Agaknya Festival Film Indonesia (FFI) perlu disesuaikan namanya menjadi Festival Film Fiksi/Non-Sejarah Indonesia. Keputusan Komite Seleksi FFI 2010 tidak meluluskan film Sang Pencerah, film biografi pendiri Muhammadyah, KH Ahmad Dahlan, untuk memasuki medan penjurian, seakan menunjukkan tidak adanya ruang bagi film berlatar sejarah atau film yang menampilkan tokoh sejarah, dalam kompetisi film tahunan tersebut. Padahal film arahan Hanung Bramantyo itu mendapat sambutan hangat penonton bioskop saat beredar bulan Oktober lalu, sejumlah kritikus dan pekerja film memujinya dan para ahli sejarah tidak terdengar berkomentar negatif mengenainya. Ketika pers mempertanyakan mengapa Sang Pencerah tidak termasuk dalam daftar film-film yang maju ke babak penjurian, Komite Seleksi beralasan, film itu tidak akurat dalam menyampaikan fakta sejarah.
Terus terang saya sendiri belum menonton Sang Pencerah. Namun saya heran bahwa akurasi sejarah dijadikan salah satu kriteria penilaian layak tidaknya sebuah karya film dipertimbangkan memperoleh penghargaan. Dalam pemahaman awam saya, tugas sebuah Komite Seleksi adalah memastikan bahwa para peserta kompetisi telah memenuhi syarat-syarat administratif dan standar kelayakan sebelum memperoleh kesempatan dinilai juri. Artinya, dalam hal ini, film-film peserta FFI harus dipastikan benar-benar dibuat orang Indonesia asli, dibuat dalam format yang diharuskan, diedarkan dalam kurun waktu yang telah ditetapkan, dan seterusnya, dan seterusnya. Selain itu, film –film itu memenuhi standar mutu dalam tata suara, sinematografi, penyuntingan, komposisi musik, penulisan skenario, penyutradaraan, dan akting pemain. Namun apakah kini ada pasal khusus bagi film-film sejarah? Apakah film-film sejarah harus juga memuaskan standar akurasi sejarah Komite Seleksi untuk bisa maju ke babak penjurian?
Entah mengapa para anggota Komite Seleksi FFI 2010 merasa memiliki otoritas sebagai ahli sejarah dan mempunyai kewajiban meluruskan dan menegakkan kebenaran sejarah dalam film-film peserta FFI. Mereka bersikap lebih ketat dibanding Komite Seleksi dan Juri FFI 2005 yang meluluskan dan akhirnya menganugerahi film Gie tiga piala Citra antara lain untuk kategori Film Terbaik dan Nicholas Saputra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik, padahal film itu banyak dikritik karena dianggap tidak akurat mempresentasikan fakta sejarah (terutama dalam menampilkan sosok Soe Hok Gie). Bandingkan juga dengan Komite Seleksi dan Juri FFI 2008 yang menghadiahkan dua piala Citra dan nominasi di sejumlah kategori—termasuk untuk Film Terbaik—pada film May, yang mengetengahkan peristiwa kekerasan terhadap kaum etnis minoritas di tahun 1998, sebuah peristiwa yang kebenarannya masih diperdebatkan berbagai kalangan. May disutradarai Viva Westi, yang tak lain tak bukan adalah Ketua Komite Seleksi FFI tahun ini.
Semangat Komite Seleksi FFI 2010 jelas berbeda dengan semangat yang saya tangkap dari film-film sejarah dari dunia internasional dan bagaimana publik mereka menilai dan menyikapi film-film tersebut. Rata-rata film Amerika dan Inggris yang saya tonton yang mengangkat kisah nyata dan tokoh-tokoh historis tidak selalu memotret kejadian dan tokoh nyata itu persis sama dengan aslinya. Yang lebih diketengahkan adalah interpretasi pembuat film mengenai kejadian dan tokoh tersebut, karena sejarah toh relatif dan subyektif, bahkan dalam film-film dokumenter sekalipun. Para kritikus film dan berbagai ajang penghargaan film pun tidak pernah menuntut atau mewajibkan film-film sejarah menampilkan 100 persen akurasi historis. Penilaian mereka selalu berkisar pada kemampuan film-film itu bertutur dalam estetika sinematografis, seperti halnya mereka menilai film-film lain yang tidak menampilkan peristiwa atau tokoh sejarah. Para penilai film itu sepenuhnya sadar bahwa pembuat film memiliki artistic license yang membolehkan mereka membengkokkan, memutarbalikkan, menafsirkan sejarah sesuai dengan kebutuhan mereka berekspresi melalui medium film.
