Belum sampai pertengahan tahun 2013, sudah lebih dari sepuluh acara film pendek yang saya datangi. Saya diundang sebagai pengisi diskusi, seminar atau juri. Selain itu saya juga datang dengan sendirinya sebagai penonton. Saya menyukai film pendek dalam semua aspeknya, dari cara bertutur, teknis, konten sampai para pembuatnya. Menonton film pendek dan mengikuti diskusi dengan pembuatnya seperti menjadi saksi dari sebuah proses yang jujur.
Di dalam kondisi yang serba krisis seperti di Indonesia, menikmati karya-karya seni yang tidak tersentuh oleh sistem yang sudah terbangun adalah salah satu usaha saya untuk melihat negeri ini dalam keadaan yang telanjang. Pemerintah yang seharusnya berperan agar kita lebih bebas dalam berekspresi justru membuat lapisan-lapisan yang makin lama makin membuat kita tidak bisa bergerak. Tapi itulah situasi sinema, di manapun dan mungkin sampai kapanpun. Marilah sejenak lupakan sensor, izin produksi atau bahkan jalur distribusi yang semakin lama semakin mengekang.
Mei: Bulan Film Pendek
Secara tidak resmi kita mengenal bulan Desember sebagai bulannya film panjang karena banyak festival film panjang seperti Jogja-Netpac Asian Film Festival, Festival Film Dokumenter, Europe On Screen. Dahulu Jakarta International Film Festival juga di bulan Desember, sampai yang paling baru, Chopshots Documentary Film Festival. Bahkan tidak ketinggalan acara yang menamakan dirinya festival tapi tanpa pemutaran film-film yang difestivalkan: Festival Film Indonesia.
Sementara bulan Mei, juga secara tidak resmi, boleh disebut sebagai bulannya film pendek. Di bulan ini digelar Festival Film Solo, Festival Film Purbalingga, Malang Film dan Video Independent Festival. Selain itu paling tidak ada tiga peristiwa film pendek yang saya datangi yang dibuat oleh Kemenpora Propinsi Sumatera Selatan, Jurusan Akuntansi UII Jogjakarta dan Jurusan Komunikasi Universitas Airlangga. Ada lagi acara film pendek yang saya hadiri yang dibuat oleh sponsor dengan kepentingan tertentu, LA Light Indiemovie dan AXA-Cinemags Short Film Competition. Belum saya hitung lima acara film pendek bersponsor yang saya terpaksa saya tolak karena alasan jadual atau karena saya sudah terlalu sering menjadi juri ataupun pembicara. Ketika bulan Mei baru berjalan setengahnya, sudah 73 film pendek saya tonton.
Tema Baru, Tema Klasik
Banyak sekali catatan menarik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Beberapa pembuat film pendek generasi pertama pasca reformasi (ditandai pembubaran Departemen Penerangan) sudah membuat film panjang pertamanya, baik di jalur mainstream maupun alternatif. Hal ini juga mempengaruhi pembuat-pembuat film pendek tahun 2013. Referensi semakin mudah untuk didapat. Tahun ini adalah tahun yang membuktikan bahwa cerita dan konten adalah yang utama dalam membuat film. Menciptakan gambar yang bagus sudah bukan hal langka sejak generasi ini bisa membuat gambar menggunakan kamera DSLR (digital single lens reflex). Para pembuat film pendek yang sangat tertarik dengan teknik masih mendominasi, ini hal yang wajar dalam sebuah revolusi teknologi. Tetapi yang lebih penting adalah munculnya pembuat film yang sadar sekali bahwa film adalah media untuk menyampaikan cerita dan menyampaikan statement pembuatnya. Selama ini, tiap tahun biasanya hanya ada dua atau tiga film saja. Tapi tahun ini saya mencatat beberapa film yang mampu memberi saya energi sebagai pembuat film setelah menontonnya. Energi yang bahkan sudah lama sekali tidak saya dapat saat menonton film panjang Indonesia.
