Kebangkitan kembali film Indonesia bisa ditandai dengan keluarnya SK Menteri Penerangan No. 71/SK/M/1967. Dengan Surat Keputusan ini, industri film Indonesia yang sudah mati suri mulai bernapas kembali. Dengan Surat Keputusan itu mulailah tertanam prinsip bagaimana mengembangkan industri film Indonesia yang dianut sampai sekarang, yaitu dengan mengumpulkan dana dari impor film untuk menunjang produksi film nasional. Prinsip ini muncul karena kondisi perfilman yang tampak saat itu: dana produksi sangat kurang sementara keuntungan sektor impor dianggap berlimpah. Keputusan ini diambil oleh menteri penerangan saat itu, BM Diah, berikut stafnya, Dr Umar Khayam (Dirjen) dan Sjuman Djaya (Direktur).
Dengan adanya uang di tangan mulailah pengelolaan dana itu diperbaiki, baik bentuk manajemennya maupun arah perfilman yang hendak dituju. Yayasan Film dibentuk sebagai pengelola dana, dan Dewan Film ditunjuk sebagai pemberi arah. Maka kemudian kita kenal empat film produksi Dewan Film Nasional, yang ternyata tidak berhasil di pasar, tetapi mutunya dipuji. Malah film Apa jang Kau Tjari, Palupi? (1969) mendapat gelar film terbaik dalam FFA.
Kegagalan ini tentu saja harus dilihat dari berbagai hal. Salah satu yang menentukan adalah belum tersedianya mekanisme peredaran film nasional. Produksi sekitar tahun-tahun itu yang hanya beberapa gelintir tentu dengan sendirinya tersingkir oleh ratusan film impor yang saat itu tanpa kuota.
Kuantitas
Sebab lain, tidak semua pihak setuju dengan produksi film-film teladan seperti yang diarahkan oleh Dewan Film Nasional. Hal ini segera tampak dengan munculnya kebijakan ”revisi” terhadap arah di atas beberapa saat kemudian, yang dikenal dengan nama SK 74/ Kep/Menpen/73, yang ditandatangani oleh Menpen Budiardjo. Dengan Surat Keputusan ini dana tetap dihimpun dari importir, tetapi sasaran utamanya kini adalah kuantitas, atau—meminjam istilah Direktur Pembinaan Film—quantity approach. Maksudnya antara lain adalah industri film tumbuh lebih dulu, maka mutu dengan sendirinya akan mengikuti.
Untuk menumbuhkan industri ini, Departemen Penerangan mengobral kredit dari dana yang memang sudah bertahun-tahun terkumpul. Maka muncullah nama-nama baru dalam dunia perfilman. Kehidupan perfilman semarak, tapi tidak lama, karena— tanpa menuduh petualang—orang-orang yang muncul dengan adanya kredit ini memang belum tahu benar lika-liku perdagangan film yang runyam sejak berakhirnya dominasi AMPAI. Produksi film meningkat hebat, tapi kredit tak bisa kembali. Bahkan ada gejala yang mulai tak sehat. Badan-badan produksi baru muncul terus, meski nama-nama penanggungjawabnya adalah mereka yang sudah tak bisa mengembalikan kredit.
Ketika Mashuri tampil sebagai Menteri Penerangan, mulailah kebijaksanaan baru lagi. Pada awalnya Mashuri menghentikan kredit yang sudah tertunggak sekitar 200 juta rupiah saat itu. Kemudian Mashuri menggunakan dana yang diambil dari impor film untuk penggunaan yang lebih luas daripada sekadar produksi film, yaitu untuk perfilman, media massa, dan dana taktis Menpen (SK 47/Kep/Menpen/76). Kebijaksanaan seperti ini juga dipakai oleh Menpen sekarang, Ali Murtopo.
Wajib Produksi
Mungkin dengan maksud mengurangi kericuhan, baik dalam pengelolaan keuangan di Deppen sendiri maupun dalam hal pengembalian kredit, Mashuri menyodorkan cara baru untuk menunjang produksi film nasional, meskipun dengan prinsip sama: tetap mengambil dana dari sektor impor film, tetapi menerapkan wajib produksi buat importir. Maka dengan tiba-tiba sekali terjadi lonjakan dalam dunia produksi hingga para karyawan dan artis film cukup kalang-kabut memenuhi permintaan. Karyawan dan artis ini ternyata belum siap dan tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi tuntutan produksi seratus film lebih dalam setahun.
Ekses yang terjadi sudah bisa diduga. Film melonjak jumlahnya, tapi sangat menyedihkan mutunya. Ini tentu bukan saja karena para importir mau cepat-cepat membuat film agar bisa mengimpor film, tapi juga karena langkanya tenaga baik yang tersedia. Banyak tampil orang-orang baru yang mulai belajar sekaligus membuat film. Ekses lain: peredaran film yang melimpah itu semakin tak karuan. Maka berdirilah PT Perfin yang didukung oleh SKB Tiga Menteri tentang wajib putar film nasional dua kali sebulan bagi setiap bioskop.
Dua Dasar
Ekses-ekses ini mungkin yang menyebabkan menteri penerangan keempat dalam 12 tahun zaman kebangkitan film nasional, Ali Murtopo, menawarkan kebijaksanaan lain. Ali Murtopo tampaknya ingin mengawinkan dua cara yang sudah pernah ditempuh oleh pendahulunya: berorientasi pada mutu (seperti zaman BM Diah) dan pada perkembangan industri. Keduanya ingin diberlakukan serentak dengan harapan akan memperoleh manfaat dari keduanya. Industri maju, sementara efek samping membanjirnya film komersial melulu, ditandingi dengan film bermutu yang diproduksi oleh swasta untuk Dewan Film.
