Di Jalan Raya Lenteng Agung No. 34, Jakarta Selatan, ada Forum Lenteng, sebuah tempat yang tidak dapat dibilang mewah tapi bisa disebut sebagai kawah candradimuka bagi pembuat film dokumenter Indonesia. Forum Lenteng juga bisa disebut oase bagi sinefil yang sekedar ingin berkunjung, diskusi tentang film, maupun menonton film bersama dalam program rutin mereka, Senin Sinema Dunia. Komunitas ini didirikan dan diurus oleh Hafiz Rancajale bersama teman-temannya sejak 2003.
Forum Lenteng bisa dibilang mengambil langkah yang tidak populer. Film-film yang mereka hasilkan berjenis dokumenter maupun eksperimental, yang banyak bicara tentang keseharian hidup masyarakat Indonesia dari lapisan menengah ke bawah. Meski begitu, karya mereka sudah melanglang buana di berbagai festival film di luar negeri. Karya terbaru mereka adalah Dongeng Rangkas, hasil kolaborasi penyutradaraan lima anggota Forum Lenteng, yang sudah diputar di CPH Dox 2011, Copenhagen, Denmark, salah satu festival film dokumenter bergengsi di dunia.
Hafiz bercerita tentang kegiatan komunitasnya, film Indonesia masa lalu sampai sekarang, dan sinema yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya sehari-hari.
Film Indonesia (FI): Tolong ceritakan awal mula ketertarikan Anda dengan medium film?
Hafiz Rancajale (Hafiz): Sejak kecil saya sudah tertarik sekali dengan visual. Saya suka menonton film. Tapi layaknya anak kecil sebaya, yang ditonton itu film-film jagoan. Ayah saya pelukis, hanya pada waktu itu saya belum mengerti apa itu lukisan. Saya hanya tahu melukis itu adalah kanvas kosong yang digambar lalu dijual, beres. Belum mengerti kalau melukis itu ada konsep teori atau sejarahnya. Setahu saya, ayah saya bisa menggambar bagus, konteksnya baru sampai situ saja. Ketika di IKJ, saya kuliah di jurusan seni rupa, kampusnya kecil, tempat orang saling kenal dan di situlah pertama kali saya kenal dengan Riri [Riza], Lance, Harry Dagoe, dan lain-lain.
Tahun 1990 ada pemutaran film rutin di kampus IKJ. Awalnya saya iseng-iseng saja dan karena dari kecil sudah hobi nonton, saya rutin main ke studio mini IKJ dan perpustakaannya tempat saya jadi pelanggan tetap. Waktu itu tahapnya masih bergaul dengan anak-anak jurusan film.
Di akhir tahun 1990, ada seorang kawan saya yang mengajak ke CCF Salemba untuk menonton film. Pada masa tersebut, pemutaran film di CCF satu minggu penuh, tiga kali pemutaran setiap harinya, dan semua yang diputar itu formatnya seluloid dan tidak ada video. Saya ingat sekali film yang diputar waktu itu dan membuat saya terpesona adalah Une Femme est Une Femme-nya Jean-Luc Godard. Godard kan sangat bermain visual dan editing, sepanjang film saya terus bergumam dalam hati, "Wah, film apaan nih." Karena punya latar belakang seni rupa, saya menyadari ada pesona visual yang lebih dari film. Dari situ awal mula ketertarikan saya terhadap film.
Kalau dibandingkan dengan sebuah lukisan, yang hanya memuat satu frame, dalam film ada 24 frame setiap satu detik. Artinya ada jutaan frame dalam satu film. Akhirnya saya membuat kelompok studi film tahun 1991 bersama Riri Riza, Lance, Harry Dagoe, dan Pandapotan. Kelompok tersebut tidak formal, sebatas kelompok yang hobi menonton. Walau sekadar sebagai sekumpulan mahasiswa yang sok tahu tentang film, terbentuk suatu intensitas. Kami juga sempat membuat satu jurnal film yang terbitnya hanya sekali dan pada waktu itu kita membahas Martin Scorsese sampai tuntas. Semacam fase awal yang membuat kita sadar kalau sinema itu bukan sekadar hiburan, tetapi juga dapat dilihat dalam konteks sebagai produk kebudayaan, pendidikan, dan pengetahuan visual. Semacam lintas disiplin antara sastra, lukisan, filsafat, dan sebagainya.
