Artikel/Kajian Investasi Industri Film Indonesia: Lokal atau Asing?

Kajian Meiske Taurisia 21-11-2013

“Sebagian kalangan mengkritik rencana pemerintah merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI). Salah satunya lantaran terlalu melonggarkan peranan asing dalam sistem perekonomian nasional. Termasuk kritik dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang khawatir pembukaan beberapa bidang usaha itu mengurangi daya saing Indonesia.” ("Revisi DNI dikritik, Hatta berkilah pembahasan belum final", Merdeka.com, 14 November 2013)

Maraknya pembahasan DNI (Daftar Negatif Investasi) yang belum kunjung tiba di Menko Perekonomian adalah kesempatan untuk memberikan pandangan terhadap kepentingan DNI terkait industri film Indonesia. DNI dikeluarkan oleh Presiden (PP no. 36 tahun 2010) untuk melindungi industri film dalam negeri terhadap Foreign Direct Investment (FDI). Secara umum, pertimbangannya adalah industri terkait masih kecil dan lemah, sehingga dikhawatirkan masuknya investasi asing akan mematikan kesempatan investasi lokal terhadap industri terkait.

Apakah sebenarnya dampak investasi asing pada industri film Indonesia? Apakah investasi asing akan menyetir produksi film Indonesia?  Apakah industri film lokal cukup kuat menghadapi masuknya investasi asing? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka penulis membagi tulisan ini menjadi tiga bagian: (1) pasar film Indonesia dan potensi perluasannya, (2) investasi industri film Indonesia dalam produksi, ekshibisi, distribusi, lalu (3) kesimpulan.

1. PASAR FILM INDONESIA DAN POTENSI PERLUASANNYA

Berdasarkan bagan 2 di atas, hanya 13% dari total populasi Indonesia yang memiliki akses terhadap sarana bioskop. Ini mengindikasikan pasar film masih sangat kecil, dibandingkan dengan Jepang yang berpenduduk sekitar 160.000.000 jiwa dan memiliki lebih dari 3.000 layar. Selanjutnya bagaimanakah potensi perluasan pasar film Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita mengamati perkembangan film Indonesia dalam kurun waktu 2008-2012, serta simulasi yang dilakukan penulis.

Pada Bagan 3 - Tabel Data Film Indonesia 2008-2012, tampak bahwa angka jumlah film Indonesia yang dimasukkan dalam simulasi ini hanyalah yang memiliki data penonton, yang dirangkum oleh filmindonesia.or.id, serta gross pendapatan film Indonesia. Angka jumlah film impor didapat dari @eksb_pifilm, akun Twitter Direktorat Pengembangan Industri Perfilman Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan angka jumlah layar berdasarkan gabungan dari kedua sumber tersebut.

Proyeksi Pajak Negara adalah proyeksi pendapatan negara atas sektor film. Proyeksi ini pada dasarnya memiliki berbagai sumber. Tabel di atas hanya membahas pendapatan negara khususnya sektor film Indonesia yang bersumber dari: rumah produksi (pemilik film atau produsen film) dan bioskop atau ekshibitor.

Proyeksi pajak tontonan dihitung berdasarkan gross film Indonesia. Seluruh pendapatan pajak tontonan sepenuhnya menjadi hak pemerintah daerah. Khusus DKI Jakarta, sejak pertengahan tahun 2013, sebesar 75% dari pendapatan pajak tontonan dikembalikan kepada produsen film, berdasarkan Pergub Prov. DKI Jakarta no. 115 tahun 2012. Pelaksaanaan metode pengembalian serta besaran pengembalian ini belum ada informasi lebih lanjut.

Pada Tabel Rata-rata % Peningkatan Film Indonesia 2012 (Bagan 3) terbaca adanya perbedaan yang signifikan kala membandingkan periode 2008-2009 dengan periode 2010-2012. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk menggunakan data periode 2010-2012.

Secara umum, dalam dua tahun periode 2010-2012 bidang produksi dan ekshibisi film Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah layar sebesar 7% (676 menjadi 721) menyebabkan peningkatan jumlah daya serap penonton sebesar 15% (16.290.076 menjadi 18.685.814), walaupun kenaikan harga tiket bioskop sebesar 67% (15.000 menjadi 25.000). Ringkasnya, peningkatan jumlah layarlah yang disebut sebagai perluasan pasar dan mendorong peningkatan potensi daya serap penonton film Indonesia.

Kombinasi jumlah layar dan kenaikan harga tiket berhasil meningkatkan potensi gross pendapatan film Indonesia sebesar 91%. Ini relatif berbanding lurus dengan potensi peningkatan pendapatan produser, tetapi secara signifikan menunjukkan pendapatan bioskop berpotensi mengalami peningkatan dua kali lipat lebih. Pada akhirnya hal itu juga memberikan potensi peningkatan pendapatan negara maupun Pemda dari film Indonesia.

