Artikel/Sosok Leo Fioole: Seorang Profesional dalam Bidangnya

Sosok JB Kristanto 01-09-2004

Leo Fioole (54 tahun) yang lebih dikenal dengan sebutan Oom Pie dan terakhir ganti nama menjadi Lufthi Nusirwan (semenjak ia masuk agama Islam) kemarin telah dikebumikan di Pemakaman Umum Karet, diiringi oleh rekan-rekan perfilman yang jumlahnya lumayan banyaknya. Dari Lydia Kandou yang boleh dibilang bintang baru sampai sutradara kawakan Nawi Ismail tampak hadir. Juru kamera ini memang dikenal memiliki pergaulan yang akrab dan baik dengan siapa saja.

Sakitnya diawali dengan serangan jantung tanggal 22 Maret yang lalu. Serta merta ia dirawat di ICU RSUP Cipto Mangunkusumo. Dengan perawatan itu keadaannya membaik hingga ia kemudian dipindah ke ruang perawatan biasa. Namun, serangan berikutnya menyebabkan kematiannya. Ia meninggal di rumah sakit jam 12 siang Minggu lalu. Diketahui pula bahwa Oom Pie menderita penyakit gula yang sudah lama. Beberapa kawan dekatnya bahkan menyatakan bahwa ia sebenarnya sudah lama harus diet. Namun, dietnya ini kurang tekun diikuti.

Oom Pie meninggalkan seorang istri, Ismania, yang dinikahinya pada tanggal 26 November 1979, 3 putri dan satu putra, masing-masing Yayuk Suseno (pemain film), Imam Santoso, Fitri Tris Mulyati, dan Dewi Christianti. Ketika menikah itu ia berkata: ”Yah, dalam umur saya yang mendekati habis, saya memutuskan untuk menikah.” Ia memang kawin terlambat, karena hatinya pernah tergores tajam oleh seorang wanita. Ia lalu tak pernah berpikir untuk nikah, karena hidup bujangan dirasanya lebih leluasa untuk pekerjaannya dalam film. Walaupun demikian banyak yang memanggil ”papi” padanya, termasuk pemain film Christina, yang masuk ke dalam dunia film lewat Leo Fioole juga.

Profesional

Lebih daripada sekedar dikenal sebagai orang yang bisa akrab dengan siapa saja, Leo Fioole adalah satu dari segelintir juru kamera yang punya sikap profesional. ”Sebelum menjadi juru kamera, ia sudah banyak mempelajari literatur tentang fotografi,” kata Misbach Jusa Biran, ketua KFT.

Sutomo GS, Dekan Akademi Sinematografi LPKJ, menyatakan kehilangan kawan membaca. Leo memang dikenal banyak membaca, ”khusus tentang bidangnya. Bahkan ketika ia menjadi juru suara di RRI, ia sudah banyak membaca,” kata Chalid Arifin. Berkat bacaannya itu juga ia mampu memasang peralatan rekaman stereo baru yang dimiliki perusahaan rekaman ”Irama” saat itu. Kebiasaan membaca untuk mengembangkan diri terus-menerus itu menyebabkan ia selalu mencari buku baru tentang sinematografi. Kalau perlu ia memesannya dari luar negeri. Hal ini membawa hikmah sendiri. Leo menjadi tempat bertanya tentang masalah teknis sinematografi baik bagi rekan perfilman maupun wartawan.

Solidaritas Sesama Rekan

Sikap profesionalnya jangan hanya dilihat dari hasil, kata Soemardjono, bekas ketua KFT dan Dekan Akademi Sinematografi, tapi juga dari sikap hidupnya dan solidaritas pada sesama rekan. Ia menyatakan bahwa Leo seorang yang tak pernah kikir, hingga ilmunya pun selalu diberikan pada anak didiknya, yang diajarnya secara magang.

Leo Fioole mungkin satu-satunya juru kamera Indonesia yang memiliki peralatan lengkap seperti kamera berikut sistem perlampuannya. Ini saja sudah menunjukkan sikapnya yang profesional, sehingga jika produser ingin menggunakan tenaganya sebagai juru kamera, ia sudah menyediakan peralatan berikut karyawannya sekaligus. Para karyawan yang menjadi asisten inilah yang juga menjadi muridnya.

Sebagai juru kamera ia mendapatkan hadiah tertinggi Piala Citra tahun lalu untuk filmnya Kabut Sutra Ungu. Sebelumnya ia pernah pula mendapat Piala LPKJ untuk film Semalam di Malaysia. Salah satu filmnya yang patut diperhatikan meski tidak mendapatkan penghargaan resmi adalah Yang Muda Yang Bercinta. Dalam film ini tampak apa yang ingin dikatakan oleh sutradara Ami Prijono. ”Oom Pie mungkin bukan yang paling jago dalam penataan cahaya, tapi, rasanya dialah yang paling peka dalam ritme gerak kamera.”

Kepekaannya itu mungkin karena ia bermula sebagai juru suara, bidang yang hampir tak digarapnya lagi akhir-akhir ini. Padahal film-film Usmar Ismail yang terkenal seperti Tiga Dara, Tiga Buronan, ataupun Pedjuang, penataan suaranya dikerjakan oleh Leo. Untuk bidang ini ia pernah belajar khusus karena mendapat beasiswa dari Sticusa (Stichting voor Cultuurele Samen Werking) atau sekarang Erasmus Huis di negeri Belanda.

Filmnya yang terakhir, Cinta Gigitan Pertama (Manusia Berilmu Gaib), tak sempat diselesaikannya meski tinggal sedikit saja. Yang menyelesaikan film ini adalah salah satu anak didiknya, Asmawi.

Manusia kelahiran Lhok Seumawe, 16 Mei 1927 ini, kini telah tiada. Mungkin sikap profesionalnya bisa menjadi teladan dalam dunia perfilman kita.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004) Terbit pertama kali di Kompas, 7 April 1981