Artikel/Kajian Masalah Mendasar Film Nasional Masa Kini: Peredaran dan Tayangan

Kajian JB Kristanto 30-10-2008

Ada yang tidak cukup dijelaskan oleh serangkaian laporan Kompas Minggu (26/10, hlm 17-18) tentang peredaran film nasional saat ini, hingga menimbulkan sejumlah pertanyaan. Film nasional menguasai hampir seluruh layar bioskop yang ada di Indonesia, tapi yang dianggap berhasil hanya tiga judul. Kenapa?

”Dulu satu film bisa ditonton minimal oleh 10 orang untuk satu layar. Sekarang, walaupun masih bisa 100 penonton untuk satu layar di hari kedelapan, misalnya, film tetap harus minggir jika ada film lain yang lebih menyedot penonton,” kata Harry Dagoe, sutradara film Cinta Setaman. Kenapa?

Presiden Direktur Blitz Megaplex Ananda Siregar mengungkapkan, hanya segelintir produser mau memutar film di jaringan bioskopnya. ”Kami sudah berupaya apa pun… tetapi mereka tidak mau.” Alasannya: tidak punya copy film lagi. Ketika ditawarkan pergantian biaya cetak copy seharga Rp 15 juta per copy, mereka tetap tidak mau. Kenapa?

Slamet Budianto, pengelola bioskop Magelang dan Tidar Theatre di Magelang, Jawa Tengah: ”Kami baru bisa memutar film Indonesia setelah film itu selesai diputar di jaringan bioskop 21. Film diputar di sini setelah 4-5 bulan saat DVD atau VCD bajakannya sudah beredar juga.” Kenapa?

Pertanyaan-pertanyaan di atas dijawab terlalu pendek dan tidak cukup diuraikan: ”Di luar masalah kreativitas para pembuat film, masalah utama industri perfilman nasional adalah lemahnya sistem distribusi dan ekshibisi. Dan itu yang tidak dilawan oleh para pembuat film kita saat ini,” ungkap sutradara Garin Nugroho. Kenapa tidak melawan?

Terpusat

Yang tampak jelas dari data-data yang bisa diperoleh di internet: ada ketimpangan luar biasa—kalau tidak mau dibilang monopoli—pada penguasaan peredaran/ tayangan film. Kelompok 21 menguasai peredaran/tayangan—harap dicatat: penguasaan peredaran/tayangan, bukan kepemilikan—di 123 gedung (485 layar), sementara lawannya Blitz Megaplex hanya menguasai 4 gedung (39 layar). Inilah potensi pasar yang sekarang ada, karena bioskop-bioskop kecil yang ada di sejumlah kota kabupaten hidupnya merana seperti sudah diuraikan di laporan Kompas.

Yang belum dijelaskan dalam laporan itu, adalah kenapa puluhan bahkan mungkin ratusan bioskop di kota-kota kecil itu merana bahkan bangkrut, padahal merekalah salah satu tumpuan pasar film nasional. Rasanya kita harus menengok ke belakang dulu untuk mencari penjelasannya. Awal masalahnya adalah kepentingan politik dan bisnis yang bertemu dalam impor film di zaman Orde Baru. Pertemuan kepentingan ini memunculkan kebijakan impor film berada di satu tangan, meskipun di atas kertas ada sejumlah importir yang tergabung dalam tiga asosiasi importir film. Kebijakan satu tangan ini membuat importir bisa “memaksa” pemutaran film impor kepada pemilik bioskop. Pemilik bioskop sendiri bukannya tidak kewalahan menghadapi “pemaksaan” ini, karena mereka diberi “target” untuk memutar sejumlah film impor dalam waktu tertentu. Kebijakan inilah—kalau dilihat sekarang—bisa dianggap sebagai salah satu penyebab hancurnya film nasional. Jumlah produksi merosot tajam sepanjang tahun 1990an sampai awal 2000an, karena film nasional tidak bisa mendapatkan jadwal tayang yang sudah dipenuhi film impor.

