Berdasarkan data yang dihimpun filmindonesia.or.id dalam kurun waktu bulan Agustus 2012-Februari 2013, terdapat pertambahan delapan bioskop Grup 21 dan dua bioskop Grup Blitzmegaplex. Sayang belum diperoleh data bioskop yang tidak termasuk dalam dua jaringan besar itu. Kabar yang belum bisa dikonfirmasikan: kondisi terakhir sebagian bioskop-bioskop terakhir ini semakin memprihatinkan. Ini salah satu akibat dari upaya gencar Grup 21 untuk mendigitalisasikan alat pertunjukannya, hingga praktis sekarang tidak ada lagi proyektor seluloid.
Dari 10 bioskop tambahan di atas, pertambahan enam bioskop diantaranya masih terpusat di pulau Jawa. Kota Tangerang/Tangerang Selatan dan Jakarta masing-masing mendapatkan pertambahan dua bioskop, sedangkan kota Bandung dan Cirebon masing-masing mendapatkan pertambahan satu bioskop. Sisanya, tersebar di pulau Bali, Kalimantan dan Batam dengan rincian dua bioskop di kota Denpasar, satu di kota Balikpapan, dan satu lagi di kota Batam. Dari 10 bioskop dengan total 46 layar ini, kota yang memiliki pertambahan jumlah layar paling banyak adalah kota Tangerang/Tangerang Selatan dengan 13 layar.
Secara keseluruhan, pertambahan ini membuat jumlah bioskop Grup 21 meningkat dari 145 bioskop dengan 609 layar pada bulan Agustus 2012, menjadi 153 bioskop dengan 645 layar pada Februari 2013. Blitzmegaplex juga mengalami peningkatan dari tujuh bioskop dengan 66 layar menjadi sembilan bioskop dengan 76 layar. Dengan demikian, jumlah bioskop secara keseluruhan hingga Februari 2013 sebesar 162 Bioskop dengan 721 layar.
Pertambahan bioskop ini juga diikuti oleh kenaikan harga tiket bioskop. Kenaikan ini terjadi terhadap hampir semua kategori bioskop Grup 21 yaitu 21, XXI, dan Premiere, baik pemutaran biasa maupun 3D. Hanya kategori IMAX yang tidak mengalami kenaikan harga tiket. Kenaikan harga tiket ini juga terjadi pada pemutaran hari Senin-Kamis, Jumat, maupun harga tiket saat akhir pekan/libur.
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa rata-rata harga tiket Grup 21 secara umum mengalami kenaikan sebesar Rp 2.541 atau naik 7,42 persen untuk pemutaran biasa, dan sebesar Rp 900 atau naik 2.37 persen untuk pemutaran 3D.Kenaikan tertinggi rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran biasa hari Senin-Kamis yaitu sebesar Rp 2.672 atau naik 9,14 persen. Sedangkan kenaikan terendah rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran 3D saat akhir pekan/libur, yaitu sebesar Rp 120 atau naik 0,24 persen.
Kategori Premiere secara umum mengalami kenaikan dari Rp 35.000 – Rp 150.000 menjadi Rp 50.000 – Rp 150.000, atau rata-rata Rp 77.888 menjadi Rp 83.922 (naik sebesar Rp 5.801 atau 8.07 persen). Sedangkan film 3D mengalami rata-rata kenaikan yang sama. Hal ini karena kategori Premiere tidak membedakan harga tiket antara pemutaran biasa dan 3D seperti yang diberlakukan pada kategori 21 dan XXI. Kenaikan tertinggi rata-rata harga tiket terjadi pada hari Jumat, dari Rp 73.929 menjadi Rp 80.882 (naik sebesar Rp 8.508 atau 9,41 persen). Sedangkan, kenaikan terendah rata-rata harga tiket terjadi pada hari Senin-Kamis, dari Rp 56.429 menjadi Rp 60.588 (naik sebesar Rp 4.160 atau 7,37 persen). Harga tiket terendah pada kategori premiere mengalami kenaikan yang cukup signifikan sebesar Rp 15.000 atau 42,86 persen, yaitu dari sebelumnya Rp 35.000 menjadi Rp 50.000.
