Artikel/Kajian Jejak Bioskop di Jawa Tengah

Kajian 20-10-2011

Meneliti bioskop di Indonesia terkadang seperti napak tilas. Mereka yang sudah tiada tercerap menjadi angka di statistik, sementara yang masih ada hampir tidak terdokumentasikan sejarah keberadaannya. Catatan tertulis begitu minim, terutama dari pihak yang berkaitan langsung dengan pengelolaan bioskop. Alhasil, informasi lebih sering didapatkan dari ingatan narasumber, yang mengalami tahun-tahun sebelum bioskop-bioskop tersebut masih beroperasi. Cerita perihal eksistensi bioskop-bioskop yang dimaksud masih dapat disusun, namun keabsahan informasinya jadi kurang akurat.

Berikut ini adalah rekaman jejak eksistensi bioskop di sejumlah kota di Jawa Tengah.

Wonosobo

Bioskop Dieng di Wonosobo, 6 Oktober 2010 (Foto: Bowo Leksono/FI)Satu-satunya gedung bioskop di Wonosobo yang masih beroperasi adalah Dieng Theatre. Diperkirakan, bioskop ini dibangun sekitar tahun 1982. Sebelumnya, bangunan Dieng Theater ada di kompleks Taman Plaza sekarang.

Menurut pengakuan Manajer Dieng Theatre ST Bendot (52 tahun), paruh waktu 1970-1990-an, bioskop di Wonosobo berjaya. Setelahnya hingga 2000-an, benar-benar bangkrut. "Film Ada Apa Dengan Cinta? sangat menolong bisnis bioskop kami, hingga mampu bertahan sampai sekarang," tutur manajer yang sudah bekerja di lingkungan bioskop sejak 1986 ini.

Bendot mengatakan, bioskop Dieng setiap hari memutar film-film nasional karena sangat sulit mendapatkan suplai film impor. "Di samping itu juga sulit mendapatkan penontonnya. Ini karena di Wonosobo sudah banyak berdiri bioskop-bioskop mini," jelasnya. Bioskop-bioskop mini yang dimaksud rata-rata memasang tarif Rp 10.000 untuk menonton film-film impor menggunakan DVD. Pihak bioskop Dieng merasa sangat dirugikan dengan adanya bioskop mini tersebut.

Suprapto (61 tahun, yang sudah sejak SMA bergelut di dunia bisnis bioskop), yang akrab dipanggil Prapto, pernah dipasrahi mengelola beberapa bioskop daerah. Mulai dari Purbalingga, Banjarnegara, Magelang, Kebumen, dan terakhir di Wonosobo. "Sekarang ini kondisi bisnis bioskop seperti di Wonosobo ini sebenarnya tidak bisa dikatakan rugi. Meskipun saat satu pemutaran tidak ada penontonnya, kerugian ini akan ditutup penonton film Indonesia yang laris," tutur Prapto menggebu. Film seperti Laskar Pelangi di Dieng Theater, misalnya, mampu menutup kerugian selama beberapa pekan.

Rata-rata penonton Dieng Theater sekitar 20-30 orang per harinya. Angka tersebut meningkat menjadi 40-50 orang setiap akhir pekan. Tidak ada hitungan jumlah minimal penonton agar film dapat terus diputar. Pihak bioskop dapat menurunkan film dari bioskop, apabila film yang diputar dirasa tidak akan laris. Ini adalah kebijakan PT Sanggar Film, yang memasok film ke Dieng Theater. Berapa pun penonton saat pemutaran, film tetap diputar. Sistem sewa film adalah bagi hasil. Pembagiannya: setengah untuk pihak bioskop, setengahnya lagi untuk pihak PT Sanggar Film. Pembayaran dilakukan saat film ditarik dari peredaran/pemutaran di bioskop yang bersangkutan. Pihak bioskop juga bertanggung jawab menunjukkan jumlah tiket yang terjual pada pihak distributor.

