Tampaknya ada yang salah dengan penyelenggaraan FFI 2012 hingga menimbulkan ketidakpuasan dan reaksi negatif yang meluas dan hampir merata terutama di kalangan pekerja, penggiat, dan pemerhati film nasional.
Di sisi kompetisi atau penjurian, ada kemiripan antara FFI 2012 dengan FFI 2006 yang telah melahirkan konflik besar dan perpecahan dalam industri film Indonesia. Beberapa pemenang kali ini dan enam tahun sebelumnya, termasuk dalam kategori terpenting, film terbaik, dianggap tidak layak mendapat (piala) Citra. Barangkali bukan film atau hasil kerja yang buruk—dan saya tidak mau sok ikut-ikutan menjadi juri—namun siapapun yang rajin menonton film Indonesia tahu masih ada pilihan lain yang lebih layak menang.
Ada etika profesional (tidak “saling menilai” apalagi “saling merendahkan”) yang membatasi para pekerja dan penggiat film yang tidak puas dengan hasil penjurian tersebut untuk tidak menyatakan secara terbuka. Bukankah para juri dan pemenang itu adalah kolega kita sendiri?
Pada 2006 sekelompok penggiat film yang menyebut diri Masyarakat Film Indonesia (MFI) menyuarakan protes dengan “pintu masuk” persoalan pelanggaran hak cipta penggunaan musik, disusul aksi pengembalian Piala Citra, serta seruan memboikot pelbagai kegiatan perfilman yang dilakukan pemerintah, termasuk FFI.
BPPN (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) kemudian memang membatalkan kemenangan film terbaik (Ekskul) dan sutradara terbaik (Nayato Fio Nuala). Namun pemerintah dan penggiat industri yang berkuasa saat itu terlampau bebal dan arogan buat memahami esensi tuntutan di balik pelbagai aksi tersebut, yaitu reformasi total dalam pengelolaan perfilman nasional, termasuk penyelenggaraan FFI.
Dengan skala dan persoalan yang berbeda-beda, hasil penjurian FFI (pernah diselenggarakan 1955, 1960, 1967, 1973-1992, dan 2004-2012) memang kerap menimbulkan kontroversi. Padahal, boleh dibilang selama itu pula sistem penjurian FFI diperbaiki, dan terbuka untuk terus diperbaiki dari waktu ke waktu.
Kontroversi
FFI 1955 memunculkan pemenang kembar untuk aktor utama, aktris utama, dan aktor pembantu. Hal yang sama terulang pada 1974, namun dengan pembedaan tingkat pemenang. Film, aktor utama, dan aktris utama “dengan pujian” menerima Citra, sedangkan yang disebut “dengan penghargaan” tidak, sehingga dianggap runner up. Tahun itu juga tidak ada pemenang aktor dan aktris pembantu.
Kasus tidak ada pemenang pernah pula terjadi sebelum dan sesudahnya. Pada 1967, 1977, dan 1984 tidak ada film terbaik. Sementara pada 1980 dan 1984 masing-masing tidak ada pemenang aktor utama dan aktris pembantu.
Munculnya tiga pemenang kembar pada FFI 1955 dianggap usaha menyenangkan Djamaluddin Malik, pendiri Persari yang juga penggagas dan “cukong” FFI. Tiga pemenang (A Hadi, Fifi Young, Awaludin) adalah bintang Persari, yang dicurigai dimenangkan untuk mendampingi pemenang sesungguhnya dari Perfini (AN Alcaff, Dhalia, Bambang Hermanto). Begitu pula pemberian penghargaan sutradara terbaik pada Lilik Sudjio dalam film produksi Persari, Tarmina, mengalahkan Usmar Ismail pada Lewat Djam Malam produksi Perfini.
