Hanya dalam waktu tiga bulan, film-film Indonesia tersebar di berbagai festival film dunia. Jangan heran beberapa pengamat film dunia melontarkan pujian lewat surat elektronik (e-mail) kepada saya. Sebut saja, Festival Fukuoka, Jepang, yang mengambil tema "Magic Indonesia", memutar film dari beragam generasi: Cahaya dari Timur, Cagar Mata, Another Trip To The Moon, Pendekar Tongkat Emas, Postcard from the Zoo, Petualangan Sherina, Kuldesak, hingga Opera Jawa. Atau Tokyo Film Festival yang menayangkan Hilal hingga Tjokroaminoto. Sementara Busan Film Festival memutar Aach Aku Jatuh Cinta hingga A Copy of My Mind yang juga diputar di Venezia, di wilayah Amerika dan Kanada. Film Siti ditayangkan di Telluride dan film pendek Following Diana di Toronto Film Festival.
Catatan di atas menunjukkan dua aspek penting sinema Indonesia, yakni beranak pinaknya generasi film Indonesia dan keberagaman dalam tema dan gaya. Ironisnya, justru pertanyaan klise muncul dari sebagian pelaku film Indonesia: Apa gunanya masuk berbagai festival, tetapi kehilangan penonton di Indonesia?
Sesungguhnya untuk menjawab pertanyaan di atas, cara termudah adalah mengamati program yang terkandung pada beragam festival dunia: terbaca tiga pilar program utama dalam sebuah festival, yakni program kompetisi, program pemasaran film, dan program retrospeksi. Dengan kata lain, sesungguhnya setiap festival memberi kelangsungan daya hidup kebudayaan yang kompetitif alias alternatif lewat program kompetisi atau program khusus film alternatif, tetapi juga kebudayaan komersial yang serba massa dan kebudayaan heritage. Tiga perspektif kebudayaan ini sesungguhnya merepresentasikan nilai keutamaan sebuah peradaban. Ketiganya saling menghidupi dan mengisi, mundurnya satu pilar akan memundurkan daya hidup yang lain. Pada aspek ini, harus dipuji bertumbuhnya strategi budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang terbaca lewat dukungan pada penyebaran film dan pengiriman para kreator ke berbagai jenis festival dunia.
Artinya, sangatlah wajar jika film pada kebudayaan kompetitif dan alternatif sering kali hanya ditonton sedikit penonton dengan kualitas tertentu. Namun, harus dicatat, kebudayaan kompetitif mengandung penemuan baru, terobosan, dan gugatan ketika film komersial alias market mengalami kejenuhan. Simak film Quentin Tarantino, cara tutur alternatifnya kemudian banyak diadaptasi oleh film populer. Demikian juga film-film heritage memberi sumber untuk selalu diaktualisasi oleh kebudayaan film populer. Atau simak produk budaya lain, industri batik tidak akan bertumbuh tanpa adaptasi dari kepeloporan para empu batik dan penemu-penemu motif baru.
Hal ini menunjukkan, sekiranya negeri ini hanya dihidupkan oleh kebudayaan populer tanpa daya hidup budaya kompetitif, alternatif, dan heritage, daya hidup kebudayaan populer akan tergilas waktu jenuh industri yang semakin cepat, menjadikan daya hidupnya pendek, serba krisis, dan kehilangan pegangan pertumbuhan akibat kehilangan sumber terobosan dan aktualisasi.
Oleh karena itu, saatnya sinema Indonesia tidak lagi bertanya: kenapa film-film berkualitas tidak cukup laku, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun strategi budaya film Indonesia menghidupkan tiga pilar budaya film, baik alternatif, komersial, maupun heritage.
Agaknya, tersebarnya film-film Indonesia di sejumlah festival menjadi semacam gugatan pada kultur serba tunggal dari bangsa ini, yakni komersial dan massa yang menjadikannya kehilangan standar profesionalisme.
Sumber: Kompas, Minggu 11 Oktober 2015, halaman 12.