Artikel/Kajian Impor Film Sudah Dipecah, Bioskop Perlu Otonomi

Kajian JB Kristanto 01-09-2004

Departemen Perdagangan maupun Penerangan sampai kemarin masih belum menentukan siapa yang menjadi importir film tambahan di samping kelima importir film Eropa-Amerika yang sudah ada dan tergabung dalam Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika. Meski demikian kabar burung yang beredar sudah disebut-sebut satu dari tiga importir yang ditunjuk itu. Namun siapapun yang ditunjuk, sesuai dengan pernyataan Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain beberapa waktu lalu di DPR, importir baru itu tidak boleh bekerja sama dengan asosiasi yang ada yang juga secara de facto boleh dikata hampir menguasai jaringan bioskop seluruh Indonesia juga. Pernyataan yang kelihatannya akan dilaksanakan ini, agaknya penting untuk menghindari kesan adanya monopoli. Tapi dengan kata lain bisa juga dikatakan bahwa tanpa terus terang menyatakannya, sebenarnya diakui ada praktek monopoli itu.

Kesan itu penting, karena meski sebelumnya sudah direncanakan, pernyataan itu toh keluar sesudah ribut-ribut anggota Karyawan Film dan Televisi (KFT) dan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) mengeluhkan kerjasama Subentra Group yang "membawahkan" asosiasi importir film dan jaringan bioskop dengan beberapa anggota Motion Pictures Export Association of America (MPEAA) yang akan semakin menguatkan posisi monopolistis tadi. Kerjasama ini sebenarnya agak mengejutkan karena beberapa bulan sebelumnya (Februari lalu), lewat beberapa "jurubicaranya" asosiasi importir tadi menyatakan keberatannya akan hadirnya MPEAA di sini dengan alasan melindungi perfilman nasional dan tentu saja nasionalisme.

Berbaliknya sikap sekarang ini menunjukkan bahwa betapa di atas segalanya, yang paling utama adalah kepentingan. Tidak heran bila atas dasar kepentingan ini pula maka sesudah diberitakannya kerjasama asosiasi importir dengan MPEAA, ada tindak lanjut lagi yang terberitakan secara sepotong-sepotong, yaitu keluh kesah pengedar Jawa Barat dan Jawa Tengah bahwa sudah beberapa waktu dipotong pasokan filmnya, hingga mereka memutar ulang film yang pernah diputar.

Keluhan ini keluar karena nampaknya pengedar di dua wilayah itu sudah sampai pada titik hidup atau mati, karena langkah yang diambil oleh grup Subentra adalah ingin memegang kendali penuh pada seluruh gedung bioskop. Sedikit ladang bermain yang dimiliki kedua pengedar itu agaknya ingin dipertahankan. Konon, setelah perdebatan sengit, keadaannya kembali ke statusquo seperti sebelumnya. Artinya, hanya film-film yang berasal dari MPEAA yang diperlakukan dengan sistem bagi hasil, sementara yang lainnya berlaku sistem jual-beli seperti biasanya.

Yang penting untuk diketahui adalah kenapa grup Subentra ingin menguasai penuh gedung bioskop ini. Toh dengan menguasai seluruh pasok film impor, sebenarnya dia sudah berada di atas angin menghadapi bioskop. Dan seperti juga keluhan pengedar di dua wilayah tadi, dia juga sudah seenaknya menentukan harga jual film. Dalam lima tahun terakhir ini kenaikan harga film Eropa-Amerika mencapai hampir 300 persen, sementara film Mandarin naik hampir 600 persen. Sementara itu tersebar pula kabar burung bahwa para pengedar di daerah itu diancam jangan membeli film nasional, apalagi film-film yang disutradarai oleh Sophan Sophiaan, Eros Jarot dan Slamet Rahardjo. Tiga sutradara yang sangat vokal menentang monopoli.

Tindakan itu hanya bisa diduga untuk menjaga supaya kendali monopoli tetap di tangan. Dengan menguasai seluruh jaringan bioskop, maka siapapun yang ikut mengimpor film atau memproduksi film, harus menyerahkan filmnya pada mereka.

Dugaan lain, adalah akan berkurangnya keuntungan mereka karena kalau diteliti secara sungguh-sungguh, berapa banyak sebetulnya film MPEAA yang bisa dianggap menghasilkan uang. Dari beberapa kasus terakhir, kita melihat film seperti Pretty Woman, Ghost, Robin Hood nampaknya memang menghasilkan keuntungan. Namun kalau penghasilan itu harus dilihat secara menyeluruh dengan film-film "berat" lain seperti Rain Man, Dead Poet Society, dsb, maka hitungannya akan jatuh pada kerugian.

Kenapa rugi? Karena harga beli film-film itu sungguh mahal. Umumnya di atas Rp 200 juta (belum ditambah biaya cetak copy film, bea masuk dll). Dengan begitu, keuntungan sebenarnya diperoleh dari film-film kacangan yang dibuat oleh produser yang tidak tergabung dalam MPEAA, yaitu mereka yang tergabung dalam American Film Marketing Association (AFMA) atau yang betul-betul tidak tergabung ke mana-mana.

Film-film "kacangan" ini harganya murah (Rp 20 - 50 juta), hingga keuntungan lebih bisa dipastikan. Padahal anggota AFMA ini (umpamanya Canon International) berjumlah sekitar 90 produser yang menghasilkan sekitar 300 film setahunnya. Dan MPEAA tidak ikut memperjuangkan mereka yang tergabung dalam AFMA, hingga yang terakhir ini tetap berlaku sistem jual-beli, bukan bagi hasil seperti yang dituntut MPEAA, yang produksinya mungkin sekitar 50 film setahun. Bagian keuntungan inilah yang menjadi sumber konflik antara asosiasi importir dan pengedar di atas.