Ajang penghargaan film Academy Awards juga punya sikap serupa terhadap film-film sejarah. Acara tahunan yang menghadiahkan piala Oscar pada film-film terbaik itu ditiru FFI dalam hal penerapan sistem nominasi, yang juga ditiru ajang penghargaan film lainnya seperti Cesar di Perancis dan Golden Horse di Taiwan. Namun selain sistem nominasi, mungkin FFI perlu juga mempertimbangkan meniru sistem penilaian kelayakan dan pemenang yang berlaku di Academy Awards.
Academy Awards tidak menggunakan penjurian seperti di FFI atau Festival Film Cannes, Berlin dan Venesia. Yang berlaku adalah voting—pemberian suara, dari sejak proses seleksi, nominasi, hingga penentuan pemenang. Ya memang, karena Academy Awards adalah forum “pemilihan umum” insan film di Hollywood yang kini meluas ke seluruh dunia karena lebih dari 6000 anggota AMPAS (Academy of Motion Picture Arts and Sciences—lembaga penganugerah Oscar) kini meliputi para pekerja film dari berbagai negara.
Situs web resmi Academy Awards, oscars.org, menjelaskan proses penentuan kelayakan sebuah film untuk lulus seleksi menuju nominasi Oscar. Pertama-tama, cabang-cabang profesi di AMPAS, yang mewakili 15 bidang berbeda, mengajukan film-film yang dinilai layak secara administratif dan layak dari sudut pandang standar mutu. Jadi, cabang Dokumenter akan mengajukan film-film calon peraih nominasi di kategori Film Dokumenter, cabang Penyunting Suara akan mengajukan film-film calon peraih nominasi di kategori Penyuntingan Suara, dan seterusnya. Lantas, judul-judul tersebut dimasukkan ke dalam surat suara (ballot) dan dikirimkan ke para anggota AMPAS, dan para anggota AMPAS memberikan suara mereka yang setelah dihitung akan menyaring judul-judul tadi menjadi segelintir judul teratas yang lalu resmi menerima nominasi Oscar di 25 kategori.
Setelah itu, daftar para peraih nominasi kembali dimasukkan ke surat suara dan dikirimkan lagi ke para anggota AMPAS. Kini para anggota memberikan suara untuk menentukan para pemenang di tiap kategori. Peraih suara terbanyak di tiap kategori—termasuk kategori Film Terbaik—dinyatakan sebagai pemenang. Jadi perolehan suara lah yang menentukan pemenang. Tidak ada rapat juri, tidak ada debat, argumentasi, perselisihan dan sebagainya. Para pemilih yang jumlahnya ribuan itu juga tidak harus berjumpa. Mereka hanya perlu mengirimkan suara dan kemudian mendengarkan hasil akhirnya di siaran langsung di televisi.
Patut dicatat pula, pengurus AMPAS mengawasi seluruh proses dari awal sampai akhir untuk memastikan bahwa penilaian yang dilakukan benar-benar berdasarkan pada pencapaian-pencapaian artistik dan teknis film (the artistic and technical merits of a film) dan bukan aspek-aspek di luar itu. Di samping itu, AMPAS setiap tahun meneliti kembali semua peraturan dan persyaratan yang dipunyainya dan bilamana perlu, melakukan revisi atau penyesuaian terhadap peraturan-peraturan tersebut.
Alhasil, film-film pilihan Academy Awards juga meliputi film-film yang membengkokkan sejarah namun punya keunggulan dalam kreativitas dan nilai artistik. Di awal tahun ini, film Inglourious Basterds meraih beberapa nominasi Oscar, termasuk untuk Film Terbaik, dan akhirnya menang di kategori Aktor Pendukung Terbaik. Padahal komedi hitam Perang Dunia II ini jelas-jelas menyelewengkan sejarah dengan memperlihatkan Adolf Hitler yang mati diberondong peluru tentara AS keturunan Yahudi. Tetap para anggota AMPAS menganggap film ini layak mendapat pujian dan penghargaan.
Hasil senada juga ada di Academy Awards tahun 1991, saat film kontroversial JFK, yang banyak dikecam karena menyajikan teori pembunuhan Presiden Kennedy yang berbeda dengan versi sejarah resmi, berhasil meraih sejumlah nominasi Oscar termasuk untuk Film Terbaik dan menang di kategori Sinematografi dan Penyuntingan Film. Jelaslah para anggota Academy bisa menarik garis tegas antara menilai muatan historis sebuah film dan menilai pencapaian artistik sebuah film. Mungkin saja ini bisa menjadi bekal bagi penyelenggara FFI bersikap lebih bijak di masa datang.