Artikel/Kajian Pajak Film Hollywood Membantu Film Nasional?

Kajian Sheila Timothy 21-02-2011

Hampir dua pertiga yang diputar di bioskop saat ini adalah film Hollywood dan asing lain.

Pada 10 Januari 2011, diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE 3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Royalti dan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemasukan Film Impor. Peraturan ini merupakan penafsiran baru atas undang-undang dan peraturan tentang pajak bea masuk yang lama (berlaku, red).

Bioskop Rajawali, Wonosobo. Sumber: Bowo LeksonoDengan surat edaran ini penghasilan yang dibayarkan keluar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu, merupakan royalti yang dikenakan PPh 20 persen. Peraturan ini mendapat reaksi keras dari pihak importir film, yang mengakibatkan MPAA (Motion Picture Association of America) atau asosiasi produsen film Amerika Serikat menyatakan tak akan lagi mengedarkan film Hollywood ke Indonesia.

Hampir dua pertiga jumlah film yang diputar di bioskop saat ini adalah film-film Hollywood dan asing non-Hollywood. Banyak pihak khawatir langkah MPAA ini akan diikuti oleh distributor film non-Hollywood, karena bea dan pajak ini diberlakukan merata untuk semua film impor.

Pemerintah mengatakan mereka sedang memikirkan jalan keluar atas keberatan ini. Tujuan pemerintah memberlakukan pajak ini, seperti diberitakan berbagai media, adalah untuk mendukung industri perfilman nasional sehingga dapat bersaing di pasar domestik.

Itu tujuan yang sebenarnya baik, namun apabila ditelaah lebih mendalam, ternyata tidaklah tepat pada sasarannya. Pada kenyataannya, kebijakan itu justru berpotensi makin mempersulit industri film nasional.

Seharusnya, pemerintah sejak awal mengkomunikasikan terlebih dahulu kebijakan tersebut dengan pelaku industri film nasional, bukan malah sesudah kebijakan tersebut diimplementasikan. Ini penting supaya berbagai kesulitan yang selama ini dihadapi oleh sineas Indonesia benar-benar dapat diakomodasi secara pas. Jangan karena semata ingin meningkatkan penghasilan APBN, peraturan baru dikeluarkan, dan hasilnya malah makin mempersulit industri film Indonesia.

Terlepas dari keberatan MPAA, tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada kenyataan di lapangan. Apa sebetulnya kesulitan yang dihadapi oleh filmaker Indonesia, bagaimana solusi yang diharapkan dari pemerintah, dan bagaimana efek pemberlakuan pajak dan bea film impor itu terhadap industri film nasional.

Satu Habitat

Menghilangnya film-film asing (Hollywood dan kemungkinan juga akan diikuti oleh non-Hollywood) akan mengganggu industri film lokal secara keseluruhan.

Mengapa?

Perlu diingat, industri film merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari banyak partikel. Industri film adalah suatu sistem yang terdiri dari bukan hanya pembuat film, atau production house, tetapi juga termasuk di dalamnya semua perusahaan yang terlibat di berbagai bidang—teknologi, komersial film, distributor, dan eksibitor. Segenap partikel itu merupakan kesatuan dalam suatu habitat, yang saling membutuhkan satu sama lain, suatu simbiosis mutualisme.

Jika salah satu partikel terganggu, partikel lain akan terganggu pula. Pendek kata, jika film-film asing (baik Hollywood atau non-Hollywood) menghilang di layar eksibitor (bioskop-bioskop), maka penghasilan dari eksibitor akan terganggu. Jika eksibitor menghilang, lalu di mana filmmaker lokal dapat memutar film mereka?

Jadi, pertanyaan kita adalah: benarkah pengenaan pajak dan bea impor ini, yang berpotensi akan mengurangi bahkan menghilangkan film impor dari layar bioskop, akan meningkatkan jumlah film nasional?

Tujuan itu mungkin tercapai jika kita hanya bicara kuantitas film, bukan kualitasnya. Untuk memenuhi kuota, filmmaker dapat saja membuat film dengan cepat, dengan dana seadanya, diproduksi dalam satu minggu, yang akan siap tayang dalam tempo satu bulan, digandakan sebanyak mungkin, kemudian segera dilempar ke pasar.

Masalahnya, dengan kualitas yang rendah dan dibuat asal-asalan seperti itu, apakah masalah yang dihadapi film lokal saat ini akan terjawab? Apakah penonton mau mengeluarkan uang untuk menonton film kacangan? Tentu saja tidak. Jumlah penonton bioskop niscaya akan semakin turun. Kepercayaan masyarakat terhadap film nasional akan semakin sirna. Sebagai gambaran, di tahun 2010 saja jumlah penonton film nasional hanyalah sekitar 500 ribu orang saja—jumlah yang sangat sedikit.

Pajak, Pajak, dan Pajak

Keberatan MPAA mengenai pajak sebenarnya juga merupakan kesulitan terbesar industri film nasional. Pajak yang dikenakan pada industri film nasional tidaklah sedikit. Sumbangannya kepada kas negara dimulai dari masa produksi sampai dengan pasca produksi. Pajak tersebut di antaranya adalah PPn (dari material pembuat film sampai dengan penyewaan alat dan penggandaan) dan PPh Karyawan Pasal 21.