Fakta jumlah produksi film Indonesia yang relatif stabil (2010-2012: rata-rata 81 film), menunjukkan bahwa banyaknya film Indonesia yang diproduksi tidak terlalu berpengaruh pada animo menonton. Yang justru lebih berpengaruh dalam peningkatan potensi jumlah penonton Indonesia adalah penambahan jumlah layar.  Dengan kata lain, semakin besar akses untuk ke bioskop, semakin besar probabilitas orang untuk pergi ke bioskop. Perlu dicatat, jumlah penonton pembeli tiket adalah anomali dalam industri film. Disebut anomali karena tidak memiliki kepastian atas dasar apapun. Misalnya: apakah disebabkan aktor atau aktris yang terlibat di film? Apakah disebabkan karena film adalah adaptasi novel? Apakah disebabkan cerita berdasarkan biografi seorang tokoh penting? Apakah karena proses promosinya? Apakah karena pembuat filmnya? Banyaknya kemungkinan yang turut berkontribusi pada sukses sebuah film memerlukan penelitiannya sendiri. Oleh karena itu hal tersebut pada tulisan ini diabaikan.

Yang juga meningkat adalah rata-rata nilai produksi sebuah film Indonesia: Rp 1,3 milyar di tahun 2010, menjadi Rp 1,9 milyar di tahun 2011, dan Rp 2,5 milyar di tahun 2012. Namun hal ini belum dapat dipastikan karena belum tersedia data gross pendapatan per film dari produsen film Indonesia. Yang perlu dicermati adalah peningkatan nilai produksi film, memberikan kesempatan akan peningkatan kualitas film Indonesia dan kesejahteraan pekerja film Indonesia.

Di tahun 2011, MPA (Motion Picture Association of America) melakukan boikot terhadap pemerintah Indonesia, sehingga film impor tidak dapat tayang di bioskop. Pada saat itu, kekosongan slot film di bioskop diisi oleh film Indonesia. Yang menarik adalah pada tahun 2011 itu, penonton film Indonesia mengalami kenaikan sebesar 8% (2010-2011) dan terus meningkat sebesar 20% (2011-2012). Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penonton film Indonesia tetap berlangsung, meski tanpa kehadiran film impor. Dampak finansial dari ketidakhadiran film impor adalah pada jenis usaha ekshibisi atau bioskop, di luar dampak sosial lainnya yang terjadi saat itu.

Jumlah layar faktor terpenting

Selanjutnya, pertanyaan berikut adalah faktor apakah yang berpengaruh pada peningkatan jumlah penonton Indonesia? Bagaimanakah hubungan jumlah layar dan harga tiket dalam pasar film Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka penulis melakukan simulasi terhadap faktor-faktor tersebut.

Pada Tabel Proyeksi Potensi Perluasan Pasar (Bagan 3), tampak proyeksi dibagi menjadi empat kemungkinan, yaitu:

  1. Kondisi M1A: jumlah layar bertambah 200%, harga tiket tetap.
  2. Kondisi M1B: jumlah layar bertambah 200%, harga tiket naik 10%.
  3. Kondisi M2A: jumlah layar bertambah 300%, harga tiket tetap.
  4. Kondisi M2B: jumlah layar bertambah 300%, harga tiket naik 10%.

Dengan jumlah layar tetap maka dapat diamati dampak kenaikan harga. Dengan nilai harga tiket tetap, maka dapat diamati dampak penambahan jumlah layar. Berdasarkan tabel data di atas, didapat ilustrasi hubungan antara jumlah layar, jumlah penonton, harga tiket dan gross, seperti di bawah ini:

Proyeksi di atas memperlihatkan perkembangan jumlah penonton relatif paralel dengan penambahan jumlah layar. Juga dapat dipastikan bahwa faktor terbesar dalam dinamika industri film Indonesia adalah penambahan layar yang mengakibatkan perluasan pasar. Ketepatan wilayah penambahan layar tentunya akan mendorong percepatan peningkatan jumlah penonton. Sayangnya pencatatan dan penelitian ini belum tersedia.

Bagi produser film Indonesia, faktor penambahan jumlah layar menjadi faktor terbesar dalam mendorong peningkatan pendapatan, dibanding dengan kenaikan harga tiket bioskop. Terlihat pada tabel, kenaikan sebesar 200% meningkatkan pendapatan produser sebesar 222% atau dua kali lipat lebih. Faktor kenaikan harga tiket, menambah akselerasi sebesar rata-rata 40%. Faktor jumlah slot penayangan tiap layar dianggap sama jumlahnya dalam penulisan ini.

Bagi bioskop, penambahan jumlah layar sebesar 200% meningkatkan pendapatan dari film Indonesia sebesar 193%, hampir dua kali lipat. Angka ini di luar pendapatan film impor. Proyeksi pertambahan pendapatan bisa mencapai 70-80%, bila ditambahkan dengan pendapatan dari film impor.

Maka, kenaikan harga tiket erat hubungannya dengan peningkatan pendapatan bioskop, yang bertujuan untuk mengembalikan investasi bioskop. Hal ini dapat dipahami mengingat besarnya investasi bioskop. Kebutuhan akan aset fisik bangunan dengan standar tertentu serta penggunaan alat berteknologi tinggi menjadi pertimbangan terbesar dalam melakukan jenis usaha bioskop. Fisik bangunan dapat disiasati dengan kolaborasi bersama pengusaha properti. Tetapi, perkembangan teknologi proyeksi film dan suara tidak dapat dimanipulasi, karena masih sepenuhnya teknologi impor. Selayaknya kenaikan harga tiket membantu mempercepat proses pengembalian modal bioskop.