Untuk itu dibutuhkan modal. Untuk produksi jangka pendek, berdasarkan SK 224/1978, diharapkan terkumpul modal sebesar Rp3 milyar. Penggunaan modal produksi itu dibedakan menjadi empat macam. Pertama, subsidi penuh untuk membantu film kultural edukatif. Orientasinya pada mutu. Dana ini diberikan kepada produser swasta yang memenuhi persyaratan mutu yang dituntut Dewan Film. Tiga macam pemberian lain berupa kredit untuk mengembangkan produksi. Masing-masing adalah kredit penuh, kredit investasi berimbang, dan kredit prestasi (untuk film siap edar).
Melengkapi sektor produksi, cara yang ditempuh Ali Murtopo juga menawarkan pembinaan di bidang peredaran dan pemasaran (perbioskopan). Untuk memperlancar peredaran, PT Perfin sebagai aparat Dewan Film Nasional juga akan dibenahi. Perusahaan ini akan berfungsi sebagai pusat logistik yang mengoordinir semua hasil produksi. PT Perfin juga bertanggungjawab atas pengembalian kredit untuk kepentingan produksi yang diusahakan oleh Dewan Film, selain menjadi mitra Asosiasi Importir Film sebagai penyangga kepentingan pasar. Dalam masa dekat ini status hukum PT Perfin akan diubah sesuai dengan tugasnya. Untuk memperlancar tugas Dewan Film juga akan memberinya modal sebesar Rp450 juta.
Butuh Modal?
Tapi apa memang benar dibutuhkan modal untuk semua itu? Pada 1979 tanpa kredit, subsidi, atau bentuk-bentuk bantuan lainnya jumlah produksi film nasional mencapai 50 judul. Menanggapi hal ini Sjuman Djaya mengusulkan supaya pemerintah hanya mengurus film bermutu, dan tidak usah memedulikan produser yang cari duit melulu. Kalau toh pemerintah (Dewan Film) mau menumbuhkan industri, bukan membantu dalam hal kredit, tapi dalam penyediaan sarana yang baik untuk mereka berkembang. Misalnya, penyediaan bahan baku, penurunan pajak tontonan maupun pajak lainnya, atau studio yang baik.
Mungkin industri perfilman kita memang belum bisa dikatakan mapan, tapi jelas sedang tumbuh. Dengan demikian suntikan modal mungkin diarahkan untuk membangkitkan produksi pribumi. Benarkah? Sjuman Djaya mengartikan ”membangkitkan pribumi” dengan membangkitkan tokoh-tokoh atau pribadi. Dalam hal ini sutradara, bukan produser. ”Jadi sebaiknya mekanisme kredit yang akan diberikan oleh Dewan Film hendaknya mampu menumbuhkan pribadi. Jangan dikaitkan dengan industri dan perusahaan yang orientasinya sudah jelas: komersial atau keuntungan,” katanya.
Produser Hendrick Gozali menyebutkan kekhawatirannya tentang ”siapa yang layak diberi kredit”. Ia mengibaratkan kredit tersebut sebagai rejeki nomplok yang diperebutkan oleh banyak orang. Tapi seperti biasa, begitu sang rejeki nomplok hilang, para petualang juga menghilang. Keinginan Hendrick sederhana saja. ”Saya ingin iklim perfilman yang sehat,” katanya. ”Pemerintah harus berani ambil risiko. Misalnya, rugi untuk mengongkosi film bermutu. Untuk yang komersial, biar urusan swastalah.” Pada dasarnya ia mengakui beratnya dua tuntutan yang sekaligus harus disandang film: kultural edukatif dan komersial.
Berat
Sekretaris Dewan Film Nasional H Djohardin sementara itu menyebutkan masalah permodalan memang kelihatannya memusingkan. Tapi bagaimanapun, modal berdampak positif pada perkembangan perfilman. Menggarisbawahi pernyataan beberapa tokoh Perfin dan anggota Dewan Film, Abdul Madjid SH, Djohardin menandaskan kelebihan pola pengembangan saat ini dibandingkan dengan SK 71, misalnya. Keunggulan tersebut adalah dilibatkannya sektor peredaran/pemasaran dalam bangunan proses produksi. Dengan demikian, seluruh jalinan penghasil-pengedar dan konsumen menjadi terkontrol. ”Karena itulah PT Perfin bakal dibenahi dan diberi modal,” katanya.
Djohardin menolak anggapan negatif terhadap monopoli yang dilakukan oleh badan pengedar tersebut. ”Sebenarnya bukan monopoli,” katanya, ”tapi membina sikap kooperatif antara produser yang juga boleh ikut mengedarkan filmnya bersama PT Perfin.”
Sjuman Djaya mengecam PT Perfin yang jadi aparat Dewan Film Nasional dalam hal peredaran. Kedudukan PT Perfin ini rawan, katanya. Sistem organisasi dan sifat badannya yang monopolistis menyebabkan Perfin tanpa kontrol. Sjuman juga bertanya, sesudah sekian tahun berdiri, ”bagaimana pemasukan keuangan mereka sampai sekarang?” Menurut Sjuman, rasanya sukar dipercaya kalau badan itu masih rugi, apalagi sekarang minta subsidi.
Sjuman Djaya juga mengingatkan kesalahan Dewan Film Nasional beberapa tahun lalu yang hendak melakukan manajemen tersendiri dengan memproduksi film dan mengedarkannya. Karena Dewan Film juga mau menjadi pelaksana, maka semuanya menjadi berantakan.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 4 Mei 1980.