Tema yang dipilih para pembuat film pendek ini semakin simpel, tidak meminjam tema-tema besar. Pada masa awal menjamurnya film pendek pasca reformasi, hampir separuh lebih diisi tema-tema yang berbau kekerasan, drugs, seks, alkohol dan tema-tema rock n' roll lain yang berbau perlawanan anak muda. Wajar sekali karena film wajib pada era itu bisa disederhanakan menjadi dua judul: Trainspotting (Danny Boyle, Inggris, 1996) dan Pulp Fiction (Quentin Tarantino, AS, 1994). Susah sekali mencari referensi lain, tapi gampang sekali mendapatkan dua film ini. Pada saat itu film pendek dengan tema yang besar seperti nasionalisme justru menjadi sangat menarik dan mencuri perhatian seperti Di Antara Masa Lalu Dan Masa Sekarang (Eddie Cahyono, 2001).
Kemudian setelah itu justru marak sekali film pendek dengan tema besar dan harus moralis, harus ada pesan. Sampai-sampai bendera merah putih menjadi properti utama dalam setiap pembuatan film pendek, sebut saja film Setitik Nasionalisme (2009), Cina Juga Indonesia dan Merah Putih Yang Terlupakan (keduanya tahun 2010) atau Mengejar Merah-Putih (2012). Dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun juga tetap banyak pembuat film pendek yang memakai tema film panjang Indonesia sebagai referensi yang dianggap menarik. Mungkin juga karena pembuat film pendek menjadi sangat banyak dan sebagian besar membuat film hanya karena mengisi waktu luang dan bersenang-senang dengan teman.
Tahun ini adalah tahun yang paling saya sukai sepanjang saya mengikuti perjalanan film pendek di Indonesia pasca reformasi. Banyak sekali film dengan tema kesukaan saya: keluarga. Menurut saya keluarga adalah kelompok masyarakat yang paling kecil di dalam pola hubungan antar manusia tapi justru mempunyai problem yang paling kompleks. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru, hampir semua sutradara besar yang saya kagumi selalu merujuk pada satu nama jika membicarakan sutradara panutan mereka: Yasujiro Ozu. Sutradara ini selalu fokus pada permasalahan-permasalahan pasca perang keluarga kelas menengah di Jepang. Keluarga bisa dibilang tema paling klasik dari semua tema yang diangkat menjadi karya sinema. Saya mencatat banyak sekali karya film pendek 2013 dengan tema ini. Saya mengartikan bahwa sinema sedang dikembalikan ke fitrahnya oleh para pembuat film pendek di Indonesia.
Film Pendek Tahun Ini
Saya tidak suka mengritik, hanya mencatat hal-hal yang saya suka. Berikut ini catatan dari beberapa film pendek yang sudah saya tonton.
Halaman Belakang (Yusuf Radjamuda)
Palu. Siapa yang membayangkan ada sesuatu bernama film pendek jika mendengar nama kota ini disebut? Yang saya tahu tentang hubungan kota ini dengan film pendek adalah sebagai tempat kelahiran sahabat saya, (almh) Elida Tamalagi yang juga adalah aktivis film pendek di Indonesia. Dua tahun lalu saya mengenal karya film pertama dari Palu, Wrong Day, yang disutradarai oleh Yusuf Radjamuda (akrab dipanggil Papa Al oleh beberapa teman). Beberapa orang mengenalkannya pada saya sebagai film yang bagus. Buat saya Wrong Day bukan film bagus, tapi film penting. Sangat penting untuk dicatat bahwa ada sebuah gerakan film pendek di Palu. Lalu tahun ini saya dibuat kaget setelah menonton film Halaman Belakang, film pendek dari sutradara yang sama. Pencapaiannya jauh, membuat saya bertanya-tanya apa yang telah terjadi di Palu. Film ini sangat kuat. Saya sebagai penonton diposisikan dengan sangat jelas. Saya mendapatkan pengalaman-pengalaman visual yang baru, genuine, sekaligus sangat dekat. Kadang saat menonton film susah sekali melepaskan status saya sebagai pembuat film. Titik kamera menjadi hal yang prinsipil dan sering mengganggu, tapi di film ini semua terasa sangat pas dan sesuai dengan porsinya. Saya yakin setelah ini akan ada beberapa karya lain dari Palu yang sama kuatnya. Apalagi saat ada sesi bincang-bincang dengan Papa Al, dia sempat menyampaikan bahwa energi yang ia keluarkan sangat besar pada saat membuat film ini. Mungkin karena itu ia belum bisa membuat film pendek lagi dalam waktu dekat.