2. INVESTASI INDUSTRI FILM INDONESIA

Untuk memahami investasi industri film Indonesia, maka kita perlu mengamati dinamika investasi industri film secara umum, termasuk kontribusi film impor. Ketidaktersediaan data jumlah penonton film impor membuat penulis melakukan analisa berdasarkan perkiraan rasio jumlah film Indonesia terhadap film impor: 1:2.

Gabungan seluruh warna dari tiap batang dalam ilustrasi ini adalah yang disebut sebagai besaran investasi film total, film Indonesia dan film impor, yang juga merefleksikan besaran perputaran uang (cashflow) industri terkait. Pendapatan Pemda atas sektor film bersumber dari kontribusi pajak atas setiap tiket film. Pendapatan Negara atas sektor film adalah penjumlahan dari kontribusi pajak rumah produksi dan pajak bioskop, di luar pajak film dari distribusi media lainnya.

Dari ilustrasi di atas, terlihat perkiraan besaran investasi berdasarkan masing-masing jenis usaha dan kontribusi pajaknya:

  1. Rumah produksi: 27,5%
  2. Bioskop total (film Indonesia dan impor): 55%
  3. Kontribusi pajak rumah produksi: 2,8%
  4. Kontribusi pajak bioskop total (film Indonesia dan impor): 5,5%
  5. Kontribusi pajak tontonan total (film Indonesia dan impor): 9,2%

(Catatan: kontribusi pajak Negara sektor film: 8,3%)

Dengan demikian dapat disimpulkan penyerapan modal terbesar dalam industri film di Indonesia adalah pada bioskop yaitu sebesar 60,5% (termasuk pajaknya). Ini juga merefleksikan perputaran uang (cashflow) terbesar. Sedangkan penyerapan modal atau perputaran uang di rumah produksi sebesar 30,3% (termasuk pajaknya).

Kenyataan ini menunjukkan bahwa bioskop adalah industri padat modal, termasuk di dalamnya padat teknologi. Sedangkan rumah produksi adalah industri padat karya, termasuk di dalamnya adalah seluruh pekerja film baik kreatif maupun bidang keahlian.

Yang disebut investasi film Indonesia adalah gabungan investasi rumah produksi, bioskop khusus film Indonesia, pajak rumah produksi, pajak bioskop khusus film Indonesia, dan pajak tontonan khusus film Indonesia. Untuk itu didapatkan data sebagai berikut:

  1. Rumah produksi: 27,5%
  2. Bioskop film Indonesia: 27,5%
  3. Kontribusi pajak rumah produksi: 2,8%
  4. Kontribusi pajak bioskop (film Indonesia): 2,8%
  5. Kontribusi pajak tontonan (film Indonesia): 4,6%

(Catatan: kontribusi pajak Negara sektor film Indonesia: 5,6%)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa investasi film Indonesia memiliki 65,2% dari total industri film di Indonesia. Sebuah angka yang menggembirakan, karena berdasarkan simulasi terlihat kekuatan industri film Indonesia. Ini menjawab kekhawatiran akan lemahnya industri film Indonesia, yang menjadi kekhawatiran umum. Memang simulasi ini dibuat tanpa data akurat dari jumlah penonton film impor. Bila ada pihak yang memiliki data akurat, maka penulis bersedia melakukan penghitungan ulang. Sampai data itu tersedia, maka ada baiknya kita percaya bahwa film Indonesia memiliki 65,2% pasar film di Indonesia (market share).

Dari sisi kontribusi pajak negara, terlihat bahwa kontribusi pajak film Indonesia sebesar 5,6% dari total 8,3%, yang berarti bahwa 67% pendapatan negara dari sektor film adalah berasal dari film Indonesia. Ini semakin menunjukkan kekuatan pasar film Indonesia dari total industri film di Indonesia.

Produksi

Terminologi produksi secara spesifik mengacu pada proses pelaksanaan produksi (shooting) itu sendiri. Tetapi dalam konteks yang lebih luas, terminologi produksi film juga mengacu pada seluruh proses pembuatan film dari masa pengembangan cerita (development), persiapan produksi (pre-production), pasca produksi (post-production) dan khusus di Indonesia, termasuk juga kegiatan promosi (P&A: promotion and Advertisement) dan distribusi (distribution). Mengapa profesi distributor atau jenis usaha distribusi tidak berkembang di Indonesia, bagian ini akan dibahas pada bagian distribusi.

Menurut hasil riset CSIS, penyerapan modal terbesar terjadi pada masa produksi (shooting) yaitu sebesar rata-rata 65% dari total keseluruhan biaya produksi film, atau sebesar rata-rata 80% dari total keseluruhan biaya produksi film (di luar distribusi) untuk menyelesaikan sebuah film hingga materi master film. Selain penyerapan modal terbesar, tahapan ini juga menyerap banyak tenaga kerja, baik dari sisi tenaga kerja kreatif (creative labour), maupun tenaga kerja keahlian khusus bidang film (skilled labour).

