Artikel/Wawancara Asrul Sani

Wawancara 01-09-2004

Ia sebenarnya seorang dokter hewan lulusan IPB. Tetapi orang lebih mengenalnya sebagai penyair, yang kemudian menunjukkan minat pada bidang kesenian lain dan masalah kebudayaan dalam arti luas. Perbincangan dengan Asrul Sani kali ini memang lebih merupakan perbincangan tentang gagasan, yang berawal dari berbagai bidang kesenian yang pernah ditekuninya: puisi, film, teater, televisi. Ternyata segala persoalan di bidang-bidang itu hanyalah bukit es yang melapisi masalah-masalah di bawahnya. Untuk ini semua, ”Saya selalu bertitik tolak dari puisi,” kata Asrul.

Lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, Asrul adalah salah seorang penanda tangan Surat Kepercayaan Gelanggang. Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia juga disebut sebagai pelopor Angkatan 45 Sastra Indonesia. Perjalanan kesenimanannya tak berhenti pada dunia puisi, tetapi juga teater dan film. Ia pun menulis skenario, menerjemahkan drama dan karya sastra, dan terakhir, menulis naskah drama televisi. Jabatan formal yang pernah dipegang antara lain Ketua Lesbumi/NU, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Nasional, Badan Sensor Film, dan Dewan Produksi Film Nasional.

Dari istri pertama, penyair Nuraini, Asrul mendapat tiga anak perempuan. Menikah untuk yang kedua kalinya, yaitu dengan Mutiara Sarumpaet, istrinya yang sekarang, ia mendapat tiga anak lelaki. ”Cukup sudah,” katanya. Mutiara inilah yang sekitar satu tahun terakhir membawakan sebelas karya Asrul Sani dalam bentuk sandiwara televisi.

Akhir-akhir ini Anda memilih televisi sebagai media berkarya. Mengapa?

Ada bermacam-macam alasan. Mula-mula secara kebetulan. Istri saya pernah beberapa kali main di televisi, lalu ia sulit menemukan naskah yang baik. Naskah televisi saat itu umumnya banyak yang meniru cerita film action, pembunuhan. Rupanya ada anggapan, penonton televisi itu hanya sanggup menangkap kisah-kisah semacam itu.

Pengaruh film Indonesia juga?

Ya. Aneh. Mengapa televisi punya pendirian seperti produser film yang selalu memperhitungkan pasar? Televisi kan tidak perlu seperti itu. Mereka justru bertitik tolak dari esensi yang sama, yaitu bahwa penonton Indonesia itu bodoh. Dus, hanya bisa menangkap yang paling sederhana. Ini bisa kita lihat dari pilihan naskah mereka, misalnya saduran kisah Agatha Christie. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia perfilman. Mereka menganggap yang menonton film Indonesia itu masyarakat bawahan, tukang becak. Orang tidak memperhitungkan bahwa zaman berubah. Kalau dulu kalangan terpelajar sangat sedikit jumlahnya, sekarang kita lihat bahwa yang mau ujian Sipenmaru saja jumlahnya 500.000 lebih. Ini tidak diperhitungkan.

Lalu Anda mulai menulis naskah drama untuk televisi?

Istri saya membuat sanggar. Saya menulis ulang Nora karya Ibsen. Saya beri judul Ratna. Ini memang bukan karya Ibsen lagi. Artinya saya ambil plot ceritanya, saya ambil dua karakternya, lalu saya tulis berdasarkan problematika yang ada di Indonesia ini. Saya memang selalu melakukan itu. Naskah ini ditawarkan kepada televisi. Ada setahun tertahan. Mereka tidak berani merekam, atau tidak mau merekam. Pokoknya mereka menganggapnya terlalu sulit buat diterima orang banyak, terlalu banyak masalahnya, sampai-sampai ketika akhirnya mereka mau merekamnya, kira-kira setahun lalu, mereka mau memotongnya karena dianggap terlalu panjang. Tapi kemudian datang pertimbangan lain. Akhirnya Ratna disiarkan dan ditaruh di acara terakhir menimbang panjangnya. Saya kira mereka kaget dengan reaksi penonton yang positif. Penonton tertarik dengan problematikanya. Penonton merasakan bahwa itu masalah aktual. Nah, di situ mulainya sebetulnya.

