Kata-kata yang menjadi judul di atas berasal dari mulut Marini yang baru saja terpilih sebagai aktris terbaik dalam Festival Film Asia ke-22 di Pusan pekan lalu. Sebelumnya, bulan April yang lalu, ia juga terpilih sebagai Pendatang Baru Terbaik dalam Festival Film Indonesia '76 di Bandung. Penghargaan-penghargaan ini berdasarkan permainannya sebagai Sarah dalam film Cinta yang disutradarai oleh Wim Umboh.
Sebelum ini Marini tentu juga telah menerima pujian dan sanjungan lain, sekalipun mungkin bukan berupa penghargaan khusus, karena pada awal karirnya ia adalah seorang penyanyi. Rekaman piringan hitamnya sebagai penyanyi memang tidak banyak. Ia mengembangkan karir—dan dengan sendirinya namanya—melalui pentas. Perjalanan dari pentas ke pentas ini sempat menggiring Marini menjelajahi pentas-pentas Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Tokyo. Perjalanan ini memakan waktu tidak kurang daripada tujuh tahun.
Sepulangnya dari ”petualangan” di luar negeri itu ia masih juga membenamkan dirinya di berbagai klab malam ibukota, meskipun hanya dengan penghasilan separuh yang diterimanya di luar negeri.
Perjalanan yang panjang dan lama ini tentu membuahkan sesuatu bagi wanita yang bulan November nanti genap berusia 29 tahun. Kalau namanya sekarang tiba-tiba meledak di kawasan Asia, maka ia hanya kaget sebentar saja. Yang segera melintas di benaknya adalah akan datangnya tawaran-tawaran selanjutnya.
Bukannya Marini tidak senang dengan apa yang telah diraihnya hingga saat ini, tapi ia merasa cukup sukar menempuh dan mengembangkan karir selanjutnya dalam situasi sudah berkeluarga seperti sekarang. Raja film Hongkong Run Run Shaw langsung menawarkan kontrak untuk satu film. Dengan halus Marini menyatakan akan mempertimbangkan. Maka heranlah Run Run Shaw: ”Baru kali ini ada wanita yang masih pikir-pikir dulu dengan tawaran saya.”
Masalahnya bukan hanya teken kontrak dan dapat duit, kata Marini. Saya punya anak, punya suami, punya bisnis sendiri yang semuanya membutuhkan perhatian tersendiri. ”Kebahagiaan keluarga adalah yang terpenting buat saya. Jauh lebih penting daripada segala macam sanjungan atau pujian.” Karena itu ia hanya mau main film paling banyak dua judul setahunnya. ”Pokoknya saya tidak mau lebih daripada setengah waktu saya dirampas oleh film.”
Sikapnya yang tegas ini–meski dikatakan dengan cukup santai–tentu merupakan buah pengalaman sebelumnya. Pernikahan pertamanya yang gagal dengan Tinton Suprapto menyebabkan ia menjanda selama enam tahun. ”Penderitaan yang saya alami saat itu sungguh-sungguh menyebabkan saya tidak mau berpikir untuk menikah lagi.” Ketelatenan dan kesabaran Didi Hadju—suaminya yang sekarang—bisa menaklukkannya. Ia pun tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu pernah dilakukannya. Kata-katanya menunjukkan bahwa keluarga adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupannya.
Kisah Lucu
Ada kisah lucu di balik terpilihnya Marini sebagai Aktris Terbaik dalam FFA barusan berselang. ”FFA ini non-kompetitif sifatnya,” kata Marini. ”Karena itu ketika diumumkan nama-nama pemenang dalam bahasa Inggris dialek Korea yang sukar dimengerti orang, terpanggil 3 orang aktris dan 2 orang aktor. Semua mendapatkan piala polos. Mana yang terbaik tentu saja tidak diketahui. Saya bilang kepada panitia, piala seperti ini bisa saja saya beli di toko dan saya bisa bilang kepada kawan-kawan ’saya menang’, tapi mana bisa mereka percaya. Panitia pun menjelaskan bahwa label pemenang akan dicantumkan di hotel nanti. Baru ketahuan setelah itu bahwa aktris Taiwan, Lin Ching Shia yang terpilih sebagai aktris pendukung terbaik, memprotes keputusan juri. Juri mengalah. Semua dipanggil ke atas pantas dengan sebutan sama. Di balik pintu, juri memberikan label yang sebenarnya.”
Kisah ini menunjukkan betapa kacaunya pelaksanaan FFA di Pusan, Korea Selatan. Marini mengakui hal ini. Sjuman Djaya bahkan mengatakan itu adalah festival terburuk dalam sejarah FFA. ”Mereka seperti main-main saja,” kata Marini pula.
Mendengar ini tentu harus ditanggapi secara serius kalau kewibawaan FFA yang makin tahun makin merosot itu. Sebagai arena kompetisi festival ini sudah tak berfungsi, sebagai arena promosi masih diragukan keefektifannya. Lalu mau ke mana festival yang merupakan forum resmi perfilman di Asia ini? Pamornya sudah jatuh, kalah jauh dengan Festival Film Teheran, umpamanya.
Konfeksi
Marini memang masih mau main film meskipun terbatas. Demikian juga yang terjadi dengan karirnya di bidang nyanyi. Ia hanya mau nyanyi di pentas dan rekaman, dan tidak mau kembali ke klab malam.
Uang yang berhasil dikumpulkannya dari nyanyi maupun main film, plus pinjaman dari kawan, diputarkannya dalam usaha konfeksi pakaian berlabel ”Mima”. Sebentar lagi ia juga akan membuka butik bernama Marini’s Collection. Suaminya berusaha di bidang percetakan.
Tampaknya Marini kini sudah siap menghadapi masa tuanya nanti. ”Pada saat saya tidak dibutuhkan orang lagi,” katanya. Semua orang tahu bahwa hidup dari nyanyi maupun main film adalah hidup dengan grafik yang naik-turun secara tajam. Marini menyadari hal ini, maka ia bersiap-siap mulai sekarang.
Apakah ada rencana berhenti sama sekali dalam karirnya?
”Rasanya orang yang pernah berkecimpung dalam dunia hampir tak mungkin berhenti, kecuali diberhentikan karena masyarakat sudah tidak mau lagi melihat dia,” kata Marini. ”Sekarang saja, kalau lama tak nyanyi, saya mengumpulkan pemain-pemain The Steps supaya saya bisa menyanyi.”
”Kangen untuk menyanyi selalu kambuh kembali. Menyanyi di kamar mandi sih bisa saja. Tapi atmosfer yang melingkungi kita pada saat di pentas selalu bikin kangen,” kata artis yang matang cara berpikir dan matang kepribadiannya ini; sesuatu yang jarang kita temui dalam kebanyakan artis showbiz kita.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 22 Juni 1976.