Kategori XXI secara umum mengalami kenaikan harga tiket dari Rp 15.000 – Rp 75.000 menjadi Rp 20.000 – Rp 75.000. Artinya yang rata-rata sebelumnya Rp 33.511 menjadi Rp 35.165 (naik sebesar Rp 1.654 atau 4.94 persen) untuk pemutaran film biasa, dan dari Rp 38.467 menjadi Rp 39.259 (naik sebesar Rp 792 atau 2.06 persen) untuk pemutaran film 3D. Kenaikan tertinggi rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran Senin-Kamis, yaitu dari Rp 29.153 menjadi Rp 30.692 atau naik sebesar 5,28 persen. Sedangkan kenaikan terendah rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran 3D saat akhir pekan/libur, dari Rp 50.625 menjadi 50.833 (naik Rp 208 atau sebesar 0,41persen). Harga tiket terendah film biasa naik dari Rp 15.000 menjadi Rp 20.000 (naik Rp 5.000 atau 33.33 persen), sedangkan kategori 3D mengalami kenaikan dari Rp 20.000 menjadi Rp 25.000 (naik Rp 5.000 atau 25 persen). Harga tiket tertinggi juga mengalami kenaikan. Kenaikan ini terjadi pada pemutaran 3D, yaitu dari sebelumnya Rp 70.000 menjadi Rp 75.000 (naik Rp 5.000 atau 7,14 persen). Dari semua kategori bioskop, hanya kategori XXI yang mengalami kenaikan untuk harga tiket tertinggi.
Pemutaran di Kategori 21 juga naik dari Rp 9.000 – Rp 50.000 menjadi Rp 10.000 – Rp 50.000. Secara umum rata-rata kenaikannya 4.38 persen atau Rp 1.168, dari sebelumnya Rp 26.689 menjadi Rp 27.857. Khusus pemutaran 3D naik dari sebelumnya Rp 36.508 menjadi Rp 37.479 (naik Rp 971 atau 2.66 persen). Kenaikan tertinggi rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran Senin-Kamis, yaitu dari sebelumnya Rp 23.319 menjadi Rp 25.643 (naik Rp 2.324 atau 9,97persen). Sedangkan, kenaikan terendah rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran biasa hari Jumat, yaitu dari Rp 27.812 menjadi Rp 28.286 (naik Rp 474 atau 1.7 persen).
Bila lebih dicermati, pada kategori 21 terjadi penurunan rata-rata harga tiket. Pada akhir pekan/libur dari sebelumnya rata-rata Rp 32.870 menjadi rata-rata Rp 32.071 (turun sebesar Rp 798 atau 2,43persen).Pemutaran 3D juga mengalami penurunan pada akhir pekan/libur dari sebelumnya Rp 49.444 menjadi Rp 49.118 (turun sebesar Rp 327 atau 0,66 persen).
Salah satu faktor penurunan harga tiket ini adalah karena diterapkannya sistem “pukul rata”, yaitu pemberlakuan harga tiket yang sama untuk setiap hari pemutaran. Sampai dengan Februari 2013, terdapat 18 bioskop Grup 21 dengan kategori 21 yang menerapkan sistem “pukul rata” seperti dapat dilihat dalam tabel berikut :
Penurunan terjadi bulan Agustus 2012 pada harga tiket akhir pekan/libur yang kisarannya Rp 25.000 s/d Rp 35.000. Saat diberlakukannya sistem pukul rata, harga tiket akhir pekan/libur menjadi Rp. 25.000. Meskipun terjadi penurunan pada akhir pekan/liburan, sistem pukul rata itu sebenarnya tidak berdampak pada rata-rata harga tiket seluruhnya. Sebelumnya, harga tiket berkisar pada Rp 20.000-25.000, kemudian dipukul rata menjadi Rp 25.000. Kondisi tersebut yang menjadi penyebab tingginya presentase kenaikan harga tiket bioskop kategori 21 untuk waktu pemutaran Senin-Kamis sebesar 9,97 persen.
