Jauh sebelum rencana pembuatan film tentang Wiji Thukul, saya sudah menemui Gunawan Maryanto untuk meminta pendapat sekaligus meminangnya memainkan Siman, astronot dari Bantul di film yang berjudul The Science of Fictions yang akan saya bikin. Bahkan kami pernah membuat video teaser berdurasi pendek dengan kamera ala kadarnya di Gumuk Pasir Parangkusumo. Malang nasib film ini tak segera dapat uang untuk produksi, akhirnya datang tawaran untuk membuat film tentang Wiji Thukul. Tidak ada yang lebih cocok selain Mas Cindhil untuk memainkan Wiji.
"Dulu aku pernah slisipan dengan Thukul waktu dia membaca puisi di Beringharjo. Aku datang saat dia sudah tidak di sana," katanya dengan Bahasa Jawa yang menambah percaya diriku memilih dia memainkan Thukul. Lucu memang, tapi ujaran itu juga menjadi semacam kesepakatanku dengannya, bahwa Thukul yang hendak kami bikin adalah sosok yang dekat tapi tetap misterius dan tidak teraih tangan.
Kami berproses cukup intens soal Thukul, mulai dari membedah beberapa puisi sampai mencari bentuk gestur Thukul yang akan muncul dalam versi tafsir sinematik ini. Dia memilih menggunakan cara observasi teman di sekitar yang bisa kami jadikan referensi 'menghidupkan' Thukul. Pilihannya jatuh pada (alm.) Mas Kucluk, alasannya Mas Kucluk ini orangnya bludas-bludus, sering tiba-tiba ada, tiba tiba ilang.
Mas Cindhil meyakinkan saya untuk memasukan puisi Wiji Thukul yang berbahasa Jawa berjudul Ing Telenging Ning (kira-kira berarti Dalam Keheningan). Saya ingat-ingat lagi, mengarahkannya menjadi Thukul itu perkara yang mudah karena Mas Cindhil seperti sudah menubuhkan kata-kata yang ada dalam puisi-puisi Thukul; geraknya, sorot matanya, caranya berbicara, pilihan nada saat menyuarakan bait-bait puisi di skenario tepat, hidup dan menyentuh. Dengarkan tafsir saat dia membaca (Tanpa Judul) 'kuterima kabar dari kampung/rumahku kalian geledah/dst', suaranya dalam, kelam, ada ketakutan namun penuh kemarahan. Betapa kompleksnya!
Kami datang ke Pontianak 2 kali, pertama untuk camera test dan selanjutnya beberapa minggu kemudian, proses produksi film Istirahatlah Kata-Kata dilakukan selama 3 minggu di sana. Dedikasi dia untuk peran ini tinggi, saat camera test, saya melihat pipinya terlalu tembem untuk ukuran Thukul yang tirus. Mas Cindhil lalu meniatkan diri untuk tidak makan nasi sampai film ini usai diproduksi agar pipinya tirus. Pada saat pengambilan gambar scene Thukul makan nasi bersama Sipon, itu adalah nasi perdana dia setelah berminggu-minggu puasa nasi.
Kejadian yang sangat menarik adalah saat dia tiba-tiba menghentikan aktingnya di sebuah scene menuntun sepeda di dekat bekas bioskop Sui Kakap, dia mengangkat tangan, saya kaget dan bertanya kenapa.
"Sik, untu palsuku ketinggalan di basecamp!".
Memang saat memainkan Thukul dia memakai gigi palsu prostetic untuk mendukung kemiripan dengan tokoh aslinya. Kalau tidak sedang pengambilan gambar, ya gigi palsunya dilepas, eeee ini ketinggalan. Ya ampun, kukira kenapa, Mas.
Mas Cindhil punya energi lebih untuk melayani teman-teman pegiat teater Pontianak untuk ngobrol berjam-jam di warung kopi dekat hotel. Dia seperti seorang superstar di sana, dielu-elukan. Saat break shooting, dia datang ke basecamp teater di sana untuk melihat latihan atau obrolan mendalam lainnya. Kamarnya sering sekali didatangi serombongan pegiat teater untuk ngobrol dan sesekali minum bir atau arak.
Ada hal lucu saat kami melakukan proses pengambilan gambar di sebuah lokasi yang kamar mandinya gelap dan kotor. Karena kepepet, Mas Cindil kencing di situ. Saat mau menyiram, dia tidak menyangka bahwa bak airnya terisi sedikit sekali, karena tubuhnya yang kecil dan sisi bak terlalu tinggi, dia tidak bisa meraih air yang ada di dasar bak. Tubuhnya nyangkut di pinggiran bak.
"Awakku temangsang mau pas nyiduk banyu," katanya kami sambut dengan gelak tawa. Dia memang sering memilih kata-kata yang unik saat mendeskripsikan sesuatu, ah dasar penyair!