Banyaknya lingkup profesi yang terlibat dalam produksi film dapat dilihat dari begitu beragamnya kategori penghargaan yang diberikan pada pekerja film dalam berbagai ajang penghargaan film dalam negeri maupun luar negeri. Mengingat besarnya serapan modal terkait bidang produksi, maka pencarian investasi untuk sebuah produksi film menjadi sangat kompetitif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka mayoritas sumber investasi produser film atau rumah produksi adalah:

  1. Investasi personal, baik berdasarkan kedekatan hubungan maupun kedekatan dengan bidang film atau kesenian.
  2. Branding (product placement), melalui advertising agency atau direct client.
  3. Sponsorship atau sering disebut angel investor, baik personal maupun korporasi.
  4. Hibah asing, melalui berbagai jenis kompetisi baik di film festival, film market atau film funding institution.
  5. Metode crowd funding yang mulai marak di Indonesia.

Kekuatan pasar lokal seperti yang telah diulas di atas, tidak mendorong terciptanya sumber investasi finansial melalui perbankan ataupun institusi finansial lokal lainnya. Perkiraan umum adalah karena tidak adanya ketersediaan data atau badan khusus di industri film yang memikirkan bagian struktur finansial ini.

Pasar Lokal dan Internasional

Tabel di atas memberikan sedikit ilustrasi pengaruh sumber finansial sebuah film Indonesia terhadap jangkauan distribusinya. Masih banyak film Indonesia lainnya yang beredar di festival internasional, mendapat penghargaan dan melakukan penjualan internasional, baik film panjang fiksi maupun dokumenter. Tabel ini dibuat sebagai gambaran secara umum.

Seluruh film Box Office Indonesia memiliki struktur finansial 100% lokal. Hampir seluruh film Indonesia yang tayang di bioskop lokal juga memiliki kesempatan distribusi di media lokal lain. Dari film Indonesia Box Office tersebut, hanya Laskar Pelangi yang memiliki eksibisi internasional di festival, memenangkan penghargaan dan juga memiliki penjualan internasional.

Film dengan 100% investasi lokal, yang juga tayang di festival internasional dan mendapatkan penghargaan adalah Sang Pemimpi, Pintu Terlarang, Lovely Man, Modus Anomali dan The Raid. The Raid memiliki cerita sukses tersendiri karena merupakan satu-satunya film Indonesia yang dibeli oleh major film studio & sales, yakni Sony Pictures. Artinya mayoritas film Indonesia dengan struktur finansial 100% lokal, memiliki dominasi kekuatan di dalam negeri. Hanya sebagian kecil dari film kategori ini melakukan eksibisi dan penjualan internasional. Dalam konteks industri, maka Laskar Pelangi dan The Raid adalah film dengan struktur finansial 100% lokal yang berhasil di pasar domestik maupun internasional. 

Sebaliknya, film Indonesia yang memiliki struktur finansial kombinasi dengan hibah asing, memiliki kesempatan eksibisi internasional lebih besar di ajang film festival, seperti: Babi Buta yang Ingin Terbang, Jermal, Sang Penari, The Mirror Never Lies, Atambua 39C, Vakansi yang Janggal dan penyakit Lainnya, serta Postcards from the Zoo.

Pengecualian adalah Kita vs. Korupsi, yang dibuat dengan dana hibah asing tetapi khusus untuk kampanye anti korupsi dalam negeri. Secara jumlah, maka dibandingkan dengan total produksi film Indonesia keseluruhan, maka film yang menggunakan struktur finansial kombinasi sangat sedikit, rata-rata dibawah 10%. Menariknya, rata-rata film yang memiliki struktur kombinasi hibah asing tidak memiliki daya jual di wilayah dalam negeri, namun berpotensi memiliki penjualan Internasional. Terlihat variasi film dibutuhkan saat film Indonesia ingin menembus pasar internasional.

Penting dicatat bahwa dana hibah asing pun adalah bentuk struktur finansial investasi asing yang memiliki metode pengembalian yang berbeda.

Dana hibah asing film dimungkinkan karena adanya proses pengembalian pajak kota atau negara untuk industri terkait, dalam hal ini industri film. Contoh: Hubert Bals Fund yang dapat diakses melalui International Film Festival Rotterdam, Belanda. Metode pengembalian yang diharapkan dari jenis investasi hibah asing adalah nilai budaya. Dengan kata lain, investasi hibah asing adalah bentuk investasi budaya. Apakah budaya asing? Dalam hal mendukung film dari berbagai negara di dunia, dana hibah asing film diciptakan untuk:

  1. Keberlangsungan pengembangan film itu sendiri, tanpa ikut campur persolan kreatif pembuatnya.
  2. Kepentingan menumbuhkembangkan pembuat film baru. Oleh karena itu, dana hibah asing biasanya dibatasi untuk pembuat film panjang pertama atau kedua.

Hibah asing berpotensi membuka kemungkinan eksibisi pasar internasional, juga memiliki potensi sebagai gerbang penjualan film dan penyebaran budaya di pasar internasional.