Dalam sebulan, Dieng Theater memutar lima sampai enam film. Bila satu film masih diputar di kota lain karena penontonnya masih banyak, maka Dieng Theater harus menunggu dengan memutar film lain. Materi film diatur oleh Sanggar Film sendiri, bukan karena permintaan pihak bioskop, apalagi permintaan penonton. Bioskop tinggal menerima dan memutarnya, apapun materi filmnya. Karena itu, ada semacam peringatan dari PT Sanggar Film: apabila bioskop-bioskop yang disuplai tersebut memutar materi film dari penyuplai lain, maka Sanggar Film akan menghentikan pasokan film.

Menurut rencana, bioskop Dieng Theatre akan dijual, namun belum ada pihak yang akan membeli. Menurut manajer bioskop, Dieng Theater selama ini bisa bertahan berkat adanya film laris macam Laskar Pelangi. Selama tiga bulan memutar Laskar Pelangi, Dieng Theater meraup Rp 180 juta di bulan pertama, dan Rp 40 sampai 50 juta di dua bulan berikutnya. Penghasilan dari film laris itulah yang menutup biaya operasional bioskop. Mereka yakin setiap tahun pasti ada film yang laris, minimal satu.

Purwokerto

Rajawali Theater di Purwokerto, 30 September 2010 (Foto: Bowo Leksono/FI)Rajawali Theater berdiri sekitar tahun 1980. Masa kejayaan gedung bioskop ini paruh waktu 1985-1990. Menurut pengakuan Abdul Muksin, manajer bioskop Rajawali yang sudah bekerja sejak bioskop ini berdiri, gambaran masa kejayaan saat itu adalah dengan penonton yang datang dari pelosok desa dengan menggunakan truk. Mereka menonton film-film sejenis Saur Sepuh yang sebelumnya populer sebagai sandiwara radio.

Awalnya, Rajawali hanya punya satu studio berkapasitas 1.000 lebih penonton. Satu ruangan besar tersebut kemudian dibagi jadi dua studio. Dengan bertambahnya persaingan gedung bioskop di Purwokerto, seperti Srimaya Theater, Kamandaka Theater, President Theater, Nusantara Theatrer, Garuda Theater, dan Dinasty Theater, Rajawali Theater menambah dua ruangan lagi dengan memperbesar lahan bangunan di bagian kiri gedung.

Bersama matinya film-film nasional yang berkualitas, munculnya teknologi digital (kepingan VCD dan DVD), dan merebaknya televisi swasta, bisnis bioskop di kota Purwokerto dan kota-kota kecil lain di Indonesia mengalami penurunan. Banyak yang akhirnya gulung tikar. Sampai saat ini, di Purwokerto hanya tersisa bioskop Rajawali Theater. Secara kasat mata, bisnis bioskop Rajawali sudah tak mampu dipertahankan. Sedikitnya penonton setiap hari jelas tak akan mampu menutup biaya operasional.

Rajawali bisa ada sampai sekarang karena kecintaan pemiliknya pada bisnis film. Kerugian Rajawali selama ini ditutup dari bisnis yang lain, seperti bisnis pabrik kosmetik, roti, dan rambut. Kendalanya: penonton sekarang sangat berbeda dengan saat bioskop masih berjaya. Apalagi untuk jenis film-film impor sangat berkurang peminatnya. Jadi film nasional lebih diminati, meskipun bergantung pada filmnya. Tidak bisa dikira film apa yang akan laris. Pihak bioskop sendiri tidak tahu apakah film yang mereka dapat sudah beredar lama, atau bahkan sudah beredar VCD dan DVD-nya. Sejauh ini mereka menerima film apapun yang dikirim oleh distributor (Sanggar Film). Selama suplai film lancar, mereka tidak mengeluh.

Jumlah penonton per hari di Rajawali Theater susah ditakar. Apalagi Rajawali Theater memiliki empat layar, yang tidak setiap jam memutar film. Untuk mengantisipasi kerugian, pihak manajemen menerapkan aturan bila penonton di bawah 10 orang, film tidak akan diputar. Calon penonton boleh menukar kembali tiketnya, atau menukar tiket untuk menonton film di ruang lain. Manajemen Rajawali akan tetap memajang suatu film, walau tidak laku sekalipun, selama belum ada permintaan dari distributor untuk menurunkan film tersebut. Bila distributor melihat masih banyak penonton, maka besar kemungkinan film itu tetap bertahan. Pihak bioskop sendiri yakin bahwa Rajawali Theater punya penggemarnya sendiri, meski tidak banyak.

