Cinemaxx (ed. sejak Desember 2019, Lippo Group mengganti Cinemaxx menjadi Cinepolis) adalah nama jaringan bioskop baru kepemilikan Lippo Group, yang bergerak dalam jenis usaha ekshibisi dan distribusi film. Pada liputan Variety di Cannes 2014 tanggal 23 Mei 2014, dijelaskan bahwa,”Lippo sees Cinemaxx as part of a vertically integrated media empire spanning newspapers, TV (First Media, Big TV), cable and recently Internet service provision.” Apakah ini mengindikasikan integrasi vertikal industri media kepemilikan Lippo Group akan merambah ke jenis usaha film?
Apakah Integrasi Vertikal Film?
Tanggal 3 Mei 1948 mencatat sejarah penting dalam industri film Amerika, yaitu runtuhnya Hollywood Studio System. Sistem tersebut memperbolehkan sebuah entitas, yang disebut studio, untuk berperan tunggal sebagai pemilik serta pelaku usaha film dari hulu ke hilir atau integrasi vertikal—produksi, distribusi dan ekshibisi. Kasus ini mengacu pada bebeberapa studio, tetapi secara khusus Paramount Pictures, sebagai satu-satunya studio film Hollywood saat itu, yang menguasai ketiga usaha film tersebut.
Kasus ini muncul ke permukaan karena adanya gugatan resmi dari Mahkamah Agung Amerika terhadap Paramount Pictures. Penyebab kasus ini adalah adanya ketidakadilan pembelian dan penayangan film di bioskop milik studio, khususnya terkait film yang tidak diproduksi oleh studio tersebut. Pemutusan tali integrasi vertikal ini dikenal sebagai Paramount Decree. Alhasil, Paramount Pictures diputuskan menangani usaha produksi dan distribusi, sedangkan usaha ekshibisi dipegang oleh United Paramount Pictures, dengan syarat diversifikasi afiliasi bioskop.
Dampak dari keputusan ini adalah munculnya produser, studio dan bioskop independen. Bentuk kerjasama selanjutnya adalah dukungan finansial studio besar, melalui pembelian hak distribusi film produksi studio independen. Sedangkan usaha ekshibisi afiliasi dibatasi dalam bentuk pembatasan jumlah slot tayang, dan area geografis bioskop. Artinya integrasi vertikal sangat kondusif terhadap monopoli industri film akibat investasi modal skala besar.
Jepang dan Thailand
Eiren atau Motion Picture Producers Association of Japan (MPPAJ) adalah asosiasi produser film Jepang, yang terdiri dari empat perusahaan film terbesar yaitu: Toho, Toei, Sochiku dan Kadokawa. Mengapa sebuah asosisasi produser film hanya terdiri dari empat perusahaan saja? Jawabannya adalah karena keempat perusahaan tersebut melakukan integrasi vertikal utuh meliputi produksi, distribusi dan ekshibisi.
Seluruh produser film diluar anggota MPPAJ disebut sebagai produser film independen. Mereka juga memberlakukan peraturan tidak diperbolehkannya produser film independen untuk memasukkan film secara langsung ke bioskop, tanpa melewati distributor, yang juga MPPAJ. Hanya ada segelintir distributor independen yang diperbolehkan. Mereka adalah distributor yang memiliki sejarah hubungan personal, misalnya mantan pekerja MPPAJ.
Dampak dari integrasi vertikal di Jepang, menyebabkan banyak film independen kesulitan menjual filmnya. Sebagai gambaran: di tahun 2008, sejumlah 806 film tayang di bioskop dengan komposisi 418 film lokal dan 388 film impor. 17 film lokal yang diproduksi dan didistribusi oleh MPPAJ menguasai 84% dari angka gross box office film lokal (97.29 Billion JPY). Sedangkan 344 film lokal lainnya, atau film independen yang didistribusi oleh MPPAJ, berbagi 16% sisanya.
UniJapan, selaku organisasi dibawah Kementrian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) mengakui kesulitan usaha komersialisasi film independen dengan sistem ini. Film independen lainnya yang tidak didistribusikan oleh MPPAJ akan tayang di Mini Theaters (Art-house Cinema) yang tersebar di seluruh Jepang.
Di Thailand sistem kepemilkan jaringan bioskop dibagi berdasarkan daerah yaitu: Bangkok, Chiang Mai, North Zone, North East (Korat), East (Chonburi), dan South (Surat Thani).Pembagian ini menimbulkan jaringan bioskop yang berbeda di tiap daerah. Seorang produser atau distributor film asal Bangkok, bila menjual filmnya ke area lain di luar Bangkok, akan melakukan sistem jual-putus. Yang besarnya sekitar 8-10% dari box office Bangkok.