Dalam konteks investasi finansial yang sebenarnya, maka investasi asing sudah pasti menjamin penjualan film di wilayah lainnya. Ini merupakan penerapan hukum dagang umum bahwa produsen akan menjual produksinya semaksimal mungkin di wilayahnya, dan kemudian melakukan ekspansi ke wilayah lainnya.

Secara umum dapat dilihat bahwa rentang keberhasilan investasi produksi film adalah pendapatan dalam negeri (apalagi bila mencapai jumlah Box Office), pendapatan dari pasar internasional, dan penyebaran budaya (investasi budaya) di wilayah internasional.

Keragaman produksi film juga memiliki daya tarik masing-masing. Film Indonesia yang sukses di wilayah internasional tidak memilki kepastian kesuksesan di wilayah domestik. Begitu juga sebaliknya: sukses di dalam negeri tidak menjamin sukses internasional.

Bukan niat penulis untuk membahas perbedaan daya tarik film di dua pasar tersebut. Melainkan yang penting untuk dipahami dalam konteks investasi dan pasar internasional adalah:

  1. Struktur kombinasi investasi asing memberikan kesempatan akan perluasan pasar internasional. Baik dalam bentuk budaya lewat festival, maupun finansial melalui penjualan lewat major film sales company atau minor film distributor company.
  2. Investasi asing tidak menyetir jenis maupun konten film yang dibuat oleh pembuat film lokal. Hal ini justru menambah keragaman film Indonesia. Terbukti bahwa seluruh film yang ikut eksibisi maupun penjualan internasional adalah cerita lokal dan mayoritas pembuatnya lokal.
  3. Pendapatan pajak atas film dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan hibah film lokal, yang mendorong variasi film Indonesia. Variasi dalam arti keragaman yang sesungguhnya, baik untuk pengembangan pencapaian film secara kreatif, pengembangan pembuat film baru, dan penyebaran nilai budaya. Sejauh ini festival internasional secara tidak langsung adalah bentuk kesepakatan informal dalam proyeksi apresiasi pengembangan film.

Ekshibisi

Sekarang hanya 721 bioskop yang aktif terlibat dalam penayangan film. Dari 721 layar yang aktif, Group 21 memiliki 90% layar, sedangkan Group Blitzmegaplex hanya memiliki 10% saja.

Belum ada hasil penelitian yang menunjukkan berapa persen pendapatan film Indonesia dari Group 21 bila dibandingkan dengan Blitzmegaplex, tetapi kenyataan bahwa 90% pasar dimiliki salah satu group dapat memastikan mayoritas pendapatan produser lokal didapat dari group itu. Akibatnya, seluruh produser film Indonesia akan berusaha untuk menayangkan filmnya di layar Group 21, bila ingin mengakses pasar seluas-luasnya.

Ibaratnya, hanya ada satu "toko" yang menjual barang dari produser. Maka, dapat dipahami adanya keterbatasan display yang dimiliki sebuah toko. Belum lagi kemampuan toko akan investasi tokonya akan menentukan langkah yang akan diambil untuk menjaga keberlangsungan usahanya. Seluruh barang akan dipajang menurut jadwal yang didesainoleh pihak toko, dan pihak toko yang mengetahui barang mana yang sangat laku, laku atau tidak laku. Karena toko tidak memilki saingan yang cukup signifikan, maka keputusan memajang barang dagangantidak memerlukan buyer (dijelaskan selanjutnya), yang biasanya dimiliki oleh sebuah toko.

Hubungan ketergantungan yang sangat tinggi inilah yang menyebabkan produsen film Indonesia tidak dapat berbuat banyak terhadap pasar filmnya. Faktor umum yang menjadi persoalan antara produser film dan bioskop adalah: tanggal penayangan film, lama penayangan film, kontrak kerja, dan metode pelaporan jumlah penonton.

Sejak berdirinya Cineplex 21 tahun 1987, produser film Indonesia menggantungkan nasibnya pada satu grup ini. Tidak adanya saingan usaha yang signifikan selama hampir 26 tahun telah meniadakan kompetisi yang sehat pada jenis usaha eksibisi. Untuk itu dibutuhkan diversifikasi investasi lain untuk jenis usaha bioskop. Singkatnya pasar film Indonesia memerlukan jaringan bioskop lain yang sepadan. Dan terbukti selama hampir 26 tahun, tidak ada investor lokal yang mampu menandingi jumlah layar yang dimiliki grup tersebut.

Persoalan klasik yang patut disorot selama dua dekade ini adalah tidak tersedianya data jumlah penonton film impor, atau minimal gross film impor di Indonesia. Sulit untuk dirunut di manakah letak kesulitan ini. Apakah karena kedekatan hubungan distributor film impor dengan bioskop? Atau tidak adanya badan film yang mengurus rambu-rambu dan lalu lintas distribusi film impor dan ekshibisinya? Atau kurangnya law enforcement dari pemerintah daerah, mengingat Pasal 33 UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman secara spesifik mewajibkan setiap ekshibitor untuk mempublikasikan jumlah penonton dan pendapatan dari setiap pemutaran, sehingga data ini tidak terkumpul? Atau sesederhana tidak terpikir keperluannya untuk apa?

