran.

Padahal, hal ini sudah digugat lebih dari 20 tahun lalu, atau tepatnya pada tahun 1977 ketika juri Festival Film Indonesia mengumumkan hasil penilaiannya. Hal yang sama juga ditulis dalam puluhan resensi film yang bertebaran di berbagai media. Saya kutipkan kembali pertimbangan dewan juri yang dibacakan oleh Rosihan Anwar dengan penekanan tertentu hingga terkesan mengejek dan membuat orang-orang film marah besar saat itu.

"Dalam pertimbangannya Dewan Juri menyatakan bahwa tema tahun ini adalah mencari wajah Indonesia dalam film Indonesia. Kenyataannya banyak film Indonesia yang berwajah Hongkong, Taiwan, India atau campuran dari macam-macam wajah. Soalnya barangkali harus dipulangkan pada niat si pembuat dan ketrampilan dalam pembuatan."

"...Kecuali sebagian kecil, film-film ini sama sekali tidak memperlihatkan keterlibatan sosial. Beberapa film mencoba berbicara tentang masalah sosial, tapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan lingkungan, maka masalah sosial yang ditampilkan terasa sangat dibuat-buat dan semu..."

"Yang ingin kita lihat dalam film kita adalah gambaran dari manusia dan kehidupan Indonesia yang ada. Keinginan untuk menggambarkan ini ada pada beberapa film yang turut festival, tapi karena penggambaran tokoh maupun lingkungannya tidak utuh, maka gambaran itu menjadi tidak meyakinkan."

Penulis skenario, sutradara dan editor belum menguasai wawasan dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi kejadian-kejadian kebetulan tidak bermotif... Juga fotografi film kita masih pada tingkat menciptakan gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi musik dan pengarahan artistik. (Kompas, 3 Maret 1977).

Membaca penilaian di atas dan menggunakan penilaian itu sekarang untuk sinetron yang mendominasi siaran televisi kita, rasanya masih relevan. Coba baca tulisan Arswendo Atmowiloto yang dimuat dalam Tempo, 2 September 2001:

...Kemudahan dianggap sebagai penyelesai masalah, sehingga proses tak penting benar. Kemudahan sudah terbiasa dalam sinetron: tokoh-tokohnya harus cantik dan tampan, sekali menelepon mendapat sambungan, selalu tersedia tempat setiap mau parkir, hidup berkecukupan tanpa jelas apa pekerjaannya; tapi bisa jahat tanpa alasan: nenek bisa membunuh cucu, mertua meracuni menantu, si cantik berpasangan suami tolol lahir-batin, dan/atau kalau perlu berubah jadi hantu...

Rasanya tidak ada yang berubah dalam rentang waktu yang cukup panjang itu: lebih dari 20 tahun atau kalau mau dihitung sejak film Indonesia pertama dibuat dengan kisah dari legenda "fantastis" dan juga "mistis" Loetoeng Kasaroeng (1926), maka rentang waktu itu menjadi sekitar tiga perempat abad. Bahkan ada yang lebih memprihatinkan lagi dalam "penghinaan terhadap akal sehat" ini—istilah yang sering diungkapkan dalam berbagai resensi film Indonesia 10 dan 20 tahun lalu. Begitu kesalnya soal akal sehat ini, pengamat film yang tekun saat itu Salim Said sampai pernah menulis di tahun 1975:

“...Film yang baik adalah film di dalamnya ada cukup akal sehat, di mana tidak semua perempuan yang mengalami kesukaran lalu jadi hostes atau pelacur, di mana tidak semua ibu tiri galak; logika untuk sampai kesana juga harus disediakan. Pendeknya sebuah film yang baik itu adalah film yang tidak menyakitkan otak ketika kita menontonnya. (“Film Indonesia dan Kritik” dalam Salim Said, Pantulan Layar Perak, Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm 22-23)

Untuk lebih meyakinkan, baca juga kutipan yang membahas film Ratu Pantai Selatan di bawah ini. Film ini sempat ditarik dari peredaran oleh Badan Sensor karena protes masyarakat untuk disensor ulang di bulan Juli 1989.

Bagaimana tidak menghina (otak kita) bila begitu film dimulai Sang Ratu digambarkan bersenggama, dan pada puncak orgasme, dari bagian alat vitalnya—tentu tidak diperlihatkan—muncratlah darah yang membasahi dada dan wajah pasangannya. Maksudnya, wanita ini setiap kali bersetubuh memakan korban lelaki dengan cara memutus alat vitalnya. Rupanya di dalam vaginanya ada belut—tak dijelaskan kenapanya—yang kelak menurut “analisa” polisi jadi biang pencaplok. Apakah Ratu Pantai Selatan yang berbusana seperti pemain ketoprak itu maksudnya Nyai Roro Kidul yang sampai sekarang mitosnya masih hidup di sekitar Yogya dan Solo? Tidak jelas. Film ini terlalu malas, atau tidak merasa perlu menjelaskannya. Yang pasti, suatu ketika ia menikah dengan seorang berblangkon dan ketika bersanggama dengannya itulah, sang belut keluar dari vaginanya. Si orang blangkon menangkap belut itu, yang lantas berubah jadi keris berbinar-binar. (Jakarta, Jakarta, 23 Juli 1989)

Pada 1977 ketika ucapan Dewan Juri FFI menimbulkan keributan di kalangan orang film itu, memang hanya ada dua film mistik yang merupakan salah satu "genre" asli Indonesia sejak awal sejarah film Indonesia—Tie Pat Kai Kawin (Siloeman Babi Perang Siloeman Monyet) dibuat pada tahun 1935—tapi jenis film ini cukup merajai pada tahun 80-an di samping film-film banyolan, yang kemudian disusul dengan film-film seksploitasi pada awal tahun 90-an. Data-data ini menunjukkan betapa sia-sianya segala macam tulisan yang mengutuk di atas itu.

***

Hijrahnya orang-orang film ke televisi sangat terasa sekali mulai pertengahan tahun 90-an. Kebutuhan acara televisi yang sangat banyak bersamaan dengan "rontoknya" produksi dan distribusi film Indonesia akibat monopoli Jaringan 21 dalam impor maupun bioskop. Belum lagi biaya produksi yang berlipat kali jumlahnya dibanding biaya produksi sinetron, hingga praktis tidak ada lagi produksi film Indonesia. Memang masih ada satu-dua film seksploitasi yang dibuat untuk pengisi bioskop-bioskop pinggiran kota besar atau bioskop kota-kota kecil. Jumlah ini terlalu kecil untuk bisa berbicara. Film yang dibuat itu pun ternyata juga tidak menghasilkan cukup uang, hingga akhirnya tidak ada lagi yang bertahan.

Data-data dari Sinematek Indonesia yang masih rajin mencatat produksi film Indonesia, menunjukkan bahwa "keruntuhan" itu terjadi mulai 1998. Tahun itu tercatat hanya empat produksi film (termasuk yang dibuat dalam format video), sementara tahun-tahun berikutnya: 1999 tiga judul, 2000 tiga judul dan 2001 empat judul. Padahal, pada tahun 1997 masih tercatat 27 judul. (1996: 15 judul dan 1995: 12 judul). Jumlah itu tentu sangat tidak berarti bila pernah tercatat produksi lebih dari 100 judul per tahun.

