Artikel/Kajian Kamuflase Harmoni di Pasar Soleh

Kajian Angga Rulianto 30-05-2011

Penilaian Penulis atas film ? (Tanda Tanya): 6/10

1

Toleransi dalam kehidupan masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang agama dan etnis akan sulit hadir jika sikap sentimen, prasangka buruk, dan stereotyping sudah merasuki masyarakat sampai ke unit terkecilnya: keluarga. Kalau sudah begitu, kemajemukan akan dianggap semata-mata sebagai pemecah belah masyarakat. Film ? (Tanda Tanya) mendedahkan persoalan sosial tersebut melalui kelindan konflik yang terjadi di antara tiga keluarga, yakni Hendra (Rio Dewanto) yang acuh terhadap kelangsungan bisnis restoran orangtuanya, Tan Kat Sun (Henky Solaiman) dan Lim Giok Lie (Edmay Solaiman); Soleh (Reza Rahadian) dengan istrinya, Menuk (Revalina S Temat), yang pernah menjadi kekasih Hendra; dan hubungan Rika (Endhita), sahabat Menuk yang baru berpindah agama dari Islam ke Katholik, dengan Surya (Agus Kuncoro).

2

Tak ada tokoh yang sepi dari masalah dalam naratif film karya sutradara Hanung Bramantyo ini. Mereka disodori berbagai pilihan rumit, menantang, dan penuh tekanan untuk menyelesaikan masalah hidup dan mengubah pola pikir atau kepribadian si tokoh. Pilihan-pillihan tersebut merupakan kompleksitas karakter yang berperan penting bagi cerita seperti Tanda Tanya yang mengulik persoalan personal dan konflik batin para tokoh.

Dengan modal tersebut, Tanda Tanya dapat disebut ‘character-driven story’, di mana dalam tipe cerita film seperti ini setiap pilihan yang diambil para tokoh guna menyelesaikan masalahnya akan terus mendorong laju cerita dan menciptakan konflik-konflik baru. Ciri seperti ini kental terasa dalam Before Sunrise (Richard Linklater, 1995), Before Sunset (Richard Linklater, 2004), atau Hari Untuk Amanda (Angga Dwimas Sasongko, 2010). Meski memang penggolongan seperti ini pun problematik, karena tipe umum lainnya, ‘plot-driven story’, yang mudah ditemui dalam kebanyakan film action atau horror-slasher, sebetulnya juga tetap membutuhkan karakter untuk mendorong laju cerita. Plot sendiri merupakan desain cerita yang memuat karakter dan latar untuk menciptakan rangkaian sebab-akibat/aksi-reaksi. Jadi, pada dasarnya semua cerita dalam film mempunyai sifat ‘character-driven.

Kompleksitas karakter ini juga berfungsi untuk menghadirkan rangkaian sifat yang manusiawi pada tokoh-tokohnya, sehingga penonton bisa menerima dengan lapang dada, katakan misalnya, tindakan Hendra saat marah dan balik mencemooh para pemuda mesjid itu adalah teroris hanya akibat mata sipitnya diejek. Dengan kata lain, harus ada kemasukakalan (plausability) atas landasan motif dari rentetan aksi-reaksi yang dilakukan oleh setiap tokoh supaya karakternya terasa tidak mengada-ada.

Seperti yang pernah dilakukannya pada Love (Kabir Bhatia, 2008), penulis skenario Titien Wattimena kembali menyodorkan kisah dengan banyak tokoh protagonis yang saling bertautan dalam Tanda Tanya. Bedanya, karakter para tokoh film initerasa lebih kaya masalah yang menusuk secara psikologis. Kecuali Menuk serta pasangan Tan dan Lim, tokoh lain di Tanda Tanya sepenuhnya terlibat dalam situasi yang mendua dan seperti terpelosok dalam posisi ‘serba salah’. Inilah posisi transisional yang merupakan modal penting bagi pengembangan karakter, sehingga berbagai pilihan tindakan yang diambil para tokohnya bisa tampak logis dan nyata di mata penonton.

