Artikel/Kajian Membayangkan dan Mengingat Masa Lalu: Representasi Sejarah 65-66 Dalam Film-Film Indonesia
Hingga lewat satu dekade pasca 1998, film-film yang mengangkat tema mengenai sejarah 65-66 masih terus diproduksi dan bisa dianggap menjadi bagian dari euforia ‘pelurusan sejarah’ yang merupakan salah satu reaksi terhadap kejatuhan Orde Baru. Van Klinken dalam tulisannya, The Battle for History After Soeharto (Zurbuchen, 2005) menyamakan situasi ini dengan apa yang dialami Thailand pasca protes anti-militer yang dilakukan mahasiswa pada tahun 1973. Apa yang terjadi di dunia penerbitan, terutama, memperlihatkan bagaimana historiografi yang mengalami represi berkepanjangan pada masa Orde Baru muncul ke permukaan dan berjuang untuk memperoleh dukungan. Berbagai kisah-kisah, ingatan-ingatan, kesaksian-kesaksian yang berhubungan dengan momen-momen penting di masa lalu yang sering dihubungkan dengan sejarah nasional melakukan perlawanan terhadap sejarah resmi versi Orde Baru. Salah satu versi sejarah yang cukup banyak mendapat perlawanan adalah sejarah mengenai asal muasal berkuasanya Orde Baru yang melibatkan peristiwa yang terjadi sepanjang 1965-66.
Paling tidak terdapat dua judul film fiksi dan enam dokumenter produksi Indonesia pasca 1998 yang membahas tema sejarah ini, menampilkan narasi-narasi korban kejahatan kemanusiaan pasca Gerakan 30 September: Puisi Tak Terkuburkan (1999), Mass Grave (2003), Gie (2005), Menyemai Terang dalam Kelam (2006), Tumbuh dalam Badai (2008), dan Tjidurian 19 (2009). Sementara pada masa Orde Baru paling tidak terdapat empat film fiksi: Operasi X (1968, tidak diketahui lagi nasibnya di tangan sinematek), Pengkhianatan G30S (1984), Djakarta 66 (1987), Gema Kampus 66 (1988), Bukan Sekedar Kenangan (1998, keberadaannya tak terlacak).
Tulisan ini bermaksud untuk melihat bagaimana film-film Indonesia baik yang diproduksi pada masa maupun pasca Orde Baru di atas melakukan representasi atas sejarah 65-66. Analisis terhadap sejarah yang ‘disampaikan’ oleh film ini berdasarkan pada pemikiran Robert R. Rosenstone yang menawarkan sebuah model pembacaan atas sekelompok film dengan tema sejarah yang sama untuk membangun sebuah pengetahuan mengenai masa lalu yang dipahami lewat film. Bagaimana sekumpulan film sejarah menerjemahkan visi sejarah, melakukan kontestasi sejarah, mempertanyakan ataupun mendebat sebuah isu mengenai sejarah terkait? [1]
Mencari konsensus
Upaya menentukan sejarah yang disampaikan oleh film-film 65-66 yang diproduksi sebelum maupun sesudah 1998 pada dasarnya adalah upaya mencari konsensus mengenai cara menggambarkan masa lalu yang terdiri dari pola-pola tertentu yang mengalami sirkulasi di antara film-film tersebut. Menurut Antonio Gramsci, masa lalu tidak diwariskan secara konsisten dan utuh. Justru sejarah mengalami sirkulasi dalam bentuk yang kadang klise, berdasarkan pada formula retoris yang telah ada. Analisis Gramsci terhadap pengertian umum (common sense) mengungkapkan berbagai cara yang ditempuh untuk membangun sebuah konsensus bergantung pada bentuk pengetahuan akan masa lalu yang kontradiktif dan terpecah-pecah (fragmented). Menurut Marcia Landy, pemikiran Gramsci ini berguna dalam melakukan identifikasi terhadap beberapa formula atau model tertentu yang terus muncul dalam pengetahuan akan masa lalu (Landy, 2001:7).