Belum lagi, penghasilan dari bioskop—yang merupakan penghasilan terbesar bagi suatu production house—masih dipotong Pajak Tontonan, yang besarnya bervariasi sesuai dengan peraturan daerah masing-masing, bahkan ada yang mencapai 30 persen. Penghasilan setelah dipotong pajak tontonan ini harus dibagi dua dengan pengusaha bioskop. Setelah itu, pendapatan production house masih dipotong lagi Pajak Royalti sebesar 10 persen (Peraturan Direktorat jenderal Pajak nomor PER-33/PJ/2009).

Pajak serupa dikenakan pula pada penghasilan dari sumber-sumber lain seperti home video, penjualan ke stasiun TV, dan lainnya. Sudah begitu, di akhir tahun buku, production house masih dikenakan lagi Pajak Penghasilan Pasal 23.

Memang, seluruh jumlah pajak yang dibayar ini nantinya dapat diperhitungkan di akhir tahun sebagai kredit pajak, yaitu dianggap dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang dikompensasikan. Namun ini tetap memberatkan karena harus dibayar dimuka, yang alhasil tidak mengurangi jumlah investasi yang dibutuhkan di awal.

Tiadanya Distributor

Kesulitan lain yang dihadapi adalah bahwa production house di Indonesia tidak memiliki distributor. Yang ada adalah eksibitor, yaitu bioskop-bioskop yang memutar film, sehingga seluruh biaya dari hilir ke hulu ditanggung sepenuhnya oleh production house—mulai dari produksi sampai biaya promosi. Untuk ini, investasi yang dibutuhkan sangatlah tidak sedikit.

Filmmaker Indonesia jelas membutuhkan dukungan pemerintah, karena tanpa itu industri film nasional tidak akan bisa berkembang dan akan tetap menjadi infant industry.

Tuntutan untuk menyederhanakan pajak dan peraturan jelas perlu terus diperjuangkan. Hanya saja perlu dicatat, perubahan peraturan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara itu, keadaan industri film nasional sudah masuk dalam kondisi genting. Janganlah sampai film Indonesia kembali mati suri seperti di tahun 1980an.

Kita membutuhkan jumlah layar bioskop yang lebih banyak untuk dapat menayangkan film-film nasional, sehingga tidak harus digilir seperti sekarang karena kekurangan layar. Akibatnya, jangka waktu tayang suatu film di bioskop akan semakin pendek.

Dalam hal ini, dengan peraturan pajak dan bea impor yang baru, bioskop justru akan semakin kesulitan. Niscaya, mereka akan terpaksa menutup bioskop satu persatu, terkhusus pengusaha-pengusaha bioskop kecil di daerah. Kondisi ini, pada gilirannya, akan membuat keadaan jadi semakin sulit bagi film nasional.

Bantuan Pemerintah

Jika mau membantu film nasional, pemerintah harus menempuh cara-cara yang tepat sasaran. Salah satunya adalah mendukung filmmaker yang berbakat dengan, misalnya, memberikan subsidi dan membantu promosi, khususnya buat para filmmaker yang telah berprestasi membawa nama Bangsa ke berbagai festival dunia.

Di Malaysia, contohnya. Pemerintah negeri jiran memberlakukan peraturan untuk memutar kembali film-film yang sudah dirilis dan memenangkan penghargaan di luar negeri. Tidak hanya mewajibkan supaya diputar selama sebulan penuh, pemerintah juga membantu mempromosikan dan mempublikasikan film-film tersebut berikut segenap filmmaker yang terlibat di dalamnya. Begitu pula yang dilakukan negara-negara tetangga lain seperti Thailand dan Korea, yang industri perfilmannya jauh lebih maju dari Indonesia.

Hal lain, kualitas film nasional jelas masih perlu ditingkatkan. Diperlukan lebih banyak sekolah film yang bisa menghasilkan sineas muda yang berbakat dan profesional. Dengan kualitas film yang baik, industri film Indonesia bisa dikenal di dunia dan mempunyai daya jual yang baik. Ini saatnya pemerintah benar-benar menganggap serius industri film nasional sebagai suatu industri yang dapat menghasilkan devisa bagi negara. Industri film adalah bagian dari industri kreatif yang sedang dipromosikan Menteri Perdagangan.

Elemen dalam industri film nasional yang menunjang pun harus diperhatikan pemerintah. Misalnya, festival film nasional dan asing harus didukung dengan serius. Festival seperti JIFEST, INAFFF, dan lainnya punya posisi penting karena merupakan bagian pembelajaran untuk filmmaker dan penonton Indonesia. Selain itu, jika dikelola dengan baik, festival-festival ini akan menjadi elemen penting dalam promosi pariwisata Indonesia.

Film adalah suatu produk budaya, cerminan perkembangan budaya suatu bangsa. Pemerintah wajib mendukung industri ini supaya dapat selamat dari keadaan yang sedang memprihatinkan ini. Semoga film Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tapi lebih dari itu, juga menjadi kebanggaan Bangsa.

Terbit di situs VIVAnews, 20 Februari 2011

Baca juga:

- Dominasi Film Impor Dan Dilema Film Nasional (1991)

- Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (2011)

Ikut Debat Tentang Topik Ini