Posisi transisional ini terdapat dalam character arc, yang didefinisikan olehPaul Joseph Gulino, dalam Screenwriting: The Sequence Approach (2004), sebagai proses transformasi yang dialami si tokoh ketika sedang mengejar keinginannya (want) lewat jalan yang berliku, tapi di tengah-tengah ia menyadari bahwa ternyata justru kebutuhannya (need) yang lebih penting dan harus dipenuhi. Pertentangan antara keinginan dan kebutuhan para tokoh inilah yang menarik dan cukup menonjol dalam Tanda Tanya. Kita bisa melihat transformasi yang dialami oleh, misal, Hendra dan Soleh, sehingga kelak mengubah cara pandang mereka dalam menghadapi konfliknya.

3

Dengan memuat substansi cerita sensitif (sentimen antar agama dan etnis) demi memberikan masalah yang penuh tekanan dan pilihan-pilihan hidup yang rumit bagi para tokohnya, mau tidak mau realitas yang direpresentasikan dalam Tanda Tanya pun tidak bisa tampil bak dongeng. Hal ini jelas disadari betul oleh sutradaranya. Maka Hanung menyuguhkan adegan pembuka pendeta yang ditusuk oleh seseorang yang tidak dikenal. Adegan kontekstual (ingat kasus penusukan di HKBP Ciketing, Bekasi?) ini bagaikan rekonstruksi dari provokasi atau teror ancaman konflik antar agama dan etnis.

Di negeri bhinneka yang berusia masih muda dan sedang mencari jati diri seperti Indonesia ini, gagasan ‘keragaman sebagai pemersatu’ memang sedang diuji daya terapnya—atau apabila berpikir pesimis bisa saja muncul pandangan bahwa gagasan tersebut hanya ilusi dari negara yang nyaris gagal. Melalui berbagai konflik yang mewujud dalam amarah, kecurigaan, dan prasangka buruk tokoh-tokohnya, Tanda Tanya ingin menguji kemampuan gagasan tersebut untuk menjadi katarsis bagi potensi konflik dari isu keragaman serta sentimen agama  dan etnis dalam masyarakat (pada level subteks) sekaligus sebagai pondasi bangunan dramaturgi (pada struktur naratif).

Dan ketika kecurigaan dan prasangka buruk terhadap orang lain tercipta akibat sentimen antar etnis dan agama yang telah mengurat akar, sulit untuk menuduh siapa gerangan sesungguhnya yang menjadi antagonis. Maka film ini pun tak menyediakan ruang untuk antagonis, melainkan multiprotagonis, di mana saat para tokoh sedang mengejar keinginan-keinginannya yang disadari atau tidak, mereka juga mengalami penderitaan dan keuntungan secara terpisah. Tanpa kehadiran antagonis dan konflik dengan protagonisnya sekalipun, Tanda Tanya tetap mampu menciptakan konflik dan mengalirkan drama. Ini karena, menurut Robert McKee dalam Story (1997), antagonisme selalu bersemayam diri kita sendiri, sehingga menjadikannya sebagai musuh terbesar. Lagi pula karakter seorang protagonis harus mampu membentuk empati penonton terhadap dirinya, walaupun ia sendiri tidak harus simpatik.

Ciri-ciri protagonis yang tidak simpatik ini paling kentara terlihat dalam Tanda Tanya pada sosok Soleh dan Hendra. Siapa yang tidak sebal dengan sikap ketus Soleh terhadap Rika, rasa cemburunya kepada Menuk, atau beragam prasangka buruk yang ia tujukan kepada Hendra sekeluarga. Namun ketika muncul adegan yang menampilkan Soleh putus asa lalu meminta Menuk untuk menceraikannya, atau sewaktu ia meminta maaf kepada Menuk karena sudah merusak restoran dan melukai keluarga Tan Kat Sun, siapa yang tidak berempati kepadanya.