Dalam situasi seperti ini, siapa pun nantinya yang akan mengantungi izin impor film, tentunya tidak mudah mengembangkan diri, apalagi kalau yang tertunjuk itu orang baru dalam bisnis film, karena mereka yang sekarang berkecimpung dalam bidang itu toh sudah tergabung dalam asosiasi impor film. Dengan demikian sang importir baru ini harus mengais-ais dari perbendaharaan orang lama film yang sekarang tak terpakai untuk menjadi pelaksana. Lalu dia harus mulai mengembangkan "jaringan" peredaran dan perbioskopan sendiri, karena dia, seperti disyaratkan oleh Dirjen RTF, tidak boleh bekerjasama dengan grup yang ada.

Bila akhirnya toh importir baru ini berhasil mengembangkan diri, bagaimana lalu kedudukan film nasional? Tidakkah film nasional akan semakin terjepit dalam persaingan antarimportir tadi?

Pertanyaan ini bisa jadi kenyataan, karena kita melihat sekarang ini bahwa hampir seluruh industri film kalah bersaing di pasar oleh film Amerika, kecuali India dan Hongkong. India dengan proteksi ketatnya berhasil menumbuhkan industri filmnya, sementara Hongkong yang tanpa proteksi, namun didukung oleh luasnya jaringan masyarakat Cina yang terdapat hampir di seluruh kota-kota besar dunia. Kelompok inilah yang pada awalnya menjadi pasar film Hongkong, meski kemudian bisa meluas ke wilayah masyarakat lain.

Sejenis proteksi memang ada di Indonesia dalam bentuk kuota dan SKB Tiga Menteri yang mengharuskan bioskop memutar film nasional dua kali sebulan di hari-hari akhir pekan minimal dua hari lamanya. Sementara itu hampir semua mengakui bahwa di bioskop kelas bawah film nasional sudah merajai. Ada juga yang menunjukkan bahwa jumlah penonton film nasional lebih banyak dari penonton film impor. Namun demikian, kalau belum juga tumbuh sebuah perusahaan produksi film yang kuat, kalau begitu banyak produser yang jatuh, kalau tahun ini jumlah produksi surut kembali, tentunya ada masalah dengan peredaran. Salah satu masalahnya yang segera nampak, adalah jumlah penonton itu tidak ada artinya, karena hasil dari pertunjukan di gedung kelas bawah tidak menghasilkan keuntungan yang cukup.

Jadi masalahnya pada gedung kelas menengah ke atas. Di sini sebenarnya sumber uang dan tempat ajang pertempuran. Kalau demikian, maka langkah pertama yang baik ditempuh adalah membebaskan bioskop dari jaringan peredaran dan impor. Artinya biarlah bioskop berdiri otonom seperti pernah berlangsung pada zaman "normal" dulu, hingga masing-masing gedung, atau rangkaian gedung bisa mengembangkan citranya sendiri, entah menjadi kios, ruko atau supermarket.

Mereka yang sudah lama berkecimpung dalam bisnis film, tentu masih ingat suatu keahlian yang sekarang mungkin hilang, yaitu pekerjaan booker yang bukan hanya mengatur jadwal film tapi juga menjaga dan mengembangkan citra gedung dengan pilihan-pilihan film yang ditayangkannya. Surutnya pekerjaan semacam ini, karena sekarang bioskop tidak perlu lagi memilih film. Atau dengan menjamurnya sinepleks, maka semua bioskop memutar film yang sama. Bahkan film yang sama bisa diputar di gedung yang sama, namun di layar yang lain.

Bila gedung bioskop bisa mandiri, maka biarlah perlakuan yang sama dan adil ditujukan pada semua film. Memang masih ada perlakuan khusus untuk film nasional sesuai dengan SKB Tiga Menteri, tapi di luar itu biarlah film nasional itu bersaing secara bebas.

Namun untuk bisa bersaing bebas di pasar, perlakuan terhadap produksi rasanya juga harus sama. Artinya, "pembinaan" yang sekarang berlaku sebaiknya ditinjau kembali. Kalau kita mau jujur, "pembinaan" terhadap impor maupun produksi yang sekarang berlaku (segala macam perizinan produksi termasuk semacam "sensor" skenario dan judul), termasuk salah satu faktor jatuh-bangunnya industri film nasional. Dan kalau sekarang—sesudah sekitar 20 tahun adanya "pembinaan"—belum juga tumbuh industri film nasional, maka tentunya pola pembinaan itu baik untuk ditinjau kembali.

Mungkin baik dipikirkan untuk meniadakan segala macam syarat-syarat perizinan produksi, kecuali sekedar pencatatan judul dan cerita agar tidak terjadi duplikasi. Dan biarkan sensor diserahkan pada Badan Sensor Film yang berlaku untuk semua jenis film. Lalu, mungkin baik dipikirkan penggunaan uang pungutan impor untuk pengadaan peralatan pembuatan film, agar teknis sinematografi film nasional bisa bersaing. Kalau perlakuan yang cukup adil antara film impor dan nasional ini tidak juga menumbuhkan industri dan film-film yang berkualitas, maka tentu salahnya ada pada orang film sendiri.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 17 Juli 1991