FI: Lalu mengapa dokumenter?
Hafiz: Sebenarnya bagi saya tidak ada bedanya antara dokumenter dan fiksi, tetapi dokumenter lebih menantang buat saya. Di dalamnya tidak ada beban konstruksi produksi yang ajeg dalam proses kerjanya, dan ada semacam keterpesonaan akan munculnya kejutan pada setiap fase pembuatannya. Kita menemukan ide misalnya ketika ingin mendokumentasikan seorang ibu, lalu kita menulis ide dari konteks apa yang mau kita baca dari ibu tersebut. Ketika syuting, tidak mungkin ibu itu akan membicarakan hal yang sama pada waktu yang berbeda, duduk dengan cara yang sama dari yang kita bayangkan pada awalnya. Terlebih lagi dalam proses editing, kejutan terus muncul. Kita harus merekonstruksi lagi footage yang kita punya dan mengimajinasikannya jadi sebuah film.
Dalam fiksi juga pasti ada kejutan, namun sudah bisa kita prediksi sebelumnya. Misal dialog ini akan diucapkan, sedangkan dalam dokumenter kita tidak bisa memaksa orang untuk berbicara apa. Storyboard juga tidak ada. Selain itu dokumenter juga jauh lebih murah biaya produksinya. Kami bisa menggunakan kamera video yang sederhana, tidak perlu lighting, hanya apa yang bisa ditangkap dengan kamera.
Dalam perspektif saya, baik fiksi maupun dokumenter sama-sama produk budaya yang punya persoalan masing-masing. Jadi saya pribadi membaca film lebih ke bagaimana pembuat film membahasakan dan mengkonstruksikan filmnya.
FI: Cerita atau subjek yang bagaimana yang menarik untuk kemudian difilmkan?
Hafiz: Yang pasti dilakukan oleh para pembuat film di mana-mana adalah sama, yaitu cultural activism. Maksudnya adalah konteks yang dibicarakan adalah ketidaksinkronan antara hubungan satu manusia dengan manusia lainnya, atau kultur yang satu dengan kultur yang lain. Jadi, dalam membuat film, kita selalu dihadapkan untuk memilih ingin berdiri di wilayah mananya. Dan saya memilih untuk berdiri di wilayah seperti yang tadi saya bilang. Kalau Anda menonton film-film Godard atau [Abbas] Kiarostami, pasti akan selalu ada ketidaksinkronan itu dan dalam film mereka selalu ada konflik yang dibentuk oleh masyarakat. Itulah cerita yang saya dan teman-teman Forum Lenteng pilih. Misalnya kita ingin membicarakan soal cinta yang sedang trend dalam industri film kita, maka cinta yang bagaimana hubungannya dengan konteks sosial-politiknya. Kita bisa bangun dari sudut pandang itu.
Dalam Dongeng Rangkas, misalnya, diceritakan di sebuah kota kecil ada sekumpulan pemuda yang memainkan musik metal punk dengan sebutan "metal satu jari" (metal tapi religius). Dari situ kelihatan dari sejarah kulturalnya juga tidak sinkron. Tetapi itu kan juga berbahaya, sering orang malah mencari-cari sendiri ketidaksinkronan itu, sehingga jadi eksotisme. Saya menolak itu. Kami tidak mau mengobjektifikasi sebuah soal.
FI: Bagaimana dengan masalah pembiayaan film-film yang diproduksi Forum Lenteng?
Hafiz: Sampai sekarang biayanya masih dari kocek pribadi. Di sini kita tidak mempunyai produser yang baik dalam hal mencari uang untuk membiayai film-film kita, berbeda dengan Edwin misalnya yang punya produser andal. Jadi adanya Forum Lenteng sebagai komunitas yang saya bangun adalah salah satu cara untuk kita bertahan. Ada sikap loyalitas bersama. Waktu kita membuat Dongeng Rangkas, kebetulan kita punya tabungan dari sisa produksi proyek lain.