Berdasarkan model analisa di atas, berikut adalah tabel konsensus dalam film-film sejarah 65-66:
No.Sirkulasi PolaFilmKontestasi
1.
Model Melodrama
Pengkhianatan G30S, Gema Kampus 66, Puisi Tak Terkuburkan, Mass Grave, Menyemai Terang dalam Gelap,Tumbuh Dalam Badai, Tjidurian 19
1. Paradoks konflik (internalisasi krisis sosial).
2. Pengedepanan korban: Imaji korban dan opresor.
3. Identitas gender.
2.
Penggunaan ikon anak muda
Djakarta 66, Gema Kampus 66, Gie
Imaji musuh yang dilawan.
3.
Penggunaan bukti sejarah berupa cuplikan berita, foto dokumentasi, rekaman filmis, musik, berita radio
Djakarta 66, Pengkhianatan G30S, Gie, Gema Kampus 66, Mass Grave, Menyemai Terang, Tjidurian 19
Karakteristik sejarah (sejarah lisan dan sejarah resmi/ tertulis/ terekam) dan suara sejarawan.
Sementara perubahan konsensus dalam representasi film sejarah 65-66 pada masa dan pasca Orde Baru bisa dilihat lebih jelas dalam tabel berikut:
NO.Konsensus masa Orde BaruKonsensus pasca Orde Baru 1. Penggunaan model melodrama untuk menonjolkan posisi korban dari pihak otoritas (keluarga jenderal) Penggunaan model melodrama untuk menonjolkan posisi korban dari pihak rakyat biasa (rakyat dan keluarga rakyat afiliasi PKI) 2. Penggambaran mahasiswa sebagai kekuatan di luar pemerintah yang memiliki kekuatan politik Penggambaran mahasiswa sebagai kekuatan di luar pemerintah yang memiliki kekuatan politik 3. Sejarah resmi dan suara otoritas sebagai ‘kebenaran sejarah’ tunggal Sejarah lisan dan multi-suara sejarawan sebagai sumber sejarah
Dari tabel di atas, ada dua hal yang bisa digarisbawahi. Pertama, adanya konsistensi konsensus untuk menggunakan model melodrama serta kemunculan kisah mengenai gerakan politik mahasiswa 66 dengan menekankan pada penggunaan ikon anak muda. Yang kedua, adanya perubahan konsensus dalam mengedepankan karateristik kesejarahan.
Kita akan membahas hal yang pertama terlebih dahulu, yaitu adanya konsistensi konsensus untuk menggunakan model melodrama serta kemunculan kisah mengenai gerakan politik mahasiswa 66 yang ditemukan dalam tiga film, yaitu Djakarta 66, Gema Kampus 66 dan Gie.
Kemunculan mahasiswa sebagai kekuatan politik di luar pemerintahan pada dasarnya memperlihatkan sebuah karateristik ‘evaluasi-diri’ dari film sejarah 65-66. Bahwa kemenangan rakyat atas pemerintah pada tahun 1966 seperti yang ditunjukkan kedua film selalu dilanjutkan dengan kisah mengenai apa yang terjadi selanjutnya. Pada Djakarta 66, yang terjadi adalah kekacauan nasional. Pada Gema Kampus 66, yang terjadi adalah permasalahan ekonomi nasional. Pada Gie, yang terjadi adalah permasalahan kemanusiaan berskala nasional. Karateristik evaluasi-diri yang bersifat nasional ini, meskipun hanya muncul dalam tiga film, memperlihatkan sebuah karateristik melihat film sejarah sebagai cara melihat diri secara nasional atau sebagai sebuah bangsa. Namun, meskipun model ini secara konsisten muncul pada masa Orde Baru dan pasca Orde Baru, ia lebih menggambarkan suatu karateristik tertentu dari film sejarah alih-alih konsensus cara penceritaan tertentu mengenai sejarah 65-66 dalam film.