Investasi bioskop asing—saat masuk ke dalam industri film Indonesia—diperkirakan akan menggunakan metode franchise system, yang artinya dimungkinkan co-ownership dengan pengusaha lokal, bukan 100% investasi asing. Keuntungan investasi asing dengan franchise system-nya adalah spesialisasinya di bidang ekshibisi film yang memiliki solid background, dan tidak menjadi investor ‘coba-coba’. Selain itu kebutuhan akan investasi bioskop dalam skala massif (minimal 1.000 layar) dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama (misalnya 2 tahun), membutuhkan kemampuan finansial yang stabil dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan. Kekuatan pasar film Indonesia sebesar 65,2% tidak dapat dipertaruhkan dengan invetasi yang seadanya. Taruhan inilah yang justru membahayakan stabilitas pasar film Indonesia.

Saat investasi baru memasuki jenis usaha ekshibisi, maka yang menjadi pertanyaan utama adalah suplai film, yang berujung pada sumber daya manusia atau pekerja film. Pengembangan sumber daya manusia atau pekerja film memerlukan pembahsan tersendiri lewat pendidikan film dan lapangan kerja. Untuk itu diperlukan penelitian khusus. Kali ini penulis membahas khusus persoalan finansial industri film.

Saat jaringan bioskop bertambah, maka pasar membesar, dan jumlah film yang diproduksi seharusnya meningkat. Apa yang bisa dilakukan oleh pasar domestik untuk mengantisipasi hal tersebut? Keadaan ini akan membuka potensi:

1. Lembaga finansial: produser film Indonesia akan memerlukan pasokan modal untuk membuat film dalam mengantisipasi penambahan jumlah layar. Investasi pada sektor film menjadi on demand. Lembaga finansial dapat turut serta dalam pengembangan industri film.

2. Kebijakan lama tayang: untuk mendukung kondisi di atas, maka kebijakan lama tayang film Indonesia di bioskop menjadi crucial, karena kontrak dan lama tayang di bioskop ‘menjadi jaminan’ kepada lembaga finansial.

3. Promosi: peran promosi dan iklan menjadi sangat penting. Kerjasama dengan bidang advertising agency, media planner, atau media lainnya terkait, menjadi sangat penting. Hal ini dapat diawali dengan bentuk kerjasama konkret tahap persiapan tayang film atau malah dalam tahap sebelumnya.

Kesinambungan jaringan bioskop dengan rantai penjualan lainnya menjadi dasar keterlibatan institusi finansial dalam memberikan fasilitasnya.

Distribusi 

Di tatanan film dunia dan textbook yang diajarkan pada sekolah film, dalam rantai penjualan film ada sebutan buyer, yaitu Sales Agent (SA) dan Distributor (D), serta Film Market. Sales Agent. Mereka adalah pembeli utama, yang kemudian menjualnya kepada Distributor film. Sales Agent akan memikirkan strategi penjualan film secara menyeluruh di berbagai wilayah. Oleh karena itu lingkup Sales Agent lebih luas dari distributor. Distributor secara umum menangani sejenis format penjualan. Artinya distributor memiliki kekhususan melakukan penjualan, misalnya kepada bioskop saja, atau media lainnya. Perbedaan kedua profesi ini disebabkan oleh variasi pasar dan konsumen yang berbeda, sehingga diperlukan kekhususan cara penjualan, termasuk di dalamnya metode berpromosi. Sedangkan film market adalah pasar penjualan film.

Indonesia tidak mengenal semua istilah tersebut diatas, kecuali distributor DVD/VCD atau sering disebut sebagai Home Video (HomVDO). Ini menunjukkan bahwa produser filmlah yang merangkap sebagai penjual film kepada berbagai pihak; bioskop, stasiun TV, distributor DVD/VCD, atau media lainnya. Tidak ada jenis usaha dengan keahlian khusus yang menjembatani di antaranya.

Kembali ke ilustrasi ‘toko’: tugas buyer secara umum adalah mempertemukan kecocokan pasar dari produsen ke toko sehingga produk terjual dengan harga yang ideal pada pasar yang tepat. Untuk itu buyer akan memikirkan jenis barang  yang cocok untuk toko tertentu. Setiap toko memiliki karaketristik dan pasarnya sendiri, dan tugas buyer adalah memahami berbagai perbedaan karakter toko. Selain memahami berbagai karakter dan selera toko, maka buyer pun dituntut untuk memahami berbagai barang yang diproduksi oleh produsen, dari sisi kualitas, lama produksi hingga harga barang. Pengetahun pasar dari kedua sisi menjadi keahlian spesifik buyer. Dalam industri yang lebih kompleks, buyer pun memiliki spesialisasi. Produsen dan toko akan memahami spesialisasi buyer. Bila toko mencari produk tertentu maka sebaiknya menghubungi buyer tertentu. Begitu pula bila produsen ingin menjual produk tertentu, maka akan mendatangi buyer tertentu.

Dalam industri film, barang yang dijual adalah hak tayang film, bukan fisik film atau kepemilikan film. Penjualan film pada dasarnya penjualan pengalaman menonton lewat sebuah cerita. Oleh karena itu, produser film selaku pemilik film memiliki Intellectual Property (IP) film. IP inilah yang menentukan kepemilikan film.