Kemudian sekarang kita sedang membuat tiga dokumenter, yang menurut saya lingkupnya cukup besar. Salah satu dari proyek dokumenter itu modalnya hanya untuk teman-teman jalan ke Lombok, membawa kamera, bertahan hidup di situ selama sebulan, dan mendokumentasikan apa saja yang kira-kira menarik bagi mereka. Kira-kira begitulah cara kita membuat film, bisa dibilang kita melakukannya sebagai labor of love. Kalaupun kita mencari sponsor, agak sulit, karena karya-karya yang dibuat Forum Lenteng tidak mempunyai isu yang bisa membuat orang tertarik untuk membiayainya. Risikonya juga macam-macam. Tidak laku, misalnya. Tetapi hal tersebut tidak seharusnya membuat kita untuk berhenti berkarya.
Teman-teman pembuat film saya di luar sana ada yang selalu mengatakan kalau mereka punya cita-cita membuat film yang tidak mengikuti industri. Idealis. Tetapi lagi-lagi balik alasannya, "Ya kita harus cari duit dulu, Fiz. Harus kaya dulu baru bikin yang aneh-aneh." Logika tersebut tidak masuk dalam pemikiran saya, karena ujung-ujungnya mereka mencari uang bukan ingin membuat sesuatu berdasar passion. Menurut saya, kalau kalian mau membuat sesuatu, buatlah dengan segenap sumber daya yang kalian miliki dan percaya karena itu adalah suatu pilihan.
FI: Dalam bentuk apakah keterlibatan Ford Foundation dalam Dongeng Rangkas?
Hafiz:Dongeng Rangkas adalah suatu film yang dihasilkan dari salah satu proyek pemberdayaan Forum Lenteng, yakni akumassa. Ada beberapa komunitas pemberdayaan dampingan kita di beberapa daerah di luar Jakarta, dan sudah berjalan hampir empat tahun. Karena sudah berjalan cukup lama, tentu harus ada upgrading, atau peningkatan kapasitas mereka. Dari yang selama ini hanya memakai kamera video, saya sekarang bawa kamera HD. Saya bilang sama mereka "Kalian gunakan itu kamera, dan kerjakan filmnya." Jadilah Dongeng Rangkas. Kalau ditanya tentang keterlibatan Ford Foundation, mereka tidak memberikan dana khusus, tetapi mereka merupakan salah satu bagian yang mendukung proyek pemberdayaan kita yang sudah berjalan. Budget kita sendiri untuk Dongeng Rangkas sekitar Rp. 5.000.000. Itu pun hanya untuk ongkos teman-teman ke Rangkasbitung.
FI: Ke manakah Forum Lenteng mendistribusikan film-filmnya?
Hafiz: Dalam hal ini kita berbeda dengan yang lain. Karena misi awal Forum Lenteng adalah aktivisme dan pendidikan, kami menyasar bagaimana masyarakat luas dapat mengakses karya-karya kami secara bebas dan boleh disebarluaskan lagi sendiri, baik melalui internet maupun hand-to-hand. Kebetulan kita punya jaringan yang cukup luas di beberapa festival film dunia. Jadi setiap produksi Forum Lenteng pasti kita kirim ke sana. Walaupun tidak masuk seleksi, minimal mereka punya karya kita dalam database-nya. Seperti film Massroom Project tahun 2003, yang terdiri dari sembilan film pendek, yang dikompilasi dalam bentuk omnibus. Tahun 2011 kemarin film itu masih keliling di beberapa festival film di luar negeri. Kita dapat laporannya.
Kita tidak bisa berharap dengan metode distribusi layaknya industri yang mapan dalam hal modal, dan saya yakin film-filmnya Forum Lenteng tidak bakal laku dibeli orang. Jadi ada hal-hal yang harus kita ketahui bahwa film yang sifatnya aktivisme seperti karya-karya Forum Lenteng tidak akan bisa masuk box-office atau jaringan bioskop, namun dapat menjadi semacam filter atau penyeimbang bagi industri dan alternatif tontonan yang asyik untuk khalayak ramai.