Sementara model melodrama merupakan model yang secara mencolok muncul dan menjadi sebuah cara dominan yang digunakan untuk melakukan representasi sejarah 65-66 oleh film-film Indonesia. Konsistensi kemunculannya memperlihatkan bagaimana ia mampu memenuhi kebutuhan penggambaran masa lalu yang mengalami perubahan aspek kesejarahan, dari sejarah resmi yang berdasarkan klaim otoritas ke sejarah lisan ataupun populer yang berdasarkan klaim masyarakat. Klaim ini dibentuk dalam logika melodrama lewat penempatan status korban. Film-film yang dibuat pada masa Orde Baru menekankan aspek ‘pengorbanan’ pihak otoritas dan film-film pasca 1998 menekankan aspek ‘pengorbanan’ pihak rakyat. Ini memperlihatkan bahwa model melodrama lah, sebagai suatu cara ekspresi tertentu, yang dapat menjelaskan alasan mengapa film-film sejarah 65-66 mampu bertahan dalam layar sinema Indonesia dalam dua periode sosial-politik yang berbeda.
Melodrama, sebagai sebuah genre yang lahir dari tradisi literatur abad ke-19 memiliki karateristik menggambarkan kode-kode moralitas dan nilai-nilai kekeluargaan. Peter Brooks menjelaskan dengan lebih spesifik bahwa melodrama adalah sebuah bentuk ekspresi imajinasi moral (Brooks, 1976: 55). Moralitas selalu berada dalam polarisasi hubungan antara kebaikan dan keburukan. Pertanyaan-pertanyaan moral selalu merupakan usaha melakukan kategorisasi berdasarkan dua kutub tersebut. Melodrama, menurut Brooks, memberikan klaim bahwa dunia yang ia acu (realita), jika dipahami dengan cara tertentu, akan sesuai dengan imajinasi moral: bahwa yang biasa dan sehari-hari akan memperlihatkan dirinya sebagai sesuatu yang membangkitkan ketertarikan, ketegangan, dan perubahan yang diberikan oleh permainan kosmik dari hubungan dan kekuatan moral atau kekuatan-kekuatan yang menampilkan kutub kebaikan dan keburukan (Brooks, 1976: 54).
Brooks memberikan sebuah tipologi menarik mengenai asosiasi drama tertentu dengan bentuk kecacatan tertentu dan menghubungkan melodrama dengan apa yang ia sebut kebisuan (Brooks, 1976: 56-57). Mengingat salah satu karateristik melodrama adalah eskpresi (biasanya secara berlebih-lebihan), maka posisi keterbungkaman atau sesuatu yang sulit diekspresikan memainkan peran yang kuat di dalamnya. Keterbungkaman dalam melodrama menurut Brooks mewakili sebuah kondisi fisik yang ekstrem (expresi berlebih-lebihan lewat gestur tubuh, raut wajah aktor, maupun wardrobe) untuk menandai kondisi moral dan emosional yang esktrem. Dari sini, kita bisa memahami sebuah karateristik penting dari melodrama sebagai cara ekspresi adalah bahwa ia merupakan sebuah teks yang melakukan ekspresi atas keterbungkaman (baik secara langsung maupun tidak).
Memahami melodrama sebagai sebuah cara tertentu dalam menyampaikan teks tentang keterbungkaman cukup menjelaskan posisi film-film sejarah 65-66 yang dibuat pasca 1998. Film-film ini secara eksplisit memperlihatkan usaha membuat yang terbungkam di masa lalu untuk bicara. Film-film seperti Mass Grave, Menyemai Terang dalam Kelam, dan Tjidurian 19 misalnya, banyak menggunakan metode wawancara dengan korban untuk mendapatkan gambaran cerita mengenai masa lalu. Puisi Tak Terkuburkan mengisahkan masa lalu lewat kesaksian hidup Ibrahim Kadir. sementara kisah film Gie mendasarkan diri dari catatan harian Soe Hok Gie, sosok intelektual muda yang dianggap subversif pada masa Orde Baru dan menjadi saksi hidup situasi sosial-politik 1965-66. Namun, bagaimana dengan film sejarah 65-66 yang diproduksi sebelum 1998? Sebagai sebuah melodrama sejarah pula, bagaimana film-film tersebut bisa dipahami sebagai sebuah teks mengenai keterbungkaman?
