Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia, 3 Maret 1991.
Sikap pemerintah Indonesia yang menolak campur tangan pihak asing terhadap masalah internal perfilman nasional dan sikap yang menempatkan film sebagai produk budaya bangsa yang bukan barang dagangan semata, merupakan hal yang perlu didukung dan sekaligus kita garis bawahi bersama. Apalagi lahirnya pernyataan ini sebagai reaksi adanya 10 (sepuluh) tuntutan MPEAA (Motion Picture Export Association of America) sebagaimana diberitakan media massa berdasarkan laporan ketua PPFI/Persatuan Produser Film Indonesia (Turino Djunaedi) dan Sekjen GPBSI/Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (Djohan Tjasmadi) dalam dengar pendapat dengan Komisi I DPR-RI.
Bila benar adanya ke-10 (sepuluh) tuntutan pihak MPEAA, yang jelas menghina kedaulatan bangsa kita, wajarlah apabila rakyat Indonesia merasa terhina dan wajib bangkit membela kedaulatannya. Secara pribadi pada saat membaca ke-10 (sepuluh) tuntutan MPEAA tersebut, sebagai anak negeri ini saya merasa geram dan sangat tersinggung. Hal serupa tentunya dirasakan pula oleh para wakil rakyat di DPR yang menerima laporan resmi dari para wakil masyarakat perfilman yang secara meyakinkan membeberkan ke-10 tuntutan MPEAA tersebut. Bayangkan saja bila sepuluh tuntutan MPEAA memang benar adanya, maka wajar bila kita marah karena tuntutan yang keterlaluan ini dikabarkan sebagai berikut:
1. Agar diberi kesempatan membuka kantor distribusi film Amerika di Indonesia;
2. Agar film-film Amerika dapat di-dub ke dalam bahasa Indonesia;
3. Agar keharusan bioskop memutar film-film Indonesia ditiadakan;
4. Agar ketentuan bagi hasil penjualan karcis bioskop ditinjau. Ketentuan yang berlaku sekarang, 30% untuk pemilik film, 30% untuk bioskop dan 30% merupakan pajak tontonan yang merupakan penghasilan Daerah Tingkat II;
5. Agar setiap potongan yang dilakukan Badan Sensor Film (BSF) terhadap film Amerika dipertanggung-jawabkan dalam kaitannya dengan Hak Cipta;
6. Agar MPEAA diperkenankan membuka jaringan bioskop sendiri;
7. Agar peraturan yang melarang modal asing bergerak di bidang usaha media massa diubah;
8. Agar iklan di bioskop dapat disiarkan melalui TVRI;
9. Agar bea film impor diturunkan;
10. Agar kuota film dihapuskan.
Rasa ketersinggungan yang teramat dalam ini, mendadak sontak berubah jadi rasa malu ketika membaca pernyataan resmi Dirjen Daglu (Direktoran Jenderal Perdagangan Luar Negeri) Palan Nainggolan, bahwa dari sepuluh tuntutan MPEAA yang disebar luaskan oleh para wakil masyarakat perfilman kita ternyata delapan diantaranya merupakan rumors atau dalam bahasa yang jelas merupakan isapan jempol belaka.
Sebagai insan perfilman saya merasa prihatin bila dalam kenyataannya orang-orang yang tampil mengatas-namakan masyarakat perfilman Indonesia telah dengan sengaja dan berani menyampaikan sesuatu yang tidak benar ke hadapan para wakil rakyat yang mulia.
Tindakan yang sembrono ini tentunya mengundang pertanyaan yang wajar terlontar untuk mendapatkan jawaban yang pasti; Ada kepentingan apa di balik misi ini semua? Apalagi lontaran issu delapan tuntutan fiktif MPEAA ini telah sangat berhasil menggugah rasa nasionalisme yang menjurus ke arah tersulutnya rasa anti Amerika. Terlebih lagi, pada saat dikembangkannya issu tersebut seluruh emosi masyarakat Indonesia tengah tercurah sepenuhnya yang mengkhawatirkan hancurnya Irak oleh kebuasan tentara multinasional di bawah komando Amerika Serikat. Sehingga sangatlah wajar bila kemudian saya merenung dan mempertanyakan apa yang mereka coba menangkan dengan mempertaruhkan kredibilitas lembaga perfilman nasional dengan cara bermain api yang mengandung resiko tinggi? Terutama pada saat membayangkan aib yang akan kita terima bila suatu hari kelak pihak MPEAA mengajukan tuntutan dan gugatan terhadap lembaga perfilman kita, atas tindakan merekayasa sesuatu issu yang belum secara otentik menjadi pernyataan resmi pihak mereka. Karena secara resmi Stephen Clug yang bertindak atas nama Vice President MPEAA telah mengeluarkan pernyataan resmi, sebagaimana dilangsir sebuah majalah terkemuka di Indonesia, bahwa pihaknya hanya mengajukan dua tuntutan dasar, yakni hak memasukkan film Amerika serta mendistribusikannya sendiri secara langsung bernegosiasi dengan pihak pengusaha bioskop.
Mempelajari kenyataan ini semua, dapatlah diperkirakan bahwa ada semacam usaha tindak penyelamatan kepentingan tertentu sehubungan dengan bisnis film yang selama ini memang menjadi dominasi kelompok tertentu. Apalagi masalah MPEAA ini sangat erat kaitannya dengan terancamnya kelanggengan hidup praktek monopoli impor film berikut pendistribusiannya. Indikasi ini justru kian mencuat ke permukaan atas dasar pernyataan-pernyataan yang dilontarkan para penyebar delapan issu fiktif, dimana pada dasarnya hampir seluruh illustrasi yang diberikan mengenai kehidupan perfilman kita dewasa ini, mengandung banyak hal yang bersifat kontradiktif dengan kondisi objektif yang sebenarnya (lihat artikel "Dominasi Film Impor & Dilema Film Nasional", Media Indonesia, 2 Maret 1991).
