Ada kekisruhan yang entah disengaja atau tidak dalam polemik tentang pajak impor film beberapa hari belakangan ini. Kabar yang diuar-uarkan baik melalui tulisan maupun wawancara maupun entah apalagi bahwa akan ada bea masuk atas hak distribusi film impor yang tidak pernah ada di belahan dunia mana pun. Padahal, judul surat edaran Direktorat Jendral Pajak berjudul: Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor. Surat ini namanya ‘surat edaran’ bukan keputusan atau peraturan. Itu berarti, surat itu hanya semacam peringatan diberlakukannya peraturan pajak yang sudah ditetapkan sebelumnya. Jadi, jelas bahwa itu bukan bea masuk atas hak distribusi tapi pajak royalti dan pajak pertambahan nilai (Ppn). Dua jenis pajak itu sudah umum berlaku di bidang-bidang lain.
Ppn sudah mengenai kita di seluruh bidang kehidupan, bahkan bukan saja yang kita pakai dan kita makan, tapi juga produser film nasional yang menyewa peralatan film, membeli bahan baku film, dan memproses filmnya di laboratorium, terkena juga. Bahkan kalau dia memproses filmnya di laboratorium luar negeri, dia akan dikenai bea masuk lagi. Industri penerbitan dan distribusi buku yang juga merupakan karya cipta intelektual, sudah lama mengenal pajak royalti itu. Sudah lama penerbit buku yang ‘membeli’ hak cipta buku asing untuk ‘dieksploitasi’ (diterjemahkan dan dijual), harus membayar pajak royalti sebesar 20 persen dari nilai kontrak ‘jual-beli hak cipta’ itu kepada negeri ini. Jadi, kalau harga beli sebuah hak cipta buku berharga 500 dolar, maka penerbit masih harus keluar lagi 100 dolar (tergantung perjanjian dengan penerbit luar negeri) untuk pajak royalti yang dibayarkan ke Dinas Pajak. Dan penerbit juga harus menanggung Ppn dari harga jual bukunya. Suatu hal yang tidak terjadi di negeri semacam India, hingga harga buku di sana sangat murah. Itu cerita teman yang tinggal di Poona selama dua tahun dan baru pulang setelah menyelesaikan studi masternya tentang film dan cultural studies.
Kalau demikian, kenapa importir film, pengusaha bioskop Grup 21, dan perwakilan MPA (Motion Pictures Association yang mewakili studio-studio besar AS), meributkan hal yang sudah lama berlaku di bidang industri dan perdagangan lainnya?
Kisah Masa Lalu
Kisahnya cukup panjang. Singkatnya: sejarah impor film sepanjang zaman Orde Baru adalah kisah pungli, bagi-bagi lisensi, pemerasan dan lain sebagainya. Setiap Menteri Penerangan selalu mencari cara untuk memeras sapi perahan—yang bernama importir film itu—atas nama ‘mengembangkan perfilman nasional’. Sebuah janji yang tak pernah terwujud. Tanpa disadari perlakuan tadi membuat si sapi menumbuhkan kekuatan tersendiri.
Untuk memudahkan ‘pengaturan’, maka monopoli impor diberikan kepada PT Suptan Film. Inilah awal dari ‘kerajaan’ yang sekarang dikenal sebagai Grup 21—yang tidak hanya praktis ‘memonopoli’ peredaran film dengan jaringan bioskopnya yang tak tertandingi, tapi juga ‘memiliki’ tiga usaha impor film: Camila Internusa Film, Satrya Perkasa Esthetika Film, dan Amero Mitra Film yang lagi-lagi ‘memonopoli’ impor film.
Dari 180 film yang diimpor selama 2010, ketiga perusahaan itu memasukkan 119 film yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika. Importir yang banyak memasukkan film lainnya adalah Parkit Film yang sebagian besar impornya berasal dari India (36 film). Sisanya: importir ‘kecil’: Teguh Bakti Mandiri (11 film—semua Mandarin), Rapi Films (3 film) yang boleh dibilang di bawah ‘naungan’ Grup 21. Satu importir lain, Jive Entertainment (10 film) merupakan organ impor film jaringan bioskop Blitz. Ada satu lagi importir yang memasukkan satu film pada 2010, tidak perlu dihitung, karena boleh dikategorikan ‘tidak aktif’. Jadi hanya ada tujuh importir yang aktif. Tidak jelas berapa jumlah importir yang sekarang tergabung dalam Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi).