Sebagai perwakilan, kita bisa melihat film Pengkhianatan Gerakan 30 September. Pada film ini, terdapat sekumpulan karakter (grup karakter) yang nyaris tidak pernah bersuara, yaitu rakyat miskin. Kalaupun tokoh-tokoh tak bernama dalam grup ‘rakyat miskin’ ini melakukan percakapan antara sesamanya, dialog itu tidak pernah menjadi fokus utama atau memberikan pemaknaan penting dalam adegan. Percakapan-percakapan itu hanya sebuah atribut saja yang menandai ‘ketidak-pentingan’ posisi mereka dalam tataran naratif. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam kerterbungkaman mereka, grup rakyat miskin tersebut digambarkan memahami apa yang terjadi. Mereka adalah sekelompok orang yang digambarkan berkumpul di depan radio, mendengarkan segala perkembangan permasalahan sosial-politik yang terjadi di pemerintahan. Rakyat miskin dalam film Pengkhianatan Gerakan 30 September digambarkan sebagai saksi bisu sejarah. Kebisuan tersebut menandai makna subversif lain dalam film Pengkhianatan Gerakan 30 September, yaitu bahwa pada setiap usaha deskripsi sejarah dan rekonstruksi bentuk sejarah yang ‘sebenar-benarnya’ oleh film ini, ada keterbungkaman/kebisuan. Ada yang tak terkatakan.
Maka, bisa disimpulkan bahwa konsensus dalam menggambarkan sejarah 65-66 lewat model melodrama merupakan sebuah cara tertentu untuk membicarakan sejarah 65-66 sebagai sebuah imajinasi moral akan sejarah. Membuat sejarah 65-66 bisa terpahami lewat kategorisasi sederhana moralitas, yaitu kebaikan dan keburukan. Selain itu, model melodrama yang mendasarkan diri pada kebutuhan melakukan ekspresi, menempatkan teks-teks melodrama sejarah 65-66 tersebut dalam fungsi ekspresi atas yang terbungkam atau tak terkatakan.
Sementara hal kedua yang perlu dibahas dari tabel perbandingan di atas adalah soal perubahan konsensus penggambaran karateristik kesejarahan dalam film-film sejarah 65-66. Pada film-film produksi masa Orde Baru karateristik kesejarahan dikedepankan lewat apa yang dianggap sebagai model sejarah resmi (menekankan pentingnya dokumen tertulis atau terekam yang ‘sahih’), sementara film-film produksi pasca Orde Baru lebih banyak melakukan eksplorasi model sejarah lisan. Mengapa ini terjadi?
Salah satu film sejarah yang terkenal dengan eksplorasi sejarah lisan (mengenai Holocaust) adalah Shoah, karya Claude Lanzmann. Film dokumenter berdurasi sembilan dan setengah jam ini melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam genosia orang Yahudi oleh Nazi, terutama para korbannya. Agaknya kecenderungan ini diterapkan juga dalam film-film yang melakukan representasi sejarah 65-66 produksi pasca Orde Baru. Film-film seperti Mass Grave, Menyemai Terang dalam Kelam, dan Tjidurian 19 misalnya, banyak menggunakan metode wawancara dengan korban untuk mendapatkan gambaran cerita mengenai masa lalu. Puisi Tak Terkuburkan dibuat berdasarkan kisah orang-orang yang selamat (survivor) dari kekacauan peristiwa penahanan rakyat tanpa peradilan dengan tuduhan berafiliasi dengan PKI pada tahun 1965. Sementara film Gie menggunakan sejarah lisan sebagai sumber lewat representasi catatan harian Soe Hok Gie yang menjadi saksi hidup di tahun 1965-66.