Pada 1960, juri yang dikuasai penggiat film dan kebudayaan komunis memilih Turang karya Bachtiar Siagian, seorang pengurus Lekra, sebagai film terbaik. Padahal ketika itu setidaknya ada tiga film Usmar Ismail yang berkualitas baik, yaitu Tiga Dara (1956), Asrama Dara (1958), dan Pedjuang (1960). Konon karena itu Bapak Perfilman Indonesia tersebut tidak pernah mau lagi mendaftarkan film-filmnya mengikuti FFI.
Perhelatan berikutnya, 1967, sangat bersifat politis, antara lain untuk menggairahkan kembali produksi film nasional yang lama tersendat akibat pergolakan politik nasional. Karena itu juri bersikap sangat keras hingga tidak ada film terbaik.
Sementara juri FFI 1977 memutuskan tidak ada film terbaik karena tidak satu film pun memenangi sekaligus empat kategori yang disyaratkan: penyutradaraan, penulisan skenario, penataan fotografi, dan penyuntingan. Persyaratan tersebut ditetapkan sendiri oleh para juri, alias bukan kriteria baku.
Alasan tidak ada film terbaik pada FFI 1984 berbeda lagi. Favorit pemenang, Pengkhiantan G-30-S PKI (Arifin C Noer), oleh juri diangap bukan film cerita, tetapi lebih merupakan doku-drama.
Mulai 1977 ditetapkan persyaratan pemenang dalam kategori pemeranan harus mengisi suara sendiri, bukan oleh pengisi suara pengganti (dubber). Karena aturan baru itu, Christine Hakim dipilih menjadi aktris utama terbaik di film Sesuatu yang Indah (Wim Umboh), padahal aktingnya jauh lebih bagus dalam Si Doel Anak Modern (Sjuman Djaya). Di tahun berikutnya, kemenangan Kaharuddin Syah (Letnan Harahap) dan Joice Erna (Suci Sang Primadona) dipersoalkan karena keduanya tidak mengisi suara sendiri.
Selama era baru FFI, selain 2006 dan 2012, kontroversi penjurian juga terjadi pada 2010. Sang Pencerah (Hanung Bramantyo) yang tidak termasuk dalam sepuluh film pilihan komite seleksi ikut dinilai dewan juri. Akibatnya, pengumuman nominasi yang diadakan di Batam dibatalkan. Dewan juri kemudian diberhentikan panitia dan diganti oleh yang baru.
Perbaikan
Usaha memperbaiki sistem penjurian FFI bukannya tidak pernah dilakukan.
Tiga festival pertama memang diselenggarakan sangat seadanya, sehingga belum memiliki sistem yang baku. FFI 1955 dan 1960 bisa dibilang usaha pribadi Djamaluddin Malik, sedangkan pada 1967 bersifat politis. Tidak mengherankan jika hasilnya terkesan seperti bagi-bagi piala untuk Perfini, Persari, dan kelompok kiri.
Meskipun sudah diselengarakan secara rutin oleh pemerintah, lima FFI berikutnya (1973-1977) masih diadakan dengan sekadar mencontoh festival-festival di luar negeri. Ketentuan atau aturan penjurian pun belum dibakukan sehingga memunculkan banyak kejanggalan dan ketidakpuasan.
Pada 1973 ketidakpuasan mencuat karena Perkawinan (Wim Umboh) memborong 8 dari 12 Citra. Di tahun berikutnya, selain memunculkan dua pemenang aktor dan aktris utama, film terbaik penerima Citra (“dengan pujian”), Si Mamad (Sjuman Djaya), hanya meraih dua Citra, lebih sedikit dibanding empat Citra untuk runner up (“dengan penghargaan”), Cinta Pertama (Teguh Karya). Kembali terjadi pada 1975, film terbaik Senyum di Pagi Bulan Desember (Wim Umboh) juga hanya memperoleh dua Citra, sementara Ranjang Pengantin (Teguh Karya) memborong lima Citra.
Puncaknya 1977, ketika juri memutuskan tidak ada film terbaik berdasarkan persyaratan yang dibuatnya sendiri. Selain itu juri juga melontarkan kritik keras yang membuat kalangan perfilman tersinggung dan sangat marah.