Tekanan ini berlanjut dari pemusatan impor tadi ke pemusatan tayangan. Dengan kekuatan modal yang berhasil dikumpulkan, importir mengembangkan usahanya ke usaha bioskop. Mereka mengembangkan jenis bioskop mutakhir yang disebut dengan sinepleks dengan standar yang cukup tinggi. Sampai di sini tentu tidak ada masalah. Masalah mulai muncul ketika mereka mengembangkan sayapnya. Penguasaan impor film masih di tangan mereka. Memang sekarang tidak ada lagi monopoli impor, tapi impor film dari Hollywood (film-film independen bebas diimpor) hanya berlangsung lewat dua importir, warisan zaman monopoli impor. Hollywood pun praktis harus kerja sama dengan 21 karena sudah menguasai mayoritas bioskop. Dua kekuatan berlebih ini membuat mereka bisa “memaksa” bioskop-bioskop di daerah bersalin rupa menjadi sinepleks dengan standar yang sudah ditetapkan. Yang dianggap tidak menguntungkan atau tidak mau bekerja sama—umumnya bioskop-bioskop di kota kabupaten—dibiarkan merana dengan tidak diberi suplai film secukupnya. Contoh untuk kasus terakhir ini bisa dilihat dari cerita Sutiono, pemilik bioskop di Pasuruan (bioskop ini bekerja sama dengan 21): “Tujuh atau delapan tahun bioskop itu didiamkan, hingga rusak.” Ia juga merasakan hal yang sama pada bioskopnya yang di Jember.

Peta

Itulah peta peredaran/tayangan yang sekarang ada. Timpang. Karena praktis hanya ada satu jalur peredaran/tayangan yang sangat dominan, anehkah kalau jadwal tayang film nasional—dengan jumlah produksi yang sekarang ada—harus berjejalan dan harus bersaing hidup-mati satu dengan yang lain di tempat yang satu itu. Peta inilah yang bisa menjelaskan cerita Harry Dagoe di atas, dan juga pertanyaan kenapa hanya sedikit sekali film yang beruntung. Tapi, bukankah hal ini juga merupakan kerugian besar secara nasional? Hitung saja: kalau di daftar jumlah penonton yang ada di Kompas (26/10, hlm 18) hanya ada tiga film yang dianggap beruntung, berarti ada 60 film yang rugi. Kalau biaya satu film antara Rp 2 sampai Rp 3 milyar, itu berarti tidak kurang dari Rp 120 milyar yang terbuang percuma.

Kalau memang masalahnya segamblang itu, kenapa tidak ada protes atau perlawanan terbuka. Kenapa yang terjadi hanya gunjingan antara sesama teman? Kenapa tahun ini ((kecuali dalam format digital, yang peralatannya disediakan oleh Blitz) hanya segelintir produser yang menayangkan filmnya di Blitz Megaplex, sementara pemilik gedung itu secara terbuka mengeluhkan kesulitannya mendapat pasokan film nasional (surat pembaca di Suara Pembaruan 12/05/08 tentang film Ayat-ayat Cinta). Kenapa film-film Hollywood bisa diputar di Blitz  bersamaan dengan 21, sementara film nasional “ditekan”. Seorang produser menunjukkan bagaimana caranya meminta jadwal tayang di bioskop 21. Dalam surat permohonannya antara lain disebutkan: “hanya ditayangkan di bioskop 21”. Produser tadi mewanti-wanti betul untuk tidak disebut namanya, karena ia masih harus mempertimbangkan kelangsungan usahanya.

Ditekan? Sulit untuk membuktikan soal ini. Cuma, sebuah kasus bisa jadi contoh. “Produser film Badai Pasti Berlalu membatalkan secara sepihak pemutaran filmnya pada hari akan ditayangkan. Alasannya: semua copy film dan hak distribusi telah diserahkan kepada 21,” cerita Ananda Siregar. Padahal iklan sudah dimuat di koran setempat, tambahnya.

Uraian singkat ini memperlihatkan bahwa penguasaan tayangan sekaligus juga penguasaan peredaran, karena praktis sekarang ini tidak ada lagi pengedar film di daerah, yang di tahun 1970an-1980an menjadi kepanjangan tangan produser Jakarta. Mereka sudah lebih dulu terhenti usahanya. Peredaran film sekarang langsung ditangani oleh jaringan bioskop, baik itu 21 maupun Blitz. Kelebihan jaringan bioskop sekarang dibanding zaman dulu adalah: jumlah penonton lebih bisa dikontrol, meski berapa sebenarnya jumlah penonton itu tetap tidak pernah dibuka untuk umum, termasuk jumlah penonton film Hollywood.

