Artikel/Wawancara Chand Parwez: Saya Mencintai Industri Ini

Wawancara 22-08-2011

Chand Parwez ketika diwawancara FI di Jakarta, Agustus 2011 (Foto: FI)Chand Parwez Servia selama ini dikenal identik dengan PT Kharisma Starvision Plus. Padahal dia sudah mulai berkecimpung dalam produksi film sejak 1986 dengan bendera Kharisma Jabar Film, hingga seluruh produksi filmnya sudah 52 judul. Dulu ia juga dikenal sebagai pengedar film untuk wilayah Jawa Barat, di samping memiliki beberapa gedung bioskop. Pengalaman panjang sekitar 30 tahun tentu membuat penciuman dan intuisinya cukup terasah. Hal ini nampak pada “daya jual” film-film produksinya. Data penonton dalam empat tahun terakhir menunjukkan bahwa hampir tidak ada filmnya yang “flop” alias rugi besar. Salah satu filmnya, Get Married 3, yang beredar menjelang lebaran tahun ini, mengingatkan kita pada Get Married yang meraup sekitar 1.400.000 orang, diikuti Get Married 2 yang mencapai 1.187.309 penonton. Parwez mungkin satu-satunya produser yang membuat sekuel film-film larisnya. Di samping Get Married, ada lagi The Tarix Jabrix dan Virgin. Secara keseluruhan, berdasarkan data penonton dari tahun 2008-2011, rumah produksinya menghasilkan 6-7 film per tahun dengan berhasil meraih angka penonton rata-rata 300.000-500.000 penonton. Parwez bercerita tentang industri yang ia cintai tapi sekaligus sebuah ironi.

Film Indonesia (FI): Sampai di mana Get Married 3 sejauh ini?

Chand Parwez (CP): Get Married 3 memasuki tahap pasca produksi. Kita rencana putar tanggal 25 Agustus. Sudah ada tiga poster yang kami buat. Alhamdulillah, filmnya jadinya sangat menarik, sangat unik, karena di sini semakin banyak tokoh yang muncul. Di samping Mae dan Rendy memiliki tiga orang anak kembar, kembar tidak identik, mereka juga akhirnya mencoba mengurus anak-anak itu sendirian. Ternyata, mengurus anak tiga, ya beda lah dengan membesarkan ikan gurame di kolam. Kalaupun akhirnya, semuanya selesai dengan sangat baik, sangat manis, kita menyadari dalam (sistem) keluarga kita di dunia timur, di Indonesia, keluarga itu merupakan sebuah tempat yang tidak pernah menjustifikasi, tidak pernah meninggalkan kita, tidak pernah memusuhi kita. Lebih dari itu juga, dalam kekeluargaan itu, ada keluarga domestik, dan ada keluarga besar, bagaimana mencari akselerasi. Jadi, menurut saya, ini adalah film hiburan yang kental komedinya, kental pesan moralnya, kental rasa kekeluargaannya, sehingga memang kita desain sedemikian rupa, segenap keluarga bisa menonton bersama-sama pada saat Lebaran.

FI: Di film ketiga ini ada pergantian pemeran Rendy dan sutradara. Mengapa?

CP: Sebetulnya boleh dibilang ada unsur kesengajaan, walaupun tidak 100%. Dulu kita memakai Richard Kevin sebagai tokoh baru yang muncul, mencari perhatian, sehingga Get Married (1) menjadi film yang sukses pada masanya, tahun 2007 lalu. Dua tahun kemudian, saya bikin dengan Nino Fernandez. Sebenarnya pada waktu itu ada dua hal yang mengakibatkan pemilihan Nino Fernandez. Yang pertama adalah Richard Kevin sibuk. Yang kedua, menurut kita, di posisi cerita yang kedua, kalau Nino yang memerankan akan terasa lebih menggigit, situasionalnya. Bagaimana dengan dia dan segala persoalannya, semua mengerti bahwa Nino di situ tepat. Di sini, lebih menarik lagi, karena jujur saja, di dalam Get Married 3 ini, kita menceritakan sebuah kondisi di mana Rendy mengalami krisis identitas juga. Kondisinya yang relatif ‘ringkih’ itu diperankan oleh Fedi Nuril, menjadi ideal banget. Menurut saya, Fedi luar biasa. Bagi saya, sebagai debut pertama dia main di film komedi, dia berhasil di film ini.