Wan An (Yandi Laurens)
Saya pikir Amour (Prancis/Jerman/Austria, 2012) hanya bisa dibuat oleh Michael Haneke (baca: film tentang orang tua hanya bisa dibuat oleh orang tua). Dan saat melihat logo Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta di awal film saya langsung membayangkan akan menonton sebuah film yang berat dan perlu dipahami dengan berpikir keras. Mungkin karena saya tahu bahwa ini karya tugas akhir. Mahasiswa yang mengambil minat utama penyutradaraan di IKJ harus melewati mata kuliah Penyutradaraan I-V. Dan setahu saya Penyutradaraan V mempelajari subteks dalam mencipta sebuah film, setiap shot harus bermakna. Karena itulah saya kemudian menyiapkan diri untuk menikmati film ini dengan "cara akademis”. Tapi film ini mengejutkan! Karakter-karakter yang sebenarnya sudah biasa kita kenal dihadirkan kembali dengan sangat biasa dan ditangkap dengan treatment kamera yang juga biasa. Semua seperti dihadirkan begitu saja dengan repetitif. Rangkaian yang seharusnya membosankan ini justru menjadi permainan drama yang asyik. Sosok Hengky Soelaiman dihadirkan kembali dengan pas, Maria Oentoe yang hampir setiap minggu suaranya kita dengar mempersilakan masuk ke bioskop hadir begitu natural. Harus dihargai ada seorang pembuat film yang masih sangat muda tapi berhasil menyampaikan emosi dan permasalahan yang dihadapai orang tua. Hidup dipermainkan di film ini. Saya dipermainkan oleh film ini. Selayaknya sebuah permainan, ada yang menang dan ada yang kalah. Film ini berhasil mengalahkan saya.
Liburan Keluarga (Tunggul Banjaransari)
Apichatpong! Dengan spontan kata itu saya teriakkan setelah selesai menonton film ini. Tentu itu bukan cacian, tapi pujian. Kata saya itu mengacu pada seorang sutradara art house Thailand, Apichatpong Weerasethakul. Seorang sutradara yang tidak mungkin saya kenal karya-karyanya pada masa awal saya membuat film pendek. Di titik ini saya sadar bahwa sekarang referensi yang paling alternatif dan terbatas pun mampu masuk ke pembuat film di manapun tanpa kecuali. Saya menonton karya-karya Tunggul sebelumnya, dan inilah yang terkuat. Ia selalu menghadirkan sosok sebuah pohon di setiap karya filmnya. Ketika saya tanya dalam sebuah sesi diskusi, dia menjawab “Saya suka pohon, terutama pohon trembesi. Melihat pohon trembesi hati saya menjadi ayem, rasanya tentrem.”Benar-benar sebuah jawaban yang saya inginkan, jawaban yang jauh dari filosofis. Penting sebagai pembuat film untuk menyadari apa yang mereka suka. Di film Liburan Keluarga digambarkan sebuah relasi keluarga yang sangat intim sekaligus absurd. Keluarga sudah tidak berarti hubungan antar manusia yang diikat dengan hubungan darah. Keluarga adalah manusia-manusia yang diikat oleh sesuatu yang mereka inginkan bersama, jalani bersama dan yakini bersama. Dan hal tersebut dikemas dalam sebuah pola bertutur yang tidak konvensional. Cara bertutur kasak-kusuk yang selalu ada di sekeliling kita, tanpa kita harus tahu apa yang sedang dibicarakan. Saya menyebutnya sebagai absurditas Jawa. Sekaligus bukti bahwa sesuatu yang dilabeli dengan “Jawa” belum tentu berkualitas nomor dua. Saya suka Tunggul, karena jarang sekali nama pembuat film yang namanya persis seperti nama sebuah desa yang asri. Mendengar namanya, saya membayangkan sebuah desa yang subur dengan sebuah pohon trembesi tumbuh di tengahnya.