Jaringan Blitzmegaplex yang menguasai enam persen bioskop nasional juga menaikkan harga tiket: dari Rp 15.000 – Rp 35.000 menjadi Rp 15.000 – Rp 55.000. Rata-rata harga tiket secara umum mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp 26.429 menjadi sebesar Rp 28.016 (naik Rp 1.587 atau5,67 persen). Kenaikan tertinggi rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran Senin-Kamis, yaitu dari sebelumnya Rp 20.714 menjadi Rp 22.778 (naik Rp 2063 atau 9,06 persen). Sedangkan kenaikan terendah rata-rata harga tiket terjadi pada pemutaran akhir pekan/libur, yaitu dari Rp 37.143 menjadi Rp 37.778 (naik Rp 635 atau 1,68 persen).
Gross
Berdasarkan rata-rata harga tiket Grup 21 dan Blitzmegaplex terakhir ini bisa disimpulkan bahwa pendapatan bioskop dan pemilik film naik dibanding sebelummnya. Dan karena penambahan jumlah layar/bioskop dan perubahan harga tiket tidak berlangsung serta-merta, maka pendapatan film yang beredar bulan Maret umpamanya berbeda dengan film yang beredar di bulan Desember 2012, dan awal tahun 2013.
Bila harga tiket tadi disandingkan dengan data jumlah penonton yang telah dihimpun filmindonesia.or.id, sebenarnya dapat diperkirakan besaran gross yang didapat untuk setiap film Indonesia.Untuk mendapatkan gross film, harus diperhitungkan terlebih dahulu besaran rata-rata harga tiket bioskop.
Pada Grup 21, lebih aman perhitungan pendapatan gross itu hanya menggunakan harga tiket rata-rata kategori XXI dan 21, karena kategori Premiere jarang sekali menayangkan film Indonesia. Kalaupun kategori ini memutar film Indonesia, biasanya tidak pernah lebih dari satu minggu penayangan, dan dengan jumlah layar yang sangat minim, hingga jumlah penontonnya tidak terlalu berarti secara keseluruhan.Kita abaikan juga rata-rata harga tiket pemutaran 3D, mengingat film Indonesia jarang sekali memproduksi film dengan format 3D. Yang juga harus diperhitungkan adalah bahwa film nasional lebih banyak ditayangkan di layar 21 dibanding layar XXI. Memang menjadi rumit perhitungannya, atau bisa juga dibilang hampir mustahil mendapatkan pendapatan gross pasti, kecuali kalau memiliki angka jumlah penonton di masing-masing kategori.
Dengan pertimbangan itu, angka aman/konservatif atau bisa juga dikatakan angka “bawah” untuk menghitung gross adalah Rp 30.000. Perhitungannya: rata-rata harga tiket kategori 21 dan XXI yaitu sebesar Rp27.857dan Rp 35.165. Dengan begitu angka rata-rata yang didapat adalah sebesar Rp 31.511. Angka rata-rata tersebut rasanya masih terlalu besar jika kita melihat kecendrungan film Indonesia yang lebih banyak diputar di kategori 21 dibandingkan XXI. Maka, angka yang dianggap paling aman adalah sebesar Rp 30.000. Angka ini lebih mendekati kenyataan, bila dicek silang dengan pendapatan bersih produser yang berkisar antara Rp 13.500 – Rp 14.000. (Harap diingat bahwa pendapatan bersih produser dan pemilik bioskop adalah hasil gross dikurangi pajak tontonan, lalu dibagi dua. Pajak tontonan bervariasi di tiap daerah. Apalagi juga sulit diperoleh data berdasar bioskop atau wilayah/kota tertentu.Hal ini juga menyulitkan untuk perhitungan rata-ratanya. Pendapatan produser masih harus dikurangi lagi untuk iklan.)
Untuk Grup Blitzmegaplex, perhitungan rata-rata harga tiket jauh lebih mudah, karena pemberlakuan harga tiket khusus untuk film Indonesia. Dengan rata-rata harga tiket pada Senin-Kamis sebesar Rp 22.778, Jumat Rp 29.444, akhir pekan/libur sebesar Rp 37.778, maka rata-ratanya jatuh pada angka Rp 30.000.
