Life is a mighty river
rolling on from day to day
men are vessels launched upon it
sometime wrecked and cast away
Petikan lirik lagu Pulling Hard Against The Stream yang ditulis dan dinyanyikan Harry Clifton ini pertama kali populer di Inggris pada 1867 lalu merambah ke Amerika Serikat, Australia, termasuk Hindia Belanda. Entah karena lagunya atau kedalaman makna liriknya, seorang remaja, siswa Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang, menuliskan syair itu di halaman pertama album foto pribadinya. Saat itu tahun 1939 dan sang remaja berusia sekitar 17 tahun. Album foto itu mengiringi jejak sang remaja hingga ke Jakarta pada 1946 dan kemudian lenyap, turut tersita dalam penggerebekan oleh petugas intelejen Belanda yang telah menduduki Jakarta.
Dalam kunjungannya ke Belanda pada Desember 2009, Rosihan Anwar (sang pemilik album foto tersebut) melihat kembali barang yang hilang itu saat disodorkan oleh Kepala Arsip Nasional Den Haag, BJ Berendse. Album itu tak hanya didominasi oleh foto-foto keluarga tetapi juga pose diri bersama teman-teman dekatnya semasa di MULO Padang dan AMS (Algemene Middelbare School) di Yogyakarta: Usmar Ismail, Suardi Tasrif, dan Kemal Idris. Foto-foto itu menunjukkan persinggungan beragam ‘dunia’ yang dilalui Rosihan Anwar sepanjang perjalanan hidupnya hingga wafat pada 14 April 2011 lalu.
Hidup Tanpa Sangkar
Oom Tjian atau Oom Ros, demikian biasa ia dipanggil, menempuh jalan hidup sebagai wartawan yang menurutnya adalah seorang generalis, bisa menulis apa saja walaupun tidak mendalam (bukan berarti dangkal). Namun, karya-karya jurnalistik Rosihan justru menunjukkan kedalaman pemahaman, luasnya wawasan, kejelian, dan daya kritis yang tajam. Soal kritis, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling adalah bagian dari tulisan-tulisannya. Rosihan juga tak asing dengan dunia film dan film Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Sejak bersekolah di MULO Padang pada 1935, remaja Rosihan sering nonton di Bioskop Cinema (saat ini bernama Bioskop Karya) di Jalan Pondok yang memutar film Hollywood, Inggris, Jerman, dan Prancis. Saking seringnya, Rosihan menyebut diri sebagai ‘hantu film’ di Bioskop Cinema. Pertemuannya dengan Usmar Ismail saat bersekolah di AMS Yogyakarta memberi pengaruh besar. Rosihan tak hanya menikah dengan Siti Zuraida, adik Usmar, tetapi juga mengiringi karier Usmar di film. Rosihan main film pertama Usmar, Darah dan Doa (1950), lalu ikut mendirikan Perfini (Perusahaan Film Indonesia) dan menggantikan Usmar—yang saat itu sedang sekolah di UCLA—sebagai produser Terimalah Laguku (1952). Kesibukan Rosihan sebagai wartawan membuatnya hanya menjalani peran-peran kecil di film, hingga kemudian Usmar meninggal di usia 50 pada 2 Januari 1971 dan selang tiga tahun kemudian, Pedoman dilarang terbit.
Dimulai sejak 1943 saat ia bekerja sebagai wartawan Asia Raya, perjalanan kariernya jatuh-bangkit beriringan dengan iklim sosial politik di Indonesia. Rosihan selalu menunjukkan jelas keberpihakannya pada sesuatu, jarang sekali berada di wilayah abu-abu termasuk di masa Orde Baru. Stigma sebagai “orang PSI (Partai Sosialis Indonesia)” melekat di diri Rosihan karena kedekatannya dengan aktivis PSI (seperti Sjahrir dan Soedjatmoko) dan pemihakannya pada kebijakan PSI saat aktif sebagai pemimpin surat kabar Pedoman (1948-1961) dan majalah kebudayaan Siasat (1947 – 1957).
