Tidak ada orang film yang tidak mengeluhkan kondisi perfilman nasional sekarang ini. Jumlah penonton menurun drastis, hingga tidak ada satu pun produser yang berani menayangkan filmnya selama bulan puasa ini. Peristiwa pertama sepanjang sejarah. Film nasionalis seri Merah Putih yang berjudul Darah Garuda pun memilih penayangan pada tanggal sekitar lebaran mendatang, sebuah tanggal yang sudah menjadi tradisi untuk “panen” penonton. Sebenarnya kondisi semacam ini sudah bisa diduga. Dua tahun lalu sudah banyak yang memperingatkan akan munculnya kondisi ini, tapi belum ada yang mengambil tindakan yang memadai. Masalah pokoknya masih sama: tata edar, prasarana bioskop, plus kualitas film semakin memburuk.
Untuk itu, mari mengumpulkan data-data terlebih dulu, meski hal ini bukanlah sesuatu yang mudah di negeri ini; kalau bisa diperoleh pun, masih harus diterima dengan sikap kritis. Pertama data prasarana dan tata edar: tidak ada yang berubah drastis. Distributor dan jaringan bioskop tetap dua. Jumlah bioskop bertambah sedikit. Kalau dua tahun lalu ada 127 gedung dengan 524 layar (21 dan Blitz), sekarang 139 gedung dengan 619 layar. Tentu masih ada bioskop di luar dua jaringan besar tadi, tapi kondisinya kelihatannya masih sama atau semakin parah.
Yang agak rumit adalah mengumpulkan data jumlah penonton. Sejumlah produser yang dua tahun lalu dengan gagah menyatakan hendak mengumumkan data-data penonton film mereka itu, sampai sekarang tidak ada kelanjutannya. Pernyataan itu disampaikan setelah diskusi “10 Tahun Kebangkitan Film Indonesia”. Produser itu antara lain: Mira Lesmana (rumah produksi Miles Films), Nia Dinata (Kalyana Shira Films), Deddy Mizwar (Demi Gisela Citra Sinema), Chand Parwez Servia (StarVision), Shanty Harmayn (Salto Films) dan Hatoek Soebroto (Elang Perkasa Film). Maksud pernyataan itu antara lain adalah untuk membuka transparansi dalam industri film. (Kompas, 10-12-2008). Tidak cukup dengan itu, Undang-undang Perfilman yang baru pun mengharuskan adanya keterbukaan data penonton itu, tapi sampai sekarang juga seolah dilupakan.
Data penonton memang salah satu dasar untuk mengurai masalah. Semakin detail uraian data semakin dia berguna untuk analisa maupun untuk mengambil kebijakan baik oleh pelaku bisnis maupun oleh lembaga yang berkepentingan. Meski tidak lengkap, data penonton itu dari berbagai sumber-sumber bisa diperoleh. Data itu cukup memadai untuk melihat gambaran yang lebih mendekati kenyataan.
Dalam empat tahun terakhir, bisa dilihat bahwa terjadi lonjakan yang mencolok dari tahun 2007 ke 2008, meski lonjakan ini harus dilihat dengan hati-hati, karena film yang ditayangkan 2007 hanya 54 film, sementara tahun 2008: 91 film. Ditambah lagi pada 2008 ada dua film yang menghasilkan rekor perolehan penonton: Laskar Pelangi (4,5 juta) dan Ayat-ayat Cinta (3,7 juta). Maka perolehan penonton pun jauh berbeda: 17.570.00 dan 32.695.681 orang. Dengan jumlah film yang hampir sama, 83 film, tahun 2009 menghasilkan 29.308.659 penonton. Tahun 2009 ini tidak ada yang “meledak” seperti tahun sebelumnya, tapi ada enam film yang raihan penontonnya di atas 1 juta orang, bahkan satu film di atas dua juta orang, yaitu Ketika Cinta Bertasbih (2,4 juta penonton).
Dibanding tiga tahun itu, tahun ini benar-benar mengkhawatirkan angkanya. Hingga awal Juli, sudah tayang 49 film (berarti hanya berbeda 5 film dibanding seluruh film tahun 2007). Jumlah penontonnya: 7.799.221 orang. Perolehan jumlah penonton tertinggi tahun ini, 18+, hanya 512.973 orang. Kalau dibanding dengan perolehan tahun lalu, 18+ ini hanya menduduki peringkat 15, Suatu petunjuk kemerosotan yang luar biasa.
Perolehan jumlah penonton di atas pasti akan bertambah sedikit dengan ditayangkannya enam film lagi pada bulan Juli itu. Belum diperoleh angka pasti jumlah penontonnya, tapi bila melihat gairah penonton terhadap enam film itu, maka bisa diduga bahwa raihan jumlah penontonnya tidak terlalu berarti. Lalu, masih ada empat bulan lagi (dihitung dari September, karena Agustus tidak ada film nasional yang tayang) untuk sampai akhir tahun. Yang jelas lima film sudah siap tayang sekitar Lebaran, dan yang tengah berproduksi sekitar 15 film. Berarti diperkirakan masih ada 20 film lagi yang akan tayang tahun ini. Kalau hitungan ini benar, maka rasanya angka perolehan tahun 2007 saja akan sukar disamai. Angka 15 juta saja dirasa hampir tidak mungkin diraih.
