Artikel/Kajian Pertanyaan-pertanyaan yang Tak Diajukan

Dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa Tengah atau bahkan Indonesia, Purbalingga adalah kota yang relatif bersih. Dengan jalan rayanya yang lurus-lurus dan lapang, satu-dua mobil, sepeda motor dan becak hilir-mudik. Pusat kota dipadati oleh toko-toko kecil dengan wajah-wajahnya yang menampakkan atmosfer kota kecil. Alun-alun yang berada di pusat kota dilindungi oleh dua beringin dan sebuah masjid besar. Beberapa kantor pemerintahan –dengan gaya arsitektur tropis tahun 1970-an –serta beberapa gereja terletak beberapa meter dari mandala arsitektur Jawa di tengah kota.

Di lingkaran luar mandala ini, Purbalingga dikelilingi oleh desa-desa dengan sawah-sawahnya yang hijau permai penuh pestisida, serta bukit-bukit serta pegunungan yang melingkar membentuk lanskap lukisan Mooi Indie. Di tempat seperti inilah, industri knalpot berkembang, disusul sebuah demam yang agak mengejutkan: membuat film.

Selama bulan Mei 2011 lalu, Purbalingga memiliki hajatan besar film bernama Festival Film Purbalingga (FFP, 30 April -28 Mei 2011). Dimotori oleh Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, tahun 2011 merupakan  tahun kelima penyelenggaraan festival ini, setelah dilaksanakan pertama kali di tahun 2007. Tahun ini menjadi tahun yang paling ambisius bagi festival dengan dilangsungkannya pemutaran layar tancap (layar tanjleb) di 15 titik (desa) di wilayah Karisidenan Banyumas (yang terdiri dari kabupaten Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas, dengan ibukota di Purwokerto). Program layar tanjleb ini memutar film-film pendek buatan lokal maupun film-film panjang dari Jakarta dengan melibatkan masyarakat pedesaan.

Pada tanggal 26-28 Mei 2011, pemutaran dari desa-desa bergeser ke wilayah kota, yakni ke Aula Hotel Kencana di kota Purbalingga. Mengikuti tradisi festival sebelumnya, program pemutaran film di Aula Hotel Kencana difokuskan pada film-film pendek karya lokal untuk dikompetisikan. Program kompetisi ini sendiri telah dilaksanakan sejak tahun kedua penyelenggaraan festival ini, yakni pada tahun 2008. Tahun ini, pemutaran dibuka oleh pemutaran tiga film lokal Banyumas, satu film pendek fiksi dari Jakarta (‘Territorial Pissings’) dan satu film pendek fiksi dari Yogyakarta (‘Agenda 19’) serta dokumentasi pemutaran layar tanjleb di desa-desa.

Di program utama, FFP memiliki program kompetisi untuk film fiksi pendek, program kompetisi untuk film dokumenter pendek dan program kompetisi video manten (wedding video), ditambah satu program non kompetisi yang menghadirkan tiga film lokal (dua fiksi, satu dokumenter), dan dua film fiksi dari luar Banyumas. Pada hari Jumat, 27 Mei 2011, program kompetisi memutar 18 film fiksi dan enam dokumenter karya para pelajar Banyumas. Hari Sabtu, 28 Mei, empat video manten buatan biro pembuatan dokumentasi manten profesional, bertarung dalam sebuah kategori yang hanya ada di FFP. Jadi jumlah keseluruhan film dan video yang diputar adalah 33 judul.

FFP dan Festival Film di Indonesia
FFP merupakan salah satu festival lokal yang muncul pasca-2000. Didirikan pada tahun 2007 oleh orang-orang seperti Bowo Leksono dan kawan-kawan di CLC Purbalingga dan JKFB (Jaringan Kerja Film Banyumas), FFP bisa jadi merupakan salah satu film festival yang berhasil membawa identitas kelokalan ke dalam keriuhan dunia festival film di Indonesia. Setelah kemunculan JIFFest di tahun 1999 dan Festival Film dan Video Independen Indonesia (tahun 1999-2002, berubah menjadi Konfiden tahun 2006, sekarang tiada), Indonesia mulai melihat munculnya beberapa festival film dengan arahan artistik, politik serta pilihan program yang beragam. Selain kedua festival yang telah disebut di atas, muncul pula Festival Film Dokumenter (sejak tahun 2002), Malang Film and Video Festival (sejak tahun 2004), Q Film Festival (sejak tahun 2002), Ok.Video Jakarta Video Festival (2003), Jogja-Netpac Asian Film Festival (sejak 2005) dan yang terakhir Festival Film Solo (2011). FFP merupakan festival film paling awal yang berfokus pada pengembangan film-film lokal, terutama dalam konteks FFP adalah film-film buatan pembuat film di Banyumas Raya.

