Artikel/Kajian Sengketa Pajak Royalti Film

Kajian JB Kristanto 05-03-2011

Sengketa pajak royalti film impor antara importir film/MPA (Motion Picture Association of America) dan pemerintah (Kemkeu/Pajak) belum kelihatan ujungnya. MPA kelihatan belum mengedarkan kembali film-filmnya, meski film yang sudah beredar sebelum 16 Februari 2011 (The Green Hornets, The Fighter, dan No Strings Attached) masih ada. Film-film Amerika yang tidak tergabung dalam MPA sekarang memenuhi jadwal tayang bioskop. Singkatan sengketa: importir film/MPA beranggapan bahwa pajak royalti yang dibayar importir dari hasil pemutaran film asing itu tak lazim di dunia internasional, sementara pemerintah beranggapan hal itu sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku di sini dan berdasarkan Perjanjian Penilaian Organisasi Perdagangan Dunia yang sudah diadopsi menjadi undang-undang.

Sengketa ini juga menimbulkan banyak laporan, tulisan, komentar, kolom yang tidak ikut menjernihkan persoalan, karena ada yang emosional, ada yang tidak tahu tapi ‘sok tahu’ dan mengambil sikap ‘sok bijak’, ada yang menduga ini akibat konspirasi bisnis, ada juga yang memunculkan wacana tentang pajak bernama withholding tax. Tapi tidak ada yang mengusut peraturan perpajakan yang berlaku maupun yang sudah dipraktekkan.

Pajak Royalti
Sudah dua tahun ini berlaku Peraturan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti dari Hasil Karya Sinematografi. Dasar nilai royalti yang dipakai untuk penghitungan adalah yang umum berlaku di dunia industri buku, yaitu sepuluh persen. Atas penghasilan yang 10 persen ini, dikenakan pajak penghasilan royalti sebesar 15 persen. Hal ini mudah diketahui bagi para pembayar pajak yang mengisi formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak (SPT). Pada halaman dua SPT itu tertera kolom mengenai penghasilan dividen, royalti dll.

Atas dasar peraturan itu, film-film yang beredar sejak 2009 dikenai pajak atas penghasilan royalti. Dua produser film memberi contoh: bioskop memotong pendapatannya sebesar 1,5 persen (15 persen atas 10 persen pendapatannya). Seorang importir memberi contoh laporan bagi hasil yang diterimanya dari Kelompok 21. Di situ tertera adanya potongan 1,5 persen yang disebut sebagai PPH royalti. PPH royalti film impor ini termasuk dalam peraturan PPH pasal 26: “dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri...”.

Dalam PPH pasal 26 ini dijelaskan bahwa pajaknya 20 persen. Namun, karena ada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antarnegara, maka masing-masing negara bisa dikenakan besaran pajak berbeda. Empat anggota MPA yang bermarkas di Amerika Serikat (Twentieth Century Fox, Warner Brothers, Disney, Columbia/Sony) dikenai 15 persen (unduh dokumen resmi, 11 Juli 1988), sementara Universal dan Paramount yang membentuk badan peredaran sendiri bernama United International Pictures berkedudukan di Belanda, hanya kena 10 persen (unduh dokumen resmi, 29 Januari 2002).

Besaran pajak royalti untuk film nasional sama dengan film impor asal AS. Ini berlaku untuk film impor yang langsung diedarkan di negeri ini. Untuk film impor yang hak edarnya dibeli (film-film non-MPA), maka nilai pajak royaltinya tentunya berdasarkan besaran harga beli hak edarnya. Hal terakhir ini yang bisa jadi masalah, karena importir film sering tidak membuka kontrak jual-belinya (atau memanipulasi?), padahal dia seharusnya melampirkan kontrak itu saat mengajukan rekomendasi impor ke Departemen Pariwisata dan Kebudayaan.