Tegal

Bioskop Panca Maya di Tegal, 13 September 2010 (Foto: Ragil Priyo Atmojo/FI)Ada delapan bioskop yang tutup di Tegal. Satu bioskop yang cukup banyak ditemukan informasinya adalah Panca Maya, bioskop satu layar yang beralamat di Jalan Kapten Soedibyo. Pemiliknya bernama Harsono, bertempat tinggal di Perum Arum Indah, Tegal. Ia mewarisi gedung dan usaha bioskop dari orangtuanya. Sekitar akhir tahun 2000, ia menyewakan bioskop tersebut pada Slamet, yang mempertahankan nama bioskop sampai tutup pada 1 April 2010. Tak lama kemudian, 4 April 2010, Slamet meninggal dunia. Semua peralatan bioskop sudah tidak berada di gedung pemutaran, kecuali layar.

Berdasarkan keterangan Nurhayati (istri almarhum), di kediaman mereka di Gg. Merah Putih-Tegal, almarhum Slamet pernah mengusahakan bioskop Adiwerna (Slawi) dan Subur (Brebes). Mengenai film-film yang diputar di tiga bioskop tersebut, ada dua sumber pengambilan. Dahulu film-film diambil dari Sanggar Film, sebuah agen penyalur film di Semarang yang mendapatkan kopi film dari Jakarta. Ketika Sanggar Film mengalami kesulitan finansial, almarhum Slamet mendatangkan film dengan jalan berkongsi dengan Rama Rao (saat ini, pemilik bioskop Wijaya-Pemalang) untuk mendatangkan film dari Jakarta, dan memutarnya dengan jalan merotasi pemutaran film-film tersebut antara Pemalang, Brebes, Tegal, dan Slawi. Berdasar pengamatan pada Oktober 2008, film-film yang diputar adalah film impor (utamanya Mandarin) dan Indonesia, dengan tema seputar seksualitas dan dunia gaib.

Ada juga Bioskop Dana, sebuah bioskop satu layar yang beralamat di Jalan Gajah Mada No. 104. Saat ini, gedungnya telah beralih fungsi menjadi toko grosir gerabah. Pemiliknya adalah Haji Nadirin yang membeli dari Timbul (pemilik toko ubin Istana-Tegal). Tidak didapat informasi mengenai pemilik dan pengusaha bioskop ini pada masa operasionalnya, karena tidak ditemukannya jejak Timbul atau kerabatnya. Berdasar ingatan penyusun laporan ini, film-film yang diputar Dana dari periode 1990-2000 diisi bergantian oleh film Mandarin, Indonesia, dan Amerika. Film produksi India jarang sekali diputar di bioskop ini.

Menurut Haji Nadirin, Bioskop Dana merupakan satu dari tiga bioskop di bawah kongsi tiga bersaudara yang lazimnya disebut "King Brothers". Dua bioskop lainnya adalah Dewa dan Dewi. Keduanya adalah bioskop satu layar yang berada di kompleks alun-alun Tegal.

Satu bioskop yang cukup besar adalah Bioskop Plaza Marina. Bioskop dua layar tersebut menjadi satu dengan pusat perbelanjaan Marina, yang dimiliki oleh kongsi dagang King Brothers. Ketika pusat perbelanjaan tersebut tutup, tersiar kabar kalau Andi, pemilik bioskop Plaza Marina, berniat menjual gedung tersebut. Berdasarkan pengamatan pada Oktober 2008, Plaza Marina beroperasi dengan hanya satu layar dan memutar film-film Indonesia.