Kekuatan begini bukan sekarang saja, tapi sudah sejak lebih 20 tahun lalu rasanya. Kekuatan ini yang membuat mereka bisa ‘berunding’ dengan pemerintah, hingga penentuan bea masuk seperti yang sampai sekarang berlaku 43 sen dolar per meter untuk film Amerika-Eropa, dan 35 sen dollar untuk film Asia, Australia, Selandia Baru. Dari mana angka itu didapat? Tidak jelas. Yang jelas para importir tidak pernah mau membuka harga kontrak jual-beli film mereka yang konon berkisar antara 5.000 dollar hingga 1 juta dolar. Padahal, penentuan bea masuk seharusnya didasarkan dari harga kontrak jual-beli tadi. Dan sewaktu mengajukan permintaan impor film importir sebenarnya diharuskan melampirkan kontrak jual-beli. Hal yang tak pernah dilakukan. Biasanya, importir hanya melampirkan ‘pernyataan’ sudah mengikat kontrak dengan pihak luar negeri tanpa menyebutkan ‘harga’.
Harga 43 sen dan 35 sen dolar per meter itu yang jadi patokan ‘nilai’ kontrak jual-beli pukul rata. Dan importir hanya membayar 10 persen dari nilai itu. Itulah bea masuk yang sebenarnya. Artinya, film Amerika yang biasanya panjangnya sekitar 3.000 meter, maka akan dikenai 10 persen dari 3.000 kali 43 sen dolar = 129 dolar alias Rp 1.161.000 per copy. Kalau dia memasukkan 20 copy, ya tinggal kali dua puluh. Memang masih ada pungutan-pungutan lain seperti bank, dokumen, handling, Ppn, sewa gudang dll, hingga jumlah seluruhnya bisa sampai Rp 3 juta per copy. Ini tidak perduli harga film itu 5.000 dollar (bahkan tidak sedikit yang di bawah angka ini) atau 500.000 dollar. Pendeknya, biaya impor film itu rata-rata di bawah biaya produksi film nasional yang berkisar di angka Rp 2 milyar untuk film dengan kualitas teknologi pas-pasan.
Memang masih ada pajak tontonan yang langsung dipotong dari harga tiket. Lalu ada lagi pajak badan usaha sebesar 15 persen. Sesuatu yang berlaku untuk semua jenis badan usaha di mana pun di negeri ini. Dan importir film tidak harus membayar pajak royalti 20 persen seperti penerbit buku yang membeli hak cipta dari luar negeri. Bahkan produser film nasional pun harus membayar pajak royalti yang tarifnya 15 persen, tarif yang berlaku untuk semua jenis royalti di dalam negeri.
Kisah Lalu Lagi
Bukankah itu sebuah keistimewaan yang didapat importir film? Lalu kenapa mereka berteriak-teriak ketika diberlakukan pajak royalti? Dan kenapa yang berteriak hanya MPA, dan bukan puluhan produser film AS yang dikategorikan sebagai produser independen? Ini kisah lain lagi.
Pertama tentu karena hanya MPA yang punya organisasi kuat dan memiliki banyak film yang dianggap bisa menggaet banyak penonton. Masih ingat bagaimana AS berniat memboikot ekspor tekstil kita kalau kita tidak membuka pintu impor film seluas-luasnya? Waktu itu MPA dan perwakilan Departemen Perdagangan menuntut agar mereka bisa membuka kantor perwakilan di Jakarta dan mengedarkan filmnya sendiri di sini seperti pada zaman AMPAI tahun 1950an. Terbentur karena Undang-undang Perfilman yang mengharuskan film asing harus lewat importir kalau mau masuk ke Indonesia, maka terjadilah kompromi: mereka boleh buka kantor perwakilan dan mengedarkan langsung filmnya, tapi masuknya tetap lewat importir.