Produser akan menjual atau menyewakan (license) hak tayang filmnya kepada buyer dengan berbagai perjanjian yang secara umum melingkupi lama penyewaan hak tayang (lisence period), hak tayang di semua media (all rights) atau di media tertentu sesuai perjanjian—bioskop (theatrical release), TV, HomVDO, VOD (video on demand), atau media IP based lainnya—dan di wilayah tertentu (specificterritory atau worldwide).

Semua ini akan tertuang di dalam kontrak kerjasama, termasuk di dalamnya perjanjian bagi hasil. Pada skala besar dimungkinkan buyer membeli sebelum barang tersebut jadi (pre-sale), atau memberikan MG (minimum guarantee) saat membeli hak tayang tersebut. Oleh karena itu pekerjaan buyer memerlukan kedekatan dengan institusi finansial atau minimal memiliki dana untuk melakukan tawar-menawar dengan produser film. Dari sisi produser, keberadaan buyer akan membantu memberikan cashflow bagi produksi filmnya.

Memahami penjabaran di atas maka dapat dimengerti mengapa pasar film Indonesia tidak memiliki profesi buyer. Persoalannya adalah:

  1. Tidak adanya variasi jaringan bioskop yang memungkinkan terjadinya proses tawar-menawar. 95% pemasukan produser dari bioskop (sumber: Riset CSIS)
  2. Tidak adanya variasi media distribusi film. Ada distributor DVD/VCD, tetapi mengingat kecilnya pasar DVD/VCD atau media lainnya, yaitu sebesar 5% (sumber: Riset CSIS), maka persaingan pasar ini tidak cukup berarti.
  3. Tidak adanya institusi finansial yang memahami perdagangan film. Dalam hal ini, persoalan bermuara kembali pada distorsi pasar; akses ke bioskop yang kecil (13%) diperkeruh dengan ketimpangan kepemilikan layar, yang menyebabkan tidak adanya kepastian penjualan.

3. KESIMPULAN

Kini menjadi jelas bahwa istilah ‘kecilnya industri film Indonesia’ mengacu pada sedikitnya jumlah layar dan hanya dapat diakses oleh 13% dari total populasi Indonesia. Tetapi tidak mengacu pada kekuatan pasar film Indonesia yang memiliki market share sebesar 65,2%. Artinya kemungkinan perluasan pasar masih sangat besar dan pasar film Indonesia siap untuk menyerap investasi baru di berbagai bidang baik produksi, distribusi, dan khususnya jaringan bioskop baru, demi perluasan pasarnya.

Satu hal yang sangat dibutuhkan adalah kebijakan yang sistematik, transparan dan holistik, khususnya saat industri film di Indonesia masih termasuk kategori simple, tidak kompleks. Dari sisi finansial khususnya, kerjasama dengan institusi finansial dalam negeri baik perbankan atau institusi lainnya perlu digarap secara serius.

Khusus untuk film Indonesia yang memiliki daya tarik pasar international perlu mendapat dorongan lebih lanjut, untuk menjaga kontinuitas film Indonesia di pasar Internasional. Dalam situasi ideal, diperlukan distributor film Indonesia khusus pasar internasional.

Kembali kepada topik DNI, tiga bidang film yang tertutup sama sekali terhadap investasi asing adalah produksi, distribusi (ekspor, impor dan distribusi), dan bioskop. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pilar utama industri film di Indonesia adalah ekshibisi dan produksi. Sementara pilar distribusi tidak memiliki kontribusi sama sekali selama minimal satu hingga dua dekade terakhir. Pilar distribusi mengacu pada profesi dengan bidang keahlian khusus. Bukan mengacu pada kegiatan distribusi dalam arti penyebaran materi film antar bioskop yang sifatnya antar-jemput internal atau kurir.

Peliknya silang sekarut persoalan industri film Indonesia tak memungkinkan adanya satu solusi untuk menyelesaikan semuanya. Yang bisa dilakukan adalah menyusun prioritas, mana yang perlu dilakukan terlebih dahulu dalam menguatkan posisi masing-masing bidang tersebut.

Bidang Produksi 

Kegiatan produksi film selalu memiliki konsekuensi ekonomi dan budaya.

Dari sisi ekonomi, maka kerjasama investasi asing dalam bentuk ko-produksi film, membuka kemungkinan akan kegiatan penjualan film Indonesia di pasar internasional. Ko-produksi adalah siasat shared risk dan secara konkret perluasan pasar dunia. Shared risk juga berarti kesempatan untuk shared resources, baik sumber daya manusia (scriptwriter, actor/actress, cinematographer, atau posisi lainnya dalam jajaran kru film), sumber daya alam sebagai lokasi shooting, atau sumber daya lainnya.

