Sosok HB Naveen mungkin masih asing di dunia perfilman tanah air, namun pemilik rumah produksi Falcon Pictures ini tidak main-main untuk membangun industri film nasional. Baginya film adalah pencapaian tertinggi dalam industri media. Walau tidak memiliki latar belakang film, Naveen percaya setiap pekerjaan yang dilakukan secara serius akan mendapatkan hasil yang diharapkannya.
"Sebenarnya background saya di periklanan. Terus saya melihat seumur hidup saya berusaha di media. Walaupun jadi tukang koran nggak masalah, yang penting media. Musik juga media. Dan perfilman adalah media yang paling agung, puncaknya segala media. Ekspresi seni dan media terakhir adalah film. Perjalanan puncak ya harus ke Everest. Dan film adalah tujuan kami," ungkap Naveen mantab.
Naveen mulai dengan merilis beberapa film seperti Dawai 2 Asmara, Milli & Nathan, Semesta Mendukung, Sajadah Ka'bah, dan yang paling baru adalah Xia Aimei. Jika diukur dari jumah penonton, memang bisa dikatakan apa yang dirintisnya belum bisa dibilang menggembirakan. Namun pria yang dilahirkan di Jakarta 16 Desember 1971 itu menolak untuk menyerah dan terus untuk berusaha.
"Dua tahun pertama dalam usaha adalah tahap belajar. Kami mempelajari kekurangan-kekurangan setiap film yang kami buat dan kami pelajari cara menghadapi masyarakat yang kami jadikan target. Dan saya tidak akan lari dari medan sampai saya mendapatkan sukses. You must try, try, and try again," jelasnya.
Ke depan ia tidak hanya membuat film, tapi setiap filmnya harus mempunyai nilai lebih. "Ada dua hal yang kami anggap penting: filmnya sendiri dan komunikasi dan promosi juga penting. Bukan orang tahu saja, tapi membuat orang ingin nonton itu sangat penting. Kami bikin film bukan untuk kami, tapi untuk masyarakat. Dan bagaimana membuat film berkualitas yang kita campurkan dengan budaya kita," papar pria yang hobi baca dan olahraga ini.
Merestorasi Film-Film Lama
Selain akan memproduksi sembilan film baru tahun ini, keseriusan Naveen dalam industri perfilman tanah air adalah merestorasi ratusan film lama untuk dijadikan properti perusahaaanya. Walau tidak mudah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, Naveen optimis keputusannya itu akan berdampak positif baginya dan perusahaan yang dipimpinnya di masa depan.
"Ini bukan hanya mencari uang saja. Bisnis film sangat berisiko. Kalau ini dibikin sumber dagang susah sekali. Cuma saya percaya dan saya serius. Saya punya 300 judul film lama yang sudah saya beli. Kita serius untuk merestorasi semua film-film itu. Kita rapikan dan akan kita jual lagi. We are very very serius about this business. Sekitar 50 judul film sudah selesai direstorasi. Semuanya film-film masterpiece yang kami restorasi. Karena untuk tampil di TV tidak boleh ada bintik-bintik, tapi tetap menjaga unsur klasiknya," urainya.
Beberapa karya film yang dibintangi oleh Rhoma Irama, Benyamin S., Warkop, dan Barry Prima telah dimilikinya dan kini sedang dalam tahap perbaikan. Naveen optimis ke depan akan ada layar-layar baru yang bisa menampung film-film tersebut. "Jadi kami percaya media ini berkembang, banyak TV kabel yang buka dan kita lihat di Amerika ada Netflix yang menjadi sebuah layar yang menghasilkan dan bisnis sangat besar. Dulu awalnya orang sewa DVD, sekarang orang sewa film online secara streaming. Sekarang ada 40 juta pelanggan broadband, tapi dalam jangka waktu empat sampai lima tahun akan jadi 100 juta orang. Jadi akan ada layar-layar baru yang keluar. Jadi kami tidak ragu saat mengeluarkan 100 sampai 150 juta untuk merestorasi film-film Rhoma Irama," kata Naveen.
Namun bukan berarti usahanya dalam merestorasi ini tidak menemui kendala. Salah satunya adalah saat mencari sumber film tersebut. Sangat sulit untuk mendapatkan film-film yang diinginkannya. "Restorasi yang terbaik adalah dari negatifnya, tidak akan kalah dari kualitas sekarang. Tapi cari negatifnya setengah mati. Kami sudah hubungi dan kerja sama dengan Sinematek, tapi di Sinematek juga tidak tersedia banyak. Sebagian saya dapat dari Sinematek, walaupun tidak banyak, sebagian dari layar tancap. Terus yang nggak ada kita cari dari pita Betacam-nya. Memang itu tidak akan jadi konsumsi bioskop lagi, tapi bisa dikonsumsi di media-media yang saya sebutkan tadi," ungkap Naveen.
Seiring dengan tekadnya itu Naveen berharap budaya nonton yang ada di masyarakat Indonesia bisa kembali lagi. Karena hal itu sangat penting untuk membangun dunia perfilman di tanah air. "Harapan saya yang paling penting budaya nonton itu harus kembali lagi. Bagi kami, orang tidak boleh segampang beli Rp. 7.000 beli film bajakan. Gara-gara itu, budaya nonton jadi di rumah bukan di bioskop. Jadi kalau saya mau nonton film bagus, ya harus ke bioskop," ujarnya.