Penonton film Rumah Tanpa Jendela pasti kenal dengan karakter Aldo, anak yang berasal dari keluarga berkecukupan, mengidap down syndrome, dan tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya. Karakter ini dimainkan oleh Emir Mahira, yang sebelumnya dikenal lewat film Garuda Di Dadaku. Emir bercerita tentang proses latihan dan riset yang ia lakukan untuk memainkan karakter Aldo: apa yang ia lihat dari seorang pengidap down syndrome dan pentingnya sebuah pertemanan.
“Film memang punya kelebihan masing-masing, tetapi film anak yang baik adalah film yang inspirasional, memiliki moral dan makna yang bagus, sehingga bisa dicontoh untuk anak-anak, juga harus riang,” kata Emir saat ditanyakan film seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk anak-anak seusianya. Emir juga menyampaikan bahwa hal-hal tersebut lengkap tersaji di film Rumah Tanpa Jendela. Itu kenapa ia setuju untuk bermain di film ini.
Ibunda Emir yang mendampingi selama wawancara menjelaskan, pada awalnya ia bertemu dengan Aditya Gumay, Sutradara Rumah Tanpa Jendela di ajang Indonesian Movie Award 2010 (Emir menjadi unggulan pada kategori Pemain Anak-anak Terbaik). Orangtua Emir melihat film Emak Ingin Naik Haji, yang diangkat dari cerpen Asma Nadia dengan judul sama, memiliki visi yang baik. Apalagi jadwal syuting juga tidak berbenturan dengan jadwal sekolah. Karena itu ia menyetujui bergabungnya Emir dalam produksi ini.
Emir bercerita bahwa ia melakukan riset sebelum syuting. “Pertama aku belajar dari internet, termasuk beberapa video tentang mereka. Selain itu aku juga punya teman yang memiliki special needs seperti ini juga, jadi aku tahu mereka kurang lebihnya seperti apa.” Ibunda Emir menambahkan bahwa di sekolah Emir, sewaktu SD , di setiap kelasnya setidaknya ada dua siswa spesial seperti karakter Aldo, dan Emir pun sudah terbiasa berinteraksi dengan mereka.
Di Sanggar Ananda, Emir pun dilatih oleh Aditya, bagaimana caranya mendalami karakter Aldo. “Anak dengan special needs seperti Aldo itu attention span-nya agak kecil, jadi susah juga untuk memperhatikan orang lain. Di sini aku dikasih tahu sama Om Adit, sutradara, bagaimana caranya supaya bisa mengeluarkan gerakan yang konsisten, juga caranya berbicara.Oleh Om Adit, aku diminta menginterpretasikannya lalu dievaluasi, sampai didapat hasil yang baik. Aku juga ceritakan apa yang aku lihat dari teman-temannku yang mengidap autis dan mendiskusikannya dengan Om Adit,” jelas Emir.
“Mereka belum memahami bahwa semua orang itu sama. Kamu tidak bisa melihat buku hanya dari sampulnya”, kata Emir perihal orang-orang yang masih memandang anak-anak pengidap down syndrome dengan negatif. “Kadang mereka juga punya bakat-bakat spesial, mungkin seperti Einstein, karena aslinya orang-orang tidak melihat Einstein sebagai orang yang normal, seperti mereka,” lanjutnya. Emir juga menambahkan bahwa teman-teman di sekolahnya dulu adalah teman-teman yang sangat asik untuk diajak mengobrol dan bermain.
Menjadi teman adalah hal penting menurut Emir. Tidak hanya untuk anak-anak pengidap down syndrome, tetapi juga untuk anak-anak yang kurang mampu. “Memang bisa dengan saling berbagi, memberikan buku-buku, alat tulis, juga bisa memberikan bantuan, seperti uang sekolah. Semua itu bisa diawali dengan berteman,” jelas Emir.
Ketika ditanyakan apa yang ingin ia lakukan apabila ia sudah cukup besar dan memiliki daya untuk membantu anak-anak Indonesia yang kurang mampu dan memiliki keterbatasan fisik ia menjawab, “Aku ingin membuat sekolah, yang dipenuhi dengan beragam teman-teman, baik yang biasa, yang mengidap down syndrome seperti Aldo, serta dilengkapi dengan bantuan sekolah gratis untuk anak-anak yang kurang mampu, agar mereka bisa berteman secara alami. Setidaknya anak-anak penderita autisme bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi anak-anak yang normal. Menurutku itu yang mereka butuhkan,” ujarnya.