Maka muncullah dua importir: Camila Internusa Film dan Satrya Perkasa Esthetika Film. Importir ini tidak membeli hak edar, tapi sekadar ‘mendatangkan’ film itu. Tidak jelas bagaimana perjanjian MPA dengan dua importir tadi. Maka, yang berlaku kemudian adalah sistem bagi hasil, sama persis seperti peredaran film nasional. Itu sebabnya, kita bisa melihat hasil peredaran mereka di website Box Office Mojo setiap minggu. Film The Green Hornet (Camilla Internusa Film) pada minggu pertama peredarannya menghasilkan $1,137,507 alias lebih dari Rp 9 milyar kotor (4-6 Februari 2011, lihat Box Office Mojo). Katakanlah hasil itu dikurangi biaya-biaya sekitar Rp 1 milyar, maka bagi hasil antara bioskop dengan produser film AS itu bisa sekitar Rp 4 milyar masing-masing.
Di website itu tidak ada laporan hasil peredaran film The Mechanic (Amero Mitra Film) yang juga masih beredar di sini, karena produser film ini tidak tergabung dengan MPA dan film ini ‘dibeli hak edarnya’ bukan ‘diedarkan’. Pembeli alias importir tidak punya keharusan melaporkan hasil peredarannya.
Karena bisa dilihat secara terbuka hasil peredarannya, maka kalau hendak diterapkan pajak royalti atas The Green Hornet, maka angkanya akan kelihatan sangat mencolok dibanding dengan ‘tradisi’ yang sudah berlangsung puluhan tahun ini: sekitar Rp 1,6 milyar. Ini baru satu film. Siapa yang harus membayar pajak ini? Produser AS atau importirnya? Ini masalah tersendiri. Dan hal demikian ini sukar diberlakukan untuk film-film yang dibeli hak edarnya, karena tidak adanya keterbukaan harga jual-beli hak edarnya.
Rasanya cukup jelas sekarang apa yang diributkan tentang pajak royalti (catat: bukan hak distribusi). Maka, mungkin sekarang lah saatnya untuk membenahi masalah impor film ini secara menyeluruh supaya tidak ada lagi jalan belakang, jalan tikus, dan patgulipat.
Salah satu cara yang pantas untuk dipertimbangkan: hapuskan pajak-pajak tak perlu yang menghimpit industri film nasional hingga terasa adil bila dibandingkan dengan perlakuan terhadap film impor. Cara lain: bebaskan saja MPA membuat badan usaha distribusi film di sini seperti Sony, BMG, Universal di bidang musik rekaman. Lalu, kenakan pajak-pajak selayaknya seperti yang berlaku pada semua badan usaha asing maupun nasional. Bukankah jurubicara Cineplex 21 sudah menyatakan, dikenai pajak berapa pun tidak jadi soal. Pernyataan yang ‘kontradiktif’ sebetulnya: mereka menolak bea masuk ‘hak atas distribusi’ tapi mau dikenai pajak berapa pun (lihat detik.com). Padahal intinya sama: bayar pajak.
Yang tidak kalah penting: meski secara resmi tidak ada monopoli, secara praktek sebenarnya terjadi monopoli impor film seperti terlihat dari angka-angka jumlah impor dan importir film. Monopoli inilah yang sudah menghantui industri film selama lebih dari 20 tahun. Monopoli inilah yang harus dihentikan. Apalagi monopoli ini sudah merambah lebih luas: monopoli distribusi film dan jaringan bioskop. Dalam kaitan ini, menjadi aneh tindakan MPA menarik filmnya sebagai protes atas pemberlakuan pajak royalti dan Ppn. Bukankah ini berarti negara yang memperjuangkan dan mengagung-agungkan demokrasi dan keadilan, justru semakin memperkuat monopoli (atau tepatnya sekarang menjadi kartel) impor film di sini. Sama persis seperti mereka mendukung diktator-diktator Timur Tengah yang sekarang berguguran satu demi satu.
Apakah dengan demikian bioskop akan mati? Sebuah kesimpulan yang terlalu menyederhanakan persoalan. Ini pembahasan yang memang berkaitan, tapi memerlukan penjabaran tersendiri.
Baca juga:
- Dominasi Film Impor dan Dilema Film Nasional (1991)