Sejak diundangkan UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman nampaknya LSF bergerak paling gesit dibandingkan elemen industri film lain. Ketika Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan UU Perfilman belum diterbitkan, PP tentang LSF telah terbit (No 18 Tahun 2014). Dalam UU disebutkan bahwa LSF dapat membentuk perwakilan di ibu kota provinsi (Pasal 58 ayat 4). Anggota LSF Daerah berjumlah maksimal 15 orang (PP Pasal 41) yang dipilih oleh panitia seleksi yang diangkat oleh menteri (PP Pasal 42).
Demi melaksanakan UU dan PP tersebut, LSF bergerak cepat menghimpun seluruh kekuatan untuk mendirikan LSF di Daerah. Target. Tahun ini berdiri 10 LSF Daerah, salah satunya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Beberapa waktu lalu LSF menyelenggarakan forum untuk mengalang dukungan pembentukan LSF Daerah.
Perlukah LSF DIY dibentuk? Tidak Perlu. Berikut beberapa alasannya.
Pertama, industri film di Yogyakarta termasuk dalam infant industry. Artinya, pemainnya sedikit dan modal yang terakumulasi masih kecil. Berdasarkan penelitian penulis, 70% film produksi Yogyakarta adalah film pesanan dari LSM, pemerintah dan perusahaan iklan. Kontennya pasti sangat terjaga mengikuti pesan sosial dan komersial. Kalaupun ada konten yang dianggap merugikan masyarakat maka yang harus bertanggungjawab adalah pemberi pekerjaan. Hampir tidak ada kelompok film yang memasok konten untuk bioskop. Jika pun ada pemasok konten televisi lokal, pengawasannya telah ditangani oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah. Maka jika dibuat LSF DIY, lalu film apa yang hendak diperiksa? Ini bentuk inefisiensi anggaran.
Kedua, penonton film bioskop merupakan kelompok elit di Indonesia. Hanya ada 4-5% penduduk Indonesia yang secara teratur menonton film Indonesia di bioskop. Siapakah mereka? Penonton itu kelas menengah kota yang berpendidikan cukup baik (rata-rata S1). Mereka itu kelompok elit yang pasti tidak pergi ke bioskop dengan kepala kosong lalu dengan mudah termakan konten negatif. Mereka bukanlah kelompok masyarakat yang mendesak untuk dilindungi isi kepalanya.
Ketiga, pemotongan film digital tidaklah mudah dan murah dilakukan. Dalam PP tentang LSF disebutkan LSF tidak memotong film, namun menyerahkan proses pemotongan pada pemilik film (PP Pasal 24). Jelas cara ini akan dipilih oleh LSF mengingat saat ini produksi film semuanya menggunakan format digital sehingga secara teknis LSF tidak mampu memotong film. Di sisi produser, pemotongan ini berarti mengedit ulang, mengabungkan dan mencetak ulang film. Ini biaya yang besar. Padahal pasar film nasional sangat lesu, pasar film daerah belum terbentuk.
Keempat, LSF yang dibiayai oleh APBN dapat dibantu APBD. Sedangkan pendaftaran film ke LSF dikenakan tarif tertentu yang tidak dimasukan dalam pendapatan negara bukan pajak (UU Pasal 65). Pengaturan ini mengundang pertanyaan, ke mana uang tersebut dipergunakan? Bukankah operasional LSF telah dibiayai oleh APBN dan mungkin APBD?
Kelima, bentuk sensor sangatlah tak sesuai dengan semangat demokratisasi yang saat ini berlaku di Indonesia. Perlindungan khalayak dari konten negatif seharusnya tidak melalui kontrol tetapi pendidikan partisipatif. Toh tingkat buta huruf Indonesia, terkhusus DIY, sangatlah rendah. Artinya masyarakat sangat bisa dilibatkan menjalankan sensor diri jika diberitahu caranya.
Jika tidak ada sensor, lalu bagaimana melindungi penonton film dari konten negatif?
Pertama, sistem klasifikasi film yang terawasi. Dalam UU Pasal 61 LSF diharuskan mensosialisasikan sistem klasifikasi film. Pelaksanaannya, semua film super hero nasional dan internasional ditonton oleh anak-anak. Namun, apakah LSF menegur pemilik bioskop? Nampaknya tidak. LSF seharusnya bertaring pada pemilik bioskop yang sebenarnya paling diuntungkan dalam industri film.
Kedua, LSF seharusnya gencar melakukan pendidikan literasi film kepada seluruh khalayak Indonesia. Era media digital membuat penyebaran film tak saja melalui bioskop dan televisi. Di internet, film tersebar tak terbendung. Apakah LSF sanggup mengawasi peredaran seluruh film? Tentu saja tidak. Mekanisme sensor diri harus dihidupkan di setiap orang agar mereka dapat memilih tontonan yang berkualitas.
Ketiga, jika LSF mau mengakui, sebenarnya konten televisi nasional seperti sinetron dan iklan jauh lebih masif dan buruk kualitasnya. LSF bersama KPI harus bekerja ekstra keras menyeleksi tayangan yang layak. Bukan sekedar menerima dana tarif tapi abai dengan kualitas sinetron dan iklan yang beredar di televisi nasional.
Berdasarkan argumen-argumen di atas maka penulis menyarankan Pemerintah Daerah DIY untuk tidak menyelenggarakan LSF Daerah DIY karena tidak relevan dengan situasi DIY saat ini.