Kehidupan Suku Bajo di Wakatobi yang diangkat ke dalam film The Mirror Never Lies (Laut Bercermin), merupakan film pertama sutradara muda Kamila Andini. Lahir tahun 1986, Dini menyelesaikan pendidikannya di Faculty of Sociology and Media Arts, Deakin University, Australia. Karirnya di dunia film dimulai dengan menjadi kru dalam produksi dokumenter dan video klip. Sebelumnya ia juga menyutradarai beberapa program televisi.
Putri sutradara Garin Nugroho ini mengaku mulai bermain dengan media film sejak masih SMA. “Sebelumnya sempat belajar fotografi dan senang sekali dengan isu human interest. Setelah bermain dengan media film, akhirnya saya merasa film adalah media yang lebih tepat untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan selama ini,” ungkapnya. Ia juga merasa film adalah media yang cukup penting karena dapat membantunya merekam fenomena budaya yang selama ini ia jumpai ketika berjalan-jalan ke berbagai tempat di Indonesia.
Minat yang besar terhadap manusia, ruang, dan kebudayaan, membuat Dini memilih kuliah di bidang antardisiplin: Sosiologi dan Seni Media. Dini menjelaskan, “Dengan belajar Sosiologi dan Seni Media, saya mampu menajamkan indera, menjadi lebih peka dalam melihat, mengkaji, dan menyampaikan masalah. Saya rasa kemampuan dalam melihat isu tersebut adalah hasil dari pendidikan saya di bangku kuliah dulu.”
Pada saat konferensi pers The Mirror Never Lies (TMNL) Bupati Wakatobi Ir Hugua menyatakan yang menjadi ciri khas dari Suku Bajo adalah kearifan lokal yang tetap terpelihara di tengah kehidupan melaut mereka. Dini mengiyakan hal tersebut. Pada TMNL ia menggunakan cermin sebagai perwakilan dari laut. “Film ini merefleksikan keindahan laut buat penontonnya. Sedangkan untuk Suku Bajo sendiri, laut merupakan refleksi diri mereka. Hidup mereka banyak berubah, namun tetap melestarikan kearifan lokal yang ada,” jelasnya.
Cermin, menurut Dini juga merupakan sesuatu yang penting bagi Pakis, karakter utama di film ini. “Pakis yang sedang dalam usia peralihan, masih mencari jati dirinya dengan bekal cermin dan cerita dari ayahnya yang dulu pernah ia dengar. Di sinilah saya mendudukkan posisi saya di film ini, sebagai anak perempuan yang masih mencari jati diri,” ungkap Dini.
Mengarahkan pemain anak-anak lokal dari Suku Bajo, menurut Dini sangatlah menyenangkan, meskipun sempat melakukan casting ulang,karena perubahan jadwal shooting. Dini mensyaratkan anak-anak harus berani meski harus berakting di depan kamera. Akhirnya ia tidak mengalami kesulitan dengan pemain pada saat shooting berjalan. “Yang menjadi masalah hanya motivasi pemain yang harus kita bangun. Motivasi mereka untuk latihan atau workshop jelas tidak sebesar pemain anak-anak di Jakarta. Kadang mereka sering ngambek, tapi wajar saja,” tambahnya.
Untuk film selanjutnya Dini memilih konsisten dengan tema kemasyarakatan. “Pada saat kuliah, saya sangat suka berkutat dengan masalah multikultur dan migrasi. Saya juga sengaja mengambil sosiologi. Karena saya yakin hal itu yang akan menunjang karir di film nantinya. Jadi Insya Allah di film kedua dan ketiga tidak akan jauh dari tema itu,” kata Dini.