FI: Waktu produksi film ini berapa lama?

CP: Anda tahu sendiri lah pemainnya. Semuanya pemain sangat sibuk. Kita persiapannya yang cukup lama. Namun, seluruh proses berjalan dalam periode kurang lebih selama tiga bulan. Karena ini kan sebetulnya karakternya sudah terbentuk dari awal.

FI: Mengapa target rilis pada tanggal 25? Karena selama bulan puasa ini tidak ada film Indonesia baru yang tayang di bioskop?

CP:Sebetulnya Get Married mengisi lebaran untuk yang ketiga kalinya. Periodenya tiap dua tahun. Jadi, kita memang sudah rencanakan, Get Married ini untuk menjelang lebaran. Film lain untuk lebaran itu, memang tayang sekitar tanggal 25, ya. Pada ragu saja kayaknya untuk putar pada bulan puasa. Apalagi sekarang.

FI: Keraguan ini muncul karena apa, ya? Apakah pernah menghadapi situasi tersebut? Jika iya, pertimbangannya apa saja?

CP: Biasanya saat puasa, konsentrasi penonton film nasional ke bioskop berkurang karena kesibukan jelang Lebaran atau kesibukan harian buka puasa dan tarawih. Hal ini dibarengi kemerosotan omset bioskop (untungnya tahun ini ada film-film MPA). Di samping itu, semua orang konsentrasi menayangkan filmnya pada saat Lebaran, seperti tahun ini ada lima judul film nasional, sehingga apabila film main pada saat bulan puasa, maka pas Lebaran terpaksa harus turun, khususnya di bioskop yang berlayar lima atau kurang, karena mereka harus memutar lima judul film baru.

FI: Apa berarti bisa dibilang bahwa ini terkait dengan ketidakpastian berapa lama film bisa ada di bioskop sehingga sewaktu-waktu bisa diturunkan?

CP: Dilema, kalau sukses sulit terus… Sepertinya tanggal main sudah pasti selama puasa.

Isu besar

FI: Sebenarnya, apa yang membuat Anda memutuskan untuk memproduksi suatu film?

CP: Pertama, film itu harus mempunyai pesan yang positif, memberikan aura yang positif, itu yang pertama. Lalu, isunya harus besar. Seperti di sini, isu pernikahan adalah isu yang selalu menarik. Jadi, menurut saya, itu menularkan suatu rasa kebahagiaan ya, menyenangkan, dan positif. Ada kepedulian dalam keluarga. Ini jadi hal-hal yang menurut saya, sangat esensial dalam kehidupan. Dan kita selalu berangkat dari situ. Isunya besar, dekat dengan masyarakat kita, dan itu kita menyajikannya dengan cara yang baik, secara teknis harus baik. Kalau Starvision umumnya kan (memakai) Dolby. Kita cukup quality oriented. Kita ingin tetap membuat sesuatu yang membuat penonton film kita datang ke bioskop, mendapatkan pengalaman yang baik, pengalaman yang membuat dia ingin menonton film nasional. Daripada kita memberikan sebuah pengalaman menonton yang buruk. Itulah yang selalu memotivasi saya. Saya mencintai industri ini. Anda tahu saya sampai bikin Festival Film Bandung. Karena saya ingin, masyarakat semakin cinta film Indonesia, film Indonesia juga semakin baik.

FI: Bagaimana target pasar Anda? Film-film Anda sebagian besar ada di atas angka 300.000 penonton.

CP: Seorang produser harus mempunyai kepekaan sosial. Itu syarat utama. Tapi, tidak cukup hanya kepekaan sosial saja. Banyak kasus yang menarik. Kita tidak ujug-ujug bisa bikin hari itu juga, kan? Karena film ada masa hamilnya. Ada proses di mana film itu harus dibikin dan sebagainya. Jadi, di samping mempunyai kepekaan sosial, juga melihat perkembangan kepekaan sosial yang ada di masyarakat itu secara ekonomi juga. Bagaimana melakukan marketing dan sebagainya, sehingga kedekatan yang ada terbangun menjadi sesuatu yang memang ingin dilihat oleh masyarakat. Anda lihat, judul-judul saya aneh-aneh, kan? Tarix Jabrix, nggak ada artinya, kan? Tapi kan akhirnya jalan. Saya bikin sekuelnya, bagus sekali ratingnya. Atau misalnya Red Cobex. Itu aneh. Tapi menurut saya, judul-judul itu menjadi sebuah ikon, makanya kita selalu mencoba membuat sekuelnya.