Pedoman dan Siasat bukan media onderbouw PSI, namun label itu terlanjur lekat. Setahun setelah pembekuan PSI dan Masyumi pada 1960, Pedoman pun dibredel oleh Soekarno. Alih-alih membuat kebebasan pers lebih baik, pergantian kekuasaan dan datangnya Orde Baru malah membuatnya memburuk. Pedoman yang bangkit pada 1968 kembali dibredel pada 1974 setelah Peristiwa Malari (Januari 1974). Sejak itulah, julukan “wartawan tanpa surat kabar” melekat pada diri Rosihan Anwar. Hasrat penuh gairah dan keteguhan pada pilihan jalan hidupnya membuat ia tak bisa dikekang oleh apapun, bahkan ketika bagian dari ruang hidupnya ‘dimatikan’.
FFI Bukan untuk Pedagang Mimpi
Setelah menjadi juri FFI 1976, Rosihan bikin geger di FFI 1977 dengan kritik pedasnya saat membacakan raison d’être film pilihan Dewan Juri serta keputusan tidak adanya film terbaik. Produser di Indonesia disebutnya “menjual impian-impian dan karena itu disebut pedagang-pedagang mimpi”. Film Indonesia saat itu umumnya dibuat berdasarkan ‘resep’ film laku yang isinya selalu mengandung unsur kemewahan, kekerasan, dan seks. Dunia perfilman saat itu memang kacau, ada permainan patgulipat, regulasi yang tumpang tindih, sensor, distribusi macet, sampai masalah sumber daya manusia. Semua pihak di dunia perfilman (kalangan pekerja film, importir film, distributor dan pemilik bioskop, serta pemerintah) punya andil dalam kerumitan permasalahan. Orang-orang film hanya bisa tersinggung dan marah atas ungkapan Rosihan di FFI 1977, tapi menerimanya karena tidak mencium ‘bau sabun’ di dewan juri—hal yang umum menghantui penjurian FFI. Sejak peristiwa itu, pembacaan konsideran hasil penilaian dewan juri dihilangkan dari penyelenggaraan FFI.
Campur tangan pemerintah dalam urusan film selalu dalam suasana trial and error, tanpa perencanaan dan visi yang jelas. Pada 1976, Menteri Penerangan Mashuri mewajibkan importir membuat satu judul film Indonesia untuk setiap lima judul film yang diimpor. Jumlah produksi film melonjak dari 56 judul pada 1976 menjadi 133 judul pada 1977 namun dengan kualitas film asal-asalan karena hanya untuk memenuhi persyaratan impor. Tanpa tedeng aling-aling, Rosihan kembali bersuara keras (walau tidak sekeras FFI 1977) pada saat menguraikan hasil FFI 1978. Ia mengusulkan pengurangan jumlah film Indonesia yang diproduksi untuk mengejar kuantitas tapi dengan kualitas asal-asalan. Uraian Rosihan langsung ditanggapi menteri penerangan baru, Ali Moertopo. Peraturan wajib produksi film Indonesia bagi importir film dihentikan. Pada tahun yang sama pula, Rosihan ditunjuk menjadi anggota Dewan Film Nasional (DFN, 1978-1995). Rosihan kemudian dipercaya juga sebagai wakil ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N, 1995-1998).
Pemeo pergantian menteri berarti pergantian kebijakan secara langsung dialami Rosihan saat menjadi wakil ketua Pokjatap Prosar (1981-1983). Walau demikian, posisinya di DFN dan kemudian BP2N tetap menjadikannya ‘diplomat’ film Indonesia di berbagai festival film Internasional hingga 1994. Namun apa hendak dikata, di tahun 1994 film Indonesia sudah tak bersuara, Festival Film Indonesia terhenti setelah 1992 (hadir kembali 2004). Sejak FFI 1991, Rosihan sudah menyadari adanya perbedaan pandangan antara generasi tua dan muda yang dihadapinya di dewan juri. Perbedaan bersilang jalan membuat penentuan film terbaik ditempuh dengan cara pemungutan suara; pemenangnya Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho yang tak ia pilih.
Pada 1991, Rosihan sebagai Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) bersama H. Turino Djunaidi sebagai Ketua PPFI mengadukan persoalan dagang dengan Motion Picture Export Association of America (MPEAA) kepada DPR. Dalam kesempatan dengar pendapat itu PPFI membagikan lembar fotokopi berisi sepuluh butir tuntutan MPEAA yang menurut mereka akan mengancam keberadaan film Indonesia. Persoalan ini berbuntut polemik di media massa karena ternyata hanya dua dari sepuluh butir tuntutan dalam lembar itu yang terbukti benar.
