Meski Di Atas Kanvas Cinta, film pertama Damien Dematra, tidak bercerita tentang tokoh yang dikenal khalayak luas, namun setelah menulis skenario film Obama Anak Menteng, ia lebih sering terdengar melakukan persiapan film biografi. Seperti bulan Maret silam tersiar kabar Damien bekerjasama dengan London School of Public Relations berhasil memecahkan Rekor MURI dan Guinness World Record, untuk pengerjaan film tercepat, 9 hari saja, lewat film Dream Obama. Film keempatnya, Si Anak Kampoeng beredar Kamis (21/04). Kepada FI Damien bercerita tentang alasan mengapa ia memilih untuk memproduksi film biografi, serta proses yang ia jalani untuk memproduksi Si Anak Kampoeng.
FI: Dari empat film yang melibatkan diri anda dalam produksi, mengapa anda lebih memilih untuk mengerjakan film biografi?
DD: Saya menemukan fakta di lapangan, bahwa film menjadi sebuah budaya modern yang menentukan masa depan suatu bangsa. Apabila kita dijejali terus dengan film-film horor dan vulgar, bagaimana jadinya generasi muda kita ke depan? Padahal film itu adalah inti dari budaya modern saat ini. Pembentukan kebudayaan sekarang ini didominasi oleh film. Jadi ini lebih ke faktor idealisme.
Sebelumnya saya coba bikin film yang bukan biografi juga, tetapi kemudian saya menemukan tempat saya di sini. Saya merasa membuat film itu butuh persiapan panjang. Jadi kalau saya akan membuat film yang membutuhkan waktu lama, kenapa harus membuat sesuatu yang hanya sekedar semua orang sudah tahu.
FI: Mengapa sekarang dirasa waktu yang tepat untuk mengeluarkan film biografi Syafi’i Maarif?
DD: Pada saat beliau menolak untuk diangkat biografinya ke dalam novel dan film, karena takut dianggap narsis, saya sampaikan kepadanya, Indonesia mengalami kelangkaan kepemimpinan yang bersih. Permasalahan dianggap narsis, biarlah saya yang menanggungnya, tetapi inspirasi itu adalah sesuatu yang menjadi tanggung jawab Buya untuk diberikan ke generasi muda.
FI: Pada produksi Si Anak Kampoeng, anda memegang banyak sekali jabatan. Hal yang sama juga saya lihat ada di beberapa film anda sebelumnya, mengapa?
DD: Saya sangat menyukai proses pembuatan film. Hal itu merupakan ekspresi diri saya. Pertimbangannya karena saya idealis dan perfeksionis. Jadi kadang-kadang kalau saya bekerja dengan kepala kreatif yang lain, yang terjadi adalah konflik. Lagi pula kalau kita lihat, scriptwriting itu dikerjakan di preproduction. Sutradara berkerja pada saat preproduction dan pada saat shooting. Kebetulan, saya adalah sutradara yang tidak suka menggunakan monitor, karena menurut saya itu boros waktu, maka saya menjadi penata kamera, sehingga saya bisa melihat langsung ke viewfinder. Untuk pekerjaan produser, saya tidak sendirian. Ada tim produksi juga.
FI: Secara matematis, hal itu memang sangat mungkin dilakukan, tetapi membutuhkan energi yang banyak, apalagi untuk film panjang. Anda tidak kesulitan menghadapi masalah tersebut?
DD: Kendala teknis memang ada, tetapi film ini saya buat selama dua tahun. Dari awal saya yang membuat desain film ini. Jadi hal tersebut bisa saya jalani. Mungkin juga karena saya sendiri tipe orang yang memiliki kelebihan energi (tertawa). Kita ambil contoh bila saya bekerja dengan seorang editor misalnya, saya khawatir di saat terbenturnya ide kita, nantinya editor tersebut akan tersinggung, merasa sebagai tukang, tidak bisa berkreatifitas dan sebagainya. Lebih baik saya belajar teknis editing, dan mengambil porsi sebagai editor. Lagi pula dengan cara ini saya bisa menekan biaya. Itu kenapa ke depannya saya memilih untuk melakukannya lagi dan berniat untuk menambah asisten. Akan lebih baik, bagi saya, untuk bekerja dengan beberapa asisten daripada dengan seorang editor, atau orang yang terbiasa di jabatan-jabatan lainnya.
FI: Dari jawaban anda sebelumnya, membuat film untuk bioskop jadi sesuatu yang mudah. Apakah memang demikian?
DD: Memang mudah kok. Tetap banyak masalah, tetapi bagaimana kita menyikapinya saja. Kalau kita menyikapinya dengan fun, jadi mudah. Buktinya saat saya memproduksi film Dream Obama, yang memecahkan rekor dunia. Dalam 9 hari, kita menyelesaikan pembuatan skenario sampai dengan premiere. Saya melatih mahasiswa LSPR selama dua minggu untuk membuat film. Saya memberikan mereka beberapa tugas untuk membuat film-film pendek. Melatih mereka dari nol sampai jadi seorang pembuat film. Saat ini Dream Obama sedang menunggu tanggal tayang di bioskop, mungkin setelah lebaran.
FI: Maksudnya dengan sistem yang instan?
DD: Mengambil kata-kata Spielberg, film terbaik kita adalah film pertama kita. Setelah film-film tugas pertama mereka, yang biasanya hancur, mereka akan belajar. Jadi metodenya memang praktik langsung dan belajar dari kegagalan. Saya melihat hal itu lebih baik daripada sekedar baca buku atau duduk di ruang kuliah. Metode itu yang kita lakukan dan berhasil. Saya yakin apabila anak-anak SMA misalnya mau bekerjasama dengan proyek serupa ini, kita bisa persiapkan mereka menjadi film maker dalam waktu dua minggu, dengan standar yang mumpuni.
FI: Berapa perkiraan penonton Si Anak Kampoeng?
DD: Untuk kalangan Muhammadiyah sendiri, kita menargetkan 15 juta penonton. Ini di luar pemutaran di bioskop. Kami rencanakan film ini untuk didistribusikan dan diputar ke basis-basis Muhammadiyah yang ada di seluruh Indonesia. Termasuk diputar di 15.000 sekolah Muhammadiyah. Jadi kalau 15.000 sekolah dikalikan 1000 murid, itu kan setidaknya sudah 15 juta.
Buya sudah pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah selama dua periode. Kemudian beliau sangat dekat dengan masyarakat lintas agama, dikenal sebagai tokoh pluralis, bahkan dikenal sebagai guru bangsa. Karena itu, film ini sudah memiliki basis penonton.
Film ini sebenarnya film trilogi, Si Anak Kampoeng merupakan bagian pertama. Di bagian kedua kita akan mengambil proses perjuangan beliau di Jawa, dan yang ketiga: ketika beliau berjuang di Amerika. Jadi kita akan shooting sampai ke Amerika untuk yang film yang ketiga.