FI: Bagaimana cara Forum Lenteng menghidupi dirinya?
Hafiz: Forum Lenteng mempunyai sistem keanggotaan, dengan iuran setiap tahun, juga ada donasi dari teman-teman secara sukarela dan sifatnya tidak mengikat. Profesi anggota-anggota kita juga dari bermacam kalangan. Mereka percaya terhadap Forum Lenteng karena ingin merasakan wilayah ekspresi sinema dengan cara yang berbeda, walaupun ada dari mereka yang berkecimpung di industri. Kita juga punya beberapa proyek, seperti riset sejarah media televisi yang didukung penuh selama dua tahun, contohnya tadi terhadap proyek pemberdayaan dari Ford Foundation. Kita pintar-pintarlah mengatur keuangan kita sendiri walau kita tahu kita tidak akan bisa menjadi orang kaya di sini.
FI: Jika Anda menyebut dokumenter sebagai cultural activism, seberapa banyak fiksi dalam film-film Anda sendiri? Atau sebagai proses observasi saja?
Hafiz: Ada istilah terkenal dari Werner Herzog, "Apa yang kamu sebut sebagai fiksi adalah dokumenter dan apa yang kamu bilang sebagai dokumenter juga adalah fiksi, karena di dalam dunia sinema kenyataan itu sudah habis." Maksudnya kalau Anda melihat rekaman-rekaman film fiksi pun itu juga sebuah kenyataan atau realitas yang direkam dari polah tingkah manusia. Hal tersebut akan saling menghimpit. Kalau dijabarkan lebih lanjut lagi, saya memilih kata dunia abstraksi, yang merupakan milik pribadi dari seorang pembuat film. Misalnya dalam Alam: Syuhada, ada yang mengatakan itu dokumenter, ada juga yang menganggapnya sebagai film eksperimental. Benar kalau film itu dokumenter, karena saya merekam wawancara saya dengan Alam, seorang office boy di ruangrupa. Bisa dikatakan fiksi juga, karena saya meminta Alam untuk duduk menyamping di dalam taksi. Menurut etika dokumenter murni, itu pelanggaran. Tetap, sebagai pembuat film, saya anggap sebagai proses imajinasi subjek untuk tujuan sinematik. Atau ketika Jen dalam Meeting Jen (segmen Hafiz dalam omnibus 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia) tidur di atas koran.
FI: Setelah filmnya selesai, apakah Anda mempertontonkannya kepada subjek dokumenter Anda?
Hafiz: Pasti, karena menurut saya itu adalah bagian dari etika. Pasti ada protes dari subjek saya terhadap interpretasi saya terhadap mereka. Tetapi saya selalu menjelaskan ini adalah perspektif saya pribadi walaupun tetap akan ada perdebatan. Misalnya, saya pernah membuat sebuah proyek film kolaborasi sekitar tahun 2006 dengan seorang sutradara dari Meksiko, dan seorang lagi dari Belanda. Film itu isinya wawancara kita masing-masing terhadap orang-orang berumur di atas 70 tahun di tiga negara tersebut selama dua tahun. Kita edit di sini dengan durasi sepanjang 3,5 jam. Rencana awalnya akan diluncurkan di Rotterdam Film Festival. Kita undang narasumber saya dan anak-anak Forum Lenteng. Saya sudah memperkirakan orang-orang yang nonton akan tidur-tiduran, atau bosan karena durasinya. Yang membuat terkejut adalah sekitar 90% penonton suka dengan hasilnya.
Senang dengan tanggapan itu saya kemudian kirim film itu ke Diego Gutierrez, kolaborator saya yang dari Meksiko untuk di-mixing di Belanda. Ternyata Diego membuat screening di Belanda, yang menimbulkan banyak protes dari narasumber lainnya. Ditambah lagi programmer Rotterdam Film Festival juga mengatakan kalau filmnya tidak dapat diputar jika panjangnya lebih dari dua jam. Saya tidak berada di sana waktu itu untuk menjawab protes tersebut, sehingga film dipotong menjadi hanya sekitar 1,5 jam. Ketika saya menonton versi cut tersebut, saya memutuskan untuk tidak mengedarkan film ini di Indonesia karena ada suatu proses negosiasi yang tidak melibatkan saya, dan itu fatal menurut saya. Saya tidak mau di masa depannya akan muncul persoalan baru di sini.