FI: Lalu, apa yang menjadi dasar keputusan sebuah film dibuat sekuelnya?

CP: Ada beberapa. Satu tentunya adalah bagaimana masyarakat menerima film itu pada waktu diedarkan. Penerimaan itu bisa dua. Yang paling mudah tentunya dilihat dari angka perolehan penonton. Tapi yang kedua, juga apresiasi masyarakat penonton terhadap film itu. Karena, angka perolehan penonton bisa saja pada waktu tertentu, menjadi drop karena situasi di masyarakat. Apakah ada masalah, ataukah misalnya ada kesibukan-kesibukan lain, sehingga bisa saja tidak maksimal. Selama ada semacam penerimaan yang positif dari masyarakat, artinya film itu mempunyai potensi untuk bisa dikembangkan, ditawarkan kembali, pada waktu yang lebih baik. Itu salah satu pertimbangan kami untuk membuat sekuel.

FI: Berapa biaya produksi film ini?

CP: Belum ketahuan. Produksi kita relatif mahal. Anda tahu sendiri dari segi pemain. Tapi mudah-mudahan aja, film ini bisa menjadi sesuatu yang berarti ya. Menurut saya di sini, Nirina main luar biasa, Fedi Nuril main luar biasa, Jaja Mihardja, Meriam Bellina. Kadang-kadang saya suka sedih juga, film-film bagus, bermain dengan sangat maksimal, suka luput dari penilaian di festival. Kadang-kadang, ya gak tau ya, dianggapnya film kalau unsur H-nya lebih besar. Padahal hiburan kan macam-macam ya. Ini adalah hiburan yang sangat sehat, hiburan yang sangat cerdas. Itu isu-isu yang dekat dengan kita. Itulah yang saya bilang, komedi itu, ada komedi yang konyol ada komedi yang cerdas.

FI: Dalam produksi film, biasanya butuh budget berapa untuk balik modal?

CP: Di Indonesia ada tiga kualifikasi film. Ada film yang sangat sederhana, film yang dibuat dengan 1,5 M kurang pun atau 1,5 M maksimal pun, sudah bisa beredar. Banyak sekali film seperti itu. Nah itu, kalau kita katakan dari bioskop itu per tiket terima 7500, dia dapat 200.000 penonton pun sudah kembali (modal). Dia pasti dapat juga dari hasil-hasil yang lain. Ada film yang standar, film yang sebenarnya. Itu adalah film yang dibuat dengan biaya kisarannya sudah di atas 2 M sampai 5 M. Starvision bermain di wilayah itu. Saya jarang sekali membuat film dengan biaya di bawah 3 M dan bisa lebih dari 5 M. Tapi di luar itu, ada juga film-film ideal, seperti Get Married. Kita selalu setiap tahun membuat film yang standar dan yang ideal. Kalau film ideal, terkadang dapat 500.000 (penonton) pun, belum kembali uangnya. Seperti waktu saya membuat Perempuan Berkalung Sorban dengan biaya tinggi. Dapat 800.000 pun, masih belum untung, belum breakeven. Sebetulnya pertimbangan membuat film yang ideal bukan hanya semata-mata kita tidak mau. Kita maunya semua film dibikin ideal. Tapi kita mempunyai keterbatasan pasar. Kendala utama perfilman nasional adalah pasar. Jumlah bioskop terbatas, jumlah layar terbatas. Bioskop tidak ada di semua wilayah. Itu kan sangat menyedihkan. Kita hanya berteriak mau menambah produksi, memajukan produksi, tapi infrastrukturnya nggak ada. Itu yang menjadi kendala. Akhirnya dari dulu, kita berputar-putar di lingkaran setan itu. Mau meningkatkan biaya produksi, pasarnya terbatas. Nanti pasar tidak bisa mengakomodasi. Kita rugi. Akhirnya, bermain di wilayah budget yang sesuai dengan kondisi pasar. Kenapa misalnya Transformers bisa bikin dengan 1,5 triliun? Karena itu punya pasar dunia. Kalau buat kita kan bisa jadi buat 300 film standar. Untuk tiga tahun, gitu? (tertawa)

FI: Ada hitungan matematika menghitung prediksi jumlah penonton? Misalnya berdasarkan asumsi tertentu?