Pada diri Hendra, kita tahu bahwa kemurungan, luka patah hati, kekerasan sikap, dan amarah yang dipendamnya berlindung di balik sifat angkuh dan cuek. Karena itu kita sebal kepada Hendra saat ia kekeuh melawan papinya dan bersikap semena-mena kepada karyawan restoran. Tapi berbarengan dengan itu, empati terhadapnya muncul berkat akting Rio Dewanto yang mampu mengantar kita masuk ke dalam lapisan demi lapisan karakternya sampai sisi yang terdalam: inner circle—lapisan  di mana diri dan konflik timbul berkat elemen-elemen internal alamiahnya, yakni pikiran, tubuh dan emosi. Seperti sedang mengupas kulit bawang, Hanung memperlihatkan isi lapisan-lapisan karakter tersebut, terutama pada Hendra, dengan baik.

4

Konflik internal seperti ini memang lumrah terjadi dalam multiprotagonis. Hal tersebut termasuk ciri-ciri utama dari cerita yang multiplot. Dalam multiplot tidak ada satu plot yang berperan utama sebagai tulang punggung cerita, semua punya porsi yang sama. Hubungan antara semua plot bisa saja saling silang atau terhubungkan oleh salah satu motif. Tantangan dari cerita seperti ini memang adalah mengubah konflik yang internal menjadi personal (hubungan persahabatan, keluarga, dan kekasih) dan ekstra-personal (lingkungan fisik, antar individu dalam masyarakat, dan institusi sosial). Berbeda halnya dengan cerita single-plot, yang lebih menekankan pada konflik hubungan personal atau terhadap lingkungan masyarakat.

Seperti yang terjadi pada Soleh dan Hendra, protagonis lain dalam Tanda Tanya juga mengalami konflik eksternal dengan keluarga dan masyarakat, tapi justru pergulatan antara pikiran dan perasaan dalam diri merekalah yang pada akhirnya menjadi ciri utama. Gambaran ini juga tampak jelas pada karakter Rika dan Surya. Selain dihina tetangga, Rika pun diasingkan oleh orangtuanya yang marah akibat ia berpindah agama. Namun masalah internal Rika sebenarnya jauh lebih berat: ia masih ragu tentang makna Tuhan. Sedangkan Surya, yang selalu mendapat peran figuran selama 10 tahun, menyadari dirinya hampir gagal dalam pekerjaannya sekaligus dicibir masyarakat karena berani menjalin hubungan dengan Rika.

Secara umum, Hanung sebetulnya cukup berhasil menampilkan satu-persatu proses transformasi karakter para protagonisnya. Namun seperti dalam Get Married (2007), ia kembali membuat pertaruhan dengan menyajikan beberapa adegan karikatural, yang dimaksudkan agar bisa berperan dalam transformasi karakter, tapi sebetulnya riskan untuk mengacaukan dramatika cerita. Lihat saja adegan ketika Surya menangis sambil duduk di trotoar dengan mengenakan kostum Santa Claus, karena tersentuh hatinya sehabis menghibur pasien cilik yang sedang sekarat; atau sewaktu Surya berlatih akting memerankan Yesus di dalam mesjid setelah akhirnya ia terpilih sebagai peran utama menjadi Yesus pada pertunjukan drama Paskah di gereja.

Karikatur memang berpretensi untuk menyindir. Tapi saya tidak percaya bahwa Hanung ingin menyindir ajaran agama dari perspektif yang negatif lewat adegan-adegan tersebut. Bagi saya sutradara Perempuan Berkalung Sorban (2009) ini sedang menunjukkan sekaligus mengkritisi pilihan-pilihan motif perilaku manusia sebagai individu yang terkadang sulit bebas dari nilai-nilai spiritual serta pandangan dominan yang sedang dianut masyarakat. Dan sudah sering terjadi, misalnya dalam Taksi (Arifin C Noer, 1990), Badut-Badut Kota(Ucik Supra, 1993), Inem Pelayan Sexy(Nya Abbas Akup, 1976), danfilm-film Warkop DKI, komedi atau humor dalam film menjadi pintu masuk yang aman untuk menyalurkan kritik sosial sembari menyiasati gunting sensor. Dengan gaya yang jenaka ini, adegan-adegan karikatural Tanda Tanya ini tidak dinilai bermuatan subversif oleh LSF.