FI: Kritik apa yang paling sering Anda dengar atau baca terhadap film-film Anda?
Hafiz: Eric Sasono pernah menulis di blognya tentang Alam: Syuhada dan tulisannya menarik. Sebenarnya dia bukan mengkritik film saya, tetapi terhadap karya-karya Forum Lenteng. Menurut saya ada yang tidak dia baca dari Alam: Syuhada, seperti wilayah fiksi yang sudah saya katakan sebelumnya sebagai semacam intervensi yang memang harus dilakukan terhadap film itu. Ada satu hal lagi yang banyak misleading dalam membaca karya saya atau karya teman-teman Forum Lenteng lainnya, tetapi itu bukan masalah bagi kami. Karena tujuan kami di sini dalam membuat film adalah membahasakan sinema ke dalam bahasa visual, sedangkan tradisi kita di sini adalah seringnya dilihat dengan sudut pandang bahasa naratif. Sebenarnya dua hal tersebut adalah dua hal yang kontradiktif. Seringnya orang yang mengkritik namun abai terhadap suatu bahasa visual. Contohnya dalam Alam: Syuhada, saya kira saya tak perlu lagi bercerita tentang Jakarta atau Alam adalah orang yang tinggal di Jakarta, karena saya telah memberikannya secara visual.
FI: Adakah pengaruh dari kritik terhadap film-film Anda berikutnya? Menurut Anda, perlukah kritik film itu?
Hafiz: Pengaruhnya tidak ada. Tapi kritik film itu perlu sekali. Pertama, kritisi itu adalah suatu upaya untuk "menggetok" pembuat film. Hal itu bukan semata untuk menjadikan pembuat film lebih baik, tetapi juga menghasilkan suatu aksi perlawanan yang akan menjadi sesuatu atau menghasilkan satu output yang berbeda dari masyarakat.
Kedua, pentingnya kritikus atau kritik film adalah sebagai pembacaan film dalam konteks wacana dari sudut pandang dunia pemikiran. Maksudnya, suatu produk film adalah dunia pemikiran buah karya pembuat film, lalu dibaca oleh orang yang mengkritik dengan sudut pandang dunia pemikiran lagi, maka itu adalah sebuah kritik. Dengan kata lain, dua dunia pemikiran berbeda itu dapat bertarung. Sebenarnya kalau kritik terus aktif, pembuat film akan berada di posisi yang lebih terhormat, karena dihargai telah memproduksi sebuah dunia pemikiran. Kurang rasanya dunia pemikiran ini dibaca sebagai persepsi sebagai penonton saja.
FI: Bagi saya selalu menarik untuk mengetahui sutradara dan film favorit dari seorang pembuat film, karena selain kita bisa tahu sejauh mana passion mereka terhadap sinema, juga untuk melihat pengaruh terhadap film-film yang mereka produksi.
Hafiz: Untuk dokumenter saya menyukai film-film dari Werner Herzog, Johan van der Keuken, Jean Rouch, dan Jonas Mekas. Selain itu saya juga penggemar film-filmnya Sergei Eisenstein, Dziga Vertov, Fritz Lang, dan banyak lagi.
Menurut saya kalau Anda serius memilih di bidang film, Anda harus tahu dan menonton film-film buatan mereka, karena di situ juga Anda belajar kultur. Kalau Indonesia saya masih mencari film-film dokumenternya D.A Peransi, yang kabarnya hanya terdapat di Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat. Dia penulis, kritikus, dan satu-satunya orang Indonesia yang pernah mewawancarai Joris Ivens.
Dokumenter panjang di Indonesia bisa dibilang tidak pernah hidup sebelum era Reformasi. Dulu adanya dalam konteks produk berita atau propaganda, atau produk advokasi masyarakat. Hampir semua pembuat film besar dunia seperti Jean-Luc Godard dan Orson Welles pernah membuat dokumenter, karena dokumenter adalah sebuah kehormatan dan legitimasi bahwa mereka punya pengetahuan tentang sinema.