CP: Ada sebetulnya, tapi nggak ada yang pasti. Film kan produk sosial. Produk yang tidak bisa ditentukan secara pasti. Jadi, agak sulit, ya. Kalau semuanya bisa dipastikan, sudah pada jadi produser. Kaya-kaya semua. Katanya sesuatu yang pasti dalam industri film adalah ketidakpastian.

Film Digital

FI: Bisa diceritakan soal pembuatan film Indonesia yang mengandalkan teknologi digital?

CP: Begini. Saya prihatin. Saya sangat mencintai industri ini, tapi di sisi yang lain juga saya prihatin. Industri ini seperti gula, mengundang semut-semut datang. Atau kayak bunga, mengundang kumbang-kumbang. Mengapa? Karena menjanjikan, katanya. Wah, jadi produser, keren. Banyak orang tua yang kaya memberikan uang anak-anaknya untuk bisa bikin film. Akhirnya, jadilah film. Membuat film semudah membalikkan tangan, asal ada duitnya. Persoalannya adalah film yang dibuat itu film seperti apa? Apakah film itu bisa membangun industri, yang memberikan pengalaman menonton yang baik sehingga membuat investasi orang itu ingin menonton lebih lanjut. Atau sebaliknya? Atau akhirnya malah hasilnya tidak bisa kembali. Membuatnya mudah, namun membangun industri adalah menularkan nilai-nilai positif. Membangun. Di samping memberikan lapangan pekerjaan, menularkan semua ongkos yang dikeluarkan dalam produksi untuk membantu seluruh kegiatan ekonomi di masyarakat, tapi juga harus meningkatkan nilai ekonominya dari kegiatan usaha itu, bukan sebaliknya. Atau kalau tidak, bangkrut lah usaha itu. Kebangkrutan yang menular ke mana-mana artinya kebangkrutan sebuah kegiatan.

Yang kedua, tidak ada pengalaman, tidak ada proses. Semuanya pakai jurus ujug-ujug. Itu juga merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan. Padahal, ada orang yang sekolah sekian tahun, ada yang harus jadi asisten, belajar, magang dan sebagainya, tapi dia mempunyai kemampuan. Tapi ada yang ujug-ujug. Terus yang ketiga, pada waktu kita ngomong film ini biayanya sekian, tapi kok kenapa ya hasilnya begini? Ini pertanyaan-pertanyaan tentang eksekusi produksi. Di dalam proses pembuatan film, ada proses pra produksi dan produksi. Lalu ada proses berikutnya yaitu proses pasca produksi termasuk marketing-nya. Apa yang sekarang sering terjadi, proses produksinya itu hanya menempati budget 40%, sedangkan selanjutnya 60%. Ini yang membuat sebuah nilai film menjadi tidak kelihatan sesuai cost-nya. Karena larinya cost ke pasca produksi atau marketing. Nah, ini yang menurut saya perlu dibenahi sehingga akhirnya saya membuat satu banner yang saya sebut film Indonesia yang diproduksi secara digital. Kita menyediakan seluruh ongkos produksi, betul-betul untuk produksinya. Dengan mengurangi pasca produksi semaksimal mungkin. Untuk itu, film itu nggak harus di-blow-up menjadi seluloid, nggak harus lah cetak kopi, karena itu kan yang bikin mahal. Itu yang saya sebut film digital. Materinya digital yang kita tinggal loading ke bioskop yang sudah mempunyai perangkat digital. Apakah film itu film sederhana? Tidak. Seperti Jakarta Maghrib. Menurut saya itu unik, walaupun mungkin kalau bicara soal komersial itu agak sulit.