Terkait dengan protagonis dan transformasi karakter yang dialaminya, Hanung pun merangkai plot-plot cerita Tanda Tanya yang ada (Tan Katsun-Edmay-Hendra, Soleh-Menuk, dan Rika-Surya) supaya dapat menjadi, apa yang disebut McKee, gambaran dinamis dari sebuah masyarakat yang spesifik. Pengikat plot-plot ini adalah kesatuan ide tentang cara menyikapi perbedaaan tanpa perlu diikuti sentimen agama dan etnis. Hanung dan Titien lalu mewadahi plot-plot ini ke dalam kawasan Pasar Baru sebagai lokus cerita sekaligus, disadari atau tidak, untuk merepresentasikan masyarakat yang komunal.

Saya kira niatan pembuat film adalah menjadikan Pasar Baru, yang sayangnya, hanya sebagai panggung pasif  bagi proses transformasi karakter para tokoh. Sebab gambaran pasar di dalam Tanda Tanya lebih sering diwakili oleh shot-shot gapura Pasar Baru saja ketimbang aktivitas perdagangan lazimnya pasar. Bandingkan dengan Rindu Kami Padamu (Garin Nugroho, 2004) yang membedah karakter dan interaksi para penghuni pasar tradisional. Dinamika pasar (tradisional) seperti itu jelas alpa dalam Tanda Tanya. Tapi yang pasti, isi pasar dalam mayapada cerita Tanda Tanya, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, disesaki prasangka buruk dan pendaman amarah dari para penghuninya berdasarkan sentimen agama dan etnis. Maka dalam konteks narasi yang lebih besar, yakni negara-bangsa, bisa dibilang Pasar Baru adalah bentuk penyederhanaan dari Indonesia kontemporer yang kini disesaki masalah tak ada habis-habisnya.

5

Semenjak Orde Baru tumbang, Indonesia sebagai negara dan bangsa seperti tampak linglung dalam menghadapi persoalan pluralisme. Selama 32 tahun kehidupan masyarakat negeri ini dibangun oleh paksaan dan monopoli atas penafsiran tunggal terhadap norma kesusilaan dan harmoni melalui mistifikasi harmoni, seperti yang diungkapkan oleh pakar filsafat Budiarto Danujaya dalam artikel Keragaman, Konflik, dan Harmoni (Kompas, 2006).

Budiarto menjelaskan bahwa ada kecenderungan kuat untuk mengamuflasekan pengabaian dan bahkan penumpasan perbedaan, antagonisme, serta konflik lewat mistifikasi harmoni. Demi penciptaan harmoni dan keutuhan pemusatan (kekuasaan), maka beragam bentuk mistifikasi harmoni diterapkan, antara lain pengalengan kekuatan-kekuatan alternatif lewat penguasaan serikat buruh dan organisasi profesi, pelarangan demonstrasi dan pertemuan bahkan pertunjukan seni yang kritis, dan penumpulan pers lewat ancaman pembredelan.

Mari melihat sejenak ke belakang. Bentuk-bentuk mistifikasi harmoni itu pernah diberlakukan negara untuk mengatur sinema Indonesia. Dalam Indonesian Cinema: Framing The New Order (1994), Krishna Sen menunjukkan bahwa pada dasarnya sensor dan struktur pengendali lain dalam Orde Baru menentukan gaya, bentuk, dan isi sinema. Sejarah pun mencatat tentang upaya PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia) yang ikut membantu pihak militer dan pemerintah untuk menghancurkan PKI pasca tahun 1965; pembentukan LSF (Lembaga Sensor Film) dan berbagai organisasi profesi, seperti KFT (Karyawan Film dan Televisi Indonesia), PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia)—fungsi utama organisasi-organisasi ini untuk mendukung setiap kebijakan pemerintah Orde Baru dalam membina perfilman nasional.

