Jadi begitulah akhir ceritanya. Harry Potter and the Deathly Hallows 2, Transformers: Dark of the Moon, dan beberapa film Hollywood lain sudah lolos sensor LSF (Lembaga Sensor Film), Senin, 25 Juli, dan akan segera ditayangkan di bioskop. Film-film tersebut diimpor oleh PT Omega Film, yang semula izinnya diblokir Ditjen Bea dan Cukai karena ditengarai terafiliasi dengan Grup 21/XXI, tapi kemudian dicabut 15 Juli lalu.
Beberapa hari kemudian terjadi pergantian direksi di perusahaan itu. Ajay Fulwani, keponakan Harris Lesmana yang tercatat sebagai Direktur Utama PT Nusantara Sejahtera Raya (pemilik Grup 21/XXI) sekaligus PT Camila Internusa (sebelum diganti dalam perubahan akta 30 Desember 2010), menggantikan Syaiful Atim sebagai direktur PT Omega Film. Tak heran bila importir baru tersebut berkantor di Jalan Wahid Hasyim 76, Jakarta Pusat, berdekatan dengan kantor PT Nusantara Sejahtera Raya serta dua importir lama (PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika), di nomor 96 dan 96a pada jalan yang sama.
PT Omega Film sendiri baru dibentuk 19 Januari 2011, atau hanya sembilan hari setelah muncul Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 3 yang meminta importir film membayar pajak impor yang benar dan wajar sesuai ketentuan peraturan perundangan (UU Pajak dan UU Kepabeanan) yang berlaku. Edaran itulah yang kemudian menjadi dasar pembekuan izin dua importir film-film dari enam studio besar anggota MPA (Walt Disney, Paramount, Sony Pictures, 20th Fox Movies, Universal Pictures dan Warner Bros) karena belum membayar pajak Rp 25 miliar dan denda Rp 252 miliar, Maret lalu.
Pelarangan PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika untuk mengedarkan film sebelum melunasi tunggakan pajak sesungguhnya bisa menjadi momentum untuk membenahi tata niaga dan tata edar film agar menjadi lebih terbuka dan adil. Sinyal pembenahan pun sudah secara terang-benderang diungkapkan oleh jajaran Kementerian Keuangan, baik melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo langsung maupun Kepala Badan Kebijakan Fiskal serta Dirjen Bea dan Cukai. Niat mulia itu akhirnya kandas, bukan semata karena tidak sejalan dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang mendukung status quo, tetapi nampaknya terhalang sebuah kekuasaan besar dan kuat yang tidak bisa dilawan.
Selain persoalan pajak yang belum dilunasi, Kementerian Keuangan menilai praktik penumpukan kekuatan (dan berarti kekuasaan) di satu tangan dalam impor, distribusi, dan pemutaran film asing tidak bisa terus didiamkan. Banyak fakta mengindikasikan PT Camila Internusa (didirikan 19 Juli 1985) dan PT Satrya Perkasa Esthetika (berdiri 1 April 1985) dimiliki dan dioperasikan oleh kelompok yang sama dengan pemilik dan pengelola Grup 21/XXI.
Maka, setelah dua importir lawas itu dibekukan izinnya, Menteri Keuangan dalam pertemuan dengan perwakilan pemerintah Amerika dan MPA, 1 Juli lalu, meminta mereka mencari importir baru yang tidak terkait dengan importir lama. Maksudnya tentu bukan PT Omega Film yang saat itu izinnya sudah diblokir. Lebih jauh ia menginginkan semua distributor dan studio film dari luar negeri membuka kantor di Indonesia, tanpa perantara importir lagi. Tapi itu artinya, bidang usaha distribusi film (ekspor, impor, dan pengedaran) mesti dicabut dari DNI (Daftar Negatif Investasi) oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Lebih maju dari sebelumnya (2007), dalam PP No. 3/2010 tentang Daftar Negatif Investasi, di sektor kebudayaan dan pariwisata beberapa bidang teknis film, seperti studio pengambilan gambar film, laboratorium film, sarana pengisian suara film, sarana percetakan dan/atau penggandaan film, sudah terbuka untuk asing dengan maksimal kepemilikan 49%. Anehnya, bidang distribusi dan penayangan film (bioskop) tetap tertutup untuk modal asing. Entah apa yang mau dilindungi, kenyataannya bioskop dan distribusi film bukanlah jenis usaha baru yang masih membutuhkan proteksi pemerintah karena sudah berlangsung di Indonesia sejak 1925.
Yang kemudian terjadi, PT Omega Film tampil menggantikan PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika. Hebatnya, meskipun terbilang pemain baru dan blokir izinnya baru dicabut, 21 Juli lalu, atau hanya dalam tempo enam hari perusahaan itu sudah bisa memasukkan film-film terbaru Hollywood untuk disensor LSF.