Seperti sudah disebut di atas, kondisi ini sudah bisa diduga sebelumnya. Dua tahun lalu terungkap bahwa tidak mungkin prasarana bioskop yang ada sekarang ini bisa menampung jumlah produksi film nasional. Mari kita lihat: pada 2007 rata-rata per bulannya adalah 4,5 judul, 2008: 7,5 judul, 2009: 7 judul, dan 2010: 6 judul. Kalau pada 2007 setiap minggu tayang satu judul, maka pada tahun-tahun berikutnya satu minggu tayang dua judul. Artinya setiap judul hanya kebagian tiga-empat hari tayang.
Tentu hitung-hitungan tidak eksak seperti itu, karena dua atau tiga judul yang tayang pada tanggal yang sama, bisa saja berbeda gedung. Tapi, tolong juga diingat bahwa Kelompok 21 sekarang sudah “membagi” diri dalam kelas Premiere, XXI dan 21 yang berbeda dalam harga tiketnya. Film nasional yang “biasa-biasa” saja (dan ini jumlahnya mayoritas) adalah film-film yang masuk kelas “21” tadi. Kalau pun jumlah gedung 21 sekarang bertambah (133 gedung dengan 560 layar, termasuk Premiere dan XXI: 174 layar), jumlah terbesar menumpuk di Jabotabek (73 gedung dengan 301 layar, termasuk Premiere dan XXI: 162 layar). Itu juga berarti hanya di Jabotabek tiga atau empat judul bisa serentak ditayangkan. Itu saja sudah dengan asumsi ada dua judul tayang di gedung yang sama, sesuatu yang merugikan. Hal itu pasti terjadi di luar Jakarta, Surabaya dan Bandung, yang hanya memiliki satu sampai empat gedung bioskop.
Maaf, saya tidak menyinggung sama sekali jaringan Blitz dan gedung-gedung “non 21” yang kondisinya semakin parah dan menyedihkan. Dua unsur tadi tidak begitu berarti dalam sumbangan jumlah penonton film nasional.
Jaringan 21 dan Blitz masuk klasifikasi bioskop first run atau bioskop kelas satu, yang mendapatkan jatah pemutaran film lebih dulu. Bioskop-bioskop second run di kota-kota besar sudah lama lenyap, sementara di kota-kota kecil tetap dalam keadaan mati segan hidup tak hendak. Hasil pemetaan tim BP2N ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra menunjukkan masih ada 47 gedung “non 21” dengan 75 layar (Delta Film, 03/1/ 16 Juni 2010). Data ini diragukan kesahihannya, karena disebut ada dua gedung “non 21” di Surabaya, yang kenyataannya tidak ada lagi umpamanya. Ini yang sekarang bisa disebut sebagai bioskop-bioskop second-run. Keluhan mereka ini masih tetap sama dengan dua tahun lalu: minta copy film nasional lebih cepat hingga waktu penayangannya tidak terlampau jauh dibanding kota-kota besar bahkan dengan Jakarta, sementara kondisi gedung dan peralatannya sebenarnya juga sudah tidak memadai.
Di pihak lain, pengalaman produser yang berhubungan langsung dengan mereka—harap diingat sekarang ini tidak ada lagi distributor/pengedar film daerah—mengeluhkan “ketidakberesan” administrasi/keuangan pemilik gedung second run ini. Ini juga buah simalakama: pemilik gedung tidak berani membeli secara tunai film yang akan diputar di gedungnya, sementara produser tidak bisa mengontrol jumlah penonton yang dihasilkan dari film bersangkutan. Tidak sedikit produser yang lalu kapok berhubungan dengan gedung-gedung yang umumnya berada di kota kabupaten ini. Di pihak lain, keinginan gedung second run ini mendapat copy film secara lebih cepat waktu tayangnya juga bisa dipahami, karena mereka khawatir sudah didahului oleh beredarnya VCD/DVD (tidak usah diperhitungkan yang bajakan dulu) maupun tayangan televisi. Umumnya, VCD/DVD film nasional sudah bisa didapat di toko-toko kota besar sekitar empat bulan setelah tayang di bioskop first run.
Produser juga enggan menambah copy film (Rp 12 juta/copy), karena itu berarti penambahan jumlah biaya produksi. Tata edar yang sekarang berlaku membuat produser ingin secepatnya meraih pendapatan sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Ini sangat berbeda dengan tata edar tahun 70an dan 80an sebelum adanya raksasa 21. Pada zaman itu, produser tidak mencetak copy film sebanyak sekarang, karena peredaran dilakukan secara bertahap baik menurut wilayah edar maupun menurut kelas bioskop. Hanya ada satu-dua film yang diedarkan secara serentak di banyak kota.
