Artikel/Kajian Jero Wacik, Menteri atau Pengusaha Bioskop?

Kajian Totot Indrarto 11-07-2011

Baliho di bioskop 21 TIM Juli 2011.Seorang teman akan ke Singapura akhir pekan besok. “Mau nonton Transformers,” katanya sembari tertawa. Teman lain memilih menunggu film itu diputar di Jakarta. “Kata Jero Wacik sebentar lagi masuk kok,” timpalnya, entah serius atau bermaksud menyindir.

Masyarakat memang sudah lelah menunggu film-film produksi Hollywood anggota MPA (Motion Pictures Association) diputar lagi di bioskop-bioskop Indonesia. Dan belakangan bertambah lelah mengikuti silang pendapat dua otoritas yang berwenang mengurus impor film: Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik di satu sisi serta Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro di sisi berseberangan.

Sebenarnya sengketa perihal bea masuk yang menyebabkan MPA menyetop peredaran film-film anggotanya ke Indonesia sejak Maret lalu sudah jelas ujung pangkalnya. Berdasarkan audit Kementerian Keuangan, selama 2008-2010 semua importir film tidak membayar pajak sesuai UU nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan. Mereka diminta segera membayar selambatnya 12 Maret 2011.

Sampai tenggat yang ditentukan, dua importir (PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika) belum melunasi tunggakan Rp 30 miliar ditambah denda 1.000%. Keduanya importir film-film dari enam studio besar anggota MPA (Walt Disney, Paramount, Sony Pictures, 20th Fox Movies, Universal Pictures, dan Warner Bros) yang menguasai sekitar 60% pangsa film impor di Indonesia.

Jadi, jika awalnya film-film Hollywood hilang dari bioskop karena distop oleh MPA, kini statusnya dilarang diputar sebelum importirnya melunasi pajak dan denda. Anehnya, pada 9 Juni Jero Wacik mengatakan pemerintah akan mendahulukan film-film asing itu masuk kembali ke Indonesia, sedangkan masalah tunggakan pajaknya bisa diselesaikan melalui mekanisme lain. Di hari yang sama Agus Martowardojo langsung membantah pernyataan Menbudpar.

Belum lagi kontroversi itu selesai, tersiar kabar telah berdiri enam importir film baru. Salah satunya, PT Omega Film, sudah mengantungi izin. Mengapa tiba-tiba ada yang nekat menjadi importir padahal sebelumnya tidak pernah ada importir baru muncul karena pasar (bioskop) dimonopoli oleh importir dari grup yang sama? Rupanya, importir baru itu terafiliasi dengan jaringan bioskop 21/XXI, yang juga pemilik dua importir yang masih menunggak pajak. (JB Kristanto, Akhirnya Kekhawatiran Itu Terjadi, Kompas, 28/6)

Kecurigaan mencuat, PT Omega Film dan lima lainnya disiapkan untuk menjadi importir/distributor baru film-film anggota MPA. Bambang Brodjonegoro menuding itu hanya akal-akal untuk melanjutkan monopoli peredaran film sembari menghindari tunggakan bea masuk yang lama.

Sebaliknya, Jero Wacik mendukung kehadiran importir baru itu. “Sebetulnya satu grup nggak apa-apa. Kan mereka yang punya satu gedung. Biarkan. Karena rakyat ingin lihat film,” katanya. Ia pun meminta seluruh elemen masyarakat, termasuk elit dan pejabat, mendukung masuknya film impor Hollywood. Pasalnya, Indonesia kini kekurangan pasokan film. “Dari 600 layar, baru ada 80 film,” tambahnya. (Detik.Com, 6/7).

Jero Wacik benar dengan mengatakan sepinya penonton karena kekurangan pasokan film akan mengakibatkan bioskop bangkrut. Ujung-ujungnya film Indonesia juga yang rugi karena kehilangan tempat pemutaran. Tapi sangat keterlaluan jika ia kemudian melindungi penunggak pajak sekaligus mendukung praktik monopoli yang melanggar UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman yang dibuatnya sendiri. Masyarakat bisa jadi curiga, ia sebenarnya menteri atau pengusaha bioskop?

Dalam pasal 11 ayat 1 jelas diatur: Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung. Lalu, pada pasal 12 ditegaskan: Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Belum cukup? Simaklah pasal 13: Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, atau huruf h dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Dibaca dengan bahasa awam, ketentuan-ketentuan itu melarang jaringan bioskop menjadi importir/distributor film (dan sebaliknya), haram bagi bioskop memutar film dari satu importir/distributor melebihi setengah dari jumlah seluruh film yang diputar, dan jangan coba-coba membuat persekongkolan (bioskop-importir, bioskop-distributor, atau importir-distributor) yang menghalangi bioskop, importir, dan distributor lain bersaing secara sehat.

Tentu saja, niat baik Jero Wacik untuk memberikan sebanyak-banyaknya tontonan kepada masyarakat sekaligus menyediakan ruang pemutaran yang lebih banyak bagi film-film Indonesia harus didukung. Kabar baiknya buat Pak Menteri, hal itu bisa dilakukan justru jika UU dan segala perundangan lain yang ada ditegakkan.

UU itu sudah cukup buat menghentikan penguasaan impor, distribusi, dan pemutaran film di satu tangan atau jaringan. Selanjutnya, izinkan distributor dan studio film asing membuka kantor di Indonesia, sehingga bisa berhubungan langsung dengan bioskop dan distributor lokal. Dengan begitu, setiap bioskop mendapat kesempatan sama buat memutar film-film yang diinginkan pada kesempatan pertama. Percayalah, kebebasan itu bakal menumbuhkan banyak bioskop baru di seluruh Indonesia.

Artikel ini merupakan versi asli penulis dari artikel Problematika Perfilman yang diterbitkan di Kompas, 11 Juli 2011, hal. 6.