Maka, mulai 1978 disusunlah “buku putih” berisi aturan pelaksanaan FFI, termasuk penjurian, yang diberlakukan secara konsisten setiap tahun. Dokumen berjudul Peraturan-peraturan dan Ketentuan FFI (kini Pedoman Pelaksanaan FFI) itu dari waktu ke waktu diubah dan diperbaiki mengikuti perkembangan situasi. Meskipun di dalamnya tidak tercantum persyaratan yang digunakan juri FFI 1977, kriteria tersebut digunakan lagi oleh juri FFI 1980. Akibatnya,Perawan Desa (Frank Rorimpandey) secara mengejutkan dinobatkan menjadi film terbaik, mengalahkan beberapa film lain yang dianggap lebih layak.
Pada 1979 mulai digunakan sistem nominasi yang terdiri dari lima calon pemenang. Tiga tahun berselang, 1982, mulai diterapkan penjurian dua tahap untuk mengurangi beban dewan juri yang mesti menonton dan menilai seluruh film peserta. Pertama oleh Komite Pengaju Unggulan (KPU), yang bertugas menyeleksi beberapa film pilihan. Kedua, penetapan nominasi dan pemilihan pemenang oleh dewan juri. Tahun berikutnya KPU berubah nama menjadi Komite Seleksi, dan masih terus digunakan sampai sekarang. Jauh sebelum itu, pada 1976 pernah dilakukan seleksi serupa oleh Dewan Penilai Awal yang terdiri dari 14 wartawan film, namun kemudian ditiadakan.
Menyusul kontroversi FFI 1984 yang tidak memunculkan lagi pemenang film dan aktris pembantu terbaik, pada 1985 dibuat tambahan ketentuan harus ada pemenang di semua kategori yang memiliki nominasi. Bersamaan dengan itu ditambahkan pula aturan bahwa anggota juri yang terlibat dalam produksi film diperbolehkan menjadi juri, namun tidak ikut menilai dalam kategori di mana dirinya terlibat. Sebelumnya, Umar Kayam yang ditunjuk menjadi ketua dewan juri FFI 1984 harus mengundurkan diri karena ikut bermain dalam Pengkhiatan G-30-S PKI (Arifin C. Noer).
Keberadaan Komite Seleksi dalam perjalanannya beberapa kali menimbulkan kontroversi. Pada 1992 dan 2010, misalnya, komite hanya meloloskan delapan film namun dipaksa menambah beberapa film lagi sesuai ketentuan. Komite yang bertugas menilai film secara keseluruhan tersebut juga kerap dikritik karena tidak meloloskan film-film yang dianggap memiliki unsur-unsur yang layak dinominasikan.
Karena dinilai tidak fokus dan tugasnya tumpang tindih dengan dewan juri, pada FFI 2011 Komite Seleksi diubah menjadi Komite Nominasi. Sesuai namanya, komite beranggota 21 pekerja film itu fokus bekerja menilai unsur-unsur teknis dalam setiap film untuk dinominasikan. Dewan juri kemudian tinggal memilih pemenang.
Tapi tahun berikutnya, 2012, Komite Nominasi ditiadakan dan kembali dilakukan penjurian awal oleh Komite Seleksi. Seperti sebelum-sebelumnya, baik nominasi maupun pemenang dipilih oleh dewan juri.
Bukan Satu-satunya
Berbagai kontroversi, kritik, kecaman, bahkan pemboikotan oleh sekelompok penggiat dan pekerja film sejak 2007, boleh dibilang tidak melunturkan kebesaran FFI serta menihilkan gengsi dan reputasi pemenangnya. Hingga kini FFI masih merupakan festival nasional yang paling kuat citra, awareness, dan ekposurnya.
Padahal, meskipun jumlahnya tidak banyak, FFI bukan satu-satunya kompetisi film Indonesia.
