Artikel/Sosok Selamat Jalan, Pak Iri Supit! Guru dalam Kerja dan Melakoni Hidup

Sosok Tino Saroengallo 20-06-2011

"Tin, ada berita duka," ujar Pak Noenoe di seberang telinga.

"Kenapa, Pak?" tanya saya.

"Pak Iri sudah meninggal," ucapnya sambil menahan tangis.

"Hah? Kapan, Pak?" tanya saya lagi.

"Pak Iri sudah meninggal. Tolong sebarin ke teman-teman, ya." ucapnya lagi.

"Oke, Pak, akan saya sebarkan."

Saya terduduk sebentar, bergerak ke ruang sebelah dan mengabarkan berita duka itu kepada teman-teman lain. Kembali ke meja kerja dan menyebarkan berita kepulangan Pak Iri melalui Twitter dan Facebook.

Sahiri Kolanos Supit, lahir di Bogor pada tanggal 11 Maret 1939 dan wafat di Jakarta pada tanggal 17 Juni 2011 akibat sakit leukemia yang ternyata sudah menggerogoti dirinya sejak sepuluh tahun terakhir tapi baru ia sadari tiga tahun lalu. Meski sakit, berobat dua kali seminggu, minum obat 15 macam setiap hari, namun ia tetap bersemangat bila bicara di telepon.

Sayang setelah sempat kerja bareng di pembuatan film Merah Putih saya belum sempat bertandang ke rumah beliau akibat gulungan pekerjaan. Sempat beberapa kali bertelepon-ria. Sejak film itu kesehatan beliau menurun cepat. Ternyata virus leukemia yang bertahun-tahun ada di dalam tubuhnya mengganas karena selama mengerjakan film tersebut beliau tinggal di dataran tinggi.

"Di dataran tinggi virusnya jadi ganas," jelas Pak Noenoe ketika saya melayat tadi malam.

Iri Supit, atau selalu saya panggil Pak Iri, saya kenal pertama kali dari Bung Emil G. Hampp ketika kami menggarap serial televisi Dunia Dara pada awal tahun 1990an. Kami syuting dua minggu sekali. Setiap hari Jumat ia datang dengan property koleksi pribadinya dan hari Sabtu pun kami syuting. Karena hanya produksi kecil, ia pun mengerjakan set dressing hanya berdua dengan Pak Noenoe.

Sejak saat itu, Pak Iri dan Pak Noenoe menjadi bagian dari keluarga saya di dunia film. Kepada beliau saya selalu bertanya tentang permasalahan artistik. Apalagi terkait kostum. Beliau sangat menguasai perjalanan sejarah busana Indonesia. Bila ada film terkait film perjuangan, beliaulah orang pertama yang saya cari untuk menangani kostum.

Kalau ada film atau iklan yang ingin menampilkan busana masa lampau, khususnya era perang kemerdekaan hingga tahun 1960an, kepada Pak Iri lah saya bertanya. Atau nama Pak Iri lah yang saya sebut kepada teman-teman yang bertanya.

Selain dunia televisi, saya dan Pak Iri juga pernah bekerja sama di pembuatan film iklan, dokumenter, dan film cerita. Entah kenapa, nama Pak Iri selalu saya kaitkan dengan tata busana. Padahal di luar sana, Pak Iri dikenal dan diakui sebagai penata artistik.

Kami sempat bekerja sama di pembuatan film Victory dan Last to Surrender. Kemudian Ca Bau Kan dan terakhir di Merah Putih.

Kalaupun kami bertemu dan obrol, obrolan pasti membahas bermacam topik terkait dunia perfilman pada umumnya, dunia artistik, ataupun hanya menggosipkan para pekerja film yang sudah naik jenjang dan banyak yang lupa diri.

Kalau menghadapi sebuah pekerjaan, nama Pak Iri selalu terkait dengan dunia busana. Bagi saya. Dan saya selalu jujur pada beliau dan mengatakan bahwa kalaupun bekerja sama, saya pasti minta Pak Iri untuk menangani tata busana. Padahal, perkenalan saya dengan beliau justru berawal ketika beliau menjadi penata artistik serial televisi Dunia Dara.

Sebetulnya, kalau kita mau menjadi seperti Pak Iri, prinsip kerjanya sangat sederhana:

* disiplin dalam waktu terutama kehadiran pada hari syuting;

* disiplin dalam perencanaan;

* disiplin dalam pelaksanaan syuting;

* disiplin dalam mencatat keinginan sutradara;

* disiplin dalam merawat barang;

* disiplin dalam menjaga keamanan barang;

* displin, disiplin, disiplin, disiplin...

* hanya satu kata: disiplin.

Selain kata tersebut, ada satu kalimat yang tidak akan pernah saya lupa setiap kali obrol dengan Pak Iri adalah bila kami sedang menggosipkan sutradara dari film yang baru ia selesaikan...

"Dasar tuh sutradara gila, tau nggak?"

Telunjuk mengacung, mata melotot, mulut monyong, dan kemudian melengos!!!

Saya tahu Pak Iri tidak mau saya bersedih karena beliau sangat realistis dalam menghadapi kenyataan hidup. Kematian adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.

Yah, nanti kami pasti akan bertemu kembali dan seru menggosipkan para sutradara saat bertemu di alam baka sana. Sambil nongkrong santai, mengudap combro yang ada cabe rawit di tengahnya, dan tertawa bersama.

"Dasar tuh sutradara gila, tau nggak?"

Ha ha ha... Selamat jalan, Pak Iri.