Menurut Budiarto, mistifikasi harmoni yang berlebihan bukan saja tidak realistis, karena mengabaikan perbedaan dan keragaman, melainkan berbahaya karena berpotensi untuk tergelincir mengambil bentuk-bentuk yang justru agresif terhadap mereka yang dianggap berpotensi menimbulkan disharmoni. Keagresifan ini terbukti hadir dalam perfilman Indonesia. Contohnya, pemenjaraan Basuki Effendy dan Bachtiar Siagian tanpa diadili dan pemusnahan semua filmnya, karena ia dinilai terhubung dengan PKI atau LEKRA; pengaburan kontribusi politik dan budaya dari kelompok kiri institusi perfilman dalam historiografi ekonomi-politik sinema Indonesia setelah tahun 1965, seperti SARBUFIS (Sarekat Buruh Film Indonesia Seni drama) yang punya peranan penting dalam kelahiran kebijakan pemerintah tentang proteksi terhadap film lokal dari serbuan film-film asing produksi Inggris dan Amerika; pemotongan sekitar 1 jam durasi dalam Djakarta 1966 (Arifin C. Noer, 1988); sampai dilarang tayangnya Dendam Pocong (Rudi Soedjarwo, 2006) oleh LSF karena alasan terlalu mengumbar kesadisan dan mengeksploitasi peristiwa Mei 1998.

Kini, hampir 12 tahun setelah rezim Orde Baru jatuh, Indonesia ternyata masih dihantui pertanyaan besar: mampukah masyarakat kita menjadi lebih toleran terhadap keragaman dan perbedaan tanpa ‘bantuan’ mistifikasi harmoni? Tanda Tanya ikut mempertanyakan hal ini.

6

Penggambaran peristiwa penusukan seorang pendeta yang membuka film Tanda Tanya bukan cuma rekonstruksi dari provokasi atau teror ancaman konflik antar agama dan etnis, tapi juga menunjukkan sikap tidak ahistoris sekaligus keberanian dari pembuat film dalam upaya menguji sensitivitas dan sikap toleransi kita sebagai bagian dari masyarakat terhadap isu keragaman. Adegan tersebut juga merupakan news peg (cantolan berita—dalam ilmu jurnalistik berupa peristiwa yang menjadi patokan atas kelayakan dan relevansi penulisan suatu berita) bagi naratif Tanda Tanya yang plot-plot dan para protagonisnya berpusar pada potensi konflik dari isu keragaman serta sentimen agama dan etnis.

Dengan begitu, menuturkan kisah dengan karakter yang kompleks seperti film ini memang bukan perkara gampang. Agar penonton bisa menerima plausabilitas dalam kisah Tanda Tanya, selain kepiawaian menyulam struktur naratif dengan berbagai karakter protagonis, diperlukan juga keberanian (seperti keberanian menggambarkan peristiwa penusukan pendeta sebagai adegan pembuka film) untuk mendinginkan amarah-amarah yang dipendam oleh para tokohnya lewat solusi atau ending yang seharusnya tidak terlampau sederhana. Sebab kesederhanaan solusi dari cerita acapkali malah menjadikan keseluruhan film tampak tipikal dan klise. Kalau sudah begitu sia-sialah upaya memberikan lingkungan cerita yang rumit.

Inilah yang terjadi pada Tanda Tanya. Kita sudah melihat transformasi karakter para tokohnya dan sulaman dari plot-plot yang ada. Demi transformasi dan penyulaman ini, Titien dan Hanung sudah berani menampilkan karakter-karakter yang berpotensi menciptakan resistensi di kalangan penonton (masyarakat) dengan tuduhan penistaan agama. Hal ini paling terlihat ketika Rika, yang bimbang memaknai Tuhan, lalu menyebut Yesus dengan beberapa nama Asmaul Husna di dalam gereja. Atau ketika Surya yang muslim terpilih untuk memerankan Yesus dalam pertunjukan drama Paskah diprotes oleh Doni (Glenn Fredly) dan beberapa jemaat gereja lainnya. Namun peredam atas resistensi dan tuduhan penistaan agama ini sudah dipersiapkan lewat karakter Romo (Deddy Soetomo) dan ustadz Wahyu (David Chalik) yang berpikiran moderat dan pluralis.