FI: Bagaimana Anda menyikapi posisi Indonesia di peta perfilman dunia?
Hafiz: Di dalam Cahiers du Cinema sekitar tahun 1974-1975 tercantum kalau ada sinema di Indonesia. Waktu itu ada retrospeksi film-film Usmar Ismail di Paris sana. Kalau kita membicarakan industri di sini, bisa dibilang industri film kita sekarang dianalogikan seperti warung rokok, di mana dengan modal sekecil-kecilnya harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Belum bisa disebut sebagai industri.
Kenapa industri film Korea Selatan itu bisa menjadi besar seperti sekarang ini adalah hasil kerja kebudayaan, kultur industrinya terbangun baik. Yang ada di Indonesia masih dalam wacana bagaimana menguasai layar bioskop sebanyak-banyaknya, membuat film selaku-lakunya. Kulturnya sendiri belum dibangun. Untuk masuk dalam peta perfiman dunia dalam konteks industri maka tidak mungkin kalau kultur industrinya sendiri belum ada. Dalam sebuah industri semuanya harus ketat, ada standardisasi untuk kompetensi, misalnya saja siapa yang bisa disebut sebagai cameraman, sutradara, editor. Semua itu harus ada standardisasi oleh negara, misal asosiasi penulis naskah, asosiasi sutradara, dan sebagainya. Di sini belum ada, yang ada hanyalah yang penting bisa dekat sama produser, atau Anda anak orang kaya maka kamu bisa dapat uang untuk bikin film.
Mari kita lupakan soal industri, beralih ke konteks cultural activism yang wilayahnya berseberangan.
Kita bangga dengan Edwin bisa tembus ke Berlin, yang menurut saya festival itu besar sekali, atau Dongeng Rangkas bisa masuk ke CPH Dox yang merupakan festival film dokumenter besar selain IDFA (International Documentary Film Festival Amsterdam). Namun, kita belum punya orang yang bekerja sebagai public relation untuk film-film yang ada di wilayah tersebut. Thailand punya, maka dunia bisa kenal dengan sutradara macam Apichatpong Weerasethakul. Ini memang suatu kerja bareng, karena Apichatpong itu tidak akan menjadi siapa-siapa kalau tidak ada PR atau kurator yang baik. John Badalu mungkin sudah mulai jalan ke luar sana, tetapi apakah dia sudah mempunyai perspektif untuk memperkenalkan film-film khusus macam yang kita produksi? John sendiri masih membawa juga film-film dari "industri". Belum punya fokus terhadap film-film macam apa yang dia hanya mau bawa keluar. Di Filipina dan Malaysia, ada orang-orang semacam itu yang menyusupi wilayah-wilayah offstream tersebut.
Orang mungkin tidak pernah tahu kalau saya pernah mengkuratori Image Film Festival (sebuah festival film eksperimental) di Kanada baru-baru ini. Saya bertarung dengan kurator-kurator di sana, tetapi bisa gila kalau saya juga yang harus mengurus hal itu. Beruntung, mungkin banyak karya-karya film dari Indonesia dianggap menarik dan keliling di berbagai festival di luar sana walau tanpa ada kurator, programmer, atau PR yang bekerja. Dalam kata lain ada yang berbeda dari film-film kita dan bisa dilihat sebagai lintas dunia pemikiran secara global.
FI: Bagaimana tanggapan Anda melihat sekarang teman-teman yang dulu mulai bersama dan sekarang sukses dengan jalur berbeda?
Hafiz: Kalau bertahan di wilayah seperti yang teman-teman Forum Lenteng lakukan, saya akan bilang memang berdarah-darah. Tetapi perbedaan pilihan jalur antara saya dan teman-teman saya, seperti Riri atau Harry Dagoe, itu hanya masalah memilih cultural engagement yang bagaimana, atau lebih ke pilihan mau menjadi bagian kultur yang mana. Jangan juga dilihat dari sisi negatif teman-teman saya yang kebetulan memilih jalur industri, lalu berjibaku dengan uang dan keuntungan. Karena di situ mereka juga menghasilkan uang dan lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Tetapi jika saya harus mengkritisi industri film kita, saya akan lebih ke konteks pengetahuan film mereka yang minim. Bahasa visualnya diulang-ulang.