Kekosongan ini segera diisi oleh orang-orang baru sama sekali; orang-orang yang bukan dari dunia film Indonesia itu sendiri; sesuatu yang menyempal dari tradisi sebelumnya, yang—meski tidak terlalu tepat—boleh diistilahkan dengan sistem magang; orang-orang yang secara fisik memang terpisah dan boleh dibilang tak punya hubungan dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka ini berasal dari beragam latar belakang pendidikan baik dalam maupun luar negeri. Ada yang memulai kariernya dari film-film dokumenter, ada yang dari film iklan dan klip video yang juga menjadi ladang penghasilan karena industri rekaman musik yang semakin besar dengan masuknya perusahaan-perusahaan multinasional. Kebutuhan promosi industri musik lewat televisi juga membesar, di samping kebutuhan acara musik itu sendiri di televisi umum maupun khusus seperti MTV. Muncul pula klub-klub amatir pembuat film. Kesulitan biaya umumnya diatasi dengan menggunakan format video dari yang betul-betul amatir seperti handycam sampai ke format video digital.

Tumbuh juga kelompok pencinta film yang tidak lagi puas dengan apa yang disajikan di bioskop umum maupun televisi. Mereka mencari tontonan alternatif dengan membuat kelompok-kelompok, di samping beberapa "kantong budaya" juga secara rutin mencoba mengusahakan pemenuhan kebutuhan tadi. Di Bandung umpamanya ada FSM, SAFERs, TV Campus-Unpas, GSSTF-Unpad, Ruang Merah, Rumah Nusantara. Hal serupa juga terjadi di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dll. Mungkin kelompok-kelompok ini mengingatkan kita pada pembentukan kine klub pada masa sebelumnya yang sekarang tampak tak begitu aktif.

Munculnya kelompok-kelompok tadi juga dipermudah dengan ketersediaan teknologi video yang lebih murah dan lebih mudah, di samping tersedianya film-film dalam bentuk VCD maupun DVD dalam jumlah yang melimpah dan dengan kualitas gambar maupun suara yang sangat memadai. Kemudahan mendapatkan tontonan film yang lain dari yang di bioskop maupun televisi, sebenarnya sudah lama ada di pusat-pusat kebudayaan asing seperti Pusat Kebudayaan Perancis, Jepang dan dulu juga Pusat Kebudayaan Ceko. Kegiatan semacam ini berkembang juga di Teater Utan Kayu, Bentara Budaya Jakarta, British Council, Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Rusia, dan Institut Kebudayaan Italia.

Seakan belum lengkap dengan adanya kelompok pembuat dan penonton ini, muncul juga sejumlah forum di internet, baik yang sekadar forum (dalam bentuk mailing list) yang lebih bersifat curhat, atau dalam bentuk website seperti layarkata.com, yang lebih serius, maupun yang menerbitkan majalah seperti Cinema Society yang bermotto "kajian kritis sinema". Bahkan ada kelompok bernama Konfiden yang sudah beberapa kali mengadakan festival video independen yang kebanyakan diikuti oleh para pembuat amatir.

Kelompok orang-orang baru yang umumnya berusia 20-an dan 30-an tahun ini sempat "dibaptis" dengan telah lahirnya "generasi baru" perfilman Indonesia. Kegairahan yang terasakan memang tinggi sekali, apalagi bila mengikuti forum diskusi mereka di internet, buletin yang diterbitkan, maupun usaha mereka untuk dibicarakan di media massa umum baik cetak maupun elektronik. Sayangnya, kegairahan ini baru berlaku di lingkungan "intern" mereka sendiri. Usaha untuk meluaskan kegairahan tadi masih harus menemui jalan panjang yang penuh rintangan. Jumlah mereka juga rasanya belum terlalu mencolok, hingga akan dilirik oleh mereka yang punya uang. Tentu saja mereka tidak peduli dengan jumlah, karena semangat mereka adalah semangat independen, semangat gerilya, semangat orang pinggiran, meskipun akhirnya sudah ada kelompok yang berusaha ke tengah seperti Miles Productions yang berawal dengan produksi eksperimentalnya Kuldesak, lalu memproduksi Petualangan Sherina yang sukses besar dan kini tengah mempersiapkan produksi ketiganya.

Melihat peta yang tampak sekarang ini, bagi yang cukup mengikuti sejarah perfilman Indonesia, bukanlah suatu yang baru. Ini seolah sebuah siklus yang terus berulang. Meski kelompok atau "generasi baru" perfilman Indonesia sekarang ini seolah-olah putus dan tak punya hubungan dengan generasi sebelumnya, namun kegairahan mereka ini bisa dilihat pada sutradara-sutradara terkemuka Indonesia pada masa "mudanya". The Long March (Darah dan Doa) karya Usmar Ismail pada tahun 1950 dianggap tonggak awal film nasional, hingga hari pertama pengambilan gambarnya diusulkan menjadi Hari Film Nasional. Film ini secara teknis sangat miskin, tapi semangat pembuatannya yang bergelora tampak sekali. Apalagi ia berbeda sekali dengan film-film sebelumnya baik dalam tema, penggarapan karakternya dan konsep sinematografinya, yang bisa diduga saat itu sangat dipengaruhi oleh Neorealisme yang tengah marak di Italia. Film ini tidak mendapat sambutan semestinya di bioskop, begitu juga beberapa film Usmar Ismail berikutnya, termasuk yang bisa dianggap sebagai masterpiece-nya: Lewat Djam Malam (1954). Pada periode berikutnya Usmar Ismail bergerak ke "tengah" dengan film-film seperti Tiga Dara (1956), Krisis (1953), atau Ananda (1970), yang sukses secara komersial.

Semangat lebih menekankan aspek kesenian film juga menandai awal kebangkitan kembali perfilman Indonesia pada pertengahan 60-an. Berbeda dengan gerakan anak muda sekarang, pada saat itu yang memegang peran adalah Departemen Penerangan cq Direktorat Jendral Radio, Film dan Televisi yang dipimpin oleh budayawan terkenal Dr Umar Kayam dengan Direktur Filmnya almarhum Drs Sjuman Djaja. Deppen saat itu mensubsidi pembuatan lima film yang dianggap bisa menjadi contoh film yang "baik". Salah satu hasilnya adalah Apa jang Kau Tjari Palupi (1969), karya Asrul Sani yang memenangkan hadiah film terbaik pada Festival Film Asia 1970.

Sjuman Djaja sendiri merintis jalan yang sama. Berawal dengan film Lewat Tengah Malam (1971), yang tidak mendapatkan sambutan pasar, meski bisa dikatakan merupakan film terbaiknya, kemudian ia membuat Kabut Sutra Ungu (1979) yang merupakan film terlaris di Jakarta pada 1980. Teguh Karya yang sudah punya nama besar di teater, juga sama. Ia mulai dengan Wadjah Seorang Laki-laki (1971)—bersama dengan Lewat Tengah Malam melawan arus besar komersialisasi seks dan kekerasan dalam film berkat suksesnya Bernafas dalam Lumpur karya Turino Djunaidi— untuk kemudian membuat Cinta Pertama (1973) yang pop dan laris, lalu masih mencoba lagi dengan film serius Perkawinan dalam Semusim (1976), meski bisa dikatakan gagal baik secara komersial maupun estetik. Apa yang ditempuh Wim Umboh agak berbeda. Ia mulai dengan membuat film-film laris, untuk kemudian berusaha membuat yang "serius" dengan Mama (1972) yang kemudian diulangnya lagi dengan Sesuatu yang Indah (1976) yang juga bisa dibilang gagal, dan Pengemis dan Tukang Becak (1978) atau Kembang-Kembang Plastik (1977), yang menyempal dari "ciri khasnya": cerita pop dibungkus gambar indah yang sebagian besar berupa medium-shot dan close-up sebagai cara untuk menyiasati kelemahan penyutradaraan pemain, dan ritme editing yang cepat dengan contoh terkenalnya Pengantin Remaja.