Dengan mengacu pada rata-rata harga tiket Grup 21dan Blitzmegaplex sebesar Rp 30.000, lalu dikalikan dengan perolehan jumlah penonton, kita bisa dapat mendapatkan perkiraan besaran pendapatan gross sebuah film. Sebagai ilustrasi mari kita lihat berapa besar pendapatan gross dua film tersukses tahun 2012. Habibie & Ainun yang meraih 4.293.988 penonton sampai tanggal 17 Februari 2013, bisa memperoleh pendapatan gross sebesar Rp 128.819.640.000 (hampir Rp 129 milyar). Sementara 5 Cm yang mendapat 2.378.066 penonton bisa meraup Rp 71.341.980.000 (Rp 71 milyar lebih).
Peringkat ketiga 2012, The Raid, tidak bisa diperlakukan sama dengan dua film teratas tadi, karena film terakhir ini beredar pada bulan Maret 2012. Saat itu kenaikan harga belum terjadi. Diperkirakan film ini memperoleh pendapatan gross sekitar Rp 43 milyar, dengan jumlah penonton 1.761.240. Dengan perkiraaan ini, maka tampak jelas akibat kenaikan harga tiket pada pendapatan.
Gambaran umum sampai dengan 17 Februari 2013, jumlah penonton film Indonesia dari 83 judul yang beredar pada tahun 2012 sebanyak18.332.464 penonton. Rata-rata jumlah penonton per film sebesar 220.873 penonton. Perkiraan pendapatan gross dari 83 film tersebut adalah Rp 459.605.174.000.Itu berarti, perkiraan rata-rata gross per film adalah sebesar Rp 5.537.411.735. Angka rata-rata jumlah penonton maupun gross ini sulit dijadikan acuan akibat rentang jumlah penonton tertinggi dan terendah yang terlalu ekstrem (antara 3.000-an hingga 4 juta lebih).
Jika gross minimal yang harus didapat oleh para produser agar “balik modal” sekitar empat milyar rupiah, dengan rata-rata harga tiket Rp 30.000, itu berarti setiap film yang beredar harus ditonton sekitar 135.000 penonton. Artinya, film yang “tidak merugi” hanya 25 film dari 83 film yang beredar. Harap diingat, kenaikan harga tiket tidak pernah diumumkan secara terbuka lebih dahulu, tapi diberlakukan secara fait accompli, hingga tidak tercatat kapan harga baru mulai berlaku. Akibatnya, rata-rata pendapatan yang diambil untuk seluruh film yang beredar pada 2012 berdasarkan harga terakhir ini tidak akurat. Juga perhitungan laba-rugi itu tidak mempertimbangkan besaran biaya produksi yang bisa saja lebih dari empat milyar rupiah.
Persebaran
Masalah yang juga harus disinggung mengenai perbioskopan ini adalah timpangnya persebarannya. Pertambahan 10 bioskop yang dijabarkan di awal sebenarnya tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi persebaran bioskop di Indonesia yang tidak merata. Dari total 162 bioskop dengan 721 layar (Grup 21 dan Blitzmegaplex) di Indonesia, 129 bioskop dengan 576 layar (sekitar 79 persen) terdapat di pulau Jawa. 12 bioskop dengan 54 layar (sekitar tujuh persen) berada di pulau Sumatera, delapan bioskop dengan 41 layar (sekitar 5 persen) di Kalimantan, dan lima bioskop dengan 25 layar (sekitar 3 persen) berada di pulau Sulawesi.Kisaran 0,5 – 2,5 persen sisanya tersebar di Pulau Bali, Kepulauan Riau dan pulau Maluku. Pulau-pulau lain seperti Papua dan NTT hingga saat ini tidak mendapatkan kesempatan untuk menonton.
Persebaran yang tidak merata ini bisa dianalisis lebih rinci dengan melihat di tingkat provinsi hingga tingkat kota. Dari total 34 provinsi di Indonesia, ternyata hanya 21 provinsi saja yang memiliki bioskop. Dari 21 provinsi tersebut,DKI Jakarta mendominasi sekitar 37 persen dari keseluruhan jumlah bioskop nasional dimana terdapat 60 bioskop dengan 258 layar. Jawa Barat berada pada posisi kedua dengan 32 bioskop dengan 156 layar atau menguasai sekitar 20 persen, disusul Jawa Timur dengan 18 bioskop dengan 73 layar atau sekitar 11persen, dan Banten dengan 13 bioskop dengan 61 layar atau sekitar 8persen. Provinsi-provinsi lainnya memiliki sekitar 1-5 persen dari keseluruhan jumlah bioskop.