Sejarah lisan sendiri adalah metode penelitian sejarah lewat dokumentasi lisan atau wawancara. Gagasan dasar sejarah lisan adalah bahwa penelitian sejarah harus lebih dari sekedar cerita para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka. Untuk menulis 'sejarah dari bawah' tidak bisa mengharapkan arsip negara atau rekaman tertulis.
Sejarah lisan banyak digunakan untuk menulis sejarah mengenai peristiwa-peristiwa yang tidak terekam atau terdokumentasikan secara resmi. Banyak dari peristiwa-peristiwa ini adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan yang digerakkan oleh negara dan dengan sengaja disembunyikan. Misalnya, mengenai genosida orang Armenia oleh pemerintah Turki, genosida orang Yahudi oleh Nazi, ‘gulag archipelago’ atau kamp kerja paksa tahanan politik Uni Soviet, hingga Jugun Ianfu pada masa kependudukan Jepang di Indonesia (Rossa; Ratih; Farid, 2004).
Mengenai sejarah lisan, Paul Thompson secara ringkas menjelaskan bahwa:
“Dengan menampilkan bukti-bukti baru dari bawah, dengan memindahkan fokus (penyelidikan sejarah) dan membuka wilayah penyelidikan baru, dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian yang selama ini diabaikan...ruang lingkup penelitian sejarah sendiri telah diperluas dan diperkaya; dan pada saat bersamaan pesan sosialnya pun berubah. Sejarah, dengan kata lain, menjadi lebih demokratik.” (Thompson, 1978: 7)
Sejarah lisan yang digunakan oleh film-film sejarah 65-66 pasca Orde Baru dalam hal ini sejalan dengan pemahaman akan sejarah yang lebih demokratis tersebut. Sejarah yang tidak berpusat pada satu narasi utama layaknya sejarah resmi Orde Baru mengenai 65-66, melainkan sejarah berdasarkan ingatan orang-orang biasa, ingatan orang-orang yang terlupakan akan peristiwa-peristiwa yang dilupakan dan disingkirkan. Demokratisasi sejarah 65-66 ini hanya bisa dilakukan ketika rezim otoritarian Soeharto yang memegang kekuasaan akan legitimasi sejarah 65-66 runtuh. Namun, di sisi lain, perbedaan karateristik kesejarahan yang dikedepankan film-film sejarah 65-66 pada masa dan pasca Orde Baru memperlihatkan sebuah kontestasi artikulasi sejarah 65-66 oleh apa yang disebut sejarah resmi dan sejarah populer.
Mengenai karakteristik sejarah resmi dan sejarah populer sendiri digambarkan oleh Teshome Gabriel sebagai berikut (James; Willemen, 1989: 53-64):
“Sejarah resmi memiliki kecenderungan untuk menahan masa depan dengan bantuan masa lalu. Sejarawan mengistimewakan teks tertulis yang menjadi aturan hukum bagi mereka. Ia melakukan klaim atas ‘pusat’ dan melakukan marjinalisasi atas yang lain. Dengan cara ini, ideologinya mencegah/ melarang orang untuk membangun sejarahnya sendiri. Sejarah populer di sisi lain, melihat masa lalu sebagai isu politik. Ia menggunakan masa lalu tidak hanya sebagai titik acuan, tetapi juga sebagai tema perlawanan. Bagi sejarah populer, tidak lagi ada ‘pusat’ maupun ‘margin’ karena pelabelan ini mengindikasikan sesuatu yang ditinggalkan atau dikeluarkan.”
Pada film-film sejarah 65-66 produksi masa Orde Baru, karateristik kesejarahan yang bersifat resmi digambarkan lewat penggunaan teks-teks tertulis seperti cuplikan berita koran, rekaman audio visual, maupun foto yang kemudian dilegitimasi oleh narator-sejarawan (narator sebagai otoritas pemberi makna yang memberi legitimasi kesahihah atas bukti-bukti sejarah yang ditampilkan). Sementara pada film-film produksi pasca Orde Baru, sejarah 65-66 termaknai lewat ingatan kolektif orang-orang biasa atas pengalaman-pengalaman kolektif mereka.