Forum Film Bandung, sekumpulan intelektual dan budayawan Kota Kembang yang dimotori antara lain Almarhum Prof. Sudjoko, Eddy D. Iskandar, dan Chand Parwez Servia, sejak 1987 mengadakan Festival Film Bandung (FFB). Meskipun melombakan juga film televisi dan impor, FFB tidak pernah putus digelar sampai kini, bahkan sepanjang sebelas tahun FFI mati suri (1993-2003).
Sedikit berbeda dengan FFI, FFB menilai hanya film-film yang beredar di Bandung alias tanpa pendaftaran. Jurinya para angggota forum. Tapi karena hampir semua film nasional beredar di sana, cakupan kompetisi FFB praktis bersifat nasional. Apalagi setelah dalam gelaran ke-25, Mei 2012, acara pengumuman pemenangnya disiarkan langsung oleh SCTV.
Pada 2006 dan 2007, stasiun televisi Jak TV bersama tabloid Bintang Indonesia dan Cek & Ricek pernah menyelenggarakan Festival Film Jakarta (FFJ). Dewan juri terdiri dari wartawan yang sebelumnya telah mengikuti lokakarya yang dipandu sejumlah pekerja film.
Sementara itu saluran televisi MTV Indonesia juga mempunyai MTV Indonesia Movie Awards (MIMA). Pernah diadadakan pada 2004-2007, MIMA merupakan penghargaan film keempat MTV di dunia setelah acara yang sama di AS, Rusia, dan Amerika Latin. Selain kategori umum seperti film dan aktor terbaik, kompetisi ini juga mempunyai kategori yang tak lazim seperti Best Crying Scene (Adegan Tangisan Terbaik) atau Most Heart Melting Moment (Momen Paling Menyentuh Hati).
Jakarta International Film Festival (Jiffest) pun tak ketinggalan menggelar Indonesian Feature Film Competition selama lima tahun (2006-2010). Dengan juri internasional, dilombakan dua kategori: Best Film dan Best Director. Pada saat bersamaan juga diadakan Audience Award berdasarkan pilihan penonton yang menyaksikan tayangan gratis film-film peserta kompetisi selama festival berlangsung.
Setelah pada 2011 FFB praktis sendirian mengimbangi FFI, tahun lalu muncul inisiatif menarik dari sekelompok pecinta film yang aktif di media sosial. Mereka menyelenggarakan Piala Maya. Di samping film bioskop, kompetisi ini juga melombakan film pendek, animasi, dokumenter, berbahasa daerah, dan penulisan kritik. Penilaian dilakukan oleh seratus angota Komite Juri, yang dalam situsnya disebutkan terdiri dari sineas, jurnalis film, praktisi periklanan dan media, kritikus film, akademisi, penyiar radio, blogger, fashion designer, ilustrator, pelaku seni, penulis, mahasiswa perfilman, perwakilan komunitas film, dan lain-lain
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai 2012 juga menyelenggarakan Apresiasi Film Indonesia (AFI). Kompetisi yang bertujuan mendorong tumbuhnya film-film Indonesia berbasis nilai budaya, kearifan lokal, dan pembangunan karakter bangsa itu sayangnya belum mempunyai konsep penyelenggaraan yang matang. Hal itu bisa dilihat dari sistem penjurian yang baru sekadar menyontek FFI, termasuk kategori-kategori yang dilombakan.
Dalam bentuk yang murni kompetisi karena memang tidak berpretensi membuat festival dengan pelbagai kegiatan pendukung dan penyemaraknya seperti FFI, FFJ atau Piala Maya, majalah Tempo dua tahun terakhir (2011-2012) melakukan pemilihan Film Pillihan Tempo. Para wartawan majalah itu, bersama seorang pengamat film yang diundang, menilai dan memilih sutradara, penulis skenario, aktor, aktris dan pemeran pembantu terbaik.