Pail (Inovani Caradigama)
Film pendek yang mampu membuat saya tertawa dan mengumpat dalam waktu yang paling lama. Dengan mudah saya menyimpulkan bahwa saya baru saja menonton film bagus. Yang paling menyenangkan adalah pengalaman menonton sebuah film bagus tanpa tahu informasi apapun tentang film itu. Bahkan judulnya pun tidak membantu untuk sekedar menebak-nebak film seperti apa yang akan saya tonton. Sebenarnya ini bukan termasuk film yang penting, tapi film tidak harus penting. A good movie IS a good movie. Kejujuran pembuat film ini sangat terasa dan berhasil membuat kita percaya. Begitulah seharusnya sinema menurut saya. Prinsip yang selama ini saya pegang dalam membuat film juga dieksekusi dengan bagus di film ini, terutama soal aktor dan ruang. Casting yang tepat membuat para aktor di film ini bermain dengan sangat natural. Ruang dimana para aktor bermain juga membuat semua adegan seperti terjadi di tempat yang semestinya. Mungkin ini adalah film Indonesia pertama yang berhasil menggambarkan secara wajar seseorang buang air dengan shot pantat yang mengeluarkan kotoran.
Sepatu Baru (Aditya Ahmad)
Film ini saya tonton ketika versi pertama tulisan ini selesai saya buat. Setiap saya menonton film yang bagus, saya selalu ingin berbagi dengan orang lain. Riri Riza memberikan DVD film Sepatu Baru setelah saya memberikan DVD Halaman Belakang kepadanya. Sebelum menonton sudah terbersit di pikiran saya, kalau film ini mampu membuat saya membuka lagi file tulisan saya ini dan menambahkan lagi ke catatan saya tentang film-film pendek yang sudah saya tonton, berarti ini film bagus. Ternyata benar, saya membuka lagi catatan saya. Sebuah tema yang amat sangat ringan tapi karena kepekaan pembuatnya bisa menjadi sebuah film pendek yang kuat. Satu lagi pembuat film yang peka akan cuaca, mampu menangkap momen-momen yang biasanya justru susah sekali ditangkap dalam sebuah proses pembuatan film panjang. Menikmati hujan sepanjang film ini sekaligus membuat saya merasakan kegelisahan tokoh dengan permasalahannya yang "rumit”. Sebagai sesama pembuat "film hujan”, saya langsung jatuh cinta pada film ini. Tapi bukan itu saja. Film ini berhasil merekam peristiwa yang sangat lokal - seperti hubungan mistis antara hujan dan celana dalam - tapi dapat dikonsumsi secara global. Yang paling penting, sesudah menonton film ini saya bisa menyimpulkan bahwa budaya film sudah tumbuh di Makasar dan akan semakin besar.
Penutup
Tentunya masih ada beberapa film lagi yang layak masuk dalam catatan saya, termasuk film-film dari SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol, Purbalingga yang sudah tiga tahun terakhir ini selalu mengagetkan saya. Tapi ada perasaan tidak enak menulis catatan yang terlalu panjang untuk film-film yang pendek. Jika catatan di atas masih terlalu panjang, saya bisa menyimpulkannya menjadi sangat pendek: Tontonlah film-film pendek Indonesia!