Dinamika perubahan penggambaran masa lalu sebagai sejarah dan ingatan dalam film-film sejarah 65-66 memperlihatkan bagaimana film-film tersebut memproduksi ingatan sekaligus lupa. Narasi teror anti-PKI yang dihapuskan dalam Pengkhianatan Gerakan 30 September adalah contoh bagaimana film ini memproduksi lupa. Dengan mengembalikan yang terlupakan, film-film sejarah 65-66 pasca Orde Baru menggunakan sejarah populer (historiografi film berdasarkan ingatan) untuk melawan film sejarah resmi versi Orde Baru.
Dalam kategori Teshome Gabriel, film sejarah Indonesia yang melakukan representasi sejarah 65-66 tak pelak menjadi situs negosiasi berbagai cerita mengenai masa lalu yang berjuang mendapatkan tempat dalam sejarah, baik sebagai sejarah resmi berdasarkan ingatan milik otoritas maupun sejarah populer yang berdasarkan ingatan kolektif masyarakat.
Menyimpulkan
Kembali pada pertanyaan awal mengenai bagaimana film sejarah 65-66 membangun sebuah pengetahuan mengenai masa lalu yang dipahami lewat film, kita bisa menyimpulkan paling tidak dua hal. Yang pertama, dengan menggunakan model melodrama, film-film ini memperlihatkan upaya untuk memahami masa lalu yang berhubungan dengan periode 65-66 dalam kategori moral. Bahwa periode 65-66 dibayangkan oleh film dan penontonnya sebagai pertarungan antara kebaikan melawan keburukan. Maka, akan selalu ada si penjahat dan si korban. Dalam hal ini, yang baik adalah yang menjadi korban dan pada posisi ini perebutan otoritas dalam memaknai sejarah 65-66 terjadi.
Yang kedua, perubahan karateristik kesejarahan dalam representasi 65-66 di masa dan pasca Orde Baru memperlihatkan adanya kontestasi makna 65-66 oleh sejarah resmi (berdasarkan ingatan sejarawan) dan sejarah lisan/populer (berdasarkan ingatan orang-orang biasa). Pada masa Orde Baru, sejarah 65-66 termaknai oleh kamera film lewat legitimasi sejarawan resmi (keberadaan sang narator dan bukti-bukti tertulis yang dianggap sahih) atas satu ingatan tertentu sambil melupakan ingatan lain mengenai teror anti-PKI 65-66. Pada era Reformasi, sejarah 65-66 termaknai oleh kamera film yang merekam ingatan-ingatan akan teror anti-PKI sejak akhir September 1965. Ingatan yang sebelumnya dilupakan dan dipinggirkan. Kesadaran akan keberadaan ingatan kolektif ini muncul ketika media populer seperti film merekamnya untuk melakukan oposisi terhadap representasi sejarah resmi Orde Baru.
Di satu sisi, perubahan tersebut memperlihatkan film sebagai bagian dari perubahan kultural yang tak terhindarkan ketika perubahan sosial politik terjadi. Namun, di sisi lain hal ini juga memperlihatkan apa yang disebut Sturken dalam The Absent Images of Memory (jurnal Positions no.5, 1997) sebagai paradoks kamera. Bahwa kamera menunjukkan adanya dua jenis ingatan, yaitu ingatan yang terekam dan yang tidak terekam. Ingatan yang terekam kamera (ingatan di layar) dan ingatan yang tidak terekam kamera (ingatan di luar layar) memperlihatkan adanya proses seleksi ingatan dalam suatu kebudayaan. Pada masa Orde Baru, dengan merekam ingatan akan peristiwa penculikan para Jenderal AD, film-film tersebut ‘melupakan’ ingatan mengenai teror anti-PKI 65-66. Pada era Reformasi, dengan merekam ingatan yang sebelumnya terpinggirkan ini, film-film tersebut berupaya ‘melupakan’ ingatan yang dibentuk oleh sejarawan Orde Baru.