Lebih mirip penghargaan Screen Actor Guild Awards di AS, stasiun televisi RCTI sejak 1987 rutin mengadakan Indonesian Movie Awards. Yang dilombakan hanya kategori-kategori pemeranan, baik yang terbaik (pilihan juri) maupun yang favorit (pilihan penonton). Kompetisi serupa dengan nama Pemilihan Best Actor & Best Actress pernah diadakan oleh PWI Jaya pada 1970-1974. Dalam setiap kategori, selain pemenang utama juga dipilih empat runner up.
Tiga Agenda
Perfilman merupakan industri yang unik. Film adalah produk hiburan sekaligus produk budaya. Konsekuensinya, ia tidak mungkin dibangun melulu dengan mengikuti permintaan atau selera pasar, melainkan mesti diimbangi dengan apresiasi estetika dan penghargaan kualitas dalam bentuk kritik dan kompetisi (di sini lebih dikenal dengan istilah festival).
Dalam bahasa lebih sederhana: faktor komersial memang penting, namun kualitas estetika sama pentingnya. Artinya, industri perfilman yang sehat adalah sebuah mata rantai produksi dan perdagangan yang menghargai keduanya secara sejajar.
Sayangnya, kritik-kritik film di media kita hingga saat ini belum mampu menjadi ruang apresiasi yang kuat dan dihormati. Itulah barangkali sebabnya sepanjang sejarah FFI terlihat paradoksal: dibenci sekaligus disayang. Bagaimana pun, para pelaku industri dan penonton yang “melek” masih memerlukan panduan atau tolok ukur kualitas estetika yang bisa diperoleh melalui ajang-ajang penghargaan.
Yang menarik sekaligus sebetulnya menyedihkan, kritik dan kecaman terhadap FFI selama ini ternyata tidak melahirkan banyak kompetisi atau festival lain, apalagi yang kelasnya setara dengan itu. Padahal, sebagaimana kita tidak mungkin memperkuat ruang apresiasi dengan hanya mengandalkan satu-dua penulis kritik, mustahil juga melahirkan ruang penghargaan yang disegani melalui FFI saja. Di sisi sebaliknya, FFI sendiri tidak mungkin diperkuat hanya dari dalam, tetapi juga memerlukan tekanan dari luar melalui kehadiran banyak kompetisi alternatif.
Dengan demikian, setidaknya ada tiga agenda besar yang mesti dikerjakan bersama-sama buat membangun ruang penghargaan kualitatif yang kuat, yakni memperbanyak kompetisi film nasional, melanjutkan dan memperkuat kompetisi yang telah ada, serta mendorong terjadinya perbaikan paradigmatik di dalam FFI.
Banyak kompetisi akan melahirkan persaingan yang saling memperkuat, dan bukan sebaliknya. Semakin banyak kompetisi juga akan memunculkan lebih banyak sudut pandang penilaian dan jumlah penerima penghargaan, karena setiap tahun industri film Indonesia melahirkan lebih dari satu film, aktor, dan pekerja film lain yang pantas dihargai sebagai yang terbaik.
Kompetisi-kompetisi yang masih berlangsung setiap tahun, termasuk FFI, oleh karenanya perlu lebih memperkuat diri. Antara lain dengan mematangkan konsep kompetisi dan festivalnya, membakukan semua aturan main, serta memaparkan “pertanggungjawaban” penyelenggaraan dan penjurian secara terbuka kepada seluruh pemangku kepentingan. Di zaman internet murah seperti sekarang setidaknya di masing-masing situs penting dijelaskan dan didokumentasikan segala aspek mengenai penyelenggaraan dan penilaian, mulai daftar film yang dinilai, nama-nama dan kompetensi juri, mekanisme penjurian, daftar nominasi dan pemenang, dan lain sebagainya.
Kompetisi-kompetisi di luar FFI juga tidak perlu sungkan lagi menggunakan istilah-istilah baku kompetisi, seperti “dewan juri” dan gelar “terbaik”. Tidak ada lagi alasan mengunakan istilah yang mengada-ada: “terpuji”, “terpilih”, “regu pengamat”, “komite penilai/pemilih”, dan lain-lain. Esensi kompetisi di manapun adalah memilih yang terbaik dan para pemilihnya disebut juri. FFB di zaman Orde Baru terpaksa menggunakan “eufimisme” itu sebagai “kompromi” agar tidak dianggap menyaingi atau melawan FFI.
