Artikel/Sosok Nya Abbas Akup: Film Indonesia Masih antara Eksploitasi Naluri Rendah dan Menyenangkan Perasaan

Sosok JB Kristanto 01-09-2004

Di satu rumah mewah yang keadaannya berantakan. Tuan rumah berkeringatan sedang menghadapi setumpuk piring kotor yang menggunung. Sambil nyap-nyap kiri-kanan, nyonya rumah memasak. Hasil masakannya: telur yang gosong, tempe yang tak karuan, dan lain-lain. Sementara itu lantai yang berdebu dan pakaian-pakaian kotor masih menunggu giliran. Anak mereka pun seenaknya saja menaruh sepatu dan tas sekolah mereka.

Ini gambaran singkat akibat tiadanya pembantu rumah tangga yang akan muncul dalam film Nya Abbas Akup yang kini tengah digarap (1976,red). Film ini pada mulanya berjudul Kisah Seorang Babu: Inem. Kemudian atas usul produsernya, judul tersebut diganti menjadi Babu Sexy. Judul ini agaknya tidak berkenan di hati mereka-mereka yang berhak memberikan izin produksi di Deppen sehingga judul tersebut diubah menjadi Pelayan Sexy. Nya Abbas Akup cuma berkomentar: ”What is a name.” Bagi seorang sutradara lain, judul tersebut dirasa berbau ’kampungan’.

Bau ’kampungan’ atau mungkin bisa disebut berselera kasar bisa juga dilihat dari judul-judul film Nya Abbas sebelumnya, seperti Matt Dower (1969), Ateng Minta Kawin (1974), Bing Slamet Koboi Cengeng (1974), Tiga Cewek Badung (1975), dan Tiga Buronan (1957) atau Heboh (1954).

Hanya Reporter

Bau kampungan atau tidak, dari judul-judul itu saja sudah tersirat betapa akrab film-film itu mereka dengan situasi sosial sekitarnya. Tentu saja, situasi pada saat film tersebut dibuat.

Tapi kalau kita melihat film-film Nya Abbas Akup, maka situasi sosial tersebut bukanlah terlukis secara riil, tapi disuguhkan dalam bentuk banyolan atau sindiran. Nya Abbas sendiri mengatakan: ”Saya ini hanya reporter. Saya melukiskan apa adanya. Cuma mungkin karena saya yang menggambarkan, maka dia jadi tampak lucu, karena ada jarak antara penonton dan yang ditonton. Dan lagi saya juga tidak bermaksud mendidik. Sama sekali tidak.”

Keterangan ini tentu saja tidak benar seluruhnya. Di bagian lain obrolannya ia mengatakan bahwa ia tidak punya maksud apa-apa dengan filmnya. ”Just to make people laugh,” katanya. Untuk memancing tawa ini, ia menyediakan segala kemungkinan. Peristiwa yang bisa ditertawakan, termasuk juga sindiran-sindirannya, dan digunakannya pelawak-pelawak yang sudah punya nama.

Komersial

Di kalangan produser nama Nya Abbas memang seakan sudah identik dengan film komedi. Karena itu tidak heran bila ada yang mau membuat film komedi, salah satu tokoh yang segera masuk ke benak adalah Nya Abbas. Kebetulan, kira-kira 90 persen film yang dibuatnya adalah film komedi. Kebetulan lagi, film- film komedinya selalu mendatangkan untung.

Keuntungan ini tentu membawa akibat bagi dirinya. Ia tidak pernah ditinggalkan produser. Hingga sekarang setahun satu film pasti dibuatnya, dan ini dirasanya cukup buat hidup dengan istri dan kelima anaknya yang tinggal di Bandung.

Mungkin juga bertolak dari pengalaman ini dia punya pendapat dan nasihat untuk sutradara yang sedang membuat film pertamanya: ”Usahakan supaya film pertama itu sukses secara komersial. Ini memang nasihat jelek. Tapi memang begini caranya kalau kita mau terus di film.”

Mungkin ini sikap kompromi. Nya Abbas tidak membantah. Ia kemudian memberikan analisanya mengenai keadaan perfilman di negeri ini.

Ia kemukakan empat kriteria film. Film yang mengeksploitasi naluri rendah, film yang ingin menyenangkan mata dan perasaan, film yang ingin mengajak pikiran turut terlibat, dan film yang sampai pada pemuasan spiritual. Untuk yang terakhir ini ia memberi contoh Space Odissey karya Stanley Kubrick.

Berdasarkan kriteria tersebut ia menilai situasi perfilman di Indonesia saat ini masih berkisar pada tahap pertama dan kedua, yaitu film yang mengeksploitasi naluri rendah dan yang ingin menyenangkan mata dan perasaan saja.

Dengan sendirinya, bila berhadapan dengan produser Indonesia ia tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Ia menginginkan dibentuknya kembali semacam Dewan Produksi Film Nasional seperti beberapa tahun yang lampau. Namun ia pribadi punya ambisi menjadi sutradara sekaligus produser. ”Pada saat begini mungkin saya bisa membuat film yang turut melibatkan pikiran,” katanya.

Ambisi Nya Abbas ini mungkin masih lama lagi tercapai. Tapi ia merasa bisa mencapainya. Lamanya waktu bukan halangan bila kita melihat ke muka. Nya Abbas tidak termasuk sutradara yang muncul bersamaan dengan bangkitnya kembali perfilman nasional pada awal 1970-an. Jauh sebelumnya ia sudah menceburkan diri dalam dunia ini.

Anak Didik Usmar Ismail

Dialah salah satu anak didik Usmar Ismail. Sewaktu masih menjadi mahasiswa hukum di Universitas Indonesia, ia mencoba melamar (dengan beberapa kawannya) menjadi asisten Usmar. Dari sekian banyak pelamar, ia yang terpilih. ”Padahal waktu itu saya cuma tertarik pada uangnya.”

Kecintaannya pada dunia film ini tidak langsung timbul. Ia masih sempat menyelesaikan sarjana muda hukumnya. Namun ketika masih bersemangat untuk belajar, ada tawaran belajar penyutradaraan di University of California, Los Angeles. Dua tahun sempat ia mengecap pendidikan di sana. Sejak itulah ia tampaknya tidak akan beranjak lagi dari dunia film.

Tentu saja kini ia tidak hanya tertarik pada uangnya. Kalau kita lihat kehidupannya sehari-hari, malah uang tersebut tampaknya tidak terlalu dibesar-besarkan. Kalau kita lihat kehidupan dunia film yang penuh gemerlap, maka Nya Abbas mungkin berada di luarnya. ”Saya ini pada dasarnya seorang pemalu,” kata sutradara keturunan campuran Aceh (ayah) dan Jawa (ibu) ini. Namun ia sendiri tidak punya latar belakang Aceh sama sekali. ”Saya ini sudah orang Jawa,” katanya pula.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004) Terbit pertama kali di Kompas, 12 Oktober 1976.