Artikel/Kajian Tarif Bea Masuk Rp 20.000 Tidak Berdasar

Kajian Rudy S Sanyoto 30-06-2011

Bioskop Dewa di Tegal. Foto: Ragil Priyo AtmojoMedia massa melansir bahwa tarif bea masuk (BM) film impor telah disepakati untuk dikenakan tarif spesifik, besarannya naik hampir 100% dari sebelumnya. Menbudpar menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah dibahas oleh Kementeriannya, Kementerian Keuangan c.q. Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Perekonomian bersama-sama importir film. Kabarnya tarif spesifik yang diusulkan IKAPIFI (ikatan Pengusaha Importir Film), dan disetujui oleh Kementerian Budpar adalah Rp 20.000 per menit, atau per kopi dengan panjang sekitar 90 menit = Rp 1.800.000. Keputusan ini tidak melibatkan komunitas perfilman di luar importir, termasuk Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).

Seperti sudah diberitakan sebelumnya, Nilai Pabean (NP) yang selama ini dilaporkan importir film dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) tidak benar (under invoice), yaitu per meter rata-rata US$ 0,43. Artinya, NP per kopi film dengan panjang 90 menit atau lebih kurang 3.000 meter US$ 1,290 atau sekitar Rp 10 juta per kopi. Akibatnya, bea masuk dengan tarif 10% yang dibayar oleh importir hanya lebih kurang Rp 1 juta/kopi. Dengan demikian usulan pengenaan BM dengan tarif spesifik seolah-olah memang naik hampir 100% (tepatnya 80%).

Akan tetapi perhitungan kenaikan yang berdasarkan data yang salah alias under invoice tentu sangat menyesatkan dan tidak mencerminkan fakta yang benar dan objektif. Kesalahan importir telah terbukti dari hasil audit Bea Cukai. Terbukti ada pembayaran sekitar Rp 310 milyar ke pemilik film di luar negeri, yang tidak dilaporkan ketika membuat PIB (antara lain berisi nilai pabean dari barang yang diimpor dan perhitungan bea masuk plus PPN serta PPH impor). Dengan melaporkan NP lebih rendah dari nilai yang sebenarnya telah membuat semua pajak yang dibayar terlalu rendah.

Dengan demikian jelaslah bahwa importir melakukan penghindaran pajak (tax avoidance atau under invoicing), sehingga diwajibkan tambah bayar BM sebesar lebih kurang Rp 31 milyar (10% dari Rp 310 miliyar) untuk periode Agustus 2008 s/d Juni 2010 atau sekitar 22 bulan untuk pengimporan 256 judul film dengan 5.635 kopi (rerata 22 kopi/judul). Dari angka-angka ini kita bisa menghitung berapa seharusnya BM yang harus dibayar: per judul lebih kurang Rp 125 juta. Per kopi dengan panjang sekitar 3000 meter sekitar Rp 5,5 juta atau per meternya Rp 1.850. Kalau mau pakai hitungan per menit seperti dalam keputusan Menkeu yang baru: Rp 61.000. Ini membuktikan pula bahwa usulan Rp 20.000/menit terlalu rendah dan dapat dikategori penghindaran pajak yang minta dilegalisir oleh Peraturan Menkeu.

Bagi hasil

Usulan penetapan tarif spesifik dimaksudkan untuk mengatasi hambatan teknis akibat sebagian film impor diedarkan di Indonesia dengan sistem bagi-hasil, sehingga sulit untuk mengetahui nilai film yang pasti sebelum film tersebut selesai ditayangkan. Namun demikian, tarif spesifik BM yang ditetapkan terhadap film impor tentunya tidak dapat ditetapkan dengan tanpa dasar dan tidak mencerminkan nilai kewajaran sebuah film, yaitu nilai sesungguhnya dari film tersebut dikalikan tarif BM yang sebenarnya diinginkan untuk dikenakan.

Seharusnya penetapan tarif spesifik tetap berpatokan pada nilai yang wajar dari film impor. Tidaklah bijaksana tarif tersebut ditetapkan atas dasar usulan importir film yang tidak pernah transparan dalam memberikan informasi tentang nilai film yang diimpor dan telah terbukti bersalah melakukan under invoiceatau tax avoidance. Salah satu data yang dapat digunakan adalah data mengenai nilai yang sesungguhnya dibayar importir kepada pemilik film impor, yang diperoleh dari hasil post clearance audit Ditjen Bea Cukai di atas.