Khusus FFI, jika tidak mau semakin kehilangan kewibawaannya, pemerintah atau siapapun yang dipercaya menjadi penyelenggara harus segera melakukan sejumlah perubahan mendasar. Ketidakpuasan terhadap hasil penjurian FFI 2006 dan 2012, misalnya, bermuara dari semakin melebarnya kesenjangan antara penilaian juri dengan penilaian pekerja, penggiat, dan pemerhati film secara umum.
Penyebabnya, sistem penjurian warisan lama dalam situasi hari ini sudah terlampau eksklusif. Bahkan setelah tahun lalu jumlah anggota Komite Seleksi dan Dewan Juri ditambah menjadi 9 dan 15 orang, dari sebelumnya hanya 5-7 orang. Yang kini diperlukan dalam penjurian bukan sekadar jumlah, melainkan kompetensi. Idealnya, penilaian dilakukan oleh para penggiat dan pekerja film yang benar-benar memahami bidang keahliannya. Oleh karena itu pemerintah mesti mendorong dan menfasilitasi kelahiran kelompok-kelompok profesi atau bidang keahlian yang representatif, di mana nantinya antara lain bertanggung jawab menjadi juri FFI.
Sebelum hal itu terjuwud bisa dijembatani dengan sistem penjurian partisipatif yang melibatkan sebanyak-banyaknya pekerja film dari setiap bidang keahlian. Dengan itu diharapkan berlangsung penilaian teknis yang lebih cermat oleh ahli di masing-masing bidang, sehingga kualitas nominasi serta pemenang bisa menjadi lebih baik.
Di sini faktor representasi faktual menjadi teramat penting. Sampai kini tampaknya pemerintah dan penyelenggara FFI masih menyakini organisasi-organisasi profesi warisan Orde Baru (KFT, Parfi, PPFI, dan lain-lain) sebagai representasi pekerja film. Faktanya sebagian besar pekerja film yang aktif hari ini bukan anggota organisasi tersebut. Artinya, justru merekalah representasi faktual pekerja film yang seharusnya dilibatkan dalam penjurian.
Tanpa mengurangi hormat kepada para senior perfilman yang aktif berkarya pada 1970-1990an, termasuk juga budayawan, akademisi, dan pengamat senior yang hingga tahun lalu masih dipercaya menjadi juri FFI walaupun mungkin semakin jarang menonton film Indonesia, penting diingatkan bahwa sebagaimana banyak hal lain dalam kehidupan sekarang, perfilman dan berbagai aspek yang melingkupinya telah berkembang dengan kecepatan luar biasa. Perkembangan teknologi digital, misalnya, yang membuat semua orang bisa mudah merekam gambar, telah mengubah konsep-konsep lawas mengenai kriya dan estetika.
Tidak ada pilihan lain, pemerintah atau penyelenggara FFI mesti memiliki kesadaran dan terutama keberanian melakukan pergantian rezim juri. Sudah saatnya memberikan kepercayaan kepada para penggiat dan pekerja film yang kini masih aktif bekerja untuk mengevaluasi dan menilai sendiri apa yang “baik” dan “buruk” di dalam diri dan karya-karyanya. Percayalah, mereka lebih memahami perkembangan serta dinamika mutakhir teknik dan estetika perfilman.
Perbaikan mustahil dilakukan hanya dengan memperbaiki mesin (sistem) yang usang, melainkan juga membutuhkan penggatian operator-operatornya (juri). Tanpa itu, FFI dan perfilman nasional akan terus berputar-putar dalam lingkaran setan persoalan tak berujung, sebagaimana politik kekuasaan kita yang masih terus dikuasai rezim lama alias stok jadul.