Ada juga yang keempat. Saya seringkali mendapatkan naskah yang sangat bagus, tapi tidak memiliki isu besar. Seperti film Oh, Tidak..! Persoalannya sederhana. Itu film keluarga, film cinta. Film yang harusnya membuat kita jadi lebih baik. Saya suka sekali naskahnya. Tapi, kita tidak bisa bikin, sedih kan saya. Akhirnya, saya fasilitasi. Atau (Fajar) Nugros, dengan cerita Cinta di Saku Celana. Itu kan bagus sekali. Tapi, apakah dengan judul itu di bioskop, berisiko nggak? Nah, ini kan memang unik. Tapi, kenapa juga nggak boleh Cinta di Saku Celana? Pertanyaannya kan itu. Saya butuh wadah. Akhirnya saya buat film digital ini. Saya bicara dengan RCTI, saya bilang yang saya berikan kepada Anda sebagai film. Karena treatment-nya film. Hanya bedanya, tidak punya materi seluloid. Toh, televisi tidak butuh materi seluloid. Yang kita berikan adalah format penayangan digital. Akhirnya, saya juga di-support RCTI, Sehingga akhirnya memungkinkan buat saya untuk terus membuat. Kita sudah ada tiga, dan sedang menyiapkan dua judul lagi.

Ini sama treatment-nya. Saya juga minta tolong ke semua sahabat-sahabat saya. Teman-teman bersedia untuk menjadikan film digital ini ada. Nah, karena untuk saya, dengan cara seperti ini, kita akan berikan juga kepada anak-anak yang baru, yang lebih muda, sehingga mereka juga punya proses pembelajaran dulu jangan sampai pakai jurus ujug-ujug. Ini juga sebagai upaya memberikan atmosfer baru.

FI: Bagaimana pasarnya?

CP: Justru itulah. Pasarnya masih belum... Kendalanya adalah kita harus pintar-pintar mengelola budget. Pasarnya bioskop digital masih terbatas. Blitz lebih terbuka. Mudah-mudahan ke depannya grup XXI juga terbuka. Ya, menariknya apa yang kita diskusikan, menjadi sesuatu yang didukung teman-teman.

FI: Melihat kondisi sekarang, masih mungkin untuk berkembang lebih jauh?

CP: Harusnya, ya. Mudah-mudahan. Indonesia itu punya geografis yang berbeda dengan negara lain. Kita terbentang dari Sabang sampai Merauke, itu luas. Terdiri dari sekian pulau. Coba bayangkan. Bagaimana kita menyatukan wilayah yang begitu luas dengan seluloid? Mahal kan biayanya? Kalau dengan digital, mungkin ke depannya, akan bisa lebih mudah, kan. Saya tahun 1997 sudah mencanangkan, kenapa di Indonesia nggak buat bioskop satelit aja. Jadi bioskop itu pakai satelit terus pakai decoder-decoder. Jadi setiap orang kaya di kota kecil atau di kota besar, mereka bisa bikin bioskop. Kita nanti buatkan bentuknya harus begini, standarnya, seperti 711, misalnya. Saya kan kalau ngomong begitu, dianggap kayak orang gila. Jadi, ya mudah-mudahan saja. Kalau kita niatnya benar, ya benar.

Tapi kalau untuk film-film ini, saya banyak dibantu karena mereka paham, tujuan saya apa. Mereka juga paham, bahwa saya masuk ke pasar yang masih belum terbentuk. Semua, alhamdulillah, kerabat-kerabat saya pada mau bantu. Bisa ada yang hanya dibayar 10, 20, 25 persen, tapi dengan profesionalitas yang sama, dengan kreativitas yang sama. Karena mereka paham bahwa saya lagi mau membangun sesuatu yang baik.

FI: Berarti bisa dibilang, langkah selanjutnya adalah membangun infrastruktur bioskopnya?

CP: Mungkin mereka juga takut, ya. Kalau film digital bisa dibuat relatif dengan biaya yang lebih sederhana. Sifat digital itu tidak butuh proses yang lebih panjang dan lebih mahal. Mungkin mereka takut kalau nanti jadi banyak. Padahal ya relatif juga, ya. Yang jalan pasti yang bagus. Ya, memang masih agak susah. Awareness masyarakat terhadap film digital masih kurang. Jadi, ini relatif, ya. Film itu kan nggak bisa diprediksi. Teman-teman wartawan banyak yang bertanya, mengapa copy-nya sedikit, film sebaik ini kenapa nggak di-blow-up. Saya waktu itu sudah niat mau blow up. Saya bicara juga dengan 21. Mereka terbuka. Tapi saya berpikir, katanya saya mau bikin proyek yang idealis, kok baru begini, sudah mau blow up. Akhirnya, ya semoga saya nggak tergoda ya lewat film ini. (tertawa)

FI: Bisa untuk pasar lain, seperti festival di luar?