Di Bangkok, jaringan bioskop terbesar dimiliki oleh Major Cineplex, SF Cinema dan (yang akan muncul) Kantana Movie Mall (KMM). SF Cinema berkonsentrasi penuh pada kegiatan distribusi dan ekshibisi film impor, sedangkan film produksi lokal sifatnya minor. Sebaliknya Major Cineplex, selaku jaringan Cineplex terbesar, memiliki konsentrasi pada film lokal termasuk produksi dan distribusi film.
Kembali ke soal integrasi vertikal, baik Major Cineplex, SF Cinema, maupun KMM, semua melakukan integrasi vertikal secara utuh. Penyeimbang ekosistem industri film Thailand adalah (1) Adanya spesialisasi distribusi dan ekshibisi film lokal dan impor, (2) Kepemilikan bioskop berdasarkan daerah, dan (3) Kenyataan bahwa mayoritas film box office diproduksi oleh studio GTH (GMM, Thai, Hub Ho Hin) yang tidak terafiliasi dengan usaha ekshibisi. Contohnya Pee Mak, box office terbesar sepanjang sejarah film Thailand (18.1 Million THB). (Sumber: The Hollywood Reporter)
Film independen di luar studio akan melakukan pemutaran di Lido, Scala and House-RCA (Art-house Cinema) yang berlokasi di Bangkok.
Proyeksi Integrasi Vertikal Film di Indonesia
Cineplex21 selama ini fokus melakukan kegiatan ekshibisi film lokal dan impor, serta terafiliasi dengan distribusi film impor. Blitz Megaplex memiliki jumlah layar sekitar 10% dari kompetitornya, dan terafiliasi dengan usaha distribusi home video (DVD). Kedua jenis usaha tersebut termasuk kategori skala pasar minor. Dominasi Cineplex21 dalam rentang waktu yang panjang dan dalam skala nasional, tidak memunculkan kompetisi usaha distribusi film. Oleh karena itu, produser film merangkap sebagai distributor.
Cinemaxx selaku jaringan bioskop baru, akan melakukan kegiatan distribusi film. Di tahun 2009, First Media Entertainment, sebuah anak perusahaan Lippo Group dengan jenis usaha produksi film, memproduksi Sepuluh. Keberadaan First Media Entertainment (produksi) dan Cinemaxx (ekshibisi sekaligus distribusi) merupakan satu-satunya entitas (atau calon studio) tunggal pertama di Indonesia yang memiliki usaha film dari hulu ke hilir atau integrasi vertikal—produksi, distribusi, ekshibisi. Dalam skala modal yang sangat besar, integrasi ini akan memonopoli industri film seutuhnya.
Pembatasan Skala Afiliasi Usaha Distribusi dan Ekshibisi Film
Kedatangan Cinemaxx diyakini akan membawa angin segar dalam konstelasi perfilman Indonesia. Dari sisi keragaman maka akan muncul variasi film yang selama ini sangat sulit karena keterbatasan variasi bioskop.
Di sisi lain, kombinasi antara besarnya potensi ekonomi Indonesia—terkait geografis dan populasi—dengan belum jelasnya definisi jenis usaha film—terkait finansial dan modal—membuat proyeksi diatas tidak dapat dikesampingkan. Apalagi mengingat jenis usaha bioskop yang secara umum didominasi modal dibandingkan dengan keahlian film lainnya.
Titik krusial adalah pada pembatasan skala afiliasi usaha distribusi dan ekshibisi, bila tidak dimungkinkan adanya pemutusan total. Distributor dapat berafiliasi dengan Rumah Produksi melalui kepemilikan film bersama lewat pembelian hak tayang film. Iklim ini akan menciptakan rumah produksi dan/atau studio film di berbagai skala, sekaligus mengembalikan jenis usaha distribusi yang selama ini absen.
Untuk mengembangkan gagasan ini, usaha bioskop seyogyanya
- Kepemilikannya dibagi secara geografis
- Hanya dapat menerima film lewat distributor, melalui proses peralihan bertahap dari produser.
Sehingga, konsentrasi kebijakan finansial film dapat dipelopori dan diprioritaskan pada
- Jenis usaha distribusi, selaku pembeli film dari rumah produksi dan penjual film ke bioskop
- Jenis usaha produksi, dalam skala modal yang beragam
- Jenis usaha ekshibisi daerah yang akan menumbuhkembangkan pebisnis daerah dan kebijakan film daerah.
Jepang maupun Thailand, bukanlah contoh ideal sebuah industri film. Akan tetapi kedua negara tersebut mewakili kondisi lemahnya campur tangan pemerintah dalam memfasilitasi kebijakan film. Berbeda dengan Korea Selatan, di mana pemerintahnya sangat memfasilitasi kebijakan film. Oleh karena itu, kebijakan film bukanlah hal yang bisa di copy-paste dari satu Negara ke Negara lain.
Bagaimanakah pandangan Kemenparekraf dan Kemendikbud, selaku induk jenis usaha dan kegiatan film; Badan Perfilman Indonesia (BPI); Kemenkeu serta Kemendag; dan segenap pemangku kepentingan film lainnya?
Bangkok, 24 Mei 2014