Nama Eva Celia mungkin masih jarang muncul di layar lebar. Namun, sebagai pendatang baru, Eva boleh dibilang berhasil memberi warna tersendiri dalam film Pendekar Tongkat Emas (2014) garapan Sutradara Ifa Isfansyah. Bagi Eva, film ini adalah film keempatnya yang berdurasi paling panjang sekaligus menantang. Sebab tidak hanya berakting, putri dari pasangan Indra Lesmana dan Sophia Latjuba ini juga dituntut untuk beradu teknik wushu dengan sesama pemain.
“Di film ini saya berperan sebagai Dara, salah satu murid dari perguruan Tongkat Emas yang dipimpin oleh Pendekar Cempaka (Christine Hakim). Secara kemampuan, Dara bisa dibilang belum sehebat kakak-kakak seperguruannya, Biru (Reza Rahadian) dan Gerhana (Tara Basro). Tapi dia memiliki hati yang jujur dan tekad yang kuat untuk menjadi pendekar bijak suatu saat kelak.” ujarnya.
Eva lanjut bercerita soal proses latihan bela diri yang ia jalani selama kurang lebih tujuh bulan. Latihan intensif yang dimulai sejak pertengahan tahun 2013 itu diakui sulit lantaran pengalaman bela dirinya cukup minim.
“Terakhir saya belajar bela diri itu sekitar umur 12-an. Itupun tidak terlalu lama. Proses latihan bela dirinya sendiri sangat melelahkan, menguras tenaga. Tiga bulan pertama kami intensif latihan fisik. Segala sesuatu yang mencakup ketahanan stamina dan fleksibilitas tubuh benar-benar digodok. Setelah itu baru masuk ke gerakan-gerakan wushu. Dari penggunaan tongkat sebagai senjata, aksi reaksi bela diri, sampai sparring langsung dengan pelatih.” tuturnya bersemangat.
Ia lalu menambahkan, “Saya dan teman-teman sangat beruntung mendapatkan pelatih bela diri (Xin Xin – Hong Kong) yang keras. Kami diajarkan untuk berdisiplin melalui latihan fisik setiap harinya. Itu sebabnya saya percaya kalau hasil akhirnya akan maksimal.”
Perdana bermain dalam film laga, Eva amat bersyukur karena mendapat dukungan penuh dari semua pihak, termasuk kedua orangtuanya. Eva mengaku, berkat dorongan positif inilah, Ia mampu memberikan yang terbaik.
Di samping itu, Eva yakin film ini akan membuka peluang baru untuknya di kemudian hari. “Artinya, kalaupun ke depannya ada tawaran lagi untuk berpartisipasi dalam film laga, saya percaya kalau saya sanggup. Dengan catatan, standarnya seperti film ini. Senang sekali kalau seandainya ada tawaran main lagi di film laga! Soalnya sejak kecil saya memang sudah menyukai genre ini. Bisa ikut bermain dalam film ini adalah mimpi yang jadi kenyataan. This is a dream come true!” Ia tertawa.
Kesan Pertama dan Sedikit tentang Sumba
Dari seluruh adegan laga, adalah adegan pertarungan terakhir yang paling meninggalkan kesan bagi Eva. “Adegan Final Fight itu panjang banget! Satu adegan itu saja memakan waktu dua minggu syuting. Selain itu kostum yang harus saya kenakan juga berat, ditambah udara Sumba yang luar biasa panas.”
Selama proses syuting si Sumba, Eva juga sering berkonsultasi dengan Christine Hakim soal pemahaman karakter dan lain sebagainya. Sedangkan untuk referensi, Eva mengaku tidak terlalu berusaha menonton film laga atau film-film serupa, karena Ia tidak ingin terpatok dengan karakter yang ada di film lain. “Saya ingin menggali dan mendalami karakter Dara dengan cara dan interpretasi saya sendiri.” jawabnya.
Di samping itu, meskipun adegan-adegan laganya menantang, Eva menganggap adegan dramanya juga tidak kalah susah. Eva dan para pemain dituntut untuk menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar baku, yang tidak mereka pakai sehari-hari. Dalam hal ini, Eva tidak bisa menghindar bahwa Ia masih merasa susah untuk keluar dari kebiasaan berbicara ala anak Jakarta Selatan.
“Yang tidak saya sangka, nuansa Sumba ternyata menjadi penting. Saya baru benar-benar dapat mencerna karakter Dara tepat ketika mendarat di pulau itu dan berjalan-jalan di sekitar areal syuting. Mungkin itu semua berkat keindahan Sumba yang tidak dapat digambarkan lewat kata-kata. Coba ke sana dan saksikan sendiri. Saya betah banget di sana!” ia tergelak. “Hal kecil yang buat saya juga menarik, di Sumba kami dituntut untuk menghitamkan kulit. Jadi kami tidak melakukan perawatan kulit sama sekali. Seru saja, biasanya dituntut ini itu untuk urusan make-up, sekarang malah dituntut untuk hitam keling.”
Eva merasakan banyak sekali pelajaran yang telah Ia petik lewat film ini. Selain belajar bela diri tentunya, Ia juga belajar mendalami karakter, belajar bekerja sama dengan berbagai macam orang dari latar belakang dan pribadi yang bermacam-macam. “Banyak banget! Apalagi karena kami juga bekerja sama dengan pelatih dari Hong Kong dan masyarakat lokal Sumba. Saya jadi belajar menjadi fleksibel agar bisa berbaur dengan mereka.” pungkasnya.
Walhasil, bagaimana dengan ekspektasi Eva sejak dari awal menerima peran, sampai akhirnya menonton film ini? Tanpa berkedip, Ia menjawab lantang, “Beyond expectation!”