Film-film yang diputar dalam FFP biasanya menggunakan narasi/bercerita tentang persoalan lokal di Banyumas, menggunakan karakter-karakter yang hidup di wilayah lokal serta menggunakan bahasa lokal (bahasa Jawa dengan logat ngapak). Kecenderungan seperti ini menjadi hal baru di tahun 2007 dan kini juga telah dicoba oleh film-film panjang yang beredar di bioskop. Meski demikian, semakin lama film-film buatan pembuat film (terutama pelajar) di Banyumas Raya ditujukan bukan hanya untuk penonton lokal, namun juga penonton non-Banyumas Raya. Hal ini terlihat terutama dengan dicantumkannya subtitel dalam bahasa Indonesia dalam film-film produksi Banyumas ini.

Bagi Bowo Leksono, direktur festival, FFP adalah wahana ‘untuk memperkenalkan dan mendekatkan film kepada masyarakat’. Sasaran pertama FFP adalah kaum intelektual (pelajar) dan kemudian masyarakat di pedesaan. Sementara bagi Dimas Jayasrana, programmer festival, FFP adalah festival yang ditujukan terutama untuk kepentingan lokal. Dalam catatan programmingnya, ia mengatakan bahwa FFP ingin berbicara di tingkat lokal, kepada lokal dan untuk lokal. Tak heran bahwa muatan program pemutaran banyak sekali terpaku pada film-film Banyumas. Dalam pidato pembukaannya, Bowo Leksono juga nampaknya ingin menggunakan festival ini untuk mengangkat isu lokal, yakni ketiadaan gedung/tempat yang layak bagi kesenian di seluruh wilayah Banyumas Raya.

Agenda politik seperti ini tentu berhubungan pula dengan pendekatan artistik dan tematik yang muncul dalam film-film lokal Banyumas. Seperti yang telah disebutkan di atas, film-film Banyumas biasanya ditandai dengan cerita/narasi, karakter dan bahasa yang bersifat lokal. Tapi apakah agenda festival beriringan dengan agenda artistik para pembuat film? Ataukah kata artistik ini terlalu jauh dari kesadaran pembuat film di Banyumas Raya?

Film-Film dalam FFP 2011
Melihat film-film FFP sejak tahun 2007 (penyelenggaraan pertama) tentu kita akan melihat beragam cara dan cerita yang muncul di dalam layar. Film-film ini menarik dalam hal pendekatannya yang lebih otentik dan kadang lugu pada medium film. Film-film macam Peronika (2004) dan Senyum Lasminah (2005) yang telah banyak diputar di luar Banyumas bisa menjadi contoh bagaimana persoalan lokal diangkat oleh film-film Banyumas. Dalam beberapa tahun terakhir volume film yang diproduksi semakin meningkat. Hal ini karena adanya kampanye lewat festival dan juga lewat lokakarya-lokakarya pembuatan film yang dilakukan oleh CLC, JKFB maupun komunitas (organisasi-tanpa-bentuk) lain di wilayah ini. Aktivisme film agaknya menjadi sangat insentif dan hasilnya, setiap tahun festival bisa memutar film rata-rata lebih dari 20 judul (tahun 2007, 30 film, 2008, 65 film, tahun 2009, 42 film, 2010, 15 film).

Bagaimana dengan perkembangan film-film ini sendiri? Dalam pengamatan saya dan seorang juri (Teguh Trianton, juri tahun 2010), film-film dari wilayah Banyumas dapat dikelompokkan dalam tema-tema seperti:
-persoalan-persoalan antara anak dan orang tua
-persoalan sekolah termasuk cinta
-kemiskinan dan persoalan sosial lain
(ketiga pendekatan tema di atas banyak menggunakan genre drama)
-hal-hal sehari-hari, biasanya menggunakan genre komedi

Dalam banyak film, persoalan-persoalan di atas bisa saling berkait kelindan sehingga irisan cerita/tema pun terjadi. Selain itu, sering muncul pula tema-tema yang berkaitan dengan nasionalisme yang muncul dalam bentuk partisipasi terhadap karnaval, peringatan hari nasional tertentu, dan lain sebagainya.

Festival tahun 2011 bisa menjadi contoh yang baik. Film pembuka berjudul Pigura merupakan karya dua orang siswa SMP, bernama Darti dan Yasin. Film ini bercerita tentang kerinduan Gati pada ayahnya yang telah lama menghilang (tidak dijelaskan mengapa/kemana hilangnya sang ayah). Tema yang relatif berat ini juga diangkat oleh film dalam kompetisi, Kalung Sepatu (karya Dwi Astuti) dengan ibu sang karakter yang telah meninggal, atau film Ngapurane Mak (karya Khotimah Apriani), sekali lagi ayahnya tiada dan ibunya sakit parah. Film lain yang juga cukup mewakili kecenderungan film-film produksi Purbalingga adalah film Hardiknas 2 Mei (karya Sugino), tentang perjuangan seorang siswa untuk mengikuti Hari Pendidikan Nasional.

Persoalan kemiskinan bukan hanya muncul secara dramatis dalam kisah-kisah dengan karakter anak-anak atau remaja ini, tapi juga muncul dalam bentuk komedi atau pun drama persahabatan yang lebih ringan. Film Pit Ontha (karya Osinur Lutfiana) atau film HaPe (karya Musliah) tentang seorang pengamen, Kadir yang ingin memiliki telepon genggam. Film-film lain mengambil inspirasi dari kejadian-kejadian spontan yang terjadi sehari-hari, kadang jenaka, kadang tidak penting, seperti film Deneng (karya Febrianti Ambar Larasati) tentang salah kirim SMS.