CP: Ya, buat mereka nggak ada bedanya. Bagi mereka tetap sama. Film digital atau apa, ya film bagi mereka. Di Indonesia saja seperti ini. Bioskop di sana, selain ada proyektor (analog), juga ada digital. Mereka punya dua-duanya.

Bioskop

FI: Kira-kira apa yang menjadi hambatan untuk membentuk infrastruktur ini?

CP: Persoalannya, bioskop yang baru dibangun yang melakukan adaptasi mutakhir. Bioskop lama, ya nggak, bioskop konvensional. Itu kan tetap seluloid. Persoalannya, bioskop kan dibangun hanya oleh kelompok tertentu. Karena kan investasinya juga besar ya. Per layar itu bisa 2-5 M. Karena itulah, mereka hanya membangun di kota-kota besar, yang potensi marketnya ada. Persoalannya lagi, justru potensi pasar kita, bukan hanya di kota-kota besar itu, kota-kota menengah kan butuh. Dulu, pernah satu periode, (sebelum pembajakan yang mematikan industri) saya sampai bangun bioskop itu di kota kecil Jawa Barat. Bioskop bisa menunggu peredarannya, copy film main di tempatnya setelah tiga bulan, enam bulan, pun masih dianggap basi. Sekarang, satu minggu, dua minggu, bajakannya sudah ada. Akhirnya, yang dulunya ada bioskop mati lah semua.

FI: Dalam jangka berapa tahun lagi infrastruktur itu bisa dibangun?

CP: Kemarin digembar-gemborkan, dalam sekian tahun 1.000 layar. 1.000 layar itu nggak cukup. Satu bioskop itu, untuk 50.000 orang. Itu pada saat bioskop masih konvensional, yang kapasitasnya 600 sampai 1.200 orang. Sekarang, dengan jumlah penduduk 240 juta, kita butuh berapa? (Mengambil kalkulator) 240 juta dibagi 50.000, 4800 layar, idealnya. Itu kalau bioskop yang kapasitasnya besar. Nah, sekarang dengan bioskop yang mini-mini begitu, kita harus bikin berapa? Dulu kita pernah punya lebih dari 4000-an bioskop konvensional. Sekarang kita cuma punya 600-an layar. Butuh berapa layar lagi, coba? Baru 12,5 persennya. Itu pun nggak ideal.

FI: Infrastruktur ini masih bisa tercapai?

CP: Menurut saya, sebetulnya bisa. Jujur saja masyarakat kita di Timur itu kan butuh eksis. Jadi itu bisa menjadi ajang eksis, kan? Memberikan akses, pusat hiburan masyarakat. Mungkin itu pendekatan yang ideal. Kan sekarang sudah ada teknologi decoder. Jadi, nanti si bioskop itu mendapat daftar film yang beredar. Mereka harus bayar iuran. Itu semua harus computerized. Tiketnya jual berapa. Itu kan decoder ke projection, bisa langsung diputar. Harga karcis disesuaikan dengan daya beli. Decoder untuk wilayah ini, bulanannya berapa. Pada saat dia nggak bayar, ya langsung mati. Yakin saya, kalau mereka sudah investasi, mereka akan menjalankan dengan baik. Itu adalah sebuah pola franchising yang bagus ya. Kalau sudah banyak, katakan kita punya 10.000, itu mempunyai kekuatan yang besar sekali, untuk orang pasang iklan, atau apa. Saya mau kalau ada bioskop seperti itu. Di bioskop konvensional main, di situ juga main. Karena harga karcisnya tidak akan berbeda. Penonton tinggal memilih.

FI: Apakah itu pula alasannya menggandeng RCTI? Apakah untuk memasyarakatkan itu?

CP: Film kan peredarannya setelah di bioskop, video, baru ke televisi. Jadi, ya itu untuk memperkuat pasar. Memperkuat potensi untuk kita berani mengeluarkan dananya. Kita kan harus mengembangkan pasar yang pasti, dan juga pasar yang dibangun.