Kalau dulu produser memiliki sekitar 20 copy, maka sekarang produser paling sedikit mencetak sekitar 40 copy. Jumlah ini pun paling hanya bisa mencakup sekitar 80 layar di beberapa kota (Jabotabek saja menghabiskan 30 copy). Kalau dulu sebuah film beredar sekitar setahun untuk menuntaskan siklusnya, maka sekarang hanya terhitung satu-tiga minggu saja. Tidak aneh, kalau hanya dalam empat bulan film itu sudah beredar dalam bentuk VCD/DVD. Mereka tidak memperhitungkan sama sekali potensi bioskop-bioskop second-run, karena dianggap memang tidak banyak berpengaruh dalam jumlah penonton.
Bahkan produser sekarang memiliki kerepotan baru: menyimpan copy filmnya yang jumlahnya berjibun itu. Maka, tidak aneh ada kabar bahwa mereka menjual murah copy film itu. Ada film yang dibeli dengan harga Rp 7,5 juga untuk empat copy. Produser lain menawarkan filmnya yang baru selesai edar dengan harga Rp 5 juta untuk empat copy. Bahkan ada yang menjualnya dengan harga Rp 1 juta per copy. Ini pun sedikit yang membeli, karena pembeli juga kesulitan penayangan filmnya.
Kalau hendak mengambil sisi positifnya, kondisi demikian ini bisa menumbuhkan bisnis tersendiri. Bisa dimunculkan kembali pengedar film daerah yang tentu harus bekerja sama dengan pemilik-pemilik bioskop “non 21” dan produser. Pengedar bisa mengumpulkan film dari produser dengan harga murah dan meminta produser agar menunda peredaran VCD/DVD-nya. Dengan jumlah judul film yang cukup, ia bisa menjamin pasokan ke bioskop, sambil meminta agar bioskop bisa membenahi administrasinya. Bila tayangan bisa cukup teratur, maka bioskop bisa mulai mendatangkan penonton dan membenahi fasilitasnya. Mudah-mudahan, kalau memang ada yang berhasil mengembangkannya, akan muncul jaringan bioskop second run yang cukup berarti. Masalahnya: siapa yang mulai.
Uraian tentang peredaran film nasional di atas tidak boleh menutup sisi lain dari industri film: kualitas dan kreatifitas yang termuat dalam film itu sendiri. Sisi terakhir ini yang juga sangat mengkhawatirkan dan menyumbang pada menurunnya jumlah penonton. Nyaris tidak ada tawaran pembaruan sama sekali, bahkan mayoritasnya hanya mengunyah-ngunyah sampah gagasan lama tanpa ada pendekatan lain sama sekali. Saking tumpulnya atau saking merobotnya cara kerja para pembuat film, mulai muncul kembali fonomena tahun 1993-1999 saat runtuhnya film nasional: eksploitasi sex secara serampangan. Judul-judul seperti Pergaulan Metropolis, Kapan di Dalam Kapan di Luar, Wanita dalam Gairah, Bebas Bercinta, Akibat Bebas Sex seolah lahir kembali akhir-akhir ini dengan: The Sexy City, Mas Suka Masukin Aja, Anda Puas Saya Loyo, Akibat Pergaulan Bebas (judul yang sama persis dengan film produksi 1977), Kain Kafan Perawan, Hantu Jamu Gendong. Eksploitasi seks ini muncul dalam segala jenis film: drama, komedi, maupun horor. Itu pun hanya 12 film yang ditonton lebih dari 300.000 orang, batas raihan laba dengan standar biaya produksi Rp 2 milyar. (2007: 21 film; 2008: 42 film; 2009: 36 film).
Jenis-jenis film sebenarnya secara seimbang tampil di layar bioskop. Tahun 2009 umpamanya ada 27 drama, 25 horor, 26 komedi, sementara tahun 2010 tampil 19 drama, 15 horor dan 15 komedi. Eksploitasi itulah yang menyebabkan munculnya gambaran tunggal film-film nasional. Gambaran itu juga yang menyebabkan film-film yang memiliki kualitas gagasan maupun penanganannya lumayan terimbas kesan jelek juga. Alangkah Lucunya (Negeri Ini) masih beruntung memperoleh 389.130 penonton, Tanah Air Beta memperoleh 350.000 penonton, tapi Minggu Pagi di Victoria Park hanya memperoleh 24.000 penonton. Tiga film inilah yang tahun ini bisa dianggap memenuhi standar kualitas. Suatu jumlah yang sangat sedikit dibanding 54 film yang beredar.
Maka lengkaplah penderitaan itu.
(*Versi panjang dari yang pernah dimuat di Kompas, 22 Agustus 2010, hlm 20.)