Ada juga Riang Theater, bioskop satu layar yang beralamat di Jalan Udang. Bioskop tersebut lazimnya memutar film produksi India, dengan selingan film Indonesia, Mandirin, maupun Amerika. Saat ini, gedung tersebut berfungsi sebagai gudang. Di Jalan Gajah Mada, ada bioskop Duta. Tidak diketahui sejarah saat bioskop tersebut masih beroperasi. Berdasarkan informasi, bioskop Duta setidaknya masih beroperasi hingga akhir 70-an, mengingat bioskop tersebut sempat memutar film Pengemis dan Tukang Becak(1978).

Terakhir adalah Bioskop Jupiter. Menurut informasi yang ada, pemilik bioskop tersebut adalah seorang beretnis Tionghoa, yang ditenggarai terlibat kegiatan PKI. Kodim kemudian menyita semua aset usahanya, dan mengubahnya menjadi Gedung Wanita dan SMAN 4 Tegal. Gedung tersebut merupakan salah satu pusat kegiatan kesenian di Tegal, sekaligus sekretariat Dewan Kesenian Kota Tegal.

 

Brebes

Pintu masuk salah satu studio bioskop Dedy Jaya di Brebes, 17 September 2010 (Foto: Ragil Priyo Atmojo/FI)Ada dua bioskop di Brebes, yang sekarang masih bertahan walau kembang kempis. Pertama adalah bioskop Subur, yang beralamat di Jalan Letjen Suprapto. Pengurusnya adalah Wily dan Zamroni, yang turut menjalankan usaha parkiran sebagai sampingan. Zamroni mengambil film dari Rama Rao (pengurus Bioskop Wijaya, Pemalang) dua kali seminggu, dengan pembagian hasil ke Rama Rao sekitar seratus ribu rupiah per bulan. Masa tayang per judul rata-rata dua hari. Kebanyakan film yang diputar adalah drama Mandarin dan film horor Indonesia. Fasilitas bioskop antara lain: proyektor Cinkang 104 yang telah dimodifikasi, pendingin ruangan berupa tiga buah kipas angin ukuran besar, dan sistem suara rakitan sendiri.

Keunikan bioskop ini adalah letaknya yang bersebelahan dengan pasar. Lahan depan area bioskop digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor dari pengunjung pasar. Pada saat pengguna parkir meningkat, risiko yang terjadi adalah film tidak diputar, karena kedua pengelolanya sibuk menjaga parkir.

Bioskop lainya adalah Dedy Jaya Theater, yang beralamat di Jalan Sudirman. Bioskop tersebut bertempat di Dedy Jaya Plaza, di bagian yang disewa oleh ketiga pengurusnya: Khamim, Udin, dan Daryono. Dedy Jaya Theater sudah berjalan kurang lebih 14 tahun. Awalnya hanya terdiri dari dua layar: Dedy Jaya 1 dan 2. Studio pertama khusus memutar film Amerika, sementara yang kedua memutar film produksi Indonesia dan India. Saat ini, tinggal satu layar yang memutar film Indonesia, kebanyakan bertema horor.

Proyektor yang digunakan bermerk Cinkang 104, dengan lampu Xenon 450 watt yang menghasilkan proyeksi buram. Sistem suara merupakan hasil rakitan sendiri dan sudah mulai tidak jernih. Jumlah kursi total 120 buah, dengan pendingin ruangan berupa kipas angin. Khamim mengatakan bahwa ia mendapat pasokan film dengan cara memesan atau menunggu kiriman dari seorang pemasok, bekas pekerja di Sanggar Film, yang mendapat pasokan film dari Jakarta.

 

Pemalang

Biokop Wijaya di Pemalang, 18 September 2010 (Foto: Ragil Priyo Atmojo/FI)Di Pemalang ada dua bioskop yang tutup. Pertama adalah Galaksi, yang berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan, di seberang Pasar Beji. Dahulunya, Galaksi diusahakan oleh Rama Rao dan dioperasikan oleh Wawan (saat ini menjadi karyawan di Bioskop Wijaya, Pemalang). Berdasarkan keterangan Wawan, Galaksi merupakan bioskop satu layar. Semua peralatan dari bekas bioskop tersebut sudah dijual, kecuali kursi penonton sejumlah 159 buah yang saat ini dipakai di bioskop Wijaya. Bioskop lainnya yang sudah tutup adalah KH. Bioskop tersebut terletak di daerah Petarukan, sekitar lima kilometer dari Pemalang ke arah Pekalongan. Tidak banyak informasi yang bisa ditemukan perihal Bioksop KH. Menurut Wawan dari bioskop Wijaya, gedung bioskop KH saat ini telah alih fungsi menjadi tempat latihan bulu tangkis.