Ini sudah berjalan selama dua tahun terakhir. Sebelum itu tidak ada potongan pajak penghasilan royalti itu. Seorang produser film yang mengedarkan filmnya pada Januari 2009 tidak terkena potongan, karena peraturan baru keluar 4 Juni 2009. Dengan demikian, berita yang menyebutkan bahwa ada penunggakan pajak sejak 1995 seperti dikatakan Direktur Teknis Kepabeanan Heri Kristiono (Kompas, 22 Februari 2011) agak diragukan kebenarannya. Begitu juga: Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata yang memperkirakan kurang bayar pungutan atas royalti film impor selama dua tahun terakhir sekitar Rp 30 miliar dari 1.759 (?) judul film (Tempo, edisi 53/39. 28 Februari 2011). Sementara Menteri Keuangan hanya menyebut 250 judul selama dua tahun dengan tunggakan Rp 30 milyar (Kompas, 25 Februari 2011). Nilai tunggakan pajak ini belum termasuk denda. Jumlah judul film terakhir ini lebih masuk akal, karena setahunnya film impor yang masuk sekitar 180 judul. Artinya: ada sebagian yang sudah membayar.

Kenapa Kisruh?
Keterangan-keterangan pejabat di atas semuanya ditujukan pada importir film, tidak kepada MPA. Jadi, kenapa MPA ikut sewot, kalau jelas bahwa yang terjadi adalah tunggakan pajak? Tunggakan pajak itu adalah pajak royalti yang termasuk dalam PPH pasal 26 yang sering disebut sebagai withholding tax, menurut penjelasan kawan yang bekerja di perusahaan Jepang. Jadi, kalau MPA ingin membuka kantor di sini seperti tuntutannya selama ini dengan menggunakan kesempatan kisruh ini, sebaiknya dikabulkan saja. Toh, sudah ada contoh di bidang musik: Sony, BMG, Universal yang malah ikut memproduksi lagu Indonesia.

Kenapa terjadi tunggakan? Kemungkinannya hanya dua: tidak dipungut atau tidak disetorkan. Melihat penjelasan dua produser dan laporan bagi hasil sebuah film impor di atas, maka kemungkinan kedualah yang terjadi. Apalagi, importir/bioskop tidak memberikan bukti potong pajak kepada yang berhak seperti yang diharuskan peraturan bersangkutan.

Melihat peraturan-peraturan perpajakan di atas, bisa dimaklumi kalau pemerintah bersikukuh untuk menarik tunggakan yang besarannya bisa membuat sebuah perusahaan oleng dan perlu mencari cara menghindar atau menawar. Namun, akan jauh lebih baik kalau besaran tunggakan itu dibeberkan secara detil kepada masyarakat luas lewat sarana yang dimiliki. Dengan demikian, masyarakat juga bisa paham duduk perkaranya. Dan tidak terjadi praktek tawar-menawar seperti yang sering dicurigai.

Apakah semua kekisruhan ini disebabkan oleh konspirasi persaingan bisnis, keluhan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang menuntut pengurangan beban pajak produksi film nasional hingga terasa lebih adil dalam menghadapi film impor, atau keluhan sutradara Hanung Bramantyo yang ditanggapi Presiden? Semua itu hanya pemicu kontroversi, tapi yang paling penting adalah: apakah peraturan itu benar dan dilaksanakan dengan baik? Pasti kita semua tahu betul betapa kronis masalah mafia pajak di Indonesia.

Kompas, 7 Maret 2011, halaman 7.

Baca juga:

- Kemana Pajak Itu Pergi? (A Kartikasari, 2011)

- Bagaimana Sebaiknya Membantu Perfilman Indonesia? (Shanty Harmayn, 2011)

- Saatnya Membenahi Urusan Film Impor Secara Menyeluruh (JB Kristanto, 2011)

- Pajak Film Hollywood Membantu Film Nasional? (Sheila Timothy, 2011)

- Deddy Mizwar-Rudy Sanyoto: Meluruskan Masalah Film Impor (2011)

- Noorca Massardi: Film Nasional Mati Jika Bioskop Mati (2011)

Ikut Debat Tentang Topik Ini