Jadi anggapan bahwa penonton bodoh tidak betul lagi?

Saya mulai berpikir ke arah itu. Sekarang ini, dalam kenyataannya, sasaran film Indonesia hanya penonton umur antara 15 dan 21 atau 22 tahun. Jadi, orang-orang yang tidak atau belum dewasa pemikirannya. Kasarnya, orang yang pergi ke bioskop untuk mencari tempat pacaran. Mereka menghendaki film yang tak memberi apa-apa, sebab kan sebetulnya mereka tidak menonton. Ini berbahaya, ibarat penggundulan hutan. Sebab, penonton dewasa makin menjauhkan diri dari film Indonesia. Bahwa penonton jenis terakhir ini masih ada, bisa kita lihat pada pemutaran film asing. Akhirnya film Indonesia semakin diperuntukkan buat orang yang umurnya secara mental tidak lebih daripada sepuluh tahun. Ini berbahaya.

Tapi, jumlah penonton film Indonesia naik terus?

Saya kira akan menarik sekali kalau dipelajari komposisi penonton itu. Hal ini akan memberi petunjuk yang bermanfaat. Saya punya asumsi film Indonesia hanya ditujukan kepada golongan yang bersedia mencerna masalah yang sangat sederhana. Saya anggap dalam jangka panjang ini merugikan. Kaum pelajar kita tidak lagi mendapat gizi rohani yang sepantasnya. Ini akan menyebabkan pendangkalan luar biasa. Mereka yang tamat SMA bacaannya sudah sangat berkurang. Yang mereka baca umumnya novel pop yang tidak banyak memberi pandangan tentang masalah kehidupan secara mendalam. Buku seperti karya Pak Mangunwijaya itu hanya satu dua. Ditambah lagi dengan film jenis seperti sekarang ini. Jadi sebetulnya tidak ada lagi sumber bagi calon kaum terpelajar kita untuk mematangkan diri, untuk mendewasakan diri. Lalu saya melihat media video dan televisi. Toh, mereka juga tinggal di rumah. Dari sudut perkembangan kebudayaan, televisi itu sangat besar artinya, meski sektor kebudayaan itu berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Televisi ini seperti inseminasi buatan atau obat suntikan. Jalannya cepat. Kalau obatnya salah, penyebaran penyakitnya juga luar biasa. Jadi kalau kita mau mendorong orang lain ke pemikiran yang lebih substansial, harus memperhatikan program televisi ini. Penontonnya katanya golongan menengah ke bawah. Tapi, bukankah kaum terpelajar kita juga dari golongan ini? Golongan yang duitnya juga menengah ke bawah besar jumlahnya. Artinya, cukup banyak sarjana yang tidak berpunya. Inilah publik yang harus dilayani. Golongan yang barangkali kecil tapi bisa bicara, bisa berpikir, bisa bergerak, bukan the lonely crowd yang tidak ada apa-apanya. Kalau mereka ini tidak mendapat gizi rohani yang baik, kita akan mendapat golongan intelektual yang tidak ada harganya sama sekali. Kita lalu jadi bangsa kelas apa?

Jadi mereka itu sasaran penonton Anda?

Ya. Artinya orang yang bisa diajak bicara. Memang secara sadar mereka yang saya ajak bicara, dan sampai sekarang menangkap umpan yang saya berikan. Umumnya, drama yang dipertunjukkan Sanggar Pelakon mendapat tanggapan yang menggembirakan. Masalah yang disodorkan ternyata dipungut oleh mereka. Ini gejala yang harus dimanfaatkan, seperti kita harus memanfaatkan tumbuhnya minat baca, tumbuhnya jumlah penonton teater dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Peranan kultural televisi seperti ini saya harap disadari juga oleh pengarang dan dramawan.

Kalau begitu Anda tidak menghiraukan heterogenitas penonton televisi?

Tidak. Ada satu hal yang saya yakini dari dulu. Kalau publik tidak mau datang ke tempat kesenian, maka tempat kesenian itu yang harus datang kepada publik. Kesenian itu soal terbiasa saja. Kalau kita terbiasa dengan warna, maka seni lukis abstrak itu tidak sulit. Ini masalah kebudayaan yang saya anggap terlalu disepelekan. Banyak orang bicara, tapi tidak banyak tindakan ke arah itu. Apalagi kalau kita lihat dari pihak perencana negara kita. Selalu hanya tempelan saja. Masalah kebudayaan ini tak kurang pentingnya dari masalah ekonomi atau administrasi biaya tinggi. Banyak masalah yang menimbulkan konflik diri, tapi tidak dijawab. Ditutup.