Jika kita melihat persebaran bioskop di tingkat kota, persebaran bioskop ternyata juga terpusat hanya di kota-kota besar. Sampai dengan Februari 2013, 162 bioskop dengan 721 layar saat ini berada di 31 kota besar di Indonesia. DKI Jakarta masih mendominasi jumlah bioskop dan layar dengan presentase sekitar 37 persen (60 bioskop dengan 258 layar). Disusul oleh Surabaya sekitar 9 persen (15 bioskop dengan 63 layar), dan Tangerang/Tangerang Selatan dengan presentasesekitar 8 persen (13 bioskop dengan 61 layar). Kota-kota lain mendapatkan “jatah” bioskop dengan presentase 1-6 persen dari total jumlah bioskop nasional.
Kondisi persebaran bioskop yang tidak merata tersebut menyebabkan mayoritas masyarakat Indonesia saat ini tidak memiliki akses ke bioskop. Jika melihat persebaran bioskop berdasarkan jumlah penduduk, dari 255.587.718 penduduk Indonesia, 222.035.125 diantaranya atau sekitar 87persen tidak memiliki akses ke bioskop. Hanya 33.552.593 atau sekitar 13 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses. Angka 222.035.125 ini didapat dari jumlah penduduk di setiap provinsi berdasarkan data acuan Jumlah Penduduk KPU 2011 dikurangi jumlah penduduk di setiap kota yang memiliki akses ke bioskop.
Perbandingan jumlah 162 bioskop dengan721 layar dengan jumlah penduduk yang memiliki akses bioskop sebesar 33.552.593 itu berarti setiap bioskop harus menanggung 207.114 penduduk atau dengan kata lain satu layar untuk 47.124 penduduk. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa selain persebaran bioskop yang tidak merata, ternyata jumlah bioskop saat ini pun juga tidak ideal dengan jumlah penduduk yang sudah memiliki akses, apalagi jika diperbandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia keseluruhan.
Segmentasi Penonton
Masalah lain lagi dalam perbioskopkan adalah tidak ada acuan yang jelas terhadap dasar pembuatan klasifikasi bioskop yang dibuat oleh grup 21.Mereka membagi bioskopnya berdasarkan tiga kategori: 21, XXI dan Premiere. Jika kita melihat rata-rata harga tiket, nampaknya perbedaan ini berkaitan kelas ekonomi. Dengan asumssi itu, Grup 21 nampaknya membagi bioskopnya dengan klasifikasi berikut: 21 untuk kategori kalangan menengah ke bawah, XXI untuk kalangan menengah, dan Premiere untuk menengah atas. Berdasarkan data jumlah bioskop per kategori sampai dengan Februari 2013, ditemukan suatu kondisi menarik bahwa bioskop saat ini justru mulai mengarah untuk kalangan menengah hingga menengah atas.
Dari 153 bioskop yang dimiliki Grup 21, Kategori 21 memang menguasai 45,75 persen jumlah bioskop, sedangkan kategori XXI menguasai 42,48 persen bioskop, Premiere 11,11 persen, dan IMAX 0,65 persen. Meskipun kategori 21 masih lebih dominan dibandingkan kategori XXI, tetapi jika diperbandingkan berdasarkan jumlah layar, justru menghasilkan kondisi berbeda.
Dari 712 layar yang dimiliki Grup 21, kategori XXI kini menguasai 52,25persen dari jumlah layar keseluruhan. Sedangkan kategori 21 hanya 43,72 persen, Premiere 3,88 persen dan IMAX terhitung 0,66 persen. Selisih rata-rata harga tiket kategori 21 dengan XXI sebesar Rp 8.102 menunjukkan adanya gejala mulai mengarahnya bioskop Grup 21 untuk kalangan menengah atas. Hal ini semakin diperkuat bahwa dari pertambahan delapan bioskop Grup 21 dalam kurun waktu Agustus 2012 – Februari 2013, tidak ada satupun bioskop berkategori 21. Yang terjadi justru pertambahan tujuh bioskop XXI dan satu bioskop Premiere.