***

Persamaan kegairahan itu mungkin harus berhenti di sini, karena yang sama memang hanya kegairahannya. Konteks yang harus dihadapi para pendahulu kelompok generasi baru ini sangat berbeda, begitu juga pengaruh-pengaruh luar yang datang. Para pendahulu itu tidak memiliki alternatif video digital yang teknologinya sudah mendekati hasil gambar optik, hingga memungkinkan orang membuat film dengan biaya yang jauh lebih murah. Apalagi kalau—seperti yang banyak dilakukan sekarang—menayangkannya dengan peralatan video digital juga. Mereka juga tidak memiliki jalur ke pendanaan internasional, seperti yang dinikmati oleh Garin Nugroho dan Nan Achnas umpamanya dalam pembuatan film-film mereka seperti Puisi Tak Terkuburkan (1999) dan Pasir Berbisik (2000). Kemungkinan saat itu memang belum ada yayasan atau badan dana yang memperhatikan perfilman atau bakat-bakat dari negara berkembang.

Perbedaan lain adalah pendidikan khusus perfilman yang banyak dimiliki oleh generasi baru ini baik di dalam maupun di luar negeri yang umumnya dibiayai sendiri oleh orangtua mereka atau beasiswa dari badan-badan perfilman/kebudayaan asing. Hal terakhir ini mungkin bisa dianggap sebagai sebuah kemewahan bagi generasi sebelumnya yang umumnya datang dari keluarga pas-pasan dan masuk dunia film lebih untuk "adu-untung" bukan dengan tujuan yang dengan sadar dipilihnya. Hanya segelintir yang datang dari keluarga menengah (ingat istilah "anak-wayang" untuk orang film dengan segala konotasi negatifnya) dan berpendidikan cukup yang masuk dunia ini.

Data-data yang dihimpun oleh organisasi Karyawan Film dan Televisi (KFT) dan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) pada tahun 1976 menunjukkan hal ini. Dari 91 sutradara anggota KFT pada tahun itu tercatat 55 orang (60,4 persen) lulusan SMA dan hanya 12 (13,2 persen) yang lulus dari perguruan tinggi, meski ada juga 13 (14,3 persen) yang mengalami pendidikan di luar negeri. Selebihnya: dua lulusan SD dan 9 lulusan SMP. Perbandingan pendidikan para sutradara ini jauh lebih baik daripada para anggota Parfi alias para pemain film/bintang film yang gemerlapan itu. Dari 473 anggota Parfi tahun 1976 itu, jumlah terbesar adalah lulusan SMP, yaitu 248 orang (52 persen). Urutan berikutnya: 119 lulusan SD (25 persen), 81 lulusan SMA (17 persen) dan 28 lulusan perguruan tinggi (6 persen).

Ladang latihan generasi baru ini juga cukup luas: sinetron, klip video musik dan iklan berlimpah jumlahnya. Jalan perintisan lewat latihan-latihan semacam ini sangat umum dalam karier orang film. Sutradara Hongkong yang sekarang bereputasi internasional, Wong Kar-Wai, mungkin bisa disebut sebagai salah satu contoh.

Adakah segala kelebihan itu juga tampak dari hasil karya mereka? Empat film yang telah dan akan ditayangkan di bioskop—saat tulisan ini dibuat—mungkin bisa jadi contoh: dua dalam format video digital, yaitu Pachinko & Everyone's Happy dan Beth, dan dua dalam format film biasa yaitu Pasir Berbisik dan Puisi Tak Terkuburkan. Keempat film ini—karya-kaya sutradara generasi terbaru—dengan kadar yang berbeda memiliki kelemahan yang sama yaitu apa yang sering disebut dengan istilah sebagai "logika dalam dirinya". Kelemahan ini sudah dibeberkan di atas dengan kutipan dari Dewan Juri FFI 1977, artikel Arswendo Atmowiloto dan kutipan-kutipan lain di awal tulisan. Maksudnya adalah bahwa setiap karya seni memiliki logika tersendiri yang sangat mungkin berbeda dengan realitas kehidupan biasa, bahkan juga dengan karya seni yang lain, meski dari jenis yang sama (umpamanya film A dengan film B).

"Logika dalam" ini datang saat sang pencipta mengawali ciptaannya dalam bentuk apapun. Ia bisa berimajinasi berupa karakter satu tokohnya, bisa juga plot sebuah cerita, sebuah masalah tertentu, sebuah citra tertentu atau sebuah gambar tertentu. Begitu sudah menetapkan awalan tadi, maka tercipta pulalah sebuah logika tertentu, yang secara teori tetap berpatokan pada ilmu logika umum. Pada saat itu, sang pencipta tidak lagi bebas. Ia harus mematuhi konsekuensi logis dari yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ia tidak lagi bisa semena-mena memperlakukan tokoh ciptaannya, atau jalan cerita yang sudah disusun awalannya. Ini merupakan hukum umum dan dasar penciptaan karya seni dari jenis apapun. Hal ini pula yang menyebabkan perlunya ada penelitian khusus dan mendalam mengenai apa yang diperlukan, sampai ke soal-soal yang sangat sepele sekali seperti jenis tata rambut, pakaian, tingkah laku dll.

"Logika dalam" inilah yang menyebabkan adegan berlari di atap-atap rumah atau perkelahian di pucuk bambu dalam film Crouching Tiger Hidden Dragon karya sutradara Taiwan, Ang Lee, menjadi enak ditonton dan bukan hal yang tak masuk akal. Atau kalau mau contoh yang lebih "serius" bisa juga dilihat pada film Wim Wenders berjudul Wings of Desire (1987) yang baru-baru ini diputar di Bentara Budaya Jakarta. Film ini "berkisah" tentang malaikat yang bisa malang-melintasi kota Berlin tanpa kelihatan, "mendengar" pikiran manusia, dan jatuh cinta pada seorang akrobat trapeze yang rombongan sirkusnya bangkrut. Dua film yang yang sama-sama bersifat puitis ini menjadi sangat menarik saat diikuti dan juga sama-sama meyakinkan meski mungkin "tidak logis" bila dikaitkan dengan realitas sehari-hari. Bahkan Wings of Desire dengan enak keluar-masuk antara yang "tidak real" dengan "yang real" (dengan tegas dinyatakan dengan penggunaan hitam-putih dan warna). Kedua film ini berhasil karena para penciptanya bertaatasas secara ketat dan tuntas dengan "dunia rekaan" yang sudah mereka tentukan sebelumnya.

"Logika dalam" ini memang bukan hal baru bahkan mungkin sangat kuno—abad 4 SM Aritoteles dalam bukunya Poetica sudah menyebutkan antara lain: ciri-ciri karya seni adalah kesatuan yang koheren—namun rasanya baik untuk dikemukakan kembali, karena posisinya yang sangat mendasar dalam penciptaan karya seni baik yang bersifat serius maupun sekadar hiburan yang diniatkan untuk mencari uang semata. Kelemahan ini yang terus menghantui perfilman Indonesia kecuali untuk sangat segelintir sutradara. Yang paling berhasil bertaatasas dengan "logika dalam" ini mungkin hanya Usmar Ismail yang kecuali membuat film serius, Lewat Djam Malam (1954), juga membuat film hiburan (bahkan musikal) Tiga Dara (1956) dengan sama berhasilnya. Nama lain yang bisa disebut di sini dalam masalah ini adalah Asrul Sani yang tidak semua filmnya berhasil (yang paling menyenangkan adalah Bulan di Atas Kuburan (1973), tapi skenarionya Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985) dan Naga Bonar (1986) bisa jadi contoh ketaatasasan "logika dalam" itu).