Maksud Anda?

Dalam pola pemikiran lama, hal demikian itu tidak mendapat tempat. Dalam adat, individu tidak ada sebenarnya. Yang penting menjaga keutuhan suku, klan, atau apapun namanya. Orang yang mencoba menonjolkan diri: out! Tapi kehidupan modern menuntut lain, sebab itu berkembang dengan sendirinya. Ada tantangan dari masyarakat. Saya punya contoh. Dalam seminar manajemen Pancasila dikemukakan antara lain salah satu sifat seorang Pancasilais adalah menahan diri. Lalu seorang bertanya, bagaimana menumbuhkan entrepreneur yang agresif, kalau belum-belum harus menahan diri. Dan ia harus bersaing dengan orang asing. Nggak ada jawaban. Nggak ada! Jadi tinggal itu barang di situ saja. Lalu, orang mengatakan, ya kalau bisa lakukan saja sendiri diam-diam. Ini kan susah. Ini membuat kemunafikan mendapat tempat khusus.

Masalah seperti itu jugakah yang Anda singgung dalam drama televisi Adinda yang banyak mendapat tanggapan itu?

Saya kira masalah Adinda bukan masalah baru. Lama. Kaum wanita mendapat tuntutan tertentu, hingga ada mitos di kalangan mereka, masyarakat menuntut mereka bergerak. Ada keponakan saya yang suaminya perwira menengah AURI. Ia sibuk sekali dengan organisasi wanita. Eee... lalu timbul dalam dirinya masalah hubungan dengan anaknya. Ia mengatakan, ia didaftarkan untuk ikut penataran yang berlangsung dua minggu dari jam delapan sampai jam dua. ”Ini bagaimana. Kalau ditolak, nanti saya khawatir suami jadi korban. Tidak saya tolak, bagaimana ngurusi anak,” katanya. Nah, dalam keadaan seperti ini banyak konflik pribadi muncul tapi tertutup di bawah permukaan. Dalam Adinda itu, saya melontarkan masalah, bukan anjuran. Saya hanya minta, tolong pikirkan. Seringkali di dalam koran seorang wanita yang berhasil selalu menjawab ”asal kita bisa mengatur waktu”, ketika ditanya soal keluarga. Soalnya tidak semudah itu.

Anda seperti tidak menyatakan sikap yang jelas dalam masalah itu, kalau dilihat dari drama itu saja?

Sulit. Tidak ada suatu resep. Drama itu dengan akhir yang terbuka. Ada satu hal yang tidak dapat diselesaikan Adinda. Ia lalu surut pada pertanyaan pertama, apa yang ia cari sebenarnya. Yang ia cari itu berbeda dari satu wanita ke wanita lain, dari satu keluarga ke keluarga lain. Saya nggak yakin ada resep keharmonisan rumah tangga seperti yang pernah dibicarakan orang dalam sebuah seminar sehari. Saya cuma minta, janganlah pakai kebenaran-kebenaran semu, sebab efeknya akan mengenai semua pihak, terutama anak-anak. Berapa banyak anak yang kesunyian sekarang, yang kemudian mencari hubungan di luar rumah. Berapa banyak mata yang menunggu ibunya. Kerinduan, yang tak bisa digantikan.

Rasanya gagasan itu tidak tertuang baik di televisi?

Tidak jauh seperti yang Anda kemukakan. Dalam pelaksanaan, yang dicapai baru jalan ceritanya, belum ada penuangan bentuk artistiknya. Yang terjadi hanya memindahkan cerita di atas kertas ke dalam gambar. Baru itu. Ada macam-macam sebab: pengalaman, kesempatan, dan waktu yang ada untuk persiapan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki diri. Pertama, tentu penanganannya harus dilakukan orang yang terampil, berpengalaman, dan orang-orang seperti itu ada di TVRI. Saya kira banyak karyawan TVRI yang ingin menghasilkan karya baik, tapi seringkali terbentur pada kenyataan yang ada di TVRI itu sendiri: strukturnya, kebijaksanaan keuangannya, manajemennya. Contohnya: suatu saat saya berikan naskah, lalu saya tanya siapa pengarah acaranya (PA). Lalu saya melatih. PA itu hadir tiap latihan. Pada saat terakhir, kira-kira tiga hari sebelum latihan, PA diganti entah apa pertimbangannya. Saya yakin PA baru itu tidak akan bisa mempelajari naskah dengan baik. Belum lagi bila berbicara tentang penata artistiknya. Masing-masing karyawan itu punya kepala bagian sendiri-sendiri yang sering tidak cocok jadwalnya.