Sang Atase Ekonomi Film Indonesia
“We’ve come to Berlin to put Indonesia on the map of international cinema,” kata Rosihan Anwar sebagai penutup konferensi pers di Berlinale (Internationale Filmfestspiele Berlin), Februari 1982. Sebelum pernyataannya itu, Rosihan sempat mengajukan keberatan atas tidak lolosnya film Indonesia (Para Perintis Kemerdekaan, Usia 18, dan Perempuan dalam Pasungan) dalam seleksi peserta kompetisi festival. Ia mengajukan keberatan karena film Lebanon (Beyroutou el Lika karya Borhane Alaouié) yang dinilainya biasa-biasa saja, lolos ke kompetisi.
Rasa sebal Rosihan atas keputusan dewan seleksi Berlinale berawal dari pandangannya bahwa film Indonesia memiliki prospek cerah di Berlinale. Harapan itu muncul ketika pada November 1981 Rosihan dan Baginda Siregar, rekannya di Dewan Film Nasional, bertemu dengan direktur festival, Moritz de Handeln, untuk membicarakan tentang cara dan persyaratan film Indonesia agar dapat lolos kompetisi. Sejak itu, Rosihan selalu menanyakan alasan sebuah festival meloloskan atau menolak sebuah film untuk ikut kompetisi festival. Di Berlinale 1983, Rosihan kembali mengajukan keberatannya karena film RA Kartini tidak lolos, kalah oleh film Filipina, Himala (karya Ishmael Bernal).
Berlinale 1982 adalah festival kedua setelah Damascus International Film Festival (Oktober 1981) yang didatangi Rosihan sebagai wakil ketua dan anggota delegasi Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran (Pokjatap Prosar). Pokjatap Prosar dibentuk oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo untuk menjajaki ekspor film Indonesia di pasar internasional. Usaha itu sebelumnya memang sudah ada tetapi dilakukan secara individual (perusahaan). Untuk itu, Pokja bukan cuma melakukan promosi tetapi aktif berjualan di film market. Di film market Berlinale 1982, Pokja berhasil menjual 6 judul film dan di Berlinale 1983 meningkat menjadi 16 judul. Setelah Berlinale 1983, Menteri Penerangan Ali Moertopo digantikan oleh Harmoko maka berakhirlah Pokjatap Prosar yang telah menjajaki berbagai kerjasama perdagangan film ke wilayah Afrika dan Timur Tengah selain Eropa dan Asia.
Jauh setelah pernyataan Rosihan untuk menaruh Indonesia dalam peta perfilman dunia di Berlinale 1982, film Indonesia masuk ke pusaran film internasional setelah era 1998. Pada 1989, Rosihan cukup senang melihat masuknya Tjoet Nya’ Dhien dalam program Semaine Internationale De La Critique Francaise di ajang Festival de Cannes. Sementara harapannya agar ada sutradara Indonesia yang masuk Director's Forthnight (Quinzaine des Realisateurs) di Cannes, baru terwujud pada 2005 lewat Edwin dengan filmnya Kara, Anak Sebatang Pohon.
Rosihan Anwar, kelahiran Kubang Nan Dua (Sumatra Barat) 10 Mei 1922, adalah manusia dalam kemelut sejarah yang teguh berjalan di bidang pers, kebudayaan, politik, sejarah, dan film. Manusia yang bergulat dengan kontroversi atas hasil penyikapan pribadi menghadapi perubahan zaman. Di masa Orde Baru, ia memilih bernegosiasi untuk “… melakukan apa yang masih dapat dilakukan”. Dalam urusan film di luar produksi, ia berbeda dengan Usmar Ismail yang menolak campur tangan pemerintah dalam urusan film. Rosihan justru menjadi bagian dari pendekatan top-down dalam hubungan pemerintah dan dunia film. Di sisi lain, Oom Tjian-lah yang memopulerkan pendekatan La petite histoire (sejarah kecil) dalam dunia ilmu sejarah di Indonesia. Menurutnya, sejarah tak melulu berhubungan dengan hal-hal besar karena selalu ada dimensi manusia di dalamnya, seperti dirinya sebagai sejarah kecil dalam himpunan bernama Sejarah Manusia Indonesia.
Selamat jalan, Rosihan.
(Dari berbagai sumber)