Menurut saya, pengetahuan lebih dalam dan luas mengenai film itu penting. Industri tanpa didasari basis pengetahuan film yang baik tidak akan lama umurnya. Pengetahuan itu seperti fondasi seperti saat membangun rumah. Contohnya, Hollywood masih mapan sampai sekarang dan tidak tergoyahkan. Itu bukan hanya karena mereka punya banyak uang tetapi fondasi pengetahuannya juga kuat. Peter Jackson yang menyutradarai Lord of the Rings, tidak mungkin mampu membuat film sekolosal itu jikalau dia tidah tahu tentang sejarah bahasa film, atau belum menonton Intolerance dan Birth of a Nation-nya D.W. Griffith. Kalau Anda coba survei ke para pembut film Indonesia yang ada di industri sekarang, mungkin hanya sekitar dua persen yang tahu dan sudah nonton film-filmnya Griffith.
Ada harapan misalnya seperti yang dilakukan Bowo [Leksono] di Purbalingga dengan membuat festival film di sana untuk anak-anak SMA. Tetapi sebaiknya tidak berhenti pada tahap mendorong produksinya saja, tanpa ada pengembangan pengetahuan tentang film itu sendiri. Dulu juga sekitar 1999, zamannya Konfiden, ada jargon kalau "Membuat Film itu Mudah". Saya kurang setuju karena seharusnya adalah "Membuat Film itu Susah, Tetapi Mungkin." Jujur saya senang sekali zaman itu karena liputannya besar. Tetapi yang saya sesalkan terhadap teman-teman saya itu adalah ketika mereka mempunyai power, mereka tidak segera mengambil posisi, namun mereka langsung larut di dalamnya.
FI: Forum Lenteng terlibat dalam program “Kami Membaca Sjuman Djaya” untuk acara Bulan Film Nasional 2012 di Kineforum. Adakah makna Bulan Film Nasional bagi Anda?
Hafiz: Bagi saya tidak ada. Itu sifatnya hanya seremonial. Hidup saya setiap hari berhubungan dengan film. Satu hal yang saya sayangkan dalam BFN adalah mengapa Ayat-ayat Cinta diputar di sana. Oke, kalau film industri yang lama macam film-filmnya Syuman Djaya bisa dibaca sesuai konteks sejarahnya. Karena yang namanya kine klub di luar negeri adalah tempat penggemar film untuk menonton film serius, atau tempat orang menonton film yang bukan diproduksi oleh industri. Itu yang saya lihat waktu saya berkunjung. Industri film sudah ada tempatnya sendiri, dan Kineforum harusnya menjadi tempat yang terhormat bagi sinema dan dihargai dalam konteks yang lebih serius.
Dulu saya senang sekali dengan kine klub di DKJ yang dijalankan oleh Salim Said. Di situ diberlakukan sistem keanggotaan yang besarnya Rp. 35.000 setahun. Setiap kita ingin menonton kita juga harus bayar kira-kira 50% lebih murah dibanding yang bukan anggota. Pada waktu itu kine klub dapat dianggap sebuah tempat terhormat, anggota-anggotanya terdiri dari para sastrawan, politikus, seniman, dan sebagainya. Gus Dur salah satunya. Saya menonton film-film Satyajit Ray, Ingmar Bergman, atau Nicholas Ray di sana, dalam format seluloid. Menurut saya kalau Anda hanya ingin mendatangkan orang, tempatnya adalah di bioskop 21. Tetapi kalau kita mau membentuk penonton, aturannya harus lebih ketat lagi. Pada zamannya kine klub Salim Said itu, jaringannya global. Dia bisa mendatangkan film-film Ceko atau Rusia langsung dalam format seluloid. Kine klub juga merupakan salah satu fondasi untuk membangun kultur industri perfilman yang baik, karena di sana ruang untuk mengkritisi film.