Jadi, hambatannya pada birokrasi?

Ya. Semuanya diatur tidak berdasarkan kebutuhan lapangan, tapi berdasarkan kebutuhan birokrasi.

Bukankah birokrasi itu bagian dari birokrasi yang lebih besar?

Inilah sulitnya. Anda pergi ke televisi. Anda lihat, televisi itu suatu kantor persis dengan kantor pajak atau kantor departemen lain. Tidak tercermin sedikit pun di televisi itu suatu kesadaran, bahwa ia hidup dari masyarakat. Artinya, bahan siarannya itu datang dari masyarakat. Jadi, ia harus berusaha menarik masyarakat, memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Ruang latihannya saja tidak ada apa-apanya. Belum lagi kalau bicara beban yang dipikul karyawan seperti PA dibanding dengan jumlah mereka yang hanya tujuh atau delapan di bagian drama. Nggak pernah berhenti kerja mereka itu, sampai timbul masalah rumah tangga. Ada satu PA yang sempat nggak ditegur istrinya karena tidak pernah pulang. Berapa banyak yang sakit liver. Jadi, apa salahnya TVRI memakai karyawan luar, katakanlah sutradara film. Tidak usah digaji, tapi bayar saja sewaktu dipakai.

Sikap birokratis tadi apakah tidak berdasarkan anggapan yang lebih dasar lagi: TVRI itu dianggap milik pemerintah bukan milik masyarakat?

Memang. Kalau kita mau tarik kepada yang dasar, dasarnya lebih buruk lagi. Kita harus bertanya dalam keadaan sekarang ini, apakah pemerintah itu untuk rakyat, atau sebaliknya. Ini semua memang produk suatu pemikiran yang fundamental sekali. Kalau pemerintah untuk rakyat, hal ini akan tercermin pada perkembangan alat kontrolnya. Sampai berapa jauh DPR, pers berfungsi. Sekarang, kalau ada orang mau mencari tahu kejadian-kejadian tidak melalui surat kabar, tapi dari mulut ke mulut. Nah, semangat ini terlihat juga dalam batang tubuh TVRI. Ini gedung apa? Tidak ada televisi yang hidup dari televisi sendiri. Tidak ada!

***

Dalam skala lebih luas, apakah pikiran-pikiran yang Anda kemukakan tadi sesuai dengan sinyalemen bahwa kita sedang kehilangan gagasan mendasar? Apakah ini juga akibat struktur? Birokrasi?

Ya. Ada suatu proses pendangkalan. Makin lama yang dihargai hanya yang terlihat di luar saja. Proses pendangkalan pemikiran ini lahir karena kecenderungan untuk menggunakan kata-kata besar. Kalau Anda bicara dalam suatu rapat, lalu Anda bicara: sesuai dengan Pancasila pengurus yang cocok adalah si A, sulitlah sudah orang diskusi. Berhenti. Teknik ini makin lama makin dikuasai. Begitu teknik ini berkembang, maka yang memimpin pemikiran bukan lagi orang yang sanggup berpikir, tapi orang yang sanggup membeo. Kaum pemikir surut ke belakang. Masalah dasar tidak pernah disentuh. Sementara itu wabah diskusi dan seminar luar biasa sekali. Kalau terlalu banyak diskusi akibatnya inferiority complex pada orang-orang yang akan sampai pada kesimpulan ”saya ini tidak bisa apa-apa”. Ini penyakit yang menjalar sekarang. Ada ungkapan Albert Camus yang patut dipikirkan: teror kata-kata. Ini yang mematikan orang. Kata-kata tidak punya arti lagi, tapi ia menguasai semua sektor. Tiba-tiba putus itu hubungan dengan kenyataan, sampai Putu Wijaya mengatakannya Tai (salah satu judul dramanya), karena tidak dapat dilawan. Banyak masalah memang. Kalau sekarang ini kita tidak berusaha betul-betul kreatif, bisa putus asa, bisa negatif. Banyak sekarang yang tidak tahu jalan. Dan banyak seniman juga ... kayak nggak bisa dimengerti.

