Pietrajaya Burnama datang dari dunia yang sesungguhnya bukan sinema. Pada awal 1960-an, di masa keemasan Akademi Teater Nasional Indonesia, dia satu di antara aktor yang mampu mengganyah panggung Gedung Kesenian Jakarta. Permainannya sebagai Kolonel Izquerdo dalam drama Montserrat karya Emmanuel Robles, pada 1960, menempatkan Piet sebagai "pemain watak" yang sangat diperhitungkan.
Dalam cerita yang berpusat di sekitar tokoh revolusioner Venezuela Simon Bolivar itu, Piet mendapat lawan main yang juga "jahanam" bagusnya, yakni Ismed M Noor, paman Wakil Bupati Tangerang Rano Karno—yang mati muda. Dalam duel akting antara Ismed—yang memerankan Montserrat—dan Piet, pencinta teater masa itu sungguh menemukan kebahagiaan yang afdal.
Pada tahun itu juga Piet bermain dalam filmnya yang pertama, Pedjuang, di bawah sutradara Usmar Ismail. Dalam Festival Film Internasional di Moskow, Rusia, pemeran utama film ini, Bambang Hermanto, terpilih sebagai aktor terbaik, berdampingan dengan aktor Inggris, Peter Finch. Sejak saat itu Piet mengukuhkan diri di dunia sinema Indonesia sebagai pekerja keras yang sederhana, lembut, dan bermartabat.
Lama beredar dalam film yang "biasa-biasa saja", Piet menemukan form-nya kembali dalam Tjoet Nja' Dhien(Eros Djarot, 1988). Dalam film perang Indonesia yang terbaik hingga kini itu, Piet memberikan penampilan yang tak terlupakan. Bermain sebagai Pang Laot, panglima tangan kanan Tjoet Nja' Dhien, pada bagian akhir film ini Piet—bersama Christine Hakim—mempersembahkan adegan yang belum tertandingi oleh film Indonesia hingga kini.
Sabtu dua pekan lalu, pada pukul 08.15, "Pang Laot" itu wafat di Rumah Sakit Anna Medika, Bekasi. Paru-parunya terendam. "Opa sesak napas pada pukul setengah enam," kata cucunya, Yenny Imelda Burnama, kepada Cheta Nilawaty dari Tempo. Beberapa hari sebelumnya, para tetangga di Perumahan Duta Harapan Indah, Bekasi Utara, masih melihat Piet berbelanja sayur gerobakan. "Pak Piet memang suka memasak," kata Bagus, seorang tetangga. Di perumahan itu Piet tinggal bersama Benny Burnama, bungsu dari keenam anaknya.
Pietrajaya Burnama lahir di Cirebon, Jawa Barat, 8 Agustus 1934, sebagai Pieter Moses Boernama. Anak sulung dari 13 bersaudara pasangan Orpha Burnama dan Teofillus Burnama ini sempat mengalami masa remaja di Kota Amahai, Maluku. Pada 1956, keluarganya pindah ke Jakarta. Sejak muda Piet sudah menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam serial televisi Dunia tanpa Koma, 2006, Piet memerankan hakim Daus yang jujur, memiliki integritas, dan sederhana—laras dengan sikap hidupnya sehari-hari. Di tengah para pemain muda yang membintangi serial itu, Piet tetap memperlihatkan integritasnya yang total. Pada satu adegan pembunuhan, misalnya, Piet bertahan di lokasi syuting hingga subuh. Dia ingin adegan itu betul-betul meyakinkan.
Dengan adiknya, Tommy Boernama, tak jarang Piet berdebat ketika menyusun naskah film. "Dia sangat profesional. Kalau bekerja, sama sekali tidak menerapkan hubungan keluarga," kata Tommy. Dalam proses penggarapan film yang disutradarai Piet, dan Tommy bertugas sebagai art director, sang adik memanggil kakaknya itu "Pak Piet".
Aktor Lukman Sardi termasuk yang kaget ketika mendengar Piet wafat. Beberapa hari sebelumnya, Lukman masih bertemu dengan Piet, membaca bersama skenario film yang akan melibatkan mereka, Serdadu Kumbang, produksi Alenia Pictures. "Sejak kecil saya mengenal beliau," kata Lukman.
Pietrajaya Burnama, "pemain watak" dari generasi terakhir itu, bermain dalam lebih dari 102 film, dan menyutradarai lebih dari 34 film. Jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Perwira, Bekasi Barat. Jenazah itu ditumpuk dengan jenazah Maria Burnama Monoarfa, perempuan yang dinikahi Piet pada 1963, yang telah mendahuluinya berpulang.
Sumber: Tempo, 15 November 2010