Satu yang masih bertahan di Pemalang adalah Bioskop Wijaya. Berdiri semenjak tahun 1997, Wijaya diusahakan oleh seorang keturunan India bernama Rama Rao. Operasional sehari-hari dibantu oleh Wawan, sebagai kepala teknisi merangkap projeksionis dan pengelola harian. Bioskop tersebut mempunyai dua studio: Wijaya 1 dan Wijaya 2. Layar pertama dikhususkan bagi film-film produksi Indonesia, sedangkan yang kedua untuk film impor (Mandarin dan India). Kapasitas Wijaya 1 memuat 169 kursi (bentuk dan warnanya mirip kursi bioskop jaringan 21), dan Wijaya 2 memuat 159 kursi (kursi apkiran dari bioskop Galaksi).

Proyektor yang digunakan merek Cinkang 104, dengan pembedaan penggunaan lampu. Untuk Wijaya 1 menggunakan Halogen (1000 watt) dan Wijaya 2 menggunakan Xenon (450 watt). Sistem pendingin ruangan dibedakan pula. Wijaya 1 dipasang AC dibantu empat kipas angin, sementara Wijaya 2 hanya menggunakan kipas angin. Harga tiket masuk (HTM) untuk Wijaya 1 berkisar di Rp 7.000-8.000, dan Wijaya 2 berkisar di Rp 5.000-6.000.

Bioskop Wijaya mendapatkan pasokan film dengan berbagai cara. Biasanya manajemen membeli dari jaringan pertemanan dengan anak buah produser film di Jakarta. Rama Rao mengaku bahwa ia sering membeli film yang sudah diputar di bioskop-bioskop seputar Jakarta, utamanya yang non-jaringan 21. Tiga tahun lalu, ia mampu membeli film dengan kisaran harga satu juta rupiah per judul. Saat ini, ia hanya mampu membeli film dengan kisaran harga tak lebih dari 300 ribu rupiah per judul. Hal ini dikarenakan pendapatan yang minim dari pengelolaan Wijaya. Keuntungan dari cara ini adalah ia dapat menyimpan film-film yang dibelinya dan memutarnya sesuka hati di bioskopnya.

Cara lainnya adalah dengan menyewa beberapa judul film dari jaringan pertemanan yang sama, dengan harga dan jangka waktu pemutaran yang telah disepakati bersama. Biasanya harga sewa berkisar dari tiga sampai lima ratus ribu rupiah. Pengiriman melalui jasa kurir yang ditanggung oleh pihak penyewa. Risiko dari cara ini adalah kemungkinan merugi cukup besar karena film yang diputar belum tentu dapat mendatangkan penonton yang cukup untuk menutup biaya sewa selama masa tayang yang terbatas.

Rama Rao lebih memilih bioskopnya memutar satu judul film tertentu selama lebih dari 30 hari, khususnya untuk film Indonesia, dibandingkan harus memutar semua judul film yang ada di peredaran selama 1 tahun. Pilihannya didasarkan pada kesadaran untung-rugi semata, mengingat usaha bioskop di kota kecil sedang mengalami masa sulit.

Tulisan ini adalah salah satu hasil dari penelitian yang dilakukan FI, dengan tim yang terdiri dari JB Kristanto, Lisabona Rahman, Adrian Jonathan Pasaribu, Ragil Priyo Atmojo, dan Bowo Leksono.

Baca juga:

Bioskop Jawa Tengah, Riwayatmu Kini (Adrian Jonathan Pasaribu, 2011)