Berkat modal adegan-adegan berani seperti itu, saya lalu menantikan implikasi lebih serius dan tidak tipikal. Puncak-puncak dramatik seharusnya bisa tercipta dengan modal ini. Tapi ternyata Tanda Tanya malah turut takluk pada ancaman konflik dari sentimen antar agama dan etnis yang dipersoalkan sepanjang film. Solusi atau ending yang dipilih oleh pembuat film akhirnya adalah melodrama dalam plot Hendra-Menuk-Soleh, yang bersinggungan dengan kisah cinta beda agama. Dari tiga plot yang ada (Tan Katsun-Edmay-Hendra, Hendra-Menuk-Soleh, dan Rika-Surya), irisan terbesar memang terdapat pada relasi antara Hendra-Menuk-Soleh.

Namun dengan membuat Soleh mati syahid sesuai cita-citanya, lalu Hendra menjadi mualaf karena kesadaran hati dan permintaan ayahnya sebelum wafat, maka solusi yang ditawarkan oleh Tanda Tanya tampak pragmatis dan terjebak oleh stereotipe. Meskipun masuknya Hendra menjadi muslim tidak bisa diartikan sebagai niatan untuk mempersunting Menuk, tapi jika pembuat film konsisten dengan keberaniannya, pemilihan kisah melodramatis Hendra-Menuk-Soleh sebagai solusi atau ending atas keseluruhan cerita multiplot ini sebetulnya dapat mengejawantahkan gagasan ‘keragaman sebagai pemersatu’ yang sedang diuji oleh Tanda Tanya. Lihatlah solusi yang ditawarkan Cin(T)a (Sammaria Simanjuntak, 2009), CINtA (Steven Facius Winata, 2009), dan 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta (Benni Setiawan, 2010), yang berkisah tentang kisah cinta beda agama, tapi tetap mempertahankan para tokoh pada keyakinannya masing-masing di ujung cerita, walaupun dengan implikasi pupusnya hubungan cinta mereka. Ketiga film tersebut mampu mengejawantahkan gagasan ‘keragaman sebagai pemersatu’ secara murni.

Sedangkan pepindahan agama yang dijalani Hendra dalam naratif Tanda Tanya memang memiliki motif jelas dan kuat, tapi mengandung problem yang besar, karena pada akhirnya secara sublim memposisikan Hendra sebagai pemicu disharmoni. Ditambah lagi di ujung cerita diperlihatkan Pasar Baru berubah nama menjadi Pasar Soleh. Melalui perubahan identitas sebuah kawasan yang melting pot menjadi terafiliasi dengan ketaatan muslim kepada ajaran Islam, seperti yang terefleksikan dalam kata ‘soleh’, harmoni atas perbedaan diperlihatkan secara halus dapat terbentuk akibat adanya salah satu norma (agama) yang dominan. Solusi atau ending dalam film ini malah berfungsi sebagai mistifikasi harmoni, yang semestinya dihindari.

Pada posisi inilah, Tanda Tanya justru mengacaukan sendiri gagasan ‘keragaman sebagai pemersatu’, dan meruntuhkan upaya tutur pembuat film untuk merepresentasikan masyarakat berikut pemaknaannya tentang keragaman di Indonesia. Meski begitu, saya masih meyakini gagasan ‘keragaman sebagai pemersatu’ bukanlah ilusi. Semoga merembukkan gagasan lewat pilihan-pilihan solusi yang melodramatis bukan karena masyarakat kita memang mudah terpesona oleh melodrama.