Istrahatlah Kata-Kata (IKK) membawa kami ke mana-mana. Di Busan tahun 2016, begitu mendarat kami dijemput mobil mewah yang di samping kursinya banyak tombol-tombol. Entah gimana, saya salah pencet tombol dan Mas Cindil yang duduk di sampingku kaget menggelinjang, katanya kursinya bergerak-gerak kayak kursi pijat memijat-mijat punggungnya! Ah ada-ada saja, masak mobil ada kursi pijatnya. Kami terbahak-bahak, karena mau nanya sopirnya juga nggak bisa Bahasa Korea. Di Busan rombongan IKK memanggil dia Park Cin Dil dan setiap selesai pemutaran, ada saja yang meminta foto bareng dengannya.
Dia banyak sekali datang ke pemutaran dan diskusi IKK di kota-kota di Indonesia. Pada saat pemutaran dan diskusi di Malang, saat itu saya tidak hadir karena sedang berada di Rotterdam, dia berkelakar bahwa pemutaran penuh dengan penonton dan mungkin sebagian besar intel.
Istirahatlah Kata-Kata menjadi film yang fenomenal karena Mas Cindhil berhasil menghadirkan lagi Wiji Thukul. Banyak pengakuan dilontarkan bahwa Mas Cindhil mirip sekali dengan Wiji Thukul. Belakangan setelah gegap gempita pemberitaan dan peredaran film ini saya punya pikiran yang aneh. Sampai dia pergi kemarin, saya menyesal belum pernah sampaikan soal ini langsung kepada Mas Cindhil; saya pernah merasa takut kalau Mas Cindhil terlalu disamakan dengan Thukul. Saya takut kalau Mas Cindhil merasa hal itu mengganggunya karena mereka sama-sama sastrawan, pembuat puisi. Tapi kemudian, ketakutan itu saya tepis perlahan dengan kolaborasi yang lain di The Science of Fictions, dia menjadi Siman, astronot dari Bantul.
Mas Cindhil adalah seajaib-ajaibnya seorang aktor. Dia berhasil membuat tokoh Siman yang tidak masuk akal menjadi manusia utuh. Siman, tokoh fiktif yang bergerak pelan seperti astronot di angkasa nampak di film sangat alami; seperti tetangga yang aneh saja, nyata seperti saat kita buka jendela dan melihat seseorang sedang menyapu tidak lebih tidak kurang. Itulah keajaiban yang saya rasakan di depan layar monitor saat pengambilan gambar. Dia bergerak pelan, menatap tanpa bicara apapun, bersemangat saat bercerita dengan gerakan, dan tubuhnya itu benar-benar seperti novel tebal penuh kata-kata dalam bab-bab yang selalu penting. Dia pernah meminta agar saya memberinya dialog untuk Siman, saya menyetujuinya dan kami ambil gambarnya dengan serius. Di meja editing, saya tidak memasukkan scene dialog Siman. Hal itu sering dia ceritakan kalau sedang Q and A selepas pemutaran film. Saat proses pembuatan The Science of Fictions tidak ada hal yang terlalu sulit soal keaktoran. Selain karena Mas Cindil terbiasa olah tubuh di teater -secara khusus mempelajari butoh-,juga karena film itu sudah mengendap lama di obrolan-obrolan kami selama 5 tahunan. Bahkan, Mas Cindil punya rencana menulis novel tentang Siman. Saya merasa terhormat dengan rencana itu, namun suatu hari dia memberi kabar bahwa bab-bab awal yang sudah dia tulis hilang bersama dengan hilang/rusaknya laptopnya.
"Nggak papa nanti bisa mulai lagi," sepertinya itu yang dia katakan.
Dia memang selalu positif melihat segala persoalan.
Kami berombongan pergi bersama ke Locarno untuk menayangkan The Science of Fictions perdana. Saya ingat, dia berkenalan dengan art director-nya Pedro Costa di mobil yang membawanya ke hotel dari bandara dan berkenalan dengan Park Jung Bum sutradara Korea. Dengan Jung Bum, Mas Cindhil nampak akrab sekali karena mereka sama-sama pelaku teater. Bahkan beberapa bulan selanjutnya mereka mengatur perjumpaan lagi di Busan. Sungguh gembira karena di Locarno kami mengangkat 2 piagam bersama-sama. Saat Mas Cindhil mendapat Piala Citra untuk perannya sebagai Siman, saya bangga dan lega karena sesungguhnya saya kecewa saat perannya sebagai Wiji Thukul bahkan tidak masuk ke nominasi FFI beberapa tahun sebelumnya.
Kemarin Gunawan Maryanto pergi untuk selamanya menuju keabadian. Saya mengenangnya dalam rangkuman ini: Mas Gun orang baik yang bukan saja menyenangkan, dia menenangkan.
Selamat jalan, Mas.