Bentuk kepemilikan dapat dimiliki bersama, atau diatur berdasarkan besaran investasi terkait. Untuk itu, perlu disiapkan government treaty antara Indonesia dengan berbagai negara asing, khususnya Eropa, ASEAN dan Amerika, yang mengatur tata cara pelaksanaan kegiatan ko-produksi. Shared risks berarti pula shared benefits, artinya melalui kerjasama ini maka produser film Indonesia dapat menikmati fasilitas negara lain (misalnya tax incentives, akses ke institusi finansial, atau dana regional film setingkat kota atau propinsi), dan juga sebaliknya. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan daya tarik khusus bidang film di dalam negeri sebagai stimulus kepada kedua belah pihak. Pendapatan pajak tontonan atas sektor film dapat dimanfaatkan untuk menciptakan fasilitas tersebut diatas.

Dari sisi budaya, ikut berpartisipasi di ajang kompetisi internasional sama pentingnya seperti kompetisi badminton, fisika, atau paduan suara tingkat dunia. Pemanfaatan hibah asing dalam film Indonesia membuka pintu ekshibisi ke pasar internasional. Sama halnya dengan investasi asing yang akan mendorong penjualan secara lebih intensif, maka kegiatan ini adalah juga bentuk penyebaran ‘jati diri dan kepribadian bangsa’, frase yang kerap disebutkan dalam UU Perfilman Indonesia, dan bukan sebaliknya dianggap sebagai ancaman.

Film sebagai bagian dari agenda ekspansi kebudayaan, menjadi bagian dari strategi kebudayaan negara. Contoh: Korea Selatan. Festival film berfungsi sebagai gerbang eksibisi pasar internasional. Dengan eksposur yang tepat, maka dapat berlanjut kepada penjualan film Indonesia di pasar internasional.

Yang penting dicatat adalah investasi asing sama sekali tidak melemahkan posisi produksi film Indonesia, malah memperkuat dan menambah keragaman. Untuk itu, film tidak dapat melulu dilihat sebagai komoditi ekonomi, atau sebaliknya hanya artefak budaya saja. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan koridor yang tepat untuk menumbuhkembangkan kedua konsekuensi yang memiliki karakter berbeda tersebut.  

Bidang Distribusi 

Tidak adanya persaingan bioskop, membuat profesi ini mati. Dan selama tidak ada ‘jaringan baru’ dalam jenis usaha bioskop, maka jenis usaha distribusi tidak akan berkembang. Oleh karena itu keputusan pembukaan jenis usaha distribusi sangat bergantung pada keputusan ekshibisi. Bila ekshibisi memiliki kepastian perluasan pasar, maka mempertimbangkan investasi asing untuk kegiatan distribusi menjadi relevan. Pada dasarnya kegiatan distribusi adalah kegiatan jual beli konten film, maka kehadiran jaringan bioskop baru untuk keberadaan jenis usaha ini tidak dapat ditawar.

Persiapan yang perlu dilakukan adalah pengaturan kegiatan distribusi itu sendiri, seperti pengaturan kerjasama (partnership atau co-ownership) antara distributor asing dengan distributor lokal, sehingga proses knowledge transfer dapat berjalan (setelah mati untuk dua dekade). Distributor harus memiliki komposisi film Indonesia dan film impor, sehingga tidak terjadi ketimpangan distribusi film Indonesia. Distributor asing tentunya memasukkan konten asing, sebaliknya distributor lokal menjual konten lokal.

Kegiatan distribusi erat hubungannya dengan modal. Untuk itu diharapkan adanya kerjasama dengan institusi finansial dalam negeri. Selain itu kerjasama dengan berbagai jenis usaha promosi dan periklanan akan sangat bermanfaat.

Bidang Ekshibisi 

Bidang ini merupakan sumber persoalan distorsi pasar dan mandeknya perkembangan industri film Indonesia. Perluasan pasar dalam skala masif dalam rangka mengimbangi ketimpangan kepemilikan layar adalah prioritas utama dan tidak dapat ditawar lagi. Dibutuhkan investor yang memahami industri film dan memiliki kondisi finansial yang stabil, dengan pertimbangan demikian, maka investasi asing sangatlah relevan.

Persiapan yang penting dilakukan untuk menyambut perluasan pasar adalah pertimbangan pembuatan beberapa klasifikasi bioskop menurut skala kemampuan daya beli pasar. Walaupun belum ada penelitian khusus tentang preferensi penonton akan kegiatan menonton, proyeksi kesesuaian daya beli diperkirakan dapat membantu proses peningkatan jumlah penonton. Klasifikasi bioskop, seyogyanya berdampak pada perbedaan perlakuan pajak. Besaran perbedaan perlakuan pajak memerlukan bantuan perhitungan tenaga ahli, sehingga baik di tatanan mikro maupun makro berdampak positif, secara finansial atau sosial. Langkah ini patut ditempuh mengingat besarnya investasi bioskop dalam berbagai lini, baik sisi modal, investasi properti, hingga peralatan berbasis teknologi mutakhir. Pada akhirnya publik dapat mengakses bioskop tertentu, yang berada di wilayah tertentu, memiliki harga tiket tertentu yang sesuai dengan daya belinya.

Akhirnya, setelah 26 tahun lamanya tidak ada investor lokal yang tertarik dan berani mengambil risiko untuk mengembangkan jenis usaha ini, inilah kesempatan industri film untuk melihat investasi asing dengan jaringan bioskop baru, sebagai alternatif kesempatan tanpa harus menunggu lagi.