Diterimanya usulan importir membuat seolah-olah pemerintah membenarkan bahwa nilai transaksi film impor rata-rata per meter Rp 6.000 atau per judul hanya Rp 900 juta (untuk 50 kopi). Padahal, nilai film impor per judul dapat mencapai Rp 25 milyar, karena hasil edarnya dapat mencapai lebih dari Rp 50 milyar. Film impor yang diimpor dengan jumlah 50 kopi boleh dikatakan adalah film impor besar dan mempunyai nilai edar yang tinggi. Biaya produksinya kadang-kadang lebih dari Rp 3 trilliun.

Perhitungan dengan data boxofficemojo.com menunjukkan bahwa hasil peredaran per judul sekitar Rp 5,8 milyar, bukan Rp 900 juta seperti disebut di atas. Pendapatan hasil edar 65 judul film MPA dengan 2.687 kopi (rata-rata per judul 41 kopi) yang diimpor/diedarkan di Indonesia pada tahun 2010, sekitar US$ 80 juta (Rp 750 milyar). Artinya: bagian yang disetorkan ke pemilik film di luar negeri separuhnya (separuh lagi milik bioskop) alias Rp 375 milyar. Dan bila tarif BM 10%, maka yang seharusnya dibayar tahun 2010 adalah Rp 37,5 milyar atau per kopinya lebih kurang Rp 14 juta (Rp 37.5 milyar dibagi 2.687 kopi). Hal ini lagi-lagi membuktikan bahwa tarif spesifik usulan importir terlalu rendah. Hanya sekitar 12,80% dari perhitungan BM yang seharusnya (Rp 4,8 milyar berbanding dengan Rp 37,5 milyar).

Usulan tarif spesifik versi importir (yang kebetulan juga pemilik jaringan bioskop terbesar), tidak sesuai dan bertentangan dengan asumsi bahwa film impor (terutama dari MPA) itu perlu ada, agar bioskop tidak mati dan mall tidak sepi. Usulan tersebut membuktikan bahwa importir masih berupaya melakukan pembohongan terhadap nilai atau hasil edar film impor atau nilai wajar dari sebuah film impor.

Besaran tarif yang diusulkan menunjukkan bahwa asumsi yang digunakan pengusul, pada setiap pertunjukan di layar bioskop seolah-olah hanya akan memperoleh sekitar 18 penonton atau Rp 360.000 dengan harga rerata tiket Rp 20.000 (Asumsi pendapatan Rp 900 dibagi 50 layar, dibagi lagi 20 hari dan jumlah tayang lima kali per hari). Padahal diasumsikan pemutaran film impor mampu mendatangkan banyak penonton ke bioskop, dan menyedot kantong masyarakat dalam jumlah besar.

Pemberlakuan tarif yang diusulkan, membuat beban pajak film impor jauh lebih ringan dibandingkan beban pajak produksi film nasional (10% dari biaya produksi film). Bila biaya film nasional yang baik rata-rata mencapai Rp 5 milyar, maka pajaknya Rp 500 juta. Tarif spesifik tersebut (Rp 20.000/menit atau Rp1,8 juta/kopi) makin tidak wajar, bila mengacu tarif yang berlaku di Thailand, yaitu per meter 30 baht atau US$ 1 atau Rp 9.000. Artinya, per kopi (3.000 meter/90 menit) US$ 3.000 (sekitar Rp 27 juta). Besaran tarif spesifik ini seyogyanya yang paling tepat ditetapkan di Indonesia, karena telah diterapkan di Thailand beberapa tahun lalu dan terbukti berhasil membuat perfilman Thailand maju dalam arti luas, dan MPA tunduk pada ketentuan ini selama bertahun-tahun, sehingga tidak ada alasan untuk memprotes kebijakan pemerintah Indonesia dengan alasan WTO dan lain-lain.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tarif spesifik BM per menit Rp 20.000 atau per meter Rp 600 adalah terlalu rendah, tidak wajar dan tidak berdasarkan suatu nilai film yang wajar dan data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan, sehingga harus ditolak serta dikoreksi.

Tidak adanya transparansi data tentang hasil edar film di Indonesia, sebenarnya masih menyimpan potensi kemungkinan ‘ditemukannya’ jumlah hasil edar dan nilai yang dibayarkan kepada pemilik film di LN yang lebih besar daripada hasil audit yang sudah dipublikasikan.

Demi tercapainya misi film nasional sebagai karya budaya yang dapat berfungsi menjadi benteng budaya, media pendidikan sesuai dengan UU perfilman, maka pemerintah wajib membela film nasional, dan meniadakan persaingan yang tidak sehat dari film impor.