Sebuah happy ending yang membuat banyak orang gembira karena bisa menonton lagi film-film Hollywood di bioskop. Sebaliknya, akhir menyedihkan bagi siapa pun yang masih peduli bahwa keadilan atau hak dan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara adalah keniscayaan dalam demokrasi yang sedang kita bangun. Oleh karena itu ia harus terus diperjuangkan tanpa boleh berhenti.
Sampai hari ini praktis tidak ada yang berubah dalam tata niaga dan tata edar film di Indonesia, meskipun UU Nomor 33/2009 tentang Perfilman yang resmi disahkan oleh DPR pada 8 September dua tahun lalu sudah sangat jelas mengatur soal itu. Hiruk-pikuk yang berujung penyetopan impor film-film anggota MPA beberapa bulan terakhir ternyata juga tidak cukup untuk mengubah keadaan. Memang aneh tapi nyata, begitu banyak hal termasuk otorianisme negara sudah berubah dalam 13 tahun terakhir, namun persoalan yang satu ini tetap tidak tersentuh reformasi.
Ancaman Besar Bagi Demokratisasi
Selain PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa Esthetika, di dalam Grup 21/XXI masih ada PT Amero Mitra Film yang kepemilikan dan kepengurusannya dirangkap Direktur dan anggota keluarga Direktur Utama PT Nusantara Sejahtera Raya, dan juga berkantor di tempat yang sama. PT Amero Mitra Film mempunyai tagihan pajak dan denda Rp 55 miliar yang telah dibayar pokoknya dan mengajukan banding. Tapi perusahaan ini hanya mengimpor film-film independen non-MPA, yang beberapa bulan terakhir mengisi kekosongan layar-layar bioskop bersama beberapa importir kecil.
Sepanjang 2009-2010 LSF meloloskan 578 materi film impor, termasuk trailer. Masih harus dihitung lagi secara mendetail jumlah judul film dan terutama total copy masing-masing, karena datanya tidak tersedia di asosiasi-asosiasi importir film asing. Yang pasti, berdasarkan audit Kementerian Keuangan yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, pada periode itu ketiga importir dalam lingkungan Grup 21/XXI tersebut mengimpor 256 judul film. Film-film laris Hollywood, terutama yang dibuat untuk liburan musim panas dan akhir tahun, umumnya diedarkan secara masif dengan jumlah copy mencapai 50 atau lebih.
Jika jumlah jam tayang film yang diimpor ketiga perusahaan tersebut melebihi 50% dari seluruh jam tayang di jaringan bioskop 21/XXI, otomatis terjadi pelanggaran terhadap pasal 12 pasal UU Nomor 33/2009: Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Di samping mendominasi jumlah copy dan jam tayang film yang beredar, Grup 21/XXI pun menguasai tempat pemutarannya. Di seluruh Indonesia saat ini mereka memiliki 133 bioskop dengan 560 layar. Di luar itu ada Blitz Maegaplex yang mempunyai 59 layar di enam lokasi. Bioskop-bioskop lain milik perseorangan umumnya hidup kembang-kempis, namun sayangnya tidak tercatat dengan baik di GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia).
Tentu saja bukan kebetulan belaka jika kelompok yang sama ternyata mendominasi mulai dari impor, distribusi, sampai pemutarannya. Importir/distributor terjamin bisnisnya karena memiliki sendiri bioskop untuk memutar film-filmnya. Sebaliknya, bioskop terjamin pasokan filmnya karena mempunyai importir sendiri. Dalam perputaran uang, dari saku kanan cuma berpindah ke saku kiri.
Karena itulah di semua negara demokratis, integrasi usaha vertikal merupakan praktik haram. Mau disebut apapun juga (dominasi, oligopoli, monopoli, dan lain-lain), di Indonesia larangan terhadap praktik semacam itu sudah diatur dalam pasal 11 ayat 1 UU Nomor 33/2009: Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung.
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya iklim usaha dan investasi yang bebas, sehat, dan demokratis. Asal memenuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku, setiap warga negara mempunyai hak setara untuk menjadi importir atau pengusaha bioskop. Integrasi vertikal merupakan ancaman besar bagi demokratisasi karena baik importir maupun bioskop dalam satu kelompok dengan berbagai cara pasti lebih mendahulukan kepentingan bisnis milik kelompoknya sendiri.
Itulah sebabnya, seperti ditulis JB Kristanto di Kompas, 28 Juni, “Bertahun-tahun sebelum adanya sengketa tadi, tak pernah terdengar munculnya importir film baru. Dari daftar lolos sensor 2010, terdapat tujuh importir yang aktif. Kecuali tiga besar dari Grup 21/XXI (Camilla Internusa Film, Satrya Perkasa Esthetika Film, Amero Mitra Film), empat lainnya ‘pemain pendamping’ yang tak begitu berarti, apalagi berpengaruh. Tidak munculnya pemain baru karena memang pasar tak memungkinkan. Pasar film adalah bioskop. Kalau bioskop dikuasai/dimonopoli oleh importir/distributor dari grup yang sama, siapa yang mau merugi.”
