Sophan Sophiaan, 64 th, meninggal karena motor Harley Davidson yang dikendarainya bersama rombongan menghantam sebuah lubang besar. Sekitar beberapa tahun terakhir ini kegiatannya memang berkisar pada mengendarai motor besar ini. Kegiatan yang membawanya celaka itu dibungkus dengan acara memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Peristiwa ini seolah memberi pertanda dan warna khusus yang menghiasi seluruh kehidupannya. Ia lahir dari keluarga nasionalis, aktivis politik, boleh dibilang berkecukupan, berpendidikan baik, bermoral teguh. Jebolan Fakultas Hukum Universitas Leipzig Jerman Timur dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta ini dibesarkan dalam keluarga Manai Sophiaan, pentolan Partai Nasional Indonesia (PNI), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS), dan penanda tangan Petisi 50. Kakeknya seorang tokoh pergerakan yang pernah dibuang ke Digul. Latar belakang keluarga semacam ini yang dihidupinya dan mungkin akan diwariskan.
Namanya mulai dikenal umum saat berlakon pada film Pengantin Remaja (1971) arahan sutradara Wim Umboh. Film ini laris di pasar dan kemudian dia menikahi pasangan bermainnya yang cantik, Widyawati. Pasangan ini berulang kali main bersama, bahkan hingga tahun ini dalam film Love, hingga dijuluki sebagai pasangan abadi dengan citra yang tak pernah luntur. Film-film jenis melodrama ini pula yang kemudian lebih ditekuninya, meski sekali dua ia berlakon dalam jenis film laga. Jenis melodrama dengan peran-peran yang membahagiakan dari keluarga menengah atas ini mungkin yang dikenang banyak penonton film Indonesia tahun 70an dan 80an.
Ketika Sophan sendiri mulai menjadi sutradara, jenis yang sama tetap menjadi warna utamanya, meski dia mulai menyisipkan dalam berbagai adegan atau dialog yang menunjukkan sikap politik dan sosialnya: nasionalisme yang dianutnya dan korupsi dan feodalisme yang membuatnya geram. Paling tidak empat film dibuatnya khusus untuk memperlihatan sikapnya ini: Bung Kecil (1978),Letnan Harahap (1977), Kadarwati (1983) dan Melintas Badai (1985). Bung Kecil bahkan mengalami pemendaman selama lima tahun di Badan Sensor Film, sebelum akhir diloloskan dengan pemotongan cukup banyak.
Dalam Letnan Harahap digambarkan sook ideal seorang polisi: sederhana, tekun dan jujur. Ketika Letnan Harahap berhasil menangkap beberapa morfinis umpamanya, salah sorang orangtua anak yang tertangkap, mengucapkan terima kasih dengan iringan sebuah amplop. Polisi teladan itu menolak. Diungkapkan pula bagaimana anak-anak penggede kebut-kebutan di jalan raya. Dan keluarlah ucapan: "Biar saja mobil ini rusak. Soal mobil sih gampang. Dengan nota atau mengadakan proyek, ayah akan dapat mobil lagi." Harahap yang menangkap pengebut itu, tetap berteguh untuk tidak membebaskan tahanannya, meski ditawari sebuah mobil kecil untuk keluarganya. Ditonjolkan pula istri seorang penggede yang sibuk rapat dan serakah harta, hingga tidak memperhatikan anak. Sementara sebuah keluarga miskin yang tergusur-gusur rumahnya dan harus bertransmigrasi, sempat memutar radio yang sedang menyiarkan lagu Rayuan Pulau Kepala. Istrinya marah dan menggeprak radio itu hingga rusak. Saat itu Harahap datang dan mengabarkan bahwa anak keluarga miskin itu ditangkap karena mencuri nasi bungkus. Sang istri langsung nyapnyap, "Jika orang gede melakukan korupsi tidak ditangkap, tapi anak kecil yang mencuri nasi bungkus ditangkap." Sempat pula muncul tokoh informan yang diperankan oleh Sophan Sophiaan sendiri dengan menggunakan kaos oblong bergambar Ali Sadikin.
Memang kritik dan pelukisannya verbal dan hitam putih, tapi dalam film inilah sebenarnya sikap dan pemikiran Sophan yang lurus dan sederhana tergambarkan. Film-film jenis ini memang tidak begitu laris di pasar, hingga kenangan penonton film terhadap Sophan Sophiaan mungkin lebih didominasi citra pasangan bahagia. Sophan mungkin tidak meninggalkan jejak estetik khusus—sekitar 27 film yang diperaninya, 19 film dan dua sinetron yang disutradarainya—dalam perfilman Indonesia, tapi dia meninggalkan jejak kebintangan yang bersih, dan cukup pandai mengelola keuangan, hingga tak menderita di hari tua seperti bintang-bintang sebelumnya.
Sikap dan pemikiran seperti dalam film Letnan Harahap itu yang diwarisi dan dihidupinya ketika ia masuk dunia politik sebagai anggota parlemen pada tahun 1992 dari Partai Demokrasi Indonesia. Ia tidak meninggalkan dunia film sama sekali, tapi aktivitasnya memang lebih banyak di dunia politik—mungkin berpuncak pada aksi demo yang mendahului peristiwa terkenal dengan sebutan peristiwa 27 Juli 1996—kemudian sampai pada akhirnya ia mengunduran diri sebagai anggota DPR pada 2002, menolak tawaran menjadi duta besar, dan “keluar” dari PDI Perjuangan tahun 2005.
Kesederhanaan dan kelurusannya berpikir (tidak jarang orang beranggapan bahwa Sophan adalah orang yang berprinsip, keras kepala dlsb) terbentur-bentur terus sampai pada titik yang tidak bisa diterimanya lagi. Tiga-empat tahun terakhir dalam hidupnya keluhannya tetap yang itu-itu juga: negara ini sudah hancur, korupsi sudah pada tingkat yang sangat mengerikan. Dan itu dilakukan oleh rekan-rekannya sendiri. Rasanya hal-hal inilah yang menyebabkan dia juga menolak ketika diajak membuat partai baru lagi. Dia sudah kehilangan kepercayaan pada dunia atau masyarakat politik, meski ia tetap aktif berdiskusi mengenai kondisi politik dan menyusun rencana-rencana tindakan apa yang bisa dilakukan.
Kegelisahannya terhadap keadaan negara yang dicintainya ini terus menghantui pikirannya, hingga ia juga mulai mengeluh tentang keadaan fisiknya. Ia merasa tak pernah merasa sehat betul. Selalu ada rasa pusing, pegal, merasa ada yang salah dalam tubuhnya, sampai berulang kali ia melakukan pemeriksaan mendalam, atau menjalani terapi-terapi tertentu.
Keadaan ini agak tertolong ketika seorang rekannya menghadiahinya sebuah motor Harley Davidson, hingga, meski usianya sudah termasuk lanjut, dia seolah bisa “melarikan” dan “melupakan” keresahannya. Siapa nyana kegemaran yang bisa meringankan beban pikirannya, justru berbalik memukul dirinya lagi…
Kompas, 18 Mei 2008, hlm 2