Ingatan dan lupa adalah dua wajah dari satu koin yang sama. Untuk mengingat sesuatu, kita melupakan yang lain. Sehingga lupa menjadi salah satu komponen penting dalam membentuk ingatan. Maka, dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa proses memahami sejarah 65-66 lewat film tidak terlepas dari dinamika mengingat dan melupakan yang terwujud lewat proses seleksi ingatan di layar.
Kemampuan film membentuk ingatan dan lupa atas periode 65-66 menjelaskan fungsinya sebagai situs ingatan (lieux des memoires). Ini sejalan dengan pemikiran Van Heeren bahwa film Pengkhianatan Gerakan 30 September dengan mekanisme regulasi yang menempatkan dirinya dalam ‘framework’ Hapsak atau Hari Pancasila Sakti mengubahnya menjadi sebuah monumen audio-visual yang menciptakan dan memperkuat ingatan kolektif tertentu (Van Heeren, 2009: 71).
Jika film-film sejarah 65-66 produksi masa Orde Baru seperti Pengkhianatan Gerakan 30 September bisa dianggap sebagai monumen seperti layaknya monumen Kesaktian Pancasila, maka film-film sejarah 65-66 produksi pasca 1998 bisa dianggap sebagai sebuah memorial. Untuk melihat perbedaan antara monumen dan memorial, kita perlu menyimak penjelasan Arthur Danto:
“Kita mendirikan monumen agar kita selalu ingat dan membangun memorial supaya kita tidak pernah lupa…. Monumen mengabadikan yang teringat dan menandai mitos asal muasal. Memorial melakukan ritual mengingat dan menandai akhir realita… Memorial adalah sebuah ranah khusus, dibentuk dari kehidupan, wilayah terpisah tempat kita menghormati yang telah mati. Dengan monumen, kita menghormati diri sendiri.” (Sturken, 1997: 47)
Sementara monumen seringkali menandai kemenangan, memorial mengacu pada kehidupan yang dikorbankan demi nilai-nilai tertentu. Keberadaan monumen dan memorial audio-visual atas sejarah 65-66 memperlihatkan terjadinya pergeseran makna atas imaji masa lalu. Bahwa film sejarah tidak hanya bersifat historik (mengacu pada pengetahuan tertentu mengenai masa lalu/ pengetahuan sejarah), tetapi juga historis (berubah dalam skala waktu). Perubahan ini menandai apa yang disebut perubahan ingatan kultural, yaitu perubahan secara kultural dalam memahami, memaknai, dan membayangkan masa lalu.
---------------------
1 Lihat Rosenstone, History on Film/ Film on History, hal. 126. [Kembali ke atas]
Daftar Pustaka
Brooks, Peter. The Melodramatic Imagination. Yale University Press: New Haven. 1976. Hal. 55.
Landy, Marcia. The Historical Film. Rutgers University Press: New Jersey. 2001.
Rosenstone, Robert R. History on Film/Film on History. Pearson Educated Limited: Edinburgh Gate. 2006.
Rossa, John dan Ayu Ratih serta Hilmar Farid. Tahun Yang Tak Berakhir. Elsam. Jakarta. 2004.
Sturken, Marita. Tangled Memory. University of California Press. Berkeley. 1997.
Sturken, Marita. “The Absent Images of Memory”. Positions, vol. 5(3). Duke University Press. Winter, 1997
Teshome, Gabriel H. "Third Cinema as Guardian of Popular Memory: Towards a Third Aesthetics". (ed) Pines, James dan Paul Willemen. Questions of Third Cinema. British Film Institute: London. 1989.
Thompson, Paul. The Voice of The Past: Oral History. Oxford University Press: Oxford. 1978.
Van Heeren, Katinka. Indonesian Contemporary Cinema. 2009. Hal. 81.
Van Klinken, Gerry. “The Battle for History after Soeharto”. Dalam Zurbuchen, Mary S. Beginning to Remember: The Past in The Indonesia Present. Singapore University Press: Singapore. 2005.
(Dimuat di Moviegoers edisi 002, Maret 2011)