Itu juga penyebab, selain kenekatan Blitz Megaplex, pertumbuhan dan penyebaran bioskop boleh dibilang mandeg. Sama seperti kasus importir di atas, siapa berani membangun bioskop jika peredaran film dikuasai sendiri oleh bioskop dalam satu kelompok? Film apa yang mau ditayangkan?
Konon Blitz Megaplex beruntung masih bisa menayangkan beberapa film laris Hollywood, termasuk Harry Potter and the Deathly Hallows 2 dan mungkin Transformers: Dark of the Moon, karena permintaan langsung dari MPA. Tapi sumber di jaringan bioskop alterntatif itu mengaku tetap gentar saat sejumlah pengusaha di daerah ingin bergabung dalam jaringannya dengan syarat ada jaminan bisa memutar film-film baru pada kesempatan pertama, berbarengan dengan penayangan di jaringan 21/XXI. Gentar, karena bagaimana mereka bisa memberi jaminan apabila kuasa atau kontrol terhadap peredaran film sepenuhnya dikendalikan oleh kelompok dari jaringan bioskop lain.
Merampas Hak Jutaan Warga Negara
Sebanyak 133 bioskop dengan 560 layar milik jaringan 21/XXI saat ini hanya tersebar di 22 (dari 33) provinsi dan tidak sampai 100 (dari 502) kabupaten/kota. Penting dicatat, sebagian besar terpusat di Jabodetabek. Artinya, masih sangat banyak kabupaten/kota di Indonesia yang masyarakatnya tidak bisa menikmati hiburan bioskop. Padahal belum tentu tidak ada potensi pasar dan pebisnis yang mau membangun bioskop di sana.
Dari buku JB Kristanto, Nonton Film, Nonton Indonesia (Penerbit Buku Kompas, 2004), kita bisa mengetahui, “Pada 1984/1985 ada 1.790 bioskop dan 242 film yang beredar. Jumlah film ini harus diperebutkan oleh sekitar 100 distributor/pengedar film, atau tepatnya 62 pengedar film impor yang terdaftar pada Kanwil-Kanwil Departemen Penerangan dan 48 pengedar yang diakui sebagai subordinat PT Perfin.” (hlm 357). Dalam kondisi demikian, “Angka penonton bioskop yang dikumpulkan oleh GPBSI pada 1984/1985 adalah sebanyak 180 juta orang.” (hlm 359).
Sementara dari situs Dokumentasi Perfilman Indonesia GPBSI mencatat, “Puncak masa jaya bioskop terjadi pada tahun 1990, di mana pada tahun tersebut jumlah bioskop di Indonesia mencapai titik tertinggi yaitu 2.600 buah dengan 2.853 layar, dan jumlah penonton mencapai 312 juta orang. Sementara era 1991-2002 terjadi keterpurukan usaha perbioskopan di Indonesia secara drastis. Dari jumlah 2.600 pada tahun 1990, tinggal 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002.”
Apa artinya? Pertama, potensi pasar penonton film bioskop di Indonesia sesungguhnya luar biasa besar. Kedua, jumlah bioskop yang ada hari ini justru semakin berkurang. Dari perbandingan jumlah bioskop dan jumlah layar yang tercatat—2.600:2.853 (1990), 264:676 (2002), dan 139:619 (2011)—dengan mudah bisa dibaca bahwa sejak 1990 sebagian besar bioskop “tradisional” dengan rata-rata satu layar berguguran, dan sebaliknya bertumbuhan sinepleks dengan beberapa layar. Dicocokkan dengan kondisi hari ini, bisa dipastikan hanya jaringan 21/XXI yang masih sanggup bertahan hidup, terutama karena ditopang sepenuhnya oleh jaringan importir milik sendiri.
Silakan disimpulkan dengan cara apapun. Misalnya begini: pemusatan jaringan impor, distribusi, dan pemutaran di satu tangan terbukti telah membunuh ribuan bioskop di tanah air. Atau sebaliknya, dominasi atau monopoli itu ternyata berakibat mematikan kesempatan tumbuhnya ribuan bioskop baru di banyak daerah. Keduanya berujung pada keprihatinan yang sama: bukan sekadar menghalangi terciptanya iklim usaha yang demokratis, praktik integrasi vertikal jelas-jelas merampas hak jutaan warga negara Indonesia lain untuk ikut menikmati tayangan film-film yang disukai di layar bioskop yang besar dengan tata suara menggelegar.
Sungguh miris menyaksikan jutaan orang bergembira bisa menonton Harry Potter and the Deathly Hallows 2 dan Transformers: Dark of the Moon, sementara ada lebih banyak lagi warga negara Indonesia tidak dapat memperoleh kesempatan yang sama. Bukan karena tidak mau atau keinginan tersebut tidak layak secara bisnis, melainkan akibat demokratisasi peredaran film di negaranya tidak kunjung terjadi bahkan setelah 13 tahun reformasi berlangsung. Entah di mana pemerintah berada di kala banyak warganya membutuhkan kehadirannya. Barangkali sedang tidur, seperti biasanya.
Kita rasanya seperti menonton orang-orang menari di atas mayat orang lain.