Maksud tulisan ini memang hanya untuk menjelaskan bahwa ada masalah besar dalam peredaran/tayangan. Belum semua masalah termuat dalam tulisan ini, seperti pungutan 5% di satu wilayah, harga tiket, pajak dlsb. Hal-hal yang sudah selayaknya dibicarakan juga.

Persaingan sehat

Ketimpangan yang tidak sehat untuk tumbuhnya industri film ini hanya bisa diperbaiki dengan memperbaiki iklim persaingan yang sehat. Banyak yang berpendapat bahwa akhirnya pemerintah harus turun tangan. Namun, mengingat sejarahnya, campur tangan pemerintah lebih banyak menambah kekeruhan daripada kejernihan. Mungkin lebih baik kalau penyeimbangan ketimpangan itu dilakukan dengan pertimbangan bisnis. Hal ini memang tidak akan terjadi dengan seketika tapi butuh tawar-menawar terus-menerus antara para pelakunya. Para produser harus mulai berani melakukan tawar-menawar itu, dan melihat kepentingan bersama dalam jangka panjang.

Realitasnya sekarang ini hanya ada dua kelompok pengedar/penayang: 21 dan Blitz. Ini bukan keadaan yang ideal, karena sebaiknya minimal ada tiga jalur. Blitz, menurut Ananda, sudah didekati banyak pengusaha bioskop kecil di daerah untuk bergabung, tapi dengan satu syarat: jaminan suplai film nasional. Sesuatu yang justru di luar kendalinya. Kalau produser mau menjawab kebutuhan ini, maka Blitz akan lebih membesar, produser punya posisi tawar, di samping memperbesar pendapatan yang sekarang ada. Angka satu juta untuk setiap judul film, rasanya bukan angka yang terlalu muskil diraih, mengingat jumlah penduduk Indonesia sekarang ini. Yang dibutuhkan adalah tambahan jumlah bioskop. Itu saja.
Humas Kelompok 21 Noorca M Massardi, menurut laporan Kompas, menyatakan, ”Pembangunan bioskop 21 dilakukan seiring dengan derap pembangunan daerah. Jika dibangun mal besar di satu provinsi, kemungkinan besar 21 akan buka layar. Tetapi, jika malnya kecil, ya pikir-pikir dulu,” tutur Noorca. Pertanyaannya: apa yang salah dengan bioskop-bioskop kecil atau mal kecil? Apalagi mereka sudah membuktikan diri tahan banting. Bukankah yang penting menambah jumlah bioskop hingga mampu menyerap lebih banyak penonton sesuai dengan kemampuannya, dan menghindarkan penumpukan film di satu gedung? Masalahnya sederhana sekali: biarkan mereka mendapat suplai film secara wajar. Apakah penonton di kota-kota kabupaten dan kecamatan harus tertinggal jauh dari penonton kota besar? Lupakan dulu standar-standar teknik mutakhir perbioskopan. Hal itu bisa tercapai sesuai dengan perkembangan bisnis.

Hal yang juga patut dipertimbangkan adalah kenapa 21 tidak “memecah diri” untuk menghidupkan persaingan internal. Bukankah 123 gedung dan 485 layar itu bisa dipecah menjadi tiga jalur dan dipimpin oleh tiga orang pemrogram tayangan (dulu istilahnya booker, sekarang programmer), hingga mereka bisa mengembangkan karakteristik masing-masing jalur sesuai hukum tawar-menawar dengan penontonnya. Karakter bioskop ini yang sekarang tidak terpelihara lagi. Semua jenis dan kualitas film menumpuk di satu gedung. Bukankah persaingan sehat (luar maupun dalam) akan lebih mengembangkan perusahaan? Kecuali, kalau persaingan memang dianggap sebagai momok, karena sudah terlalu lama dibuai oleh kemudahan monopolistik. Itu berarti bukan pengusaha sungguhan alias entrepreneur.

Kompas, 30 Oktober 2008, hlm 13