Meski komedi salah paham (macam film Peronika atau film Tasmini karya Tri Puspitasari) menjadi mode yang cukup populer bagi pembuat film Purbalingga, secara keseluruhan film-film pendek fiksi di festival ini terasa sangat berat kalau tidak bisa dibilang sedih. Film-film ini mencoba mengangkat cerita-cerita sehari-hari karakter Banyumas, namun dengan cara-cara ungkap yang kurang lebih sama dengan film-film Indonesia bahkan sinetron pada umumnya yang galau. Analisis ini mungkin terlalu mengada-ada dan terlalu menyakitkan untuk diajukan. Namun melihat film-film besutan para remaja ini, kita kadang kehilangan keceriaan dan keluguan mereka, alih-alih digantikan oleh film-film yang penuh dengan romantisme kemiskinan (seolah-olah menjadi miskin itu harus dikasihani, bukan dipertanyakan), pesan-pesan moralitas (terutama muncul dalam adegan sekolah di mana siswa dan penonton film diharuskan rajin belajar dan menghormati orang tua), serta keinginan untuk berpartisipasi dalam proyek nasional negara-bangsa Indonesia (ikut upacara bendera, karnaval 17-an, peringatan hari nasional, dan lain-lain). Apakah orang tua, kemiskinan, negara serta sekolah dipertanyakan? Dalam film-film pelajar Purbalingga, tidak. Situasi yatim atau yatim piatu, kemiskinan (misalnya, tidak bisa sekolah), ataupun keberadaan sekolah itu sendiri (lengkap dengan ujian nasional, karnaval hari nasional) tidak pernah dipertanyakan. Dalam banyak kasus, karakter-karakter dan pembuat film ini justru menjadi agen reproduksi ideologi dominan. Tanpa pertanyaan, apalagi perlawanan. Dan apakah makna film tanpa pertanyaan? Bagi saya, ini adalah akhir dari sebuah dialog dan yang lebih penting, akhir dari sebuah pendidikan kritis.

Kuantitas bisa jadi merupakan tingkat keberhasilan dalam festival ini. Tetapi apa makna film bagi sebuah komunitas kalau ia tidak mempertanyakan posisinya sendiri dalam masyarakat? Film-film Purbalingga ini menggembirakan dalam hal bahwa kita masih memiliki talenta-talenta baru yang menggunakan medium film sebagai alat ekspresinya. Namun ada ketegangan ketika alat-alat produksi film ini diambil dan digunakan oleh sekelompok generasi yang coba mengartikulasikan aspirasinya. Memang benar bahwa medium film bisa menjadi ruang dialog dan berbagi pengetahuan bagi pembuat dan penontonnya, namun saya lebih cenderung berhati-hati dalam menilai apakah film-film ini bisa menjadi medium pembebasan, setidaknya bagi pembuat filmnya sendiri.

Film-film ini dibuat dengan estetika amatir, dengan pengetahuan film yang diambil dari mentor, film-film lain yang dilihat, ataupun dari media seperti internet. Tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa pembuat-pembuat film masa kini (bukan hanya di Purbalingga) menggunakan televisi sebagai referensi utama penceritaan dan standar estetiknya. Maka pendekatan formalis film yang ingin mengejar standar estetika tentu tidak bisa berlaku. Maka apa yang tersisa? Tentunya penggunaan medium film sebagai alat penyadaran posisi mereka sendiri sebagai kelas menengah yang bisa sekolah, membaca dan mendapatkan akses ke alat-alat produksi film. Dalam hal ini, pendidikan kritis berguna untuk membuka selubung-selubung ideologis kelas menengah dan terutama hantu masa lalu Orde Baru yang rupanya masih bergentayangan di kota-kota maupun pedesaan di Indonesia.

Dalam konteks ini, film-film dari Purbalingga ternyata tidak berhasil melaksanakan tugas ini. Mengapa? Karena film-film yang dibuat baru mencapai tahap ‘film-film bioskop’ atau bahkan ‘sinetron-sinetron’ Indonesia berformat video dan bergambar lebih buruk dengan bahasa Jawa ngapak. Situasi ini memang patut disesalkan dan tidak boleh hanya dibebankan pada Festival Film Purbalingga yang telah bekerja keras untuk menjaga platform seperti ini. Pelajaran yang bisa diambil bagi kita semua dan terutama bagi festival lokal serta teman-teman yang berjuang di pengorganisasian masyarakat adalah bagaimana mendorong penyadaran kritis para pembuat film, lebih daripada menguasai teknis –teknis membuat film. Hanya dengan menyadarkan pembuat film akan posisinya di masyarakat, agenda seperti menciptakan ruang kritis, ruang eksperimentasi dan ruang apresiasi untuk berdialog dan berbagi pengetahuan akan tercipta.