Apakah kebalauan seperti ini juga yang terjadi sekitar konsep atau slogan kebudayaan nasional, kepribadian nasional?

Kebudayaan nasional adalah produk kehidupan nasional. Ini tak bisa dirumuskan. Ada yang merumuskan kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Ini cara melihat dalam hubungannya dengan ras. Kebudayaan seharusnya dilihat dalam hubungannya dengan zaman. Pendekatan historis membuat kita lebih sadar pada perkembangan kebudayaan. Kebudayaan Indonesia lahir dari dinamika zamannya. Jadi nggak bisa kita katakan kebudayaan Indonesia itu sarung kebaya. Mungkin bisa sekarang, tapi besok lusa bisa jadi sesuatu yang lain karena tuntutan dinamikanya. Batik mungkin masih dipakai, tapi dalam bentuk rok. Ini suatu hal yang wajar.

Ada yang mengatakan bahwa kepribadian nasional itu suatu konsep negatif. Padahal tahapan sekarang ini adalah merumuskan konsep yang positif.

Suatu hal yang bergerak, bila dirumuskan akan mati. Ini sikap ensiklopedik yang harus kita tinggalkan. Setiap rumusan menstop perkembangan. Ini sikap ilmu sosial yang tidak memperhitungkan segi historis. Padahal kebudayaan itu kan cara kita mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh zaman dan tempat. Kalau hari dingin, kita menenun kain supaya kita bisa menutup badan. Tapi kalau hari nggak dingin, kita buka baju.

Justru bukankah sekarang orang meraba-raba mencari jawab?

Ini masalah palsu dalam dunia intelektual. Masalah palsu itu timbul sebab orang berpikiran secara ensiklopedik. Semuanya baru bisa dimengerti kalau bisa dirumuskan. Padahal susah dalam praktik, sebab kebudayaan Indonesia baru sudah muncul tanpa kita sadari. Teori itu makin lama makin menyedihkan. Makin lama makin ketahuan bahwa teori tergantung pada mode suatu saat. Gambaran dunia pada zaman Camus dan Sartre, umpamanya, dikuasai oleh kamp konsentrasi yang mereka alami. Beda, umpamanya, dengan Francois Sagan yang hidup satu generasi berikutnya. Lalu datang strukturalisme Levy Strauss. Satu mode lagi.

Apakah tidak bisa dikatakan ”mode” berpikir baru itu suatu usaha untuk memahami masalah?

Untuk menempatkan diri dalam suatu situasi secara subjektif. Ia tidak merupakan suatu kebenaran objektif. Kebenaran bukan terletak pada rumusan, tapi kesempatan untuk memperkayanya. Itulah yang terjadi sekarang. Jadi, kenapa kita harus berkeras membenturkan kepala pada suatu yang sebaiknya jangan kita rumuskan. Sebaiknya kita berbuat sedemikian rupa hingga ia bisa berkembang. Pemikiran kultural ini memang berbeda dari pemikiran legalistik dan akademik. Dari teori-teori di bidang sastra atau film, kita tahu nilai-nilai itu relatif sekali. Dia bisa menolong kita untuk melakukan argumentasi untuk memahami sesuatu dalam kondisi sesuatu. Jadi, dia tidak lain gambaran predicament manusia pada suatu saat. Jadi, apakah relevan kita mulai dengan perumusan.

***

Masalahnya—katakanlah—bukan rumusan, kita tahu sekarang ada masalah besar, dan orang menggapai-gapai untuk memahaminya. Untuk pemahaman ini digunakan alat-alat bantu, entah yang namanya ilmu atau lain lagi. Dengan pemahaman itu lalu dirumuskan tindakan. Padahal pemahaman pun sukar dilakukan.

