“Saya tidak setuju dengan promo film yang dimanfaatkan dari kontroversi”, tegas sutradara Irham Acho Bachtiar perihal penahanan Lost in Papua—film yang disutradarai Irham—oleh Lembaga Sensor Film (LSF) menjelang peluncuran. “Pada dasarnya LSF bermaksud baik, namun birokrasinya sangat kaku, permintaan surat dari Bupati dalam 1 hari kemarin, juga sangat menyusahkan kami,” jelasnya. Acho juga menyayangkan tajuk yang diangkat oleh beberapa media tentang filmnya.
Melihat permasalahan-permasalahan yang Acho hadapi pada saat proses akhir film Lost in Papua, sangatlah kontras apabila dibandingkan produksi film sebelumnya Melody Kota Rusa di tahun 2010. “Film Melody Kota Rusa dibuat dengan semangat independen, waktu itu kami menyodorkan proposal pada semua perusahaan dan toko di kota Merauke. Di luar dugaan, ternyata banyak sekali yang membantu memberikan sponsor, walaupun dana yang kami dapat terhitung minim, makanya banyak kekurangan teknis dalam film Melody Kota Rusa, tapi tidak terlalu mengganggu penonton,” ceritanya.
Acho juga merasa Pemerintah Daerah Merauke membantu dengan baik. “Ketika kami mendaftarkan hak cipta film ini ke Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi, mereka sangat senang membantu sebab selama ini mereka tidak pernah mengurusi film dan baru kali ini,” jelasnya. Pemutaran Film Melody Kota Rusa hanya di beberapa kota di Indonesia bagian timur. Merauke sendiri, menurut Acho, tidak memiliki ruang pemutaran, baik itu komunitas film mupun kantong-kantong budaya, namun kembali Acho didukung oleh pemerintah daerah dalam proses distribusi dan eksibisinya. Pemerintah Daerah Merauke, diwakili oleh Wakil Bupati Merauke kala itu memberikan rekomendasi kepada Dinas Pendapatan Daerah untuk menghapuskan pajak reklame dan tiket untuk film ini. Menurut penjelasan Acho, hak penayangan Melody Kota Rusa sempat dibeli oleh Pemda Merauke, untuk diputar pada saat HUT Merauke selama dua hari dan dibanjiri oleh puluhan ribu orang.
Tak lama setelah peluncuran film Melody Kota Rusa, lewat salah satu sahabatnya, Acho bertemu dengan pihak Production House Nayacom, yang akhirnya bersedia untuk memproduksi Lost in Papua. Film ini bercerita tentang mitos unik hutan Boven Digoel yang jarang diangkat. Ide ceritanya berasal dari teman masa kecil Acho di Merauke.
Diakui Acho ia berniat untuk membuat sesuatu yang berbeda dari beberapa film genre drama dengan latar Papua yang sebelumnya sudah hadir. “Makanya kita mencoba sesuatu yang beda dan menyimpang dari jalur yang ‘biasa’. Suku yang betul betul realitas dalam film itu adalah suku Korowai sedangkan suku yang aneh dengan segala ritualnya itu adalah suku khayalan alias hanya sebuah mitos,” jelasnya. Ia memilih untuk menggunakan suku yang tidak nyata (mitos), sebagai suku yang dianggap jahat, karena ia tidak ingin membuat ada suku yang tersinggung.
Mengenai penahanan film Lost in Papua oleh Lembaga Sensor Film, Acho menjelaskan, “LSF hanya meminta ada surat jaminan dari Bupati Boven Digoel selaku pemilik daerah di mana adanya adegan yang paling dianggap heboh dalam film ini. Setelah keduanya bertemu maka kepala LSF pun akhirnya menandatangani surat ijin tayang dan film dapat diputar pada malam harinya. Tujuannya baik yakni agar semuanya aman dan clear.” Acho sendiri menyayangkan isu-isu negatif dari film ini dipelintir menjadi provokasi. Sementara menurutnya film ini sama sekali tidak bertujuan negatif. Oleh LSF, Lost in Papua telah mengalami pemotongan pada 10 bagian. Acho mengatakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan dan menambahkan, “Bagi saya yang jauh lebih penting adalah rakyat Papua tidak diadu domba.”