Sungguh satu hal yang mengherankan bila dari seseorang yang selama ini membiarkan seluruh bioskop di Indonesia ini jatuh ke dalam dominasi film impor, dimana gedung-gedung bioskop sekarang ini cenderung berubah menjadi pusat penyebaran kebudayaan asing, pada saat MPEAA mencoba masuk ke Indonesia, mendadak sontak lantang berbicara memperingatkan seluruh masyarakat bangsa kita mewaspadai ancaman bahaya budaya asing. Digambarkannya pula seolah-olah dengan masuknya MPEAA film Indonesia yang akan diproduksi hanyalah film-film yang berisikan paha dan dada.
Padahal, satu hal penting yang sekarang ini harus dipertanyakan adalah kenyataan bahwa film-film paha dan dada, komedi bego, darah dan kekerasan, serta segala sesuatu yang mengeksploitasi nafsu rendah manusia, dewasa ini telah menjadi rumusan dari majoritas produser kita dalam memproduksi film-filmnya. Sehingga aneh rasanya, bila seseorang yang mengkhawatirkan kedatangan MPEAA akan merusak perfilman nasional, sama sekali tidak pernah mengkhawatirkan praktek-praktek monopoli yang telah berhasil menjadikan film impor sebagai roda perekonomian perfilman kita.
Sehingga film nasional yang digembar-gemborkan harus menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, tidak lebih daripada pengamen di emperan toko yang kehilangan rumah dan apalagi bisa menjadi tuan di sebuah rumah.
Jenis nasionalisme semacam inilah yang acap kali mengaburkan pengertian hakekat nasionalisme yang sesungguhnya. Karena seorang nasionalis sejati tidak akan pernah membiarkan eksistensi kebudayaan bangsanya digilas oleh agresi kebudayaan asing yang sekarang ini tengah merajalela, dimana bioskop-bioskop telah menjadi agen pelaksanaannya. Dalam konteks film sebagai produk budaya bangsa, dewasa ini telah kehilangan ruang geraknya. Karena dalam kenyataan, ruang gerak film impor telah sedemikian leluasa dan merajalela mendominasi kehidupan perfilman nasional. Sehingga film nasional kita kehilangan harkat, derajat dan wibawanya yang disebabkan oleh keserakahan para penguasa perekonomian perfilman yang melalui kekuatan monopoli impor film berikut jalur distribusinya, dengan jelas-jelas justru cenderung mematikan film-film yang diproduksi dengan niatan melahirkan film Indonesia yang berwibawa dan berbudaya. Sebaliknya film-film yang justru merendahkan harkat dan derajat kita sebagai bangsa, kian dirangsang pertumbuhannya oleh kondisi objektif yang lahir dari sistem yang berlaku dan diberlakukan oleh perfilman kita dewasa ini.
Sikap yang seharusnya kita tampilkan ke permukaan dalam menghadapi kasus masuknya MPEAA, adalah sikap yang kapan dan di mana saja tetap pada pendirian bahwa memuliakan film nasional merupakan kewajiban kita sebagai bangsa. Karenanya sikap inipun berlaku pula pada saat kita menghadapi ancaman bahaya (kebudayaan) yang dilahirkan oleh praktek-praktek monopoli yang telah berhasil melumpuhkan daya kreasi film nasional dan yang sebaliknya berhasil menjadikan film-film impor tuan di negeri kita. Sehingga secara pribadi saya mengajak para republiken di negeri ini untuk tetap mewaspadai MPEAA dan juga yang tak kalah pentingnya, mewaspadai mereka yang mencoba melestarikan dominasi film impor melalui kekuatan monopolinya.
Sikap ini saya nyatakan terlepas dari masalah pro dan kontra masuknya MPEAA. Karena secara pribadi ada atau tidak ada MPEAA memperjuangkan film nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri merupakan suatu kewajiban dan amanat yang harus dimunculkan secara nyata, murni dan konsekwen. Disamping mendudukkan persoalan secara proporsional dan memberitakan kebenaran, wajib hukumnya bagi umat yang beragama.
Usaha ini paling tidak merupakan sebuah manifestasi dari harapan agar jangan sampai kita menjadi sebuah bangsa yang mampu melihat semut di seberang lautan, tapi tak mampu melihat gajah di depan mata!
Sudahkah film kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Dan sudahkah film nasional mampu ditampilkan sebagai kebanggaan bangsanya? Atau, jangan-jangan kita tengah bermimpi, karena terbius oleh delapan issu yang kebenarannya masih perlu dipertanggung jawabkan?
Sebagai insan film, saya benar-benar mengharap agar perfilman kita tidak kehilangan akal sehatnya. Dan yang diperlukan sekarang ini adalah sikap keterbukaan, dan ketulusan berbuka diri serta tumbuhnya kejujuran rasa cinta terhadap cita-cita perfilman nasional yang bertujuan menjadikan dirinya sebagai bagian integral dari perjuangan bangsa.
Bukan menumbuhkan semangat dagang yang berlebihan, sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk memperdagangkan nasionalisme dengan harga dan cara yang murah.