Bukan pemahaman yang sukar, tapi kebenaran yang sulit untuk dikatakan. Itulah yang terjadi. Mari kita kembali pada permainan istilah. Hidup kita sekarang terdiri dari dua lapisan, yang mestinya satu. Kita menjadi split personality. Dengan istilah-istilah tertentu, di rumah kita bekerja sebagai manusia. Kalau yang di rumah ini tertekan juga, kalau orangnya nggak tahan, makan hati dia, mati dia. Darah tinggi, sakit jantung. Kalau orang pikirannya singkat, ia nembak macam-macam. Kita dipaksa hidup dengan dua lapisan. Jadi yang bisa dilakukan tinggal kita sadari kebenaran itu, lalu kita tunggu. Seperti dalam aliran teater pada 1960-an, kita munculkan aktor yang ada dalam diri kita, dan kita tonton diri kita bermain. Dalam keadaan seperti itu, suatu pembicaraan yang jujur dan serius tidak mungkin. Saya pergi keluar, saya bicara dengan lurah. Itu aktor yang bicara. Dan kalau saya mau selamat, saya lihat diri saya lagi. Kalau saya tidak menganggap diri saya bermain lagi, ini sudah celaka.

Dalam keadaan begitu, apa kesenian tidak bisa menjadi tempat pembicaraan serius dan jujur?

Ada tiga rujukan yang memungkinkan manusia memahami dirinya: ilmu, agama, dan kesenian. Kesenian melihat manusia sebagai suatu insan konkret. Di situ ia melihat kemungkinan dan kemustahilan. Di situ ia melihat jalur-jalur komunikasi. Ini yang bisa diberikan kesenian.

Dari segi itu, bagaimana Anda melihat kesenian kita?

Mayoritas kesenian kita adalah produk suatu proses pendangkalan, karena tidak ada pendalaman pemikiran yang tidak bisa ketemu dengan momen-momen historis penting. Peristiwa-peristiwa manusia penting diselesaikan dengan penggada-penggada besar. Kalau ada guru yang menyebarkan soal ujian, itu kan anti-Pancasila. Selesai.

Begitu juga film kita? Tempat Anda pernah berkarya. Tempat Anda banyak ikut berpikir sebagai anggota Dewan Film Nasional.

Masalahnya agak susah dalam film. Sekarang film bukan lagi milik produser, sudah dikuasai oleh pembeli yang memesan. Begitu kuasanya pembeli ini bahkan kini sudah masuk kamar editing. Ia ikut mengatur: ini nggak perlu, adegan itu buang saja. Jadi tidak ada lagi perlindungan terhadap karyawan atas sesuatu yang jadi tanggung jawabnya. Film kita jadi logikanya keadaan dagang. Kalau toh ada orang marah soal pornografi atau sadisme, itu cuma pidato. Tak ada pengusutan masalah sebenarnya. Apalagi tindakan.

Anda tidak membuat film lagi?

Saya mau, tapi ya seperti yang dikatakan Misbach Jusa Biran (sutradara dan Direktur Sinematek) delapan tahun lalu, waktu ramai-ramainya orang bikin film seks. Produser datang pada dia. Misbach menjawab agak kasar: kalau mau bikin film buat apa minta-minta cerita dan bayar mahal-mahal. Telanjangi saja perempuan 12 biji, lalu potret, kan sudah jadi. Sebagian besar produser sekarang mengambil sikap industri sebagai industri. Kita tidak bisa memaksa. Celakanya, ada produser yang cukup punya keinginan baik tapi tak punya uang. Satu hal yang harus kita sadari dalam keadaan seperti ini, kita akan kehilangan penonton, ada kebiasaan menonton yang akan hilang dan sulit diganti.

Anda tidak menulis puisi lagi?

Nggak. Tapi saya selalu bertitik tolak dari puisi. Saya pindah ke teater, karena suatu saat saya melihat bahwa puisi Indonesia sebetulnya puisi lisan. Tradisi kita begitu: kuat pada bunyi, bukan pada huruf atau segala macam seperti puisi Cina. Puisi itu juga yang membuat saya menyukai drama FG Lorca. Atau kalau di film karya-karya Fellini. Saya sekarang nggak punya kebutuhan lagi menulis puisi dengan kata-kata. Kalau saya menulis puisi hanya untuk mempertahankan pangkat penyair saja, tentu saya tidak jujur lagi.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004) 

Terbit pertama kali di Kompas, 9 Juni 1985.