Permainan Jadwal Tayang
Ternyata, tidak hanya 222 juta masyarakat Indonesia yang harus menerima nasib tidak mendapatkan akses ke bioskop akibat persebarannya yang tidak merata. Para pembuat film Indonesia sendiri kini menghadapi sejumlah permasalahan penayangan film mereka di bioskop.
Dengan jumlah layar yang terbatas, film-film Indonesia masih juga harus berbagi layar dengan film impor. Gerakan “Kamis ke Bioskop” yang sering kita dengar di berbagai jejaring sosial, merupakan salah satu upaya agar film-film Indonesia tetap bertahan di bioskop lebih lama. Kenyataannya, tidak ada regulasi yang jelas dari pihak ekshibitor tentang jumlah minimum penonton per hari agar film Indonesia dapat bertahan lebih lama. Maksudnya, regulasi yang bisa diketahui publik secara luas dan terbuka, hingga pihak-pihak terkait punya informasi yang sama, dan punya dasar yang sama bila terjadi perselisihan. Naik-turunnya sebuah film sering kali tidak jelas dasarnya. Begitu juga dasar perlakuan terhadap penayangan sebuah film yang “dicampur” dengan film asingpada layar tertentu.
Temuan dari hasil pencatatan jadwal tayang yang dilakukan oleh filmindonesia.or.id setiap harinya memperlihatkan bahwa ekshibitor nampaknya kini mulai mencari celah agar “jatah” jumlah layar film Indonesia seakan meningkat dengan mempermainkan jam pertunjukan. Salah satu contoh kasus yang terjadi adalah pada film Cinta tapi Beda. (Perlakuan semacam ini terjadi pada banyak film. Dan hal semacam ini juga terjadi pada jaringan Blitz)
Pada hari ke-tujuh penayangannya, Cinta tapi Beda memiliki 70 layar dengan 346 pertunjukan. Pada hari ke-delapan penayangannya, jumlah layar film ini mengalami peningkatan 34 layar menjadi 104 layar, akan tetapi jumlah pertunjukannya menurun drastis menjadi hanya 252 pertunjukan atau kehilangan 94 pertunjukan dalam satu hari.
Setelah ditelusuri, ditemukan bahwa ekshibitor menempatkan film Cinta tapi Beda di beberapa bioskopnya pada pertunjukan pertama dan pertunjukan terakhir. Sisanya mereka isi dengan film-film impor.Akibatnya, seakan-akan jumlah layarnya meningkat, padahal jumlah pertunjukannya menurun drastis. Secara akal sehat, penempatan jam tayang film Indonesia hanya di awal dan akhir pertunjukan di berbagai bioskop jelas tidak menguntungkan, baik bagi penonton film Indonesia maupun bagi pembuat filmnya sendiri.
Pertanyaannya, apa landasan kebijakan ini? Apakah ada jaminan bahwa film yang berada di antara pertunjukan pertama dan terakhir film Cinta Tapi Beda akan lebih mendatangkan penonton? Kemudian, apakah para produser mengetahui kebijakan dari bioskop ini? Jika memang mengetahui, Secara logis, seharusnya para produser akan memilih dihapus saja jadwal pertunjukan di awal dan di akhir tersebut karena dengan perlakuan seperti itu, sama saja dengan mematikan peredaran film secara perlahan.
Gambaran terhadap kondisi perbioskopan Indonesia yang telah dijabarkan di atas mengerucut pada satu hal: tuntutan terhadap pihak ekshibitor untuk berlaku adil terhadap masyarakat dan juga terhadap film Indonesia itu sendiri. Grup 21 sebagai pihak yang kini mendominasi (jika tidak ingin disebut monopoli) terhadap perbioskopan di Indonesia, sudah waktunya untuk tidak hanya mempertimbangkan dari aspek ekonomi saja dalam hal melakukan investasi bioskop.
Ekshibitor yang menguasai 94 persen bioskop nasional (153 bioskop dengan 645 layar), juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan kesempatan akses menonton film bagi masyarakat Indonesia maupun kesempatan bagi film Indonesia untuk tayang lebih lama di negaranya sendiri. Sebagai badan usaha yang berbadan hukum Indonesia menurut Pasal 29 ayat 3 UU Perfilman No.33 Tahun 2009, sudah seharusnya pihak ekshibitor berpihak pula kepada masyarakat dan film Indonesia itu sendiri.