Tio Pakusadewo yang sudah membintangi 33 film sebenarnya datang dari latar belakang pendidikan sinematografi. Pemahamannya mengenai kondisi teknis ini membawanya menjadi pemain yang memiliki kemampuan berakting yang cocok dengan media film. Ditemui di sebuah production house, saat menjalani masa persiapan film barunya, Tio bercerita tentang pembabakan karirnya di film dan televisi.
Masa Pengenalan
Memulai pendidikan sinematografi di Institut Kesenian Jakarta ditahun 1986 dan memulai karir sebagai aktor di tahun 1987, Tio menyebut fase sampai dengan tahun 1991, sebagai masa pengenalannya dengan dunia film dan televisi. “Awal tahun 1987 memang masa pengenalan saya dengan media film. Tidak hanya di IKJ, saya juga pernah belajar di Yayasan Citra (BP-SDM Citra, PPHUI). Sempat juga mendapat beasiswa untuk mengikuti short course selama tiga bulan, di Perancis,” jelasnya. Tidak hanya belajar sinematografi, membuat film dokumenter, dan menjadi aktor, ia juga mulai menyutradarai beberapa program televisi, “Pengalaman-pengalaman tersebut yang membuat saya paham dengan perangkat dan juga pekerjaan teknis ketika kita memproduksi film atau program televisi,” tambahnya.
Di masa pengenalan ini dengan membintangi belasan film Tio juga mendalami pengetahuan aktingnya. Ia mengaku belajar banyak dari para sutradara di masa tersebut. “Pada saat itu para sutradara memilih menggunakan metode akting, yang bisa dibilang sangat baku. Ada beberapa sutradara yang sangat teliti dengan gerakan-gerakan kecil yang sudah tertulis di skenarionya. Contohnya Teguh Karya. Slamet Rahardjo memperlakukan objek dan kameranya secara dinamis, hingga terlihat seperti mencoba membuat film seperti teater,” ungkapnya.
Dengan bermodalkan hal tersebut, Tio mulai mengembangkan dirinya, seperti yang ia lakukan pada film Lagu untuk Seruni. “Sebenarnya karakter Aria di film itu bisa digambarkan sebagai manusia yang kita temui sehari-hari. Di film itu, saya mulai mencoba mencari kebenaran akting dalam film. Caranya dengan berakting secara natural. Pada era itu, ternyata lebih kena. Akting itu menjadi kekuatan dari filmnya,” tambahnya. Di tahun 1991, Film Lagu untuk Seruni, mengantarkan Tio Pakusadewo kepada Piala Citra pertamanya sebagai Pemain Utama Pria Terbaik.
Bekerja Di Balik Layar Televisi
Mulai tahun 1992, Tio memutuskan untuk rehat menjadi pemain film dan memilih untuk bekerja di dunia televisi. “Di ANTV, saya masuk sebagai associate producer, juga sempat menjadi programmer, untuk menyeleksi program lokal. Di televisi, saya merasakan banyak sekali pengalaman, karena mencoba hampir semuanya, menulis, menyutradarai, memproduseri, menjadi editor dsb,” katanya menggambarkan masa tersebut.
Setelah keluar dari stasiun televisi, Tio membangun production house sendiri dan mulai menyutradari program-program televisi. “Sejak awal saya berniat, apabila saya menjadi sutradara, maka aktor saya haruslah almarhum Benyamin S, yang pada saat itu belum meninggalkan kita. Apabila pada saat itu almarhum Bing Slamet masih hidup, maka dia juga harus jadi aktor yang saya sutradarai!” tegasnya.
Tio menjelaskan apa yang ia kagumi dari dua aktor besar tersebut, “Benyamin memahami wujud kesenian, tapi tidak pernah membahas masalah teorinya. Sedangkan Bing Selamet, memahami teori, namun mampu membawa kemampuan itu ke semua level, dari yang sederhana hingga kompleks”. Di tahun 1993, pada akhirnya Tio mendapatkan kesempatan untuk menyutradari Benyamin S pada sinetron komedi Lakon Tiga Duda.
Kembali Menjadi Aktor
Pasca bermain dalam Kuldesak di tahun 1997, Tio menghentikan semua aktifitasnya, baik sebagai pemain maupun pembuat program televisi. “Di tahun 1998 aku berhenti dari semuanya, melebur dalam kehidupan yang tidak pernah ditemui sebelumnya dan hampir saja mendekati point of no return. Beruntunglah nggak sampai di titik itu,” katanya menggambarkan apa yang ia alami pada masa itu. Di sisi lain, Tio juga meyakini pengalaman itu melengkapi kekayaan hidupnya, “Ketika aku balik di tahun 2004, aku sudah kaya akan semuanya. Jadi bisa main dengan karakter apapun, eksplorasi macam apapun, menjadi sangat siap,” ungkapnya.
Lewat perjalanannya bekerja di balik layar, Tio menggambarkan ada kebutuhan akting yang berbeda antara film dengan teater. “Kalau kamu mau akting untuk film, tidak selalu lewat teater, tapi kamu harus mengetahui teknis dasar pembuatan film. Pemain harus menyadari di mana letak kamera, tipe shot yang sudah direncanakan, pencahayaan dll. Kalau tidak, dia hanya akan jadi boneka saja,” jelasnya. Di sisi lain, aktor teater, digambarkan oleh Tio, dilihat penonton dari jarak jauh. Hal ini menyebabkan pemain harus membuat gesture yang lebih mencolok dan mengeluarkan suara yang lebih jelas.
Setelah bangkit dari masa kekosongan itu, Tio mendapatkan pengalaman luar biasa, yang akhirnya memperkaya kemampuannya sebagai aktor. “Pemain itu alatnya hanya kecerdasan dan kekayaan batin. Untuk saya, kekayaan batin tersebut saya peroleh karena saya pernah merasakan menderita di tangan penderitaan,” jelasnya. “ Tidak ada aktor kecil dan aktor besar, yang ada hanya peran kecil dan besar. Peran kecil bisa jadi besar, pun sebaliknya,” ia menekankan.