Kelemahan "logika dalam" ini terus menghantui penciptaan film kita sepanjang sejarahnya, tidak perduli yang serius mau berkesenian maupun sekadar cari uang. Beth, Pachinko & Everyone's Happy, Pasir Berbisik dan Puisi Tak Terkuburkan memiliki kelemahan itu dengan kadar yang berbeda.

Pachinko mungkin yang paling ringan kadarnya. Paling ringan karena dugaan terhadap apa yang ingin dinyatakan oleh sutradara yang juga penulis skenarionya, Harry Suharyadi, bisa dilakukan dengan cukup "cepat dan mudah". Harap istilah ini tidak disalahartikan, karena "cepat dan mudah" di sini tidak ada kaitannya dengan bagus atau jeleknya kualitas sebuah film, meskipun "cepat dan mudah" bisa membantu penonton menikmati film tanpa harus terus menduga-duga.

Dengan segala hormat pada "perjuangan" Harry untuk bisa mewujudkan film ini, harus diakui bahwa banyak shot yang mubazir, begitu juga editing-nya yang seolah-olah seperti kekurangan gambar. Sisipan gambar geisha di awal dan di tengah film tidak banyak artinya, meski di akhir film sisipan tadi "diteruskan" menjadi adegan geisha yang tengah berdandan dan bersiap-siap menghibur tamu. Adegan persetubuhan antara Rudy dan Maki yang diselingi gambar-gambar lain tidak memperkaya apapun adegan itu. Begitu juga adegan akhir pesta dengan geisha yang begitu berpanjang-panjang.

Kelemahan ini bisa merupakan kelemahan teknis penyutradaraan dan bisa juga masalah ketrampilan. Ketrampilan teknis memang memerlukan latihan cukup panjang. Kelemahan ketrampilan teknis dengan sangat mudah dimaafkan, tidak seperti kelemahan "logika dalam". Dalam contoh film ini: informasi yang sangat tidak cukup dan intensif tentang hubungan anak-ibu-nenek dan lingkungan sosialnya. Padahal inilah inti cerita yang ingin disajikan.

Kalau Pachinko tidak ingin berbicara masalah besar (meski bisa juga diduga maksud pencipta untuk menunjukkan tema besar tentang jurang antargenerasi), maka Beth justru banyak bicara soal besar, sekaligus bisa juga dikatakan tidak bicara apa-apa, karena hal-hal besar tadi tidak diuraikan dengan cukup memadai. Hal paling besar yang ingin dinyatakan kira-kira adalah bahwa masyarakat kita sakit, sama dan sebangun dengan dunia rumah sakit jiwa yang dijadikan tempat peristiwa berlangsung. Karena tokoh-tokohnya adalah orang dengan kelainan jiwa, maka penulis skenario maupun sutradaranya (Nana G Mulyana dan Aria Kusumadewa) merasa bisa berbuat dan menyatakan apa saja, tanpa pemahaman cukup tentang jenis-jenis penyakit jiwa yang sangat beragam dan dengan sendirinya akibat pada tingkahnya juga sangat beragam.

Lewat tokoh-tokoh sakit jiwa ini, penciptanya seolah bebas melontarkan pernyataan apa saja yang ingin dilontarkan, tanpa harus berkutat cukup keras apakah hal itu "sesuai dan taat asas" dengan "kenyataan" rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang jadi dunia rekaan yang diciptakannya. Karena itu pernyataan salah satu tokohnya, seniman yang tekun membuat seni instalasi sepanjang film berlangsung, di halaman rumah sakit jiwa (tidak jelas apakah seniman ini pasien atau bukan), menjadi sangat ironis. Dengan gagah sang seniman menyatakan "semakin baik karya seni, semakin sukar dimengerti". Begitu juga celetukan seorang tokoh yang mengomentari permainan ngawur piano pasien Beth seperti musiknya Slamet Abdul Syukur. Pernyataan-pernyataan ini apakah tidak tepat bila diucapkan untuk film ini sendiri.

Sebenarnya ada contoh sangat bagus dengan tema dan tempat peristiwa yang sama yaitu film karya sutradara Milos Forman berjudul One Flew over the Cuckoo's Nest (1975) yang mencuatkan aktor Jack Nicholson. Tidak jelas apakah pencipta Beth memiliki referensi ini.

Dibanding kedua film di atas, Pasir Berbisik karya sutradara Nan Achnas sangat menonjol dalam hal profesionalitas kerjanya. Ia dibuat dengan sangat serius, dengan niat sangat luhur, dan dengan biaya sangat besar untuk ukuran sebagian besar generasi baru perfilman yang lebih berlaku sebagai "gerilyawan" film. Ketiga "sangat" itu tentu harus diberi catatan tersendiri, meski hal itu tidak bisa menutupi kelemahannya, karena niat dan pelaksanaan adalah dua hal berbeda. Tentu niat sangat luhur untuk menunjukkan pergumulan perempuan dalam sistem patriarki, apalagi film ini memang diniatkan sebagai film perempuan seperti kata salah seorang produsernya, Christine Hakim (nmp, Kompas, 3 September 2000). Dan dominasi perempuan memang sangat besar bila melihat deretan nama di belakang kamera.

Mereka yang intensif bergulat dan menekuni studi tentang feminisme dengan sangat mudah menangkap simbol-simbol patriarki yang mereka lawan seperti ayah tak bertanggungjawab, kekerasan terhadap perempuan dll. Simbol-simbol ini bisa bermakna lain bila dilihat oleh mereka yang tidak punya referensi cukup tentang feminisme itu. Sangat bisa diduga bahwa film ini memang bukan film cerita biasa yang linier sifatnya, tidak ada "dramaturgi" di sana, bahkan karakter juga tidak ada. Yang ada adalah tipologi sifat tertentu dari tokoh-tokohnya. Karena tidak ada karakter, tentu tidak ada perkembangan karakter (hal ini pernah ditulis dalam: xjb, "Nonton Film Nonton Indonesia", Kompas 7 Juli 1985). Karena tidak linier, tentu tidak ada garis cerita yang lurus.

Film ini lebih seperti sebuah allegori, sebuah lambang-lambang. Dengan memahami maksud dan niatan demikian ini, tidak urung menyebabkan "pesan yang sampai bisa membingungkan, bahkan menyesatkan" (nmp, "Pasir Berbisik, Film dari Perempuan dan tentang Perempuan", Kompas 3 September 2001). Hampir seperti Beth, film Pasir Berbisik ini lebih terasa sebagai sekumpulan pernyataan. Bedanya: pernyataan dalam Beth verbal, sedang Pasir Berbisik lebih menekankan penggunaan gambar.

Sifat inilah yang menyebabkan kenapa sering terasa adanya inkonsistensi dalam diri kedua film itu. Kalau memang Pasir Berbisik tidak ingin menunjuk sebuah waktu tertentu seperti juga ketidakinginan menunjuk tempat tertentu mengapa sayup-sayup terdengar pidato Bung Karno. Kalau memang sang ibu, Berlian (Christine Hakim) dan anaknya, Daya (Dian Sastrowardoyo)—betapa sulit menghubungkan nama ini dengan lingkungan kehidupan mereka—berasal dari lingkungan sosial bawah dan pedesaan seperti tampak pakaian dan bangunan rumahnya, mengapa nyaris tak ada pergaulan sosial. Kalau memang Daya sejak kecil ditinggal ayahnya—tidak cukup informasi tentang umur—mengapa ia bisa langsung mengenali ayahnya ketika tiba-tiba muncul.

Kelemahan yang mirip seperti di atas itu bisa juga dilihat dari karya sutradara terbaik kita sekarang, Garin Nugroho, Puisi Tak Terkuburkan (1999). Film ini berdasarkan kisah nyata penyair didong Aceh, Ibrahim Kadir, yang dipenjara tahun 1965 karena disangka komunis, padahal itu peristiwa salah tangkap. Dengan cerdik Garin memfilmkan kisah ini dengan fokus di penjara dan dengan demikian pembuatannya juga sangat cepat, hanya enam hari dengan menggunakan kamera video digital yang kemudian dialihkan menjadi seluloid. Di penjara itulah Ibrahim Kadir berkisah lewat didong-nya, maupun kisah-kisah lain seputar penjara, seperti bagaimana para narapidana tanpa pengadilan itu dikarungi kepalanya sebelum dibawa entah ke mana dan tidak kembali lagi. Dengan cerdik pula Garin—lewat berbagai cara seperti wawancara, siaran pers dll—menyebarkan informasi dasar tentang sosok Ibrahim Kadir ini, padahal informasi dalam film itu sendiri tidak ada. Bahkan informasi geografis tentang tempat peristiwa itu terjadi maupun penjara itu berada juga tidak ada. Kelemahan-kelemahan “kecil” ini membawa akibat lebih besar: hilangnya kesempatan untuk membongkar masa lalu bangsa yang kelam secara tuntas. Sebagai perbandingan bisa dilihat bagaimana sutradara-sutradara Amerika Serikat memamah terus masalah perang Vietnam dari tahun 1970-an hingga akhir 1990-an, karena sebuah bangsa memang harus berani menghadapi masa lalunya yang kelam itu secara frontal, kalau bangsa itu ingin terbebas dari beban masa lampaunya. Hilangnya kesempatan ini jangan-jangan karena sikap melupakan atau menyepelekan yang kecil-kecil itu, yang detail, hingga pembuat film “kekurangan bahan” untuk menyusun kisahnya dengan lengkap dan dengan sikap yang jelas.

Ketidaktuntasan Garin ini juga terlihat dalam film-film lainnya seperti Surat untuk Bidadari (1992) umpamanya. Karakter tokoh yang sebenarnya cukup menarik seperti Kuda Liar (Adi Kurdi) yang berusaha mengambil keuntungan dari tradisi tapi juga memuja Elvis Presley, tidak dituntaskan. Begitu juga tokoh anak kecil Lewa yang hidup dalam karut-marut budaya di sebuah desa terpencil, yang sebagian besar orang Indonesia tidak tahu. Kesempatan untuk menuntaskan masalah karut-marut budaya ini juga hilang, karena yang tersaji hanyalah sketsa-sketsa umum seperti yang sudah umum diketahui. Padahal inilah masalah budaya terbesar bangsa ini. Apakah hal ini lagi-lagi disebabkan oleh “kurangnya bahan”, kurangnya penelitian?

Empat film ini boleh dibilang adalah film-film yang dibuat dengan niat serius untuk “berkesenian”. Mungkin ada baiknya menengok juga Petualangan Sherina (1991) sebuah film yang dibuat dengan penuh penyiasatan dari sisi jenis, kisah, pemilihan pemain, promosi dll, dan ternyata mendapat sukses luar biasa secara komersial. Sutradara maupun produser film ini, Riri Riza dan Mira Lesmana, juga hampir seluruh anggota produksi lainnya, adalah lulusan Institut Kesenian Jakarta. Orang-orang “sekolahan” ini pantas untuk disebut, karena film ini ternyata tetap mengandung ketidaktaatasasan. Contoh yang mungkin tidak terlalu mengganggu adalah penjelasan panjang-lebar tentang Observatorium Bintang Boscha, yang justru menghambat suspence kisah. Sebuah adegan yang bila dihilangkan, tidak akan membuat penonton kehilangan. Adegan ini dipaksakan mungkin karena para pembuat film bernafsu memberikan pesan “pendidikan”, sebagaimana para pembuat film generasi sebelumnya dengan nyinyir menyatakan bahwa film adalah juga tuntunan.

Yang lebih mengganggu adalah adanya dua pola akting. Tokoh-tokoh baik diperankan secara “biasa”, sementara tokoh-tokoh jahat dimainkan secara “karikatural”. Dengan mudah diduga bahwa para pembuat film ini sangat terilhami sukses film anak-anak lain buatan Amerika Serikat, Home Alone. Sayang sutradara belum mampu “mencampur” dua gaya tadi seperti yang terjadi pada Home Alone.

***

Kelemahan-kelemahan film Indonesia dalam seluruh uraian di atas bukanlah hal baru. Hal ini sudah jadi perbincangan panjang dan lama. Salah satu penjelasan yang banyak dianut adalah sistem dan struktur produksi film Indonesia. Dalam artikel yang sudah dikutip di atas (“Film Indonesia dan Kritik”, 1975), Salim Said merumuskan pendapat banyak pihak tadi dengan menguraikan hal yang disebutnya sebagai “dosa asal” film Indonesia. Ia coba mengusutnya dari sejarah film Indonesia yang berawal dari para pedagang Cina yang pada tahun 1930-an merupakan pemilik bioskop, modal dan sekaligus penonton potensial. Di samping itu—seperti juga sekarang—bioskop didominasi oleh film impor buatan Hollywood dan Shanghai (sekarang Hong Kong). Hal inilah yang menyebabkan produser film Indonesia sering hanya membuat tiruan dari film-film laris itu (bandingkan dengan Petualangan Sherina hampir 70 tahun kemudian!). Faktor lain lagi yang mempengaruhi watak film Indonesia adalah tontonan sandiwara (Dardanela) yang hanya mempertunjukkan cerita dongeng yang nyaris tak ada hubungannya dengan dunia sekitar kita. Orang-orang sandiwara inilah yang pertama-tama menyerbu dunia film pada pertengahan kedua tahun 1930-an. Dengan demikian terbentuklah semacam mekanisme, semacam sistem tertentu dalam produksi film. Inti dari sistem ini adalah mencoba melayani keinginan penonton bukan menjadikan film sebagai alat ekspresi.

Penjelasan ini rasanya baru memberikan pemahaman apa-apa saja yang mempengaruhi proses produksi film atau juga proses penciptaan film, tapi belum menjawab masalah kenapa peniruan pun dilakukan dengan buruk umpamanya. Teknologi film yang belum dikuasai, ketrampilan yang kurang, ataukah ada yang lebih dalam lagi? Dalam lanjutan penjelasannya Salim menyimpulkan bahwa dosa asal tadi adalah sikap dalam menghadapi film yang terus-menerus terwariskan. Film dianggap lebih sebagai barang dagangan, meski sudah ada keputusan MPR bahwa film bukan barang dagangan semata. Namun demikian, “Saya cukup merasa punya bukti bahwa sikap para pembuat film kita masih kurang berwatak dagang. Seorang pembuat bakso tentulah selalu berusaha membuat bakso yang enak. Segala cara akan dia lakukan untuk makin menarik langganan, baik karena saingan makin banyak dan selera pembeli yang terus menuntut. Perbaikan itu harus terus diadakan... Nah, apakah hal seperti ini ada pada film Indonesia? Ternyata tidak...” begitu tulisnya.

Kutipan terakhir penjelasan Salim Said ini bisa menjadi petunjuk bahwa ada yang lebih dalam dari sekadar sistem dan struktur produksi film Indonesia: tidak ada sikap ingin tuntas, sikap mengejar perfeksi habis-habisan. Ini tentu bukan soal sistem dan struktur belaka. Apalagi penjelasan tadi tidak bisa lagi dipakai untuk menjelaskan kenapa generasi terbaru perfilman Indonesia masih juga mewarisi “dosa asal” tadi. Seperti sudah diuraikan di bagian awal, generasi terbaru ini secara fisik maupun profesional tidak punya hubungan apapun dengan generasi sebelumnya. Generasi terbaru ini jelas tidak didominasi oleh produser yang hanya punya “selera rendah” seperti yang dihadapi generasi sebelumnya.

Para sutradara generasi terbaru ini justru sangat mendominasi pembuatan filmnya. Mereka tidak harus “berkelahi” untuk memperjuangkan gagasannya. Bahkan sebagai produser, Mira Lesmana (begitu juga produser Pasir Berbisik, Shanty Harmayn, yang sukses menyelenggarakan Jakarta International Film Festival), umpamanya, sangat akomodatif dengan tim kreatif produksinya saat mempersiapkan maupun saat pembuatan Petualangan Sherina, karena Mira sendiri pernah membuat film. Bersama tiga sutradara lain, ia membuat film Kuldesak (1997) yang sangat eksperimental sifatnya: empat cerita dari empat skenario dan empat sutradara disatukan dalam sebuah film. Masing-masing cerita berjalan bersamaan, hingga editor film ini sangat berperanan, bahkan bisa dianggap sebagai sutradara juga. Hasil editing film ini boleh dibilang menyumbang pada pembaruan gagasan dalam soal penyuntingan. Film ini cukup unik, tapi karena tiap ceritanya tidak terlalu panjang, maka penguraian gagasannya tidak cukup punya ruang untuk diuji secara sungguh-sungguh.

Kelemahan-kelemahan film Indonesia tampaknya berasal dari pemahaman tentang proses penciptaan yang lebih menekankan pada sisi imajinasi. Padahal imajinasi seliar apapun akhirnya harus tunduk pada hukum penciptaan yang lain yaitu logika. Hal itulah yang diucapkan oleh pelukis besar Spanyol Francisco de Goya, paling tidak lewat film Goya in Bordeaux (1999) karya sutradara Spanyol terkemuka, Carlos Saura: ibu kesenian adalah imajinasi dan rasionalitas. Atau seperti kata pelukis besar lain, Leonardo da Vinci: pelukis yang melukis hanya dengan mengandalkan latihan dan penilaian mata semata tanpa menggunakan akal (logika) adalah seperti cermin yang mereproduksi semua obyek di depannya secara terbalik (B Goldwater and Marco Treves, Artist on Art from the XIV to the XX Century, Pantheon Books, 1972). Rasanya, cara berpikir yang lebih menekankan sisi imajinasi dan tidak terlalu perduli dengan logika inilah yang terwariskan. Rasanya, cara berpikir inilah yang membuat banyak hal tidak masuk akal, asal campur, tidak tuntas, bahkan rancu seperti yang tercermin dalam film Indonesia.

Masalahnya adalah bagaimana hal itu terwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini rasanya hanya bisa dijelaskan dengan sebuah spekulasi: pewarisan budaya. Pewarisan ini tentu tidak hanya terjadi pada mereka yang berkecimpung dalam dunia film, tapi dalam seluruh bidang kehidupan bangsa. Bagaimana pewarisan itu berlangsung? Saya tidak bisa menjelaskan secara tegas, tapi hanya bisa menduga-duga dan menunjukkan indikasi-indikasinya. Yang paling mudah diduga adalah bahwa pewarisan itu berlangsung secara “alamiah” dalam pergaulan di rumah, di sekolah, di tempat kerja, kisah-kisah legenda maupun buku-buku saat sudah ada tulisan, tontonan dari yang tradisional seperti wayang sampai yang modern seperti televisi. Pendeknya, sebagaimana sebuah kehidupan peradaban berlangsung. Indikasinya? Bertebaran.

Seorang pengamat mode, misalnya, pernah mengeluh bagaimana perancang kita sering hanya mencampur begitu saja unsur-unsur etnis Indonesia tanpa memiliki konsep dasar yang jelas. Contoh lain: novel-novel pop Indonesia punya kesejajaran dalam cara merangkai kisah dan karakterisasi tokoh-tokohnya dengan kisah-kisah film Indonesia, wayang kulit, ketoprak, lenong dan cerita-cerita “tradisional” lain. Contoh begini bisa ditarik kemana-mana. Bisa juga jauh ke masa lampau. Pepatah Jawa othak-athik gathuk (otak-atik cocok) rasanya masih terwariskan hingga sekarang.

Hal ini bisa dibaca dalam tulisan ahli sastra Jawa Kuno, S Supomo, yang berjudul “Tantular dan Karyanya” dalam 1000 Tahun Nusantara (Penerbit Harian Kompas, 2000, hlm 497-512). Mpu Tantular diperkirakan menyelesaikan dua karya besarnya Kakawin (puisi naratif) Arjunawijaya (dalam kisah-kisah wayang sekarang dikenal dengan tokohnya Arjuna Sasrabahu) dan Sutasoma antara 1367 sampai 1389, pada masa pemerintahan raja Majapahit terbesar, Hayamwuruk. Dua karya ini boleh dibilang karya besar, bukan hanya karena jumlah baitnya (Arjunawijaya 580 bait, Sutasoma 1220 bait) dan tentu juga keindahan puisinya, tapi juga karena dari Sutasoma muncul dua istilah yang “dikeramatkan” sekarang, meski sebenarnya arti yang sekarang merupakan pemlesetan dari arti yang sebenarnya tertulis dalam karya itu: bhineka tunggal ika dan pancasila. Harap dicatat: pemlesetan, pemelintiran atau melepaskan makna dari konteks aslinya begini juga merupakan salah satu kebiasaan yang berurat akar, bahkan oleh kalangan akademisi yang suka mengutip teori-teori barat untuk “dicocokkan” dengan masalah sosial tertentu.

Lengkapnya kalimat yang berisi bhineka tunggal ika itu adalah “...Jinatwa kalawan Siwatatwa/ bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”; terjemahannya: pada hakekatnya yang paling dalam Buddha dan Siwa adalah satu/ (Keduanya) itu berbeda, (tetapi) itu satu, tak ada dharma yang mendua (Sutasoma 139, 5c-d). Dalam penjelasan mengenai kalimat itu, Supomo menulis bahwa di bagian lain Mpu Tantular memberikan uraian panjang lebar tentang dua macam yoga yang dilakukan oleh pengikut Siwa dan Buddha. Ditegaskannya, bahwa ajaran apapun yang diikuti, orang harus mengetahui kedua jalan itu. Pendeta Buddha akan gagal jika tidak mengetahui jalan kesiwaan, demikian pula sebaliknya. Hal ini menjadi semakin jelas, karena sebelumnya Supomo juga mengutipkan kalimat dengan makna sejenis dari kakawin Arjunawijaya: ...tan hana bheda Sang Hyang/ Hyang Buddha rakwa kalawan Siwa rajadewa/ kalih sameka sira pinakesthi-dharma (...tak ada perbedaan antara dewa-dewa tersebut/ Hyang Buddha sama dengan Siwa, raja segala dewa/ keduanya itu sama, keduanya merupakan tujuan dharma, Arjunawijaya, 27,2).

Supomo menjelaskan bahwa kalimat-kalimat itu muncul bukan hanya karena kerumitan masalah agama Siwa (Hindu) dan Buddha saja pada masa itu, tapi juga karena ada unsur kepercayaan lokal (tradisi pemujaan Gunung Keramat cq Dewa Gunung) yang ada sebelum masuknya dua agama India tadi datang, muncul kembali pada zaman Raja Hayamwuruk itu. Apalagi Arjunawijaya merupakan adaptasi (peniruan?) dari Uttarakanda versi Jawa Kuno, bagian ketujuh atau terakhir dari epos Ramayana yang telah dijawakan dalam bentuk prosa sekitar abad 11. Ramayana sendiri merupakan pemujaan terhadap Dewa Wisnu, salah satu dewa dalam agama Hindu. Seperti diketahui adaptasi kisah-kisah India ini sudah terjadi tiga ratusan tahun sebelumnya: Arjunawiwaha (1028-1035), Bharatayuddha (1157). Jadi, hampir seribu tahun lamanya kisah-kisah ini—berikut jalan pikirannya—“menguasai” paling tidak jalan pikiran orang-orang Jawa.

Supomo berkesimpulan bahwa kalimat-kalimat di atas itu menunjukkan sikap toleransi keagamaan Mpu Tantular yang besar, karena dia sendiri adalah penganut ajaran Buddha. Hal ini tampak dalam bait pengantar Sutasoma (1.1a) di mana Tantular memuja Sri Bajrajnana yang di tempat lain dikenal dengan sebutan Adi-Buddha.

Saya punya kesimpulan lain: inilah contoh amat bagus tentang sikap atau jalan pikiran othak-athik gathuk. Bila kita tahu bahwa ajaran Buddha tumbuh di India sebagai sebuah “perlawanan” terhadap agama Hindu, paling tidak dalam hal kasta dan tidak adanya lagi dewa-dewi, maka “penyatuan” atau “penyamaan” Siwa-Buddha adalah suatu pencampuradukan yang seenaknya, yang asal campur, yang demi aman atau “harmoni”.

Sikap demikian juga yang dipakai oleh salah satu tokoh yang mempersiapkan kemerdekaan RI, Muhammad Yamin—hampir 600 tahun kemudian—ketika memaknai bhineka tunggal ika menjadi “berbedalah itu, satulah mereka itu; dan di dalam peraturan undang-undang tidak ada diskriminasi atau dualisme,” seperti bisa dibaca dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid II, hlm 77-81. Penjelasan itu ditambah lagi dengan: “Kalimat filsafah itu berasal dari tinjauan hidup untuk memperkuat persatuan dalam negara keprabuan Majapahit di zaman emas.” Sebuah kesimpulan tentang masa lalu dengan fakta dan kebutuhan masa kini.

Berbagai macam kerancuan berpikir tidak pernah surut, hingga pada 30 Desember 1977, harian Kompas menurunkan Catatan Akhir Tahun dengan judul “Yang berlepotan dalam Pikiran dan Sikap Kita Setahun Ini”. Dalam catatan yang terdiri dari tiga tulisan itu dikumpulkan berbagai macam pernyataan rancu para tokoh selama tahun bersangkutan. Mereka ini bukan hanya menteri atau petinggi partai politik, tapi juga dari diskusi para ilmuwan sosial di kongres mereka dan contoh dari sinopsis yang dibuat oleh Teater Jimat yang turut serta dalam Festival Teater Remaja tahun itu.

Contoh-contoh: Jendral Panggabean mengingatkan masih adanya sisa-sisa pengkhianat bangsa dan rakyat, dan menyerukan agar masyarakat melaporkan hal-hal yang mencurigakan, meski dia sendiri tidak tahu dari golongan mana mereka itu... (kalau dia sendiri tidak tahu, bagaimana masyarakat tahu. Pernyataan yang tak bisa diuji kebenarannya); salah seorang peserta kongres HIPIS alias Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu Sosial, menyatakan bahwa arah perkembangan kebudayaan dan pendidikan harus menciptakan insan Pancasilais... (fungsi argumentatif bahasa dilalaikan hingga yang tinggal adalah pedoman dan nasehat); Amir Machmud menguraikan bahwa dalam beberapa hal memang nampak bahwa kadang-kadang masih ada pertanda kurang serasinya sesuatu gejala dengan cita rasa Pancasila... (pernyataan yang tak bisa dibenarkan maupun disalahkan, karena muatannya yang begitu umum); Teater Jimat membuat sinopsis pementasannya yang antara lain berbunyi: alam semesta dan isinya adalah kematian abadi, karena bergerak hanya karena digerakkan... (tidak ada hubungan antara pengertian kata yang satu dengan yang lain).

Gejala semacam ini tampaknya tidak luput dari perhatian antropolog terkenal, Niels Mulder, yang banyak meneliti dan menulis tentang kebudayaan Thailand dan Jawa. Dalam bukunya Mysticm in Jawa, Ideology in Indonesia (The Pepin Press, 1998), ia menguraikan—hampir sepanjang buku itu—tentang penalaran mistik Jawa. Ia berkesimpulan antara lain:

Javenese reasoning, in contrast, is more inductive, analyzing experience and necessity while grasping the essence, the rasa or phenomena intuitively, that is to say directly, without tortuous theoretical constructions and tedious research. Perhaps this is one reason, too, why science fails to flourish in Indonesia and why there is little indigenous cultural input as far as the social branches are concerned. As part of prestigious modernity, and in response to the demand for education, the western sciences are taught as system of terms, concepts and rules that are taken straight from foreign written textbooks. When translated into research, formal procedure, that appear to have worked themselves free from any theoretical coherence, are applied to particular phenomena, yielding single statements about, for instance, the ethos of work factory labour, or the noninnovativeness of native entrepreneurship, whithout considering starvation wages, or access to credit. (hlm 146) (1)

...two factors may well contribute to the failure of indigenous education in making a meaningful contribution to shaping modern life so far. The first is a general approach to knowledge that surface clearly the religious mentality that takes pleasure in mystical speculation, and the second the relative rigidity of social life that suppresses creativity. Yet most people are unfazed by such critical observations, because the scientific enterprise has been cut loose from its western moorings; it became embedded in a syncretizing, or rather synthetizing environment, in which there is little awareness that the path science follows is logical and analytical, rather than construtive and compounding. (hlm 147) (2)

...This type of jumble of concepts occurs not infrequently in serious discussions among people, many of them holding degrees from reputable universities, who are deeply concerned about the course the nation is steering. Their deliberations come across as unrealistic; their assumptions as wild; their vision as fantastic. What they are doing is syncretizing; they are not analyzing the situation on the ground, they are not scrutinzing structure or looking for basic causes... (hlm 147) (3)

Kutipan di atas rasanya tidak memerlukan penjelasan lagi. Itulah yang terjadi selama—mungkin—ribuan tahun. Itulah yang belum juga berubah sepanjang masa itu. Paling tidak untuk sebagian besar masyarakat kita. Ada memang segelintir manusia Indonesia yang tidak begitu saja mau menerima warisan budaya itu. Sayang mereka—sampai hari ini—masih tetap segelintir dan tersisih dari sejarah bahkan secara tragis. Tjipto Mangoenkoesoemo, Tan Malaka, Sjahrir, Hatta, Pramoedya Ananta Toer adalah contoh-contoh dari yang segelintir itu. Pandangan-pandangan mereka, tulisan-tulisan mereka justru berada di seberang kutipan dari Niels Mulder dan seluruh uraian tentang kelemahan film Indonesia ini.

Tokoh-tokoh ini kebetulan semua berasal dari abad 20 yang baru silam. Mereka juga kebetulan adalah orang-orang yang bersinggungan dengan peradaban barat secara langsung maupun tidak. Persinggungan dengan peradaban lain memang salah satu penyebab orang memiliki kaki langit lain, seperti juga nenek moyang kita dulu sewaktu bersinggungan dengan peradaban Hindu, Buddha dan Islam. Bahkan yang terakhir ini meninggalkan ilmu logika yang diajarkan di pesantren-pesantren kita (ilmu mantik). Meski demikian, persinggungan tadi—kecuali pada yang segelintir orang—hanya merupakan penumpukan pengetahuan, bukannya mengubah cara berfikir, yang saya duga berasal dari sikap yang sangat egosentris. Sikap ini menyebabkan ada perbedaan dalam persepsi mengenai realitas seperti yang dikenal dalam ilmu-ilmu empirik. Realitas itu dipahami bukan yang berada di luar diri seseorang tapi yang ada dalam dirinya. Itulah yang kira-kira terjadi pada Mpu Tantular dan Muhammad Yamin.

Saya Shiraishi, antropolog Jepang, pernah menyinggung soal ini juga dalam artikelnya berjudul “Silakan Masuk, Silakan Duduk, Reflections in a Sitting Room in Java” dalam majalah Indonesia terbitan Universitas Cornell, bulan April 1986, yang juga disingkatkan di Kompas 17 Januari 1988. Kutipannya:

Di tembok ruang tamu memang biasanya digantung gambar pemandangan. Gambaran ini menurut seorang wanita pengurus sebuah guest house di Solo, mencerminkan kenyataan di Jawa. Ia merasa tak perlu menjelaskan tempat mana khususnya. Jawa cukup menjelaskan. Pemandangan lain yang saya lihat di jalanan yang padat mobil, sampah yang melimpah, gedung-gedung beton, patung, seolah-olah berlawanan dengan “kenyataan” yang diwakili oleh lukisan pemandangan itu.

Ruang tamu tersempit yang saya jumpai di Jawa adalah milik pembantu rumah tempat saya tinggal di Jakarta. Di belakang rumah, ada ruang sebesar 1 x 3 meter antara dinding belakang rumah dan pagar... Andi, pembantu tadi, menaruh sebuah kursi setengah rusak di tempat itu. Pemuda pekerja keras yang pernah kehilangan kata-kata dan memalingkan muka saat berusaha mengisahkan rumah tempat tinggal keluarganya di desa, menghabiskan waktu luangnya di kursi itu... Hanya tembok kelabu tinggi yang bisa nampak saat saya duduk di sana. Di depan tembok kelabu itu saya merasa seperti diperbolehkan menangkap gunung dan sawah desa yang tak bisa dikisahkannya pada saya...

Niels Mulder dalam buku yang sudah dikutip di atas juga menyebutkan bahwa Kejawen menekankan “keberpusatan akan diri”. Bahkan dia banyak membaca novel-novel Indonesia yang cenderung individual sentris.

...Their protagonists’ relationship to their social environment remain vague; they are not socially situated, but live in worlds all their own... (hlm 130) (4)

...characters remain psychologically unconvincing; their motivations remain as hazy as the social settings in which they are placed. Overall, the dipictions are as ‘flat’ as shadow play puppets, allowing for little or no depht of the character, their actions seemingly being guided by fate and inevitability...(hlm 139) (5)

Kesimpulan ini diambil dari novel-novel dan cerpen antara lain: Rintrik (1968, Danarto), Ziarah (1975, Iwan Simatupang), Khotbah di atas Bukit (1976, Kuntowijoyo), Perjanjian dengan Maut (1976, Harijadi S Hartowardojo), Jazz, Parfum dan Insiden (1996, Seno Gumira Ajidarma).

***

Dengan membanding-bandingkan pernyataan atau tulisan dari zaman yang berbeda-beda secara selintas seperti di atas, tentu menarik untuk mempertanyakan dari mana cara berfikir itu datang dan terbentuk. Apakah dia terbentuk bersamaan dengan persinggungan dengan peradaban lain, atau dia “asli” dari Indonesia. Kalau dia asli, faktor apa saja yang membentuknya, karena tidak ada yang begitu saja datang dari langit. Peradaban dan kebudayaan adalah jawaban manusia terhadap masalah yang dihadapinya baik itu masalah alam maupun sosial. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi tentunya hanya bisa dilakukan dengan penelitian yang cukup tentang proses jawab-menjawab itu.

---------

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)

Versi panjang dari yang pernah dimuat di suplemen “Bentara”, Kompas 7 September 2001.

(1) Penalaran Jawa, sebaliknya, lebih bersifat induktif. Ia menganalisa pengalaman dan kebutuhan mendesak sambil berusaha menangkap hakikat. Itulah yang disebut rasa atau menangkap fenomena secara intuitif. Dengan kata lain, hal itu dilakukan tanpa konstruksi teoretis yang berliku-liku dan riset yang pelik. Mungkin ini salah satu sebabnya kenapa ilmu gagal berkembang di Indonesia dan mengapa sedikit sekali masukan asli sejauh menyangkut ilmu-ilmu sosial. Sebagai bagian dari gengsi modernitas, dan sebagai jawaban atas tuntutan pendidikan, ilmu-ilmu barat diajarkan sebagai kumpulan istilah, konsep dan aturan yang diambil langsung dari buku teks asing. Saat konsep tadi diterjemahkan ke dalam penelitian, prosedur formalnya, yang seolah-olah berjalan bebas dari koherensi teoretis manapun, diterapkan begitu saja pada masalah tertentu, hingga hasilnya adalah sebuah pernyataan tunggal tentang, misalnya, etos kerja buruh pabrik, atau ketiadaan inovatif pada pengusaha pribumi, tanpa memperhitungkan rendahnya upah, atau akses kredit. Kembali ke atas

(2) ...dua faktor yang menyebabkan pendidikan sejauh ini gagal memberikan sumbangan yang berarti pada pembentukan kehidupan modern. Yang pertama adalah pendekatan umum pada pengetahuan yang muncul jelas dari mentalitas religius yang menggemari spekulasi mistik, dan yang kedua rigiditas kehidupan sosial yang relatif menindas kreativitas. Meski demikian, tidak banyak orang yang terganggu dengan penilaian kritis semacam itu, karena kerja ilmiah sudah lepas dari ikatannya dengan Barat; ia sudah terbenam dalam lingkungan sinkretisasi, atau lebih tepat sintesisasi, di mana hanya ada sedikit kesadaran bahwa jalan ilmu bersifat logis dan analitis, bukannya konstruktif dan ramuan. Kembali ke atas

(3) ...Campur aduk konsep semacam ini sering terjadi dalam diskusi-diksusi serius di kalangan orang-orang, banyak yang menyandang gelar dari universitas kenamaan, yang sangat peduli pada arah perjalanan bangsa. Perdebatan mereka terasa tidak realistis; asumsi mereka liar; visi mereka fantatis. Yang mereka lakukan adalah sinkretisasi; mereka tidak menganalisa masalahnya; mereka tidak menelisik struktur masalahnya atau mencari penyebab dasarnya... Kembali ke atas

(4) ...Hubungan protagonis mereka dengan lingkungan sosialnya selalu samar-samar; mereka tidak didudukkan secara sosial, tapi hidup di dunia mereka sendiri... Kembali ke atas

(5)...tokoh-tokohnya tetap tak meyakinkan secara psikologis; motivasi mereka sama kaburnya dengan setting sosial tempat mereka berada. Secara keseluruhan, pelukisannya ‘sedatar’ kisah wayang kulit, hanya memberi sedikit ruang atau kedalaman bagi karakter tokohnya. Tindakan mereka nampaknya